Recent Post


[Sinopsis Novel] Putri Huan Zhu/ Huan Zhu Ge Ge II Bagian 10

Do you want to share?

Do you like this story?


Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge II-4: Lang Yi Tian Ya
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan.

Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu II-3: Berlari Ke Batas Cakrawala
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tutut Bintoro, Rosi LS
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, April 2000

Cerita Sebelumnya:

Konspirasi menghilangnya Selir Xiang telah terungkap. Qianlong marah besar. Ditambah kesaksian palsu dari kerabat Ziwei, membuat Kaisar semakin dingin menghadapi Xiao Yanzi dan kawan-kawan. Hukuman mati dijatuhkan. Namun, eksekusi sebenarnya bisa dibatalkan seandainya - tidak datang kabar kalau Erkang telah menghilang di penjara.



X

Massa yang larut dalam emosi masih berkerumun di sepanjang jalan. Mereka terus-terus berteriak, “Putri takkan mati! Mereka panjang umur!”

Arak-arak kereta tawanan sejak tadi berhenti. Petugas eksekusi sengaja mengulur waktu untuk menunggu titah selanjutnya dari Qianlong.

Di atas kereta, Xiao Yanzi melambaikan tangan antusias kepada rakyat. Sementara Ziwei mengedarkan pandangan. Tiba-tiba, dia melihat Erkang, Yongqi, Liu Qing dan Liu Hong di tengah kerumunan massa. Ziwei tersentak. Pandangannya bertautan dengan Erkang. Untuk sesaat, bagi keduanya, kegaduhan di sekeliling mereka seolah sirna.

Semua menunggu. Akhirnya terdengar derap langkah kuda mendekat. Pengawal yang tadi perg melapor pada Kaisar telah kembali sambil mengangkat tinggi-tinggi bendera kuning.

Massa seketika terdiam.

Pengawal itu menarik tali kekang kudanya agar berhenti. Setelah itu dia berteriak lantang, “Yang Mulia Kaisar menitahkan agar segera mengeksekusi kedua tawanan! Tak ada ampunan!”

Semua terhenyak. Ziwei dan Xiao Yanzi kesekian kalinya tersentak. Mendadak, tempat itu jadi senyap.

Petugas eksekusi memberi aba-aba untuk melanjutkan perjalanan. “Ayo! Langsung ke panggung eksekusi! Jangan tunda lagi!”

Arak-arakan kembali bergerak. Massa berubah gempar dan berteriak bergemuruh. “PUtri jangan dihukum mati! Ampuni kedua Putri!”

Mengertilah Xiao Yanzi. Harapan terakhir pupus sudah. Digenggamnya tangan Ziwei erat-erat.

Massa kembali maju dan mendesak kereta tawanan. Prajurit mencoba menghalangi mereka dengan pentungan kayu. Tapi massa mulai beringas. Bahkan anak-anak ikut berlari mengejar kereta tawanan.

“Anak-anak siapa ini? Lekas minggir! Jangan menghalangi kereta eksekusi!”

Anak-anak itu tetap tak memedulikan seruan pengawal. Mereka terus merangsek sambil berteriak-teriak. Ziwei sampai harus berteriak keras,

“Mohon jangan lukai mereka! mereka cuma anak-anak!”

Kehebohan yang ditimbulkan anak-anak itu membuat suasana semakin kacau. Massa pun bergerak semakin maju sambil menjerit.

Erkang dan yang lainnya sambil berpandangan. “Kalau bukan sekarang bertindak, kapan lagi?” Keempatnya lalu mengikat kain hitam kuntuk menyembunyikan wajah mereka.

Erkang melayang dan melompat kea rah kereta tawanan. Yongqi, Liu Qing dan Liu Hong juga menerjang. Keempatnya menghunus senjata – dengan sigap merobohkan beberapa pengawal. Para pengawal pun berteriak keras, “Ada yang membajak kereta tawanan! Ada yang membajak kereta tawanan!”

Para pengawal pun terlibat pertarungan dengan Erkang cs. Massa yang menyaksikan berseru membahana. “Ayo hantam! Selamatkan Putri! Hajar saja! Selamatkan Putri!”

Kehebohan dahsyat menyelimuti segenap penjuru. Erkang dan yang lainnya bertarung mati-matian. Lalu, mendadak dua orang pria berpakaian hitam menerjang kereta tawanan. Kedua orang itu bersenjatakan pedang. Mereka bergerak cepat dan serentak. Dalam sekejap, beberapa prajurit terluka dan formasi mereka kocar-kacir.

Kedua pria berpakaian hitam itu berhasil mencapai kereta. Dengan dua kali kibasan pedang, rantai yang membelenggu tangan serta kaki Ziwei dan Xiao Yanzi terputus.

Tatapan Xiao Yanzi dan Ziwei bertemu dengan pandangan dewa penyelamat mereka. Serempak keduanya berseru, “Xiao Jian! Meng Dan!”

Kedua penyelamat itu memang Xiao Jian dan Meng Dan. Masing-masing menarik Xiao Yanzi dan Ziwei lalu melayang pergi.

Erkang dan yang lainnya terkejut menyaksikan adegan ini. Erkang segera berteriak, “Jangan teruskan lagi! Semuanya mundur!”

Mereka pun menyusul Xiao Jian dan Meng Dan.

***

Di tengah hangar-bingar massa dan prajurit yang mencoba mengejar mereka, Xiao Jian dan Meng Dan melarikann Ziwei serta Xiao Yanzi sampai ke sebuah hutan. Erkang, Yongqi, Liu Qing dan Liu Hong menyusul dengan cepat.

Di tengah hutan itu tampak sebuah kereta kuda. Seorang petani bercaping tengah duduk di kusir.

Meng Dan berseru pada Erkang dan yang lainnya, “Lekas naik ke dalam kereta! Kusirnya Lao Ou, kawan kita juga!”

Pintu kereta terbuka. Xiao Jian dan Meng Dan membimbing Xiao Yanzi serta Ziwei naik. Erkang, Yongqi, Liu Qing dan Liu Hong menyusulnya.

Lao Ou segera melarikan keretanya secepat kilat. “Hiya! Hiya!”

Di dalam kereta, semuanya masih belum sepenuhnya sadar. Mereka saling menata dengan kaget bercampur gembira. Mereka nyaris ta percaya.

“Siapa yang menyapkan kereta ini? Pikirannya sungguh panjang sekali!” tanya Erkang.

“Siapa lagi kalau bukan Xiao Jian!” jawab Meng Dan. “Sejak Graha Huipin digeledah, dia sudah mengatur siasat untuk menyelamatkan kalian!”

Xiao Yanzi meraba kepalanya. “Wah, kepalaku tak jadi dipancung! Ziwei! Kita belum mati!” dia mengguncang lengan Ziwei sekuatnya. “Kita masih hidup! Semua orang berdatangan menyelamatkan kita!”

Mata Ziwei bersinar. “Benar! Begitu banyak kejutan di saat-saat terakhir. Aku nyaris tak sanggup mempercayainya!”

“Sekarang kita akan kemana?” tanya Erkang.

“Ke tempat yang aman!” Xiao Jian tersenyum simpul.

“Meng Dan dan Xiao Jian datang memberi pertolongan sungguh di luar dugaan! Siapa yang bisa menjelaskan padaku, bagaimana kejadiannya?” tanya Liu Qing.

“Ceritanya panjang. Nanti pelan-pelan akan diceritakan.”

“Koper kami masih ketinggalan di Gang Mao’er! Bagaimana kita pergi mengambilnya?”
tanya Liu Hong.

“Oh, ternyata kalian juga sudah punya persiapan, ya? Tapi jangan sekarang mengambilnya. Tunggu sampai situasi lebih tenang baru bergerak.”

Erkang menatap Xiao Jian. “Xiao Jian! Kau ternyata memang pendekar yang menyamar! Kemunculanmu tadi sungguh mengaetkan! Ini benar-benar kejutan besar!”

“Kalianlah yang sebetulnya mengejutan aku!” ujar Xiao Jian sambil tertawa. Kedua putri: Xiao Yanzi dan Ziwei – sungguh membuat banyak orang terkagum-kagum. Mereka sungguh hebat!”

Wajah Ziwei berubah muram. “Jangan lagi menyebut soal Putri. Gelar itu telah menjadi masa lalu dan kenangan.”

Erkang menggenggam tangna Ziwei. “Yang tinggal kenangan bukan hanya gelar Putri. Tapi juga gelar Pangeran Kelima, gelar Selir Hanxiang dan posisiku selaku bangsawan pengawal kepercayaan Kaisar! Begitu juga dengan Graha Huipin Liu Qing dan Liu Hong. Xinjiang bagi Meng Dan, dan Xiao Jian… tentunya dia juga punya masa lalu!”

Xiao Jian terbahak. “Benar! Kehidupan tanpa masa lalu pasti membosankan! Jika ada arak, aku pasti sudah bersulang dengan kalian! Untuk masa lalu dan masa depan kita semua. Di dunia ada dua jenis manusia: yang menciptakan dan menyaksikan jalannya sejarah. Aku sangat beruntung mengenal begitu banyak manusia pencipta sejarah!”

Yongqi memandang keluar jendela. Ditatapnya pepohonan yang tertinggal di belakang. Masa-masanya sebagai Pangeran berakhir sudah. Mau tak mau dia merasa sedih.

“Mulai sekarang kita ucapkan selamat tinggal oada kehidupan kita yang lama!”

Erkang juga menyadari masa lalunya yang berkarir gemilang telah berakhir saat ini. “Taka pa berpisah dengan masa lalu. Karena dengan begitu, barulah kita bisa menciptakan masa depan.”

“Hidup masa depan!” seru Xiao Yanzi kegirangan.

Tak ada lagi kecemasan. Tak ada lagi yang patut disembunyikan. Sementara waktu ini…

***

Kereta kuda melesat cepat. Mereka sampai ke sebuah pedesaan. Setelah menempuh perjalanan beberapa lama, sampailah kereta ke sebuh rumah pertanian.

Di halaman rumah itu tampak beberapa wanita petani menjemur gandum. Kereta berderap masuk, dua diantara wanita petani itu bergegas menghampiri.

Lao Ou turun dari keretadan membantu satu per satu turun. Xiao Jian menjelaskan, “Ini rumah Lao Ou. Sementara kita bersembunyi di sini. Di sini cukup aman!”

Salah seorang wanita petani menarik tangan Ziwei dan Xiao Yanzi. “Mereka berhasil meyelamatkan kalian! Tadi aku sempat cemas sekali!”

Ziwei, Xiao Yanzi serta yang lainnya terpana sejenak. Lalu terdengar seruan kaget “Hanxiang?!?”

Ziwei, Xiao Yanzi dan Hanxiang langsung melompat-lompat dan memekik gembira.

“Hanxiang! Kenapa kau masih di Beijing?” Xiao Yanzi tak percaya.

“Ya! Bukannya kau dan Meng Dan sudah kami antaqr ke Desa pertama rute pelarian kalian?” tanya Liu Qing.

“Kau menyamar seperti ini, aku bahkan nyaris tak mengenalimu!” timpal Liu Hong.

Xiao Yanzi mengucek matanya. “Wah! Apakah aku sedang bermimpi? Kusangka hari ini aku sudah akan dipenggal. tak tahunya tidak jadi, malah bisa bertemu dengan kalian semua! Aku sangat gembira! Betapa indahnya hidup ini!”

Xiao Jian mulai memperkenalkan, “Ini Lao Ou dan istrinya. Lao Ou kawan lamaku.”

Lao Ou dan istrinya menyalami Xiao Yanzi dan yang lainnya. Sepasang suami istri itu sangat ramah dan baik. Erkang membalas sapaan mereka dengan berkata, “Terima kasih pada Anda berdua. Kita belum pernah bertemu, tapi kalian sudah memberikan bantuan demikian besar pada kami.”

“Tak perlu sungkan,” Lao Ou berkata penuh setia kawan. “Xiao Jian dewa penolong kami. Jadi kawannya, adalah kawan kami juga!”

“Ayo lekas masuk! Kalian harus berganti pakaian. Jadi kalau sewaktu-waktu ada pemeriksaan, kalian sukar dikenali.”

Para wanita ikut masuk bersama Hanxiang ke dalam rumah. Di sebuah kamar, di atas ranjang tampak beberapa pasang pakaian wanita sederhana.

Xiao Yanzi, Ziwei dan Liu Hong berganti pakaian. Benak ketiganyamasih diliputi banyak pertanyaan perihal Hanxiang.

“Hanxiang, bukankah kau dan Meng Dan seharusnya sekarang sudah lari jauh ke selatan?” tanya Ziwei.

“Ya, tapi semua berkat Xiao Jian yang cerdik. Kalian masih ingat dengan tiga surat rahasia yang diberikan Xiao Jian pada Meng Dan? Jadi sebenarnya, begitu Liu Qing dan Liu Hong usai mengantar kami, kami langsung membuka surat Xiao Jian yang pertama. Isinya adalah alamat Lao Ou. Di bawahnya tertulisa kalimat ‘Kalau mencemaskan keadaan mereka, segeralah ke alamat Lao Ou untuk menunggu berita’!”

“Setelah itu, kami langsung membaca surat kedua. Pesannya ‘Jangan pergi ke tujuan kalian yang semula. Tapi pilih arah lain. Ini untuk menghindari bocornya rahasia jika mereka terpaksa buka mulut karena disiksa!’”

“Lalu, surat ketiga, apa tulisannya?”

“Di surat ketiga tertulis, ‘Tempat paling aman justru adalah tempat yang paling berbahaya. Berhubung tubuh Hanxiang sudah tak berbau harum lagi, kenapa tak mengambil resiko saja bersembunyi di Beijing? Bersembunyi saja di Beijing sambil menetapkan tujuan baru kalian!’”

“Xiao Jian sungguh pandai! Kaisar pasti telah mengira kalian telah jauh maka mengirim tentara mencari keluar kota!” Liu Hong berujar kagum.

“Kami lalu memutuskan mengikuti isi surat Xiao Jian. Tibalah kami di sini. Sesudah itu, tak lama, Xiao Jian juga datang dan memberitahukan kalau kalian semua tertimpa bencana besar. Dia dan Meng Dan lalu mengatur rencana menculik tawanan. Saat itu kami masih belum tahu kalau Pangeran Kelima dan Erkang juga telah melarikan diri…”

Sambil bercakap-cakap, selesailah mereka berganti pakaian. Kini semuanya memakai pakaian wanita petani yang sederhana. Xiao Yanzi menunjuk Ziwei sambil tertawa-tawa, “Penampilanmu benar-benar berubah! Menurutu, Huang Ama akan pangling! Jika berdiri di hadapanmu, beliau pasti tak bisa mengenali dirimu!”

Mendengar kata ‘Huang Ama’, Ziwei berubah muram.

Terdengar ketukan di pintu. Disusul suara Xiao Jian, “Kalian sudah selesai berganti pakaian? Ada yang mau makan tidak?”

“Wah! Sudah bisa makan!” seru Xiao Yanzi. “Sudah lolos dari hukuman mati, masih bisa makan pula! Ayo kita semua lekas makan!”

Semuanya menuju ruang makan dan mendapati Erkang serta Yongqi telah berganti pakaian dari kain kasar. Ditatapnya kedua pemuda itu lalu tawanya meledak.

Melihat penampilan Erkang dan Yongqi, Ziwei jadi terkenang pada istana. betapa dirinya dan Xiao Yanzi telah mempengaruhi seluruh jalan kehidupan Erkang dan Yongqi. Kemudian dia tersadar, semua sudah berkumpul di sini kecuali satu orang! Jimshuo! Di mana dia sekarang? Teringat Jinshuo, Ziwei kembali muram.

Mereka duduk mengelilingi meja makan. Mneski hidangannya sederhana, tapi mereka menganggapnya sangat mewah. Nyonya rumah melayani mereka dengan baik. Mereka makan sambil bercakap-cakap dan bersenda gurau. Terakhir, mereka bersulang untuk merayakan kelolosan dari maut.

Ziwei masih teringat pada Jinshuo. Dia tak sanggup turut tertawa atau makan. Hingga akhirnya dia tak tahan lagi. Sebutir air matanya menetes.

“Maafkan aku, kalian teruskan saja makannya. Aku mau keluar sebentar. Aku perlu menghirup udara segar.”

Dia menutup wajahnya lalu keluar. Yang lainnya hanya bisa terpana menatapnya.

***

Sementara di istana, kehebohan mega dahsyat melanda Qianlong.

“Kedua gadis itu dilarikan pendekar sakti? Massa membantu mereka melarikan diri? semua orang mulai dari dewasa hingga anak-anak mengelukan mereka? apakah semua ini bukan lelucon?” sentak Qianlong.

Pengawal arak-arakan eksekusi menjawab, “Duli Yang Mulia! Ini sama sekali bukan lelucon. Semua orang menyaksikannya sendiri. Rakyat terus menerus berteriak ‘Semoga Putri panjang umur!’ Ketika massa bentrok dengan pengawal, pendekar sakti itu menggunakan kesempatan ini untuk menerkang kereta tawanan dan memebebaskan kedua Putri!”

Qianlong nyaris tak percaya mendengarnya. Selir Ling yang berdiri di sampingnya diam-diam menghembuskan napas lega.

“Jadi mereka sudah punya pengaruh demikian besarnya – hingga sekota bisa ikut meminta ampun? Ditambah lagi pendekar-pendekar sakti yang membela mereka! Ada berapa jumlah pendekar itu?”

“Banyak, Paduka! Hamba tak mengingat dengan jelas! Tapi di antaranya, sepertinya terdapat Pangeran Kelima dan Tuan Muda Fu!”

“Yongqi dan Erkang?!” geram Qianlong. “Apa kalian sudah berusaha mencari para burinan itu?”

“Sudah! Hamba sudah memerintahkan prajurit agar seluruh kota digeledah. Tapi hamba khawatir kedua Putri dilindungi oleh keluarga berpengaruh. Kalau benar begitu, encarian ini akan sulit sekali…”

“Kalian geledah saja rumah warga satu-persatu! Menentangku terang-terangan begini, sama saja dengan penjahat besar!”

“Daulat, Yang Mulia!”

“Kalian harus menangkap mereka hidup-hidup untuk diinterogasi, mengerti?”

“Hamba menerima titah, Yang Mulia!”

Para pengawal itu lalu undur diri.

Selir Ling menghampiri Qianlong dan berkata, “Yang Mulia, kalau mereka sudah pergi, biarkan saja. Kenapa harus susah payah menangkap mereka kembali?”

Qianlong terbelalak dan membentak Selir Ling. “Kau bicara apa? Mereka telah menipu dan mempermainkanku! Reputasiku benar-benar dilecehkan! Martabatku telah dirusak mereka, tapi kau masih membela mereka?”

“Yang Mulia! Hamba tahu di batin Anda telah bertumpuk banyak kebencian juga kemarahan. Tapi jauh di lubuk hati, Anda memiliki kehangatan. Sejujurnya, hamba sungguh tak sanggup apabila menyaksikan kepala kedua Putri dengan darah segar yang menetes-netes…”

Qianlong tak sanggup menimpali perkataannya sehingga Selir Ling melanjutkan,

“Segala tindakan yang dilakukan seseorang jika sedang marah, bukanlah sifat asli orang itu! Baginda tidak sungguh-sungguh bermaksud membunuh kedua Putri, tapi telah mengeluarkan titah membunuh mereka! Erkang dan Yongqi juga tak berniat menentang Baginda, tapi dalam keadaan terdesak, terpaksa menentang Anda!”

Qianlong mulai bimbang. Perkataan Selir Ling telah merasuk sampai ke lubukl hatinya. Benar juga, dia sendiri mau melihat kepala kedua gadis itu bertetesan darah. Mustahil aku benar-benar menginginkan nyawa mereka tercabut.

Ketika Qianlong tengah galau inilah, Ibu Suri datang bersama Qing’er dan Permaisuri.

“Yang Mulia! Aku barusan mendengar kalau Xiao Yanzi dan Ziwei dibawa lari oleh Pangeran Kelima dan Erkang. benarkah itu?”

Qianlong mendesah. “Aku juga baru menerima kabar. Apakah yang menyelamatkan mereka Yongqi dan Erkang, masih belum dipastikan!”

Qing’er menghembuskan napas lega. Diam-diam bertukar kelegaan dengan Selir Ling.

“Cukup sudah!” Ibu Suri menggelegak. “Jadi rakyat juga membela mereka? Bukankah ini sama dengan memberontak? Mau ditaruh dimana kewibawaan Kaisar? Kau tak bisa membiarkan mereka lari! Fulun pasti taju kisah ini! Lekas panggil dia dan Fuqin ke istana!”
Selir Ling tersentak. “Mohon Kaisar menyelidikanya dengan hati-hati. Suami-istri Fu sama saja dengan kita, tak tahu apa-apa!”

Sekilas, Permaisuri memandang tajam kea rah Selir Ling.

“Lao Foye, Yang Mulia, ada hal penting yang hendak hamba sampaikan…”

“Kalau itu penting, kau harus segera menyampaikannya! Jangan ragu!” ujar Ibu Suri.

Permaisuri menatap sekilas ke arah Qing’er dan Selir Ling. “Semalam, hamba mengunjungi penjara. tak tahunya, di sana bertemu dua orang yang mengaku membawa titah dari Ibu Suri dan Kaisar unruk menyampaikan salam perpisahan kepada kedua gadis itu! lanlu paginya terdengar kabar Erkang hilang secara mencurigakan! Kalau dipikir, kenapa peristiwa ini bisa bersamaan?”

“Apa? Membawa perintahku untuk menyampaikan salam perpisahan?” Ibu Suri terkejut bukan main. “Jadi rupanya ada yang berani memalsukan titahku? Kurang ajar! Lekas katakan! Siapa orang itu?”

Qing’er menatap Selir Ling sekilas. Dia sadar tak dapat menyembunyikan hal ini lagi. Dengan berani gadis itu berlutut di hadapan Ibu Suri dan Qianlong.

“Duli Lao Foye, yang dimaksud Permaisuri itu adalah hamba dan Selir Ling!”

“Apa? Kau dan Selir Ling?”

“Benar!” jawab Qing’er. “Semalam kami memang mengunjungi penjara untuk menjenguk Ziwei dan Xiao Yanzi. Maafkan kami, kami benar-benar harus menemui mereka sebelum mereka menjalani hukuman mati. Belakangan Lao Foye pasti tahu, dalam hati Qing;er telah tumbuh simpati terhadap kedua Putri ini. Terlebih Selir Ling yang telah menganggap mereka seperti putri sendiri. Sudilah Baginda dan Lao Foye memahami perasaan kami. Mengenai bagaimana Erkang sampai menghilang, kami sama sekali tidak tahu!”

“Qing’er!” tegur Lao Foye. “Besar sekali nyalimu! Kau juga – Selir Ling!”

Selir Ling gemetaran. Dia tak sanggup berkata-kata. Qing’er bersujud di hadapan Lao Foye.

“Silakan Lao Foye menjatuhkan hukuman! Qing’er rela dimasukkan ke penjara atau menggantukan hukuman mati. Tapi jangan menyalahkan dan menghukum Selir Ling. Dia mencintai Paduka Kaisar sepenuh hati dan Pangeran Kelima Belas masih kecil.”

“Qing’er memberanikan diri bicara. Sebenarnya, ketika Selir Xiang menghilang, Ziwei dan Xiao Yanzi telah mengupayakan berbagai cara agar menjaga perasaan Yang Mulia. Tapi siapa sangka, ini justru menjadi kesalahan besar yang membuat Yang Mulia murka! Musibah ini sampai sekarang telah menyeret banyak orang. Barat hendak memetik daun batang ikut terpetik. Ini bisa membuat Kaisar kehilangan semakin banyak orang-orang terkasihi.”

Permaisuri segera menyambung, “Maksudmu, masalah Erkang yang hilang, Pangeran Kelima yang kabur dan penculikan kedua gadis itu tak usah diusut? Begitu pula dengan ‘orang dalam’ yang ikut membebaskan mereka?”

Qing’er menatap Permaisuri. “Kalau menganggap semua orang yang mengunjungi penjara semalam patut dicurigai, bukankah, Permaisuri sendiri dan Bibi Rong juga tak lolos dari kecurigaan?”

Permaisuri memandang Qing’er dengan geram. Qianlong menimbang-nimbang. Lalu dikibaskan lengannya.

“Sudahlah! Kalian tak perlu berkata apa-apa lagi! Biarkan aku tenang sebentar!”

Maka semuanya pun terdiam.

***

Qianlong diam-diam membuat penialaian. Begitu pula dengan Ibu Suri.

Setibanya di Istana Zhuning, Ibu Suri memerintahkan Qing’er untuk mengurung diri di kamar gelap.

“Baik!” Qing’er menyanggupi tanpa gentar sedikit pun.

Melihat sikap pemberani Qing’er, Ibu Suri mulai ketakutan. “Berhenti!” serunya.

Qing’er berhenti.

“Katakan! Sebenarnya demi apa kau mati-matian membantu kedua gadis itu?”

Qing’er memandang Ibu Suri. Sinar matanya memancarkan keterus-terangan dan kejujuran.

“Lao Foye, ini karena mereka berdua sebenarnya mewakili apa yang ada pada diriku. Mereka telah membangkitkan kehangatan serta hasrat untuk memberontak yang tersembunyi di dalam hatiku. Ziwei mewakili bagian diriku yang santun. Xiao Yanzi mewakili bagian diriku yang pemberontak. Mereka ibarat bayanganku! Atau mungkin akulah bayangan mereka!”

Ibu Suri kebingungan. “Sedikit pun aku tak paham maksudmu! Yang kutahu, kau sudah ketularan penyakit kedua gadis itu!”

“Benar! Aku sudah ketularan penyakit mereka. penyakit tentang cinta, kehidupan, teman dan impian. Aku sudah ketularan hingga tak bisa disembuhkan…”

“Aku tak paham dengan berbagai perkataan anehmu ini! Kau berani memalsukan tita untuk membebaskan tawanan. Kiramu, aku tak tega menghukummu?”

“Qing’er tak berani berpikir demikian. Tapi ijinkanlah Qing’er menebus kesalahan dengan berbakti pada Lao Foye. Aku tak akan menikah seumur hidup dan mengabdikan diri hanya pada Lao Foye!”?”

Ibu Suri terperanjat. Qing’er menyambung, “Lao Foye, penyakit yang Qing’er alami ini, hanya ada dua kemungkinan setelah tertular: sembuh dan mati. Pada akhirnya, salah satu diantarnya tak bisa Qing’er hindari. Sekarang, Qing’er harus ke Kamar Gelap untuk menjalankan hukuman!”

Qing’er melangkah pergi dengan mantap. Membuat Ibu Suri terhenyak dan terpaku.

***

Di sebuah jalan di luar kota Beijing, Jinshuo bersama sebarisan napi lelaki dan perempuan berjalan teseok-seok menuju Mongolia.

Para pengawal tak henti-hentinya melecutkan cambuk dan menghardik. Setiap kali cambuk telecut, tedengar pula serentetan pekik kesakitan dari para napi.

Jinshuo tersungkur. Wajahnya tertutup peluh dan pasir yang berterbangan. “Tuan-tuan! Bolehkan aku minta air?”

“Apa? Minta air lagi?” tanya pengawal seraya melayangkan cambuk ke punggung Jinshuo.

“Aduh! Sakit!” jerit Jinshuo.

“Kalau sakit, jalanlah lebih cepat lagi!”

Jinshuo meneruskan langkah seeraya memandang ke langit. Entah Ziwei dan Xiao Yanzi telah dipenggal atau belum. Mungkin keduanya kini telah di surga dan menyaksikan dirinya yang mengenaskan ini dari atas sana.

Seorang napi pria tua di depan Jinshuo tersungkur. Dia merintih, “Air… Beri aku seteguk air…”

“Paman, kenapa kau?” Jinshuo buru-buru memapahnya. Dia berkata kepada pengawal, “Tuan, berilah dia seteguk air. Paman ini sudah hampir pingsan!”

“Pingsan? Dicambuki saja – pasti sadar lagi!” Lalu seorang pengawal melayangkan cambuknya.

“Aduh! Kenapa anda sekalian tak iba sedikit pun?” Jinshuo berteriak.

“Hah? Kau yang berstatus narapidana ingin menceramahiku ya?”

Cemeti pengawal menghujani Jinshuo. Gadis itu berguling kesakitan hingga kalung pemberian Ziwei terjulur keluar.

“Di lehernya ada kalung emas!” seru salah satu pengawal. “Lekas lucuti pakaiannya! Siapa tahu dia masih menyembunyikan barang mahal lain di tubuhnya!”

Jinshuo berteriak, “Jangan ambil kaluungku! Itu kenang-kenangan dari Nona! Kumohon! Aku tak punya barang berharga lain.. Tolong!”

Jinshuo bermaksud kabur. Tapi tangan dan kakainya terbelenggu sehingga selalu terjatuh. Pra pengawal menerjang ke arahnya dan mulai melucuti pakainannya. Napi lain hanya bisa menyaksikannya tapi tak berani menolong.

Jinshuo berusaha mati-matian memegang bajunya dan kalung pemberian Ziwei. Di saat kritis inilah muncul sebuah kereta kuda melaju cepat. Pengendaranya rupanya adalah Erkang, Liu Qing dan Liu Hong.

Erkang tahu Ziwei belum bisa tenang karena memikirkan Jinshuo. Maka dia mengajak Liu Qing dan Liu Hong untuk menolong gadis itu.

“Celaka! Apa yang mereka lakukan pada Jinshuo?” seru Liu Hong.

Erkang dan Liu Qing menghentikan kereta. Para pengawal segera berhenti menganiaya Jinshuo dan memandang berkeliling.

Erkang, Liu Qing dan Liu Hong menerjang bagai tiga rajawali. Erkang berteriak, “Kalian adalah pengawal istana tapi tindakan kalian begitu kotor dan tak tahu malu!”

Ketiganya berhasil merobohkan beberapa pengawal yang menarik Jinshuo. Pengawal lainnya pun sibuk berteriak-teriak, “Ada yang mau menculik tawanan! Ayo lawan!”

Para pengawal terlibat pertarungan sengit. Sejurus kemudian, mereka yang bukan tandingan Erkang dan dua bersaudara Liu berjatuhan sana-sini.

Jinshuo kaget dan gembira. Di antara tangisnya dia berkata, “Tuan Muda Erkang! liu Qing! Liu Hong! Aku barangkali salah lihat…”

Liu Qing berlari menghampiri Jinshuo dan menebas rantai yang membelenggu tangan dan kaki gadis itu. “Maaf, Jinshuo! Kami datang terlambat sehingga kau menderita seperti ini!”

Jinshuo menangis bahagia. “Liu Qing! Aku…” – kakinya lemas dan Liu Qing segera menopangnya.

“Tawanan lain…,” Jinshuo menunjuk para napi. “Tolonglah mereka…”

“Baiklah! Tak peduli mereka bersalah atau tidak, hari ini adalah ‘hari pembebasan napi’!” seru Erkang berwibawa. “Kalian para tawanan tak perlu mengenal aku! Kita hanya bertemu secara kebetulan!”

Erkang lalu memutuskan rantai-rantai yang membelenggu para napi. Napi-napi itu tak menyangka akan bernasib sebaik itu. mereka bersujud pada Erkang, “Pahlawan! Dewa Penolong kami! Terima kasih! Terima kasih!”

Erkang berkata tegas, “Pergilah kalian! Jangan berbuat kejahatan lagi!”

“Ya! Ya! Ya!” para napi bersujud beberapa kali. Mereka pun bergegas pergi.

***

Hari sudah sore ketika Jinshuo dibawa ke rumah Lao Ou. Begitu melihat Ziwei, kedua gadis itu langsung berpelukan.

Kemudian yang wanita menemani Jinshuo mandi, memakai obat dan berpakaian.

Di luar, kaum lelaki mendiskusikan soal pelarian mereka berikutnya. Ketika mereka sedang berdiskusi, tiba-tiba Nyonya Ou bergegas datang dan memperingati mereka.

“Cepat! Cepat! Kalian harus sembunyi! Ada tentara datang!”

Xiao Yanzi dan para gadis lekas keluar kamar. Lewat pintu belakang, Nyonya Ou membawa mereka ke sebuah rumah kayu kecil yang berfungsi sebagai gudang.

Erkang, Yongqi, Meng Dan, Xiao Yanzi, Ziwei, Jinshuo dan Hanxiang segera berdesak-desakan masuk ke dalam. Xiao Jian, Liu Qing dan Liu Hong di luar, masing-masing memegang satu perkakas tani bersiaga.

Terdengar suara berisik yang mendekat. Lalu ocehan Nyonya Ou, “Tuan-tuan prajurit, kalian sedang cari apa?”

“Kalian ada lihat orang-orang dalam gambar ini? Lihat baik-baik! Dua pasang gadis dan pemuda yang cantik dan tampan!”

“Tidak! Hei, kenapa kalian sembarang memasuki rumah orang?”

Sekelompok tentara melangkah menuju halaman belakang rumah Lao Ou. Mereka melihat Xiao Jian yang sedang membelah kayu. Liu Qing dan Liu Hong yang sedang mencangkul.

Para pengawal menoleh kiri-kanan. Lalu memandangi rumah kayu itu.

“Tempat apa itu? Coba buka dan perlihatkan pada kami!” kata salah satu pengawal.

Xiao Jian dan yang lainnya terkesiap. Semuanya bersiaga.

Lao Ou berjalan ke pintu rumah kayu seraya berkata, “Ini jamban rumah kami. Tak mungkinlah bisa dipakai bersembunyi!”

Tepat saat itu Nyonya Ou datang membawa sepoci arak yang wangi sekali. Para pengawal merasa tertarik sehingga mereka menoleh. Nyonya Ou lalu mengambil beberapa cangkir dan dituangkannya arak itu ke cangkir-cangkir itu.

“Ini arak yang enak sekali! Tuan-tuan, apa kalian mau ikut mencicipi? Ini buatan kami sendiri. Hari ini kan cuacanya agak sejuk, jadi bagus kalau minum sedikit untuk menghangatkan badan.”

Para pengawal menghirup aroma arak. “Waaah, wangi sekali. Bawa kemari! Kami juga ingin mencicipi!”

Nyonya Ou tertawa riang sambil mengisi cangkir para pengawal. Dia juga mengajak mereka bercakap-cakap sehingga perhatian mereka sepenuhnya telah teralihkan dari gubuk kayu.

Para pengawal ngobrol sambil minum. Xiao Yanzi dan kawan-kawan menanti dengan tegang di dalam rumah kayu. Setelah beberapa saat para pengawal meletakkan cangkir mereka dan berkata,

“Baiklah, ayo kita pergi! Kita lanjutkan pencarian di tempat lain. Nyonya, maaf kami telah merepotkan.”

“Oh, tidak apa-apa. Tidak apa-apa…”

Para pengawal sudah berjalan keluar satu-satu. Tepat pada saat itulah hidung Xiao Yanzi gatal. Dia tak dapat menahan diri sehingga bersin dengna suara keras.

Semuanya terkejut bukan kepalang. Para pengawal terhenti. Mereka menoleh ke rumah kayu itu.

“Suara apa itu? Ada orang di dalam sana?”

Air muka Xiao Jian, Liu Hong dan Liu Qing berubah. Nyonya Ou dengan cerdik berteriak kea rah rumah kayu. “Xiao Zhuzi! Kau mau jongkok berapa lama di situ?” Lalu katanya kepada para pengawal, “Putraku ini…, entah apakah dia sedang sakit perut betulan atau malas! Tiap kali disuruh bekerja, pasti masuk kakus!”

Di dalam rumah kayu, Xiao Yanzi menirukan suara anka kecil. “Ibuuuuu… Aku lupa bawa kertas pembersih!”

Semuanya kaget mendengarnya. Bukankah ini berarti Xiao Yanzi menyuruh Nyonya Ou membuka pintu lumbung kayu itu? Yang di dalam lumbung memelototi Xiao Yanzi. Semuanya gemas ingin mencubit gadis itu!

Yang diluar juga menganga. Nyonya Ou keki dan berkata salah tingkah. “Lupa bawa kertas pembersih ya? Duuh, anak ini benar-benar bodoh! Makin besar tambah bego!”

Tiba-tiba dari dalam lumbung, Xiao Yanzi yang sudah dapat cubitan dan pukulan mengoreksi ucapannya. “Buuuu…. Kertas pembersihnya sudah ketemu. Ternyata ada di mulut anjing… Guk! Guk!”

Semua terbelalak dan pingsan mendengar celoteh Xiao Yanzi. Yongqi lekas-lekas membekap mulut Xiao Yanzi.

Para pengawal justru tidak curiga. Mereka murni menganggapnya sebagai lelucon dan pergi sambil tetawa-tawa.

Begitu para pengawal pergi, yang di dalam lumbung semuanya keluar. Erkang langsung memarahi Xiao Yanzi. “Kau sungguh pintar, ya? Yang kau bilang selalu saja salah! Kau benar-benar ingin pengawal-pengawal itu menemukan kita, ya?”

“Yang paling aneh ketika dia bilang kertasnya ada sama anjing dan menirukan suara gonggongan!” sambung Liu Qing.

“Kalau aku tidak cepat membungkam mulutnya, mungkin dia bisa membuat suara anjing berkelahi dengan kucing!” timpal Yongqi.

Ziwei, Jinshuo dan Hanxiang tertawa keras.

Xiao Yanzi membela diri, “Cuma itu yang terpikir olehku! Tadi itu kan aku panik dan tegang!”

“Lain kali kau tak usah bicara apa-apa dan tak boleh bersin!” tukas Yongqi.

“Aku tak boleh bersin? Wah! Kau ini lebih kejam dari Huang Ama!”

Begitu Xiao Yanzi menyebut ‘Huang Ama’, semuanya langsung terdiam.

“Sebutan Huang Ama itu harus diganti mulai sekarang,” Meng Dan mengingatkan.

Ziwei mendesah, “Tapi sebutan itu sudah begitu mendarah daging bagi kami.”

“Kusarankan agar waktu kita menyebut beliau, kita menggantinya dengan istilah lain,” usul Erkang.

Ziwei berpikir sejenak. “Begini saja. Kaisar kan Naga. Sikap beliau kepada kita sekarang mencerminkan naga yang sedang tidur. Kita sebut saja dia ‘Naga Tidur’. Sedang Istana itu, kita sebut saja sebagai ‘Kota Kenangan’!”

“Begitu lebih bagus!” puji Xiao Jian. “Ada sebuah Kota Kenangan. Di dalamnya tinggallah Naga mengantuk…”

Derai tawa pun kembali bergema ke seluruh ruangan.

***

Mereka kembali ke dalam rumah dan membicarakan rute pelarian. Semula diusulkan agar mereka terbagi dalam dua kelompok. Meng Dan dan Hanxiang tetap melarikan diri secara terpisah.

Tapi semuanya tak mau berpisah-pisah. Maka jadilah rombongan pelarian ini terdiri dari delapan orang: Erkang, Yongqi, Ziwei, Xiao Yanzi, Jinshuo, Liu Qing, Liu Hong dan Xiao Jian.

Xiao Jian mengusulkan mereka ke Dataran Tinggi Yunnan yang jauh di selatan. Sepanjang jalan menuju tempat itu ada gunung dan sungai sehingga mudah dijadikan tempat persembunyian jika dikejar tentara.

Semuanya akhirnya mengambil keputusan untuk memberangkatkan Meng Dan-Hanxiang lebih dulu.

Wajah Hanxiang langsung sedih begitu mengetahui dia dan Meng Dan akan berpisah dari yang lainnya. Xiao Yanzi meraih tangan Hanxiang dan Meng Dan lalu berkata sepenuh hati, “Guru! Hanxiang! Muridmu ini tak punya apa-apa untuk diberikan pada kalian! Tapi sebelum berangkat, kalian menikahlah disini! Diiringi doa restu kami semua!”

“Usul Xiao Yanzi bagus sekali. Setelah kita semua lepas dari hukuman dan sebelum berpisah, sebuah pernikahan sederhana pasti bisa menghibur kita semua!” Erkang berkata tulus.

Ziwei menyambung, “Aku tahu dalam pernikahan muslim harus dihadiri penghulu. Tapi berhuung di sini tak ada penghulu, kalian ikuti saja adapt setempat.”

Meng Dan dan Hanxiang saling berpandangan dengan bahagia.

Malamnya, Meng Dan dan Hanxiang melaksanakan upacara pernikahan disaksikan Xiao Yanzi dan kawan-kawan. Xiao Jian, Xiao Yanzi, Yongqi, Erkang dan Ziwei membentuk sebuah grup musik sederhana yang memainkan alat musik. Dibimbing Jinshuo dan Liu Hong, Meng Dan dan Hanxiang memberi hormat di tengah-tengah suara musik yang ceria. Lao Ou dan istrinya menjadi tamu kehormatan.

Sebuah kamar sederhana di rumah Lao Ou disulap menjadi kamar pengantin. Hanxiang sangat cantik. Dia dan Meng Dan minum arak upacara sambil malu-malu. Yang lainnya sorak-sorai memberi selamat.

“Selamat! Selamat! Guru! Istri Guru! Terimalah sujud dari muridmu!” Xiao Yanzi berlutut di hadapan keduanya.

Meng Dan segera mengulurkan tangan. Katanya terharu, “Murid ini telah mengantar kami hingga kamar pengantin. Dia hampir kehiangan nyawanya dan mengajak yang lainnya berani menentang bahaya. Rasa terima kasih ini tak terlukisakan dengan kata-kata! Mana bisa kami menerima hormatu lagi? Terima kasih, Xiao Yanzi! Terima kasih saudara-saudariku sekalian!”

Hanxiang ikut bangkit. Dia memberi mereka hormat sambil berlinang air mata bahagia. “Begitu banyak bantuan yang telah kalian berikan. Tapi kami hanya bisa membalas dengan ucapan terima kasih saja.”

Keharuan menyelimuti hati Hanxiang dan Meng Dan. Erkang lalu berkata penuh pengertian, “Baiklah! Semua yang tidak berkepentingan, harap keluar dari kamar pengantin!”

Erkang dan yang lainnya pun keluar sambil cekikikan.

***

Keesokan harinya, mereka menganta kepergian Hanxiang-Meng Dan di sebuah padang rumput.

Kereta kuda pasangan pengantin baru itu penuh wewangian. Mereka memang menyamar sebaga pedagang wewangian. Ini juga untuk menjaga kalau-kalau wangi tubuh Hanxiang kembali lagi.

“Mau mengantar sampai dimanapun, toh akhirnya berpisah juga! Kita berpisah di sini saja!” ujar Erkang.

Para gadis memeluk Hanxiang.

“Hanxiang, berat sekali mesti berpisah darimu. Jaga dirimu, ya!” kata Ziwei.

“Kalian juga! Berhati-hatilah dan jaga kepala kalian baik-baik!”

Meng Dan membantu Hanxiang naik ke atas kereta. Setelah itu para laki-laki menyoja Meng Dan untuk mengucapkan salam perpisahan.

“Sampai bertemu lagi!”

“Jaga diri kalian. Sampai bertemu lagi!”

Tali kekang dihela Meng Dan. Hanxiang menjulurkan kepala dari jendela sambil melambai-lambaikan saputangan. “Selamat tinggal… selamat tinggal…!”

Yang lainnya berdiri di padang rumput, menyaksikan kereta yang semakin menjauh.

“Kisah tentang Hanxiang berakhir untuk sementara…,” Ziwei berkata.

“Dan kita akan memulai kisah yang baru,” sambung Erkang.

Xiao Yanzi yang sebenarnya merasa sedih karena perpisahan ini, memaksakan diri tertawa. “Aku tak boleh menangisi perpisahan ini!” katanya. “Aku mau mengerjakan sesuatu!” Gadis itu pun bergegas pergi.

“Xiao Yanzi! Kau mau kemana?”teriak Yongqi.

Melihat kepergian kedua orang itu, Liu Qing merasa waswas. “Amankah mereka berdua pergi begitu saja? Perlukah aku mendampingi mereka?”

Xiao Jian menjawab penuh pengertian, “Tidak perlu! Biarkan saja mereka berjalan-jalan sejenak untuk menghibur diri.”

***

Dalam sekejap, Xiao Yanzi telah berlari memasuki hutan.

Yongqi mengejar di belakangnya. “Jangan pergi sembarangan! Nanti kita tersesat! Kita kan belum mengenal desa ini!”

“Pokoknya kita ikuti saja jalan setapak hutan ini! Tak mungkin bakal tesesat! Kau jangan selalu takut ini-itu, ah!”

Sekonyong-konyong, Xiao Yanzi tersadar kalau mereka tengah berada di tengah pepohonan yang dipenuhi buah kesemek ranum dan masak. Xiao Yanzi berteiak gembira,

“Wah! Banyak sekali kesemek! Sudah masak dan besar-besar! Aku akan memetik dan membagikannya pada semua orang di rumah Lao Ou!”

“Jangan!” cegah Yongqi. “Kelihatannya ini kebun buah. Mungkin ada yang punya!”

“Ah! Mana ada yang punya? Tak ada orang lain di sini selain kita! Aku akan memanjat dan memetik kesemek. Kau tunggu saja di bawah! Kalau nanti ada pemiliknya datang, beri saja dia uang! Beres kan?”

“Permisi! Permisi!” Yongqi berseru-seru. “Apa ada orang? Kami mau beli kesemek!”

Sekeliling mereka sepi. Xiao Yanzi mulai tidak sabar. “Kalau kau sesopan ini, janga-jangan kita bisa tidak makan apa-apa! Kuajari kau untuk bertahan hidup! Kalau pemiliknya datang, kita bayar saja! Tapi kalau tidak ada, ya sudah! Sikat saja!”

Xiao Yanzi mulai memanjatdan memetik kesemek. Dia begitu girang dan melempar kesemek satu-persatu ke bawah. Yongqi menadahnya dengan rompi bajunya.

Kesemek-kesemek itu berjatuhan dengan berisik. Yongqi sibuk memungutnya. Tiba-tiba, terdengar seruan seseorang,

“Maling! Pencuri! Ternyata kalian mencuri kesemekku! Hei saudara semua! Kemari! Bantu aku menangkap pencuri!”

Sekonyong-konyong muncullah seorang petani disusul beberapa pria berbadan kekar berlari-lari. Masing-masing membawa tongkat.

“Maling! Pencuri! Hajar! Hajar!”

“Jangan! Jangan!” pekik Yongqi. “Kami bukan pencuri! Kami hendak membeli kesemek! Kami tadi sudah berteriak permisi. Tapi tak ada orang yang menyahut. Jadi kami pun memetik sendiri. Coba hitung berapa semua, biar kubayar!”

Petani yang pertama kali berteriak tadi mendekat. “Masih tidak mau mengaku pencuri?!
Hajar saja!”

Xiao Yanzi yang sudah turun dari pohon langsung berteriak lantang. “Kalian bilang kami maling, sedang kalian sendiri pasti bandit! Kami kan sudah bilang mau bayar, habis perkara! Hitung saja berapa semua! Mau permasalahkan apa lagi?”

Yongqi lekas-lekas memberi senyum kompromi. “Kami pasti bayar. Kami beli semuanya. Tolong dihitung berapa harganya?”

Petani itu mulai menghitung kesemeknya. “Baiklah! Anggap saja semuanya seharga lima sen!”

“Apa??? Lima sen? Kalian ini pemeras ya?” Xiao Yanzi berteriak. “Paling mahal semua kesemek ini cuma satu sen!”

Mendengar perkataan Xiao Yanzi, para petani langsung mengangkat tongkat dan menggeram.

Yongqi berusaha mendamaikan. “Kalau harganya lima sen, ya sudah, tak usah ribut lagi!”

Yongqi merogoh-rogoh pakaiannya tapi tidak menemukan pundit uangnya.

“Gawat! Pundit uangnya ketinggalan. Xiao Yanzi, kau bawa uang?”

Xiao Yanzi memebelalakkan mata. Dia langsung saja mengambil langkah seribu sambil berteriak, “Yongqi! Lariiiiiiii!!!!!”

Tak ada pilihan lain bagi Yongqi selain ikut berlari. Para petani marah besar.

“Kurang ajar! Pencuri! Maling! Tangkap mereka! Tangkap!”

Yongqi masih ingin tinggal dan menjelaskan baik-baik. Tapi sebelum niat itu terlaksana, sekonyong-konyong terdengar gonggongan anjing. Beberapa ekor anjing dilepas ke arahnya dan Xiao Yanzi..

Sial! Jerit Xiao Yanzi dalam hati. Dia menoleh pada Yongqi. “Lari! Kita lari saja!”

Anjing-anjing itu nyaris menyusul mereka. Xiao Yanzi berlari kencang hingga tidak memperhatikan lagi apa yang ada di depannya. Tiba-tiba, kakinya sudah menginjak udara kosong dan tubuhnya terjatuh ke sebuah lereng berguling-guling hingga ke bawah.

“Xiao Yanzi!” teriak Yongqi kaget.

Xiao Yanzi terguling jatuh dan tercebur ke sebuah tambak. Dia melolong minta tolong. Dan air bercipratan ke segala penjuru.

***

Xiao Yanzi yang basah kuyup, dengan rambut kusut masai dan sekujur badan kotor, tiba di rumah Lao Ou sambil mengomel - tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya.

“Liu Qing! Liu Hong! Lekas bantu aku! Ada sekelompok bandit yang melepas anjing untuk menggigitku!”

Nyonya Ou langsung batuk-batuk keras. Yang lainnya juga batuk-batuk. Xiao Yanzi langsung menghentikan langkah dan melotot melihat pemandangan di depannya.

Rupanya, selama mereka pergi mengantar kepergian Hanxiang-Meng Dan tadi, rumah Lao Ou kedatangan tentara lagi. Mereka datang untuk minum arak Nyonya Ou lagi. Yongqi yang berjalan di belakang Xiao Yanzi langsung salah tingkah dan menundukkan wajah.

Erkang langsung mengambil inisiatif. Dia berteriak pada Xiao Yanzi, “Shaniu – Gadis Bodoh! Kau berulah apa lagi?”

Nyonya Ou cepat-cepat menyambung, “Shaniu ini…,” dia memberi isyaratkepada para tentara, “Otaknya agak miring. Waktu kecil pernah demam tinggi sampai otaknya terganggu…”

Xiao Yanzi mengerti. Tiba-tiba dia terduduk di tanah sambil menangis menjerit-jerit. “Ibuuuuuu! Ayaaaaah……!!! Xiao Huzi itu menggangguku lagi! Dia merebut kesemek-kesemekku! Lalu, melepas anjing untuk menggigtku!”

Yongqi tidak mampu mengimbangi sandiwara Xiao Yanzi. Dia tak menyadari kalau dialah yang dimaksud Xiao Huzi. Sambil terus menundukkan wajah, dia berkata sembarangan, “Bibi! Kukembalikan Shaniu padamu. Aku pamit dulu!”

Salah seorang tentara berteriak. “Berhenti! Kau kesini dulu!”

Tentara itu membalik gambar yang dipegangnya untuk dipakai sebagai perbandingan. Melihat gelagat itu Xiao Yanzi langsung maju dan menyambar gambar itu.

“Kesemekku! Kau yang merebut kesemekku!”

Tentara-tentara itu berhamburan. “Kesemek apa? Dimana ada kesemek?”

Xiao Yanzi menyobek kertas itu. sebagian dimasukkan ke mulut lalu dikunyah dan ditelannya.

Tentara itu membentak. “Hei! Kenapa gambar itu kau telan?”

Yongqi mengambil kesempatan itu untuk menyelinap.

Erkang mencengkeram kerah baju Xiao Yanzi. “Ayo! Minta maaf pada mereka semua! Kebiasaan jelekmu itu kenapa tidak bisa sembuh, ya? Begitu melihat kertas pasti dimakan!”

Xiao Jian ikut menyela. “Kita kurung saja dia! Kalau tidak, seharian bisa menyusahkan!”

Erkang dan Xiao Jian pun menyeret Xiao Yanzi ke dalam rumah.

Para tentara itu merasa ada yang tidak beres. Tapi penampilan Xiao Yanzi yang kotor dan sinting itu sama sekali tak mirip Putri Huanzhu. Mereka tak curiga ada sandiwara dan terus saja menikmati arak. Setelah puas, mereka pun meninggalkan rumah Lao Ou.

Begitu Xiao Yanzi selesai membersihkan diri, Yongqi telah kembali ke rumah. Wajahnya masam. Dia berjalan ke sebuah pojok. Meneyndiri.

Melihatnya, Xiao Yanzi segera menghampiri. Didorongnya Yongqi. “Kenapa kau jadi aneh begitu? Apa yang sedang kau pikirkan?”

“Aku sedang memikirkan… Kota Kenangan!” jawab Yongqi. “Entah Huang Ama sedang memikirkan kita? Apakah dia masih marah?”

“Kau jangan menyebut-nyebut naga tidur itu lagi! Kita semua sudah dibuat sengsara olehnya!”

Tatapn Yongqi mengeras. “Xiao Yanzi, mari kita buat kesepakatan! Lain kali tak usah mengubah pendapatku tentang Huang Ama! Aku tak bisa menyebut Beliau dengan segala julukan yang kurang hormat itu! kau juga jangan seenaknya memanggil Beliau Naga Tidu! Satu lagi, aku tak meyukai kebiasaan jelekmu! Bisakah kau tidak mencuri atau menipu? Mencuri kesemek seperti tadi bukan tindakan terhormat! Orang meneriaki kita maling dan melepas anjing – memalukan sekali!”

Mimik Xiao Yanzi juga berubah. “Nah, sifat pangeranmu muncul lagi! Kalau kau tak sanggup berpisah dari Kota Kenangan, ya sudah! Kembali saja kau! Kau pernah bilang rela berubah demi aku tapi ternyata semua itu bohong belaka!”

Yongqi serta-merta merasa menyesal. “Jangan marah… Adat lamaku kambuh lagi.” Yongqi memaksakan diri tersenyum. “Semalam aku kurang tidur, ditambah peristiwa tadi. Hatiku jadi uring-uringan. Aku tak bermaksud ketus padamu…”

Hati Xiao Yanzi melunak. “Aku tahu. Beberapa malam ini kau dan Erkang tidur di lantai. Kalian belum pernah mengalami hal semacam ini…” katanya dengan lembut. “Lain kali aku tak akan mencuri kesemek lagi. Tadi juga aku sudah dibuat takut oleh anjing-anjing itu… Lain kali aku juga tak akan menyebut Naga Tidur lagi. Aku akan menjulukinya Tuan Besar saja. Bisa, kan?”

Getaran cinta menembus lubuk hati Yongqi. Digenggamnya tangan Xiao Yanzi. Mereka bertatapan. Kekesalan hati lenyap begitu saja, tenggelqm dalam gurat senyum keduanya.

***

Malamnya, Xiao Jian, Liu Qing dan Liu Hong mengambil kereta dan perbekalan yang ketinggalan di Gang Mao’er.

Rupanya, sekembalinya dari sana, Fulun dan Fuqin juga ikut bersama mereka. Ayah-Ibu Erkang itu menyamar. Erkang dan Ziwei kaget sekaligus gembira.

Kedatangan kedua orang tua itu untuk menyampaikan salam perpisahan. Sekaligus memberitahukan keadaan di istana. Selir Ling dan Qing’er lolos dari bahaya. Begitu juga dengan dayang dan kasim di Paviliun Shuofang.

Setelah acara perpisahan dengan kedua orang tuanya yang mengharukan itu, keesokan harinya Erkang ikut rombongan bersiap berangkat.

Lao Ou dan istrinya mengantar mereka semua.

“Jaga diri kalian!”

“Kalian juga. Berhati-hatilah pada tentara-tentara itu!”

“Kami tahu! Kalian waspadalah!”

Akhirnya rombongan itu berangkat. Kota Beijing tertinggal di belakang. Begitu juga dengan istana, gelar Putri, Pangeran, kini semuanya telah menjadi bagian masa lalu.

***

Xiao Yanzi dan kawan-kawan telah menghilang selama berhari-hari. Para prajurit yang ditugaskan mencari, tak kunjung menemukan satupun dari mereka!

Di istananya, Qianlong masih marah. Terlebih dia geram karena anak-anak itu belum berhasil ditemukan.

“Kalian harus memperhatikan iring-iringan berkuda. Mereka pasti akan menempuh perjalanan panjang. Jadi pasti memerlukan kuda dan kereta. Mereka juga tak mungkin berpencar. Semuanya begitu setia kawan dan tak dapat berpisah satu sama lain!”

Qianlong menginstruksikan para pejabat. “Menurut perkiraanku, mereka tak mungkin ke Tibet untuk mencari perlindungan dari Ertai. Atau ke Xinjiang bersama Selir Xiang menemui Ali Hoja. Kemungkinan bersar mereka menuju selatan. Jadi kalian mesti mencari mereka ke jalan menuju selatan: Suzhou, Yangzhou, Hangzhou!”

“Daulat, Yang Mulia!”

“Ingat! Aku menginginkan mereka hidup-hidup! Menghadapi mereka, kalian tak hanya harus beradu kungfu, tapi juga harus beradu taktik. Kalau sudah menemukan jejak mereka, jangan sampai membuat mereka kaget. Tindakan kalian juga tak boleh mencolok sehingga membuat warga resah. Mengerti?”

“Hamba mengerti, Yang Mulia!”

Setelah para pejabat undur diri, Qianlong merenung. Digetaknya gigi.

“Mau lari kemana kalian? Akan kutangkap kalian semua!”

***

Setelah beberapa hari dalam perjalanan, rombongan Xiao Yanzi dan kawan-kawan berhenti di dusun Chengyi.

Hari itu mereka terpaksa menginap di penginapan. Beberapa hari sebelumnya mereka lebih memilih menginap di rumah penduduk. Penginapan lebih mudah digerebek tentara. Tapi hari itu mereka tak menemukan rumah penduduk lain yang layak diinapi.

Pada saat mereka tengah mengobrol sambil menurunkan koper-koper, Xiao Yanzi melihat banyak orang yang berlari-lari ke satu arah. Sifat ingin tahunya muncul. Dia menghentikan salah seorang untuk ditanyai.

“Ada ada sampai kau dan orang-orang itu tergesa-gesa?”

“Kalian ini pendatang, ya?”

“Benar. Apa ada gadis yang mencari jodoh dengan melempar bola bersulam lagi?”

“Melempar bola untuk mencari jodoh? Bukan itu! sekarang ini ada wanita yang akan dibakar!”

“Haaa? Orang dibakar?”

Yang lainnya segera menghampiri Xiao Yanzi karena penasaran.

“Apakah benar ada yang seperti itu? Kenapa dia hendak dibakar?”

“Wanita itu bernama Xuxu. Dia belum menikah tapi sudah hamil. Adat di sini membakar wanita yang tidak bisa menjaga kesuciannya seperti Xuxu. Jadi sekarang dia tengah menunggu dibakar.”

“Apa? Hamil diluar nikah lalu dibakar hidup-hidup? Sebenarnya itu adapt atau perbuatan biadab?” Ziwei terhenyak. Dia teringat pada ibunya sendiri.

Xiao Yanzi akhirnya mengikuti orang itu. “Aku mau pergi lihat!”

“Aku juga!” sambung Liu Qing.

Erkang berkata pada Xiao Jian, “Pergilah kalian! Aku akan menitipkan koper-koper pada pelayan lalu menyusul kalian!”

***

Di sebuah tanah lapang, orang-orang berkerumun. Di tengah-tengah mereka tampak seorang wanita bernama Xuxu itu terikat pada sebatang pohon. Di sekeliling kakinya ditumpuk kayu bakar.

Gadis itu cantik. Usianya delapan atau sembilan belas tahun. Meski dia diam tak bergerak, sorot matanya tetap memancarkan ketakutan.

Seorang tetua berdiri di dekatnya. Di belakangnya, beberapa pemuda kekar mengacungkan obor menunggu aba-aba.

Orang-orang yang berdesakan mulai berteriak penuh emosi.

“Bakar! Perempuan tak tahu malu! Bakar!”

Xiao Yanzi dan kawan-kawan telah tiba di lokasi eksekusi. Pada saat massa riuh rendah menyerukan pembakaran, seorang wanita paruh baya muncul tetatih-tatih.

“Jangan bakar putriku! Saudara-saudara sedesa, kumohon kalian mengampuninya! Aku seorang janda, hanya anak ini satu-satunya kupunya!”

“Tak perlu diampuni! Dia telah merusak reputasi desa kita! Bakar dia!” teiak massa.

Sang tetua mengulurkan tangan hingga massa tediam. Dia berseru lantang,

“Gadis bernama Xuxu ini tak dapat menjaga kesuciannya! Dia hamil di luar nikah dan mempermalukan desa kita! Sekarang dia harus menerima hukuman! nyalakan api!”

Xiao Yanzi tak bisa tinggal diam. Dia langsung melesat ke tengah dan berteriak keras, “Tunggu! Ini menyangkut nyawa orang! Xuxu ini hamil, kenapa harus dibakar hidup-hidup? Kalau dia harus dibakar, lalu mana laki-laki yang menghamilinya?”

Xiao Yanzi memandang berkeliling. “Mana lelaki brengsek itu? Keluar kau! Kekasihmu akan dibakar, kenapa kau tak segera menampakkan diri? yang menciptkan masalah ini kan dua orang – kenapa yang dibakar Cuma satu?”

Massa geger. Mereka balas berteriak sambil mengepalkan tinju ke arah Xiao Yanzi. “Siapa kau? Apa urusanmu? Tak usah ikut campur urusan kami!”

Sang Tetua menghampiri Xiao Yanzi. “Kau orang luar. Jangan mencampuri urusan desa kami. Minggirlah. Masing-masing tempat punya peraturan senndiri. Xuxu ini telah melanggar peraturan desa ini dan pantas dihumum mati.”

Melihat kesempatan ditolong, Ibu Xuxu pun berseru-seru. “Para saudara sedesa, tolonglah… Putriku ini pasti diperkosa. Hal ini bukan karena kemauannya sendiri! Xuxu, lekaslah bicara. Siapa laki-laki itu?”

Sang Tetua memandang Xuxu. ”Xuxu! Lekas katakan. Apa kau benar dipaksa?”

Xuxu menengadahkan kepala. Tak disangka berkata angkuh. “Siapa bilang aku dipaksa? Aku melakukannya dengan sukarela kok! Kalau memang harus mati ya mati saja!”

”Xuxu! Kenapa kau begitu?” jerit ibunya. “Siapa laki-laki itu? kalau kau mati, bagaimana dengan ibumu ini?”

Erkang maju dan berdiri di samping Xiao Yanzi. “Anda-anda sekalian… Kami para pendatang ini terpaksa ikut campur masalah ini. Nona Xuxu ini pasti menyembunyikan sesuatu. Dia begitu melindungi jati diri si pria. Jadi, ampunilah dia dari hukuman mati. Kalau ingin dihukum, hukumlah dua-duanya. Kenapa kalian tidak berlapang dada saja dan menerima kehidupan baru yang dianugerahkan Tuhan? Supaya kesedihan ini berubah menjadi kebahagiaan. Kebencian berubah menjadi kedamaian…”

Xiao Yanzi yang tidak paham kalimat terakhir Erkang. tapi dia berteriak antusias, “Benar! Agar otak encer jadi kanji! Agar otak encer jadi kanji!”

Massa semakin emosi dan berteriak-teriak. “Tak usah memedulikan mereka! Hajar saja! Hajar!”

Sekelompok pria muncul sambil membawa pentungan kayu. Mereka bermaksud memukul Erkang dan Xiao Yanzi.

Liu Qing bergegas maju dan berteriak, “Siapa yang berani memukul mereka, akan kukuliti!”

Massa semakin tenggelam dalam kemarahan. “Bakar dulu wanita jalang itu baru kita urus mereka! Bakar! Bakar!”

Beberapa orang mulai menyulut api. Ibu Xuxu menjerit pilu. “Xuxu! Xuxu!”

Tepat saat itu Xiao Jian telah melompat ke pohon tempat Xuxu diikat. Terdengar suara gaduh. Kayu-kayu yang telah terbakar berhamburan. Yongqi dengan sigap melompat dan mencengkeram Xuxu, membawanya keluar dari kepulan asap.

Massa langsung heboh berteriak-teriak. “Kejar! Kejar! Jangan sampai mereka lari!”

Sekonyong-konyong, muncullah seorang pemuda tampan berseru memelas. “Bakar aku saja! Janin dalam rahim Xuxu itu anakku!”

Sang Tetua langsung gemetar dan pucat-pasi. Yang berteriak itu adalah putranya!
“Kau bilang itu anakmu???”

Pemuda itu berlutu di hadapan Tetua seraya berkata sambil menangis. “Ayah…, kau seharusnya membakar putramu…”

Semua yang hadir langsung terdiam. Mereka terbelalak menatap pemuda itu.

“Aku dan Xuxu saling mencintai,” isak pemuda itu. “Tapi ayah memaksaku menikahi gadis lain. Aku sudah bilang tidak mau… Akulah yang telah mempermalukan desa Chengyi ini. Jadi kalau mau dibakar, biarlah aku dan Xuxu mati bersama!”

Pemuda itu merangkak ke arah Xuxu.

“Xuxu! Maafkan aku! Maafkan aku yang pengecut ini…”

Xuxu menangis. Dia berlari lalu memeluk pemuda itu erat-erat tanpa memedulikan orang-orang.

Menyaksikan hal ini Erkang jadi terharu. Dia berjalan mendekati sang Tetua, menyoja dan berkata, “Selamat! Daripada pasangan yang saling mencintai ini dihukum bakar, lebih baik restui saja mereka! Ini ada sedikit hadiah dari kami, para tami yang tak diundang,” Erkang merogoh pundit uangnya dan mengelurkan setael perak. “Kami sarankan Anda untuk segera menikahkan mereka!”

Erkang meletakkan tael itu ke tangan Tetua sampai orang tua itu menganga.

Massa berdiri mematung. Suasana senyap.

Ibu gadis itu langsung berlutut di hadapan Erkang dan lain-lainnya. “Pahlawan! Dewa-dewi penyelamat kami, terima kasih! Terima kasih banyak!”

Sang Tetua mendesah. Dia membantu wanita itu bangkit berdiri. Setelahnya dia berkata, “Kita… langsungkan saja pernikahan mereka, ya?”

Xiao Yanzi melihat semuanya dengan berjingkrak-jingkrak gembira.

“Agar otak encer mengental jadi kanji! Agar otak encer mengental jadi kanji!”


Bersambung

BACA JUGA SINOPSIS LAINNYA



0 comments:

Post a Comment


Friend Link List