Do you like this story?
Jin-ho kesal pada dirinya karena peduli dengan orang yang terus memanggilnya GAY. Kae-in semalaman tidur di ruang tamu. Ia terbangun dengan kepala pusing karena mabuk tadi malam. Kae-in lalu ingat kejadian tadi malam saat ia membeberkan rahasia Jin-ho didepan banyak orang.
“Dia pasti tidak akan melepaskan saya. Aduh perutku... sakit sekali” gumam Kae-in.
Tiba-tiba perut Kae-in sakit, Kae-in segera pergi ke kamar mandi. Tapi tiba-tiba Jin-ho keluar dari kamarnya, Kae-in pura-pura tidur di lantai. Jin-ho heran kenapa Kae-in pindah tidurnya, ia menggerak-gerakkan tubuh Kae-in dengan kakinya. Tapi Kae-in tetap tidak bangun, Jin-ho akhirnya pergi kerja. Kae-in terbangun ia lega akhirnya Jin-ho pergi, ia lalu pergi ke kamar mandi lagi. Saat di kamar mandi, tiba-tiba Jin-ho membuka jendela kamar mandi. Kae-in kaget, Jin-ho tanya apa Kae-in tidak ingin bicara sesuatu padanya. Kae-in pura-pura bingung, ia tanya apa kemarin ia melakukan sesuatu yang salah.
“Karena saya kemarin banyak minum makanya saya tidak terkontrol, jadi... tapi saya bukan orang yang bisa sembarangan” kata Kae-in ketakutan.
“Tidak akan sembarangan?” kata Jin-ho tak percaya.
Kae-in lalu pura-pura perutnya sakit, ia minta Jin-ho pergi saja dan kemudian menutup jendela lagi.
Tiba-tiba perut Kae-in sakit, Kae-in segera pergi ke kamar mandi. Tapi tiba-tiba Jin-ho keluar dari kamarnya, Kae-in pura-pura tidur di lantai. Jin-ho heran kenapa Kae-in pindah tidurnya, ia menggerak-gerakkan tubuh Kae-in dengan kakinya. Tapi Kae-in tetap tidak bangun, Jin-ho akhirnya pergi kerja. Kae-in terbangun ia lega akhirnya Jin-ho pergi, ia lalu pergi ke kamar mandi lagi. Saat di kamar mandi, tiba-tiba Jin-ho membuka jendela kamar mandi. Kae-in kaget, Jin-ho tanya apa Kae-in tidak ingin bicara sesuatu padanya. Kae-in pura-pura bingung, ia tanya apa kemarin ia melakukan sesuatu yang salah.
“Karena saya kemarin banyak minum makanya saya tidak terkontrol, jadi... tapi saya bukan orang yang bisa sembarangan” kata Kae-in ketakutan.
“Tidak akan sembarangan?” kata Jin-ho tak percaya.
Kae-in lalu pura-pura perutnya sakit, ia minta Jin-ho pergi saja dan kemudian menutup jendela lagi.
Jin-ho pergi melihat lokasi proyek museum dengan Sang-joon. Sang-joon menjelaskan apa-apa saja yang berada di sekitar lokasi proyek itu. Jin-ho melihat lokasi proyek, kemudian tangannya bergerak-gerak di udara seperti menggambar sesuatu (keren oi...seandainya aku seperti itu). Sang-joon heran tapi ia tidak mau mengganggu Jin-ho, ia terus menerangkan tentang lokasi proyek. Tapi Jin-ho tiba-tiba ingat kelakuan Kae-in, ia jadi kehilangan konsentrasi. Jin-ho mengeluh hubungannya dengan Kae-in, Sang-joon malah senang karena Kae-in sepertinya perhatian pada Jin-ho. Jin-ho kesal kemudian mau pulang, tapi saat berbalik ia berpapasan dengan ayah Chang-ryul. Ayah Chang-ryul menyindir Jin-ho yang serius seperti ayahnya.
Kemudaian ia berkata “Kamu pasti menyangka ayahmu jadi begini karena saya tapi ayahmu lah yang putuskan sendiri mau usaha sendiri. Lakukan sesuatu hal, maka hasilnya akan ketahuan. Bukankah begitu?”.
Jin-ho kesal, ia membalas bahwa ayahnya selama ini terus percaya, tapi ia dihianati oleh temannya sendiri.
Ayah Chang-ryul menasehati “Kalau kamu terus hidup dalam masa lalu, kamu tidak akan dapat melakukan hal besar. Jadi kamu harus temukan masalah yang sesuai dengan kemampuanmu”.
Ayah Chang-ryul menasehati “Kalau kamu terus hidup dalam masa lalu, kamu tidak akan dapat melakukan hal besar. Jadi kamu harus temukan masalah yang sesuai dengan kemampuanmu”.
Jin-ho hanya tersenyum kemudian pergi dari sana.
In-hae datang ke kantor Jin-ho. Ia berpapasan dengan Hye-mi, dan mereka saling melirik. Ternyata mereka memakai tas yang sama, Hye-mi tersenyum dan dengan angkuh berkata bahwa sepertinya tas itu belakangan ini cukup terkenal. In-hae membenarkan, Hye-mi kesal hingga hampir jatuh saat bejalan. In-hae menolongnya, Hye-mi tanya siapa In-hae sebenarnya karena ia baru pertama kali bertemu dengannya disana. In-hae berkata ia datang untuk mencari Jin-ho, ia juga tanya apa Hye-mi kerja disana. Hye-mi tersenyum, ia menyombongkan diri dengan berkata bahwa ia adalah tunangan dan calon istrinya Jin-ho. In-hae kaget, Hye-mi dengan angkuh meninggalkan In-hae masuk ke kantor.
Didalam kantor, Tae-hoon senang melihat Hye-mi lagi tapi ia juga heran melihat In-hae di sana. Jin-ho dan Sang-joon tiba di kantor. Hye-mi langsung menyambut Jin-ho dengan hangat. Tapi Jin-ho tak membalasnya, ia malah memberi salam pada In-hae. Hye-mi kesal, ia lalu merangkul tangan Jin-ho. Jin-ho kesal dan melepaskan tangannya, ia tanya apa yang dilakukan Hye-mi disana. Hye-mi berkata kalau ia datang membawakan vitamin Jin-ho karena ibunya khawatir.
Hye-mi melirik In-hae dan berkata “Calon istri tidak dapat bawakan untukmu, lalu siapa lagi yang bisa bawakan”.Jin-ho tak menanggapi, dan malah menyilahkan In-hae masuk ke ruangannya.
Di dalam ruangnya Jin-ho tanya In-hae ada urusan apa datang ke kantornya. In-hae mengambil sebuah undangan dari dalam tasnya dan berkata bahwa itu adalah undangan dari perusahaannya. Ia juga menjelaskan jika Jin-ho datang ke acara itu, ia bisa bertemu dengan arsitek-arsitek terkenal. Hye-mi yang kesal terus mengintip mereka berdua dan Tae-hoon menemaninya. Jin-hoo sangat berterima kasih atas itu, ia berkata sebetulnya dikirim lewat kurir kan bisa tapi kenapa In-hae malah bersusah-susah datang kesana. In-hae beralasan kemarin ia juga telah menyusahkan Jin-ho, sehingga harus datang memberi salam. Jin-ho berkata itu tidak perlu. Tiba-tiba telepon In-hae berbunyi, Jin-ho menyuruhnya mengangkat telepon itu. Tapi In-hae berkata tidak diangkat juga tidak apa-apa, ternyata telepon itu dari Chang-ryul.
Chang-ryul kesal karena In-hae tak mengangkat teleponnya. Asisten Kim mengingatkan seharusnya Chang-ryul menelepon In-hae dulu sebelum datang ke kantor In-hae. Chang-ryul kesal dan mau pergi dari sana, tapi asisten Kim mencegahnya dan berkata karena sudah datang seharusnya Chang-ryul menunggu In-hae bagaimanapun In-hae sekarang sangat penting untuk proyek selanjutnya.
Jin-ho mengantar In-hae keluar. In-hae berkata Jin-ho tak perlu mengantarnya, tapi ia juga bilang bahwa di musem nanti sore akan datang lukisan baru dan biasanya jika tidak ada janji ketua Choi akan berkeliling melihatnya. Ia juga tanya apa Jin-ho tidak tertarik melihatnya juga (ini secara tidak langsung In-hae minta diantar pulang...dasar!!). Jin-ho berpikir sebentar, kemudian setuju mengantar In-hae pulang nanti. Hye-mi keluar dengan Tae-hoon mencari Jin-ho yang tak kunjung masuk setelah mengantar keluar In-hae. Tae-hoon bilang mobil Jin-ho sudah tidak ada, Hye-mi tanya apa mungkin Jin-ho pergi dengan perempuan tadi. Tae-hoon hanya tersenyum dan bilang tidak tahu, Hye-mi kesal dan memukul kaki Tae-hoon. Ia mengingatkan apa Tae-hoon tidak mau kencan dengannya, ia minta Tae-hoon segera mencari tahu dimana Jin-ho tinggal sekarang.
Dalam perjalanan Jin-hoo hanya diam saja. In-hae kemudian membuka perbincangan dengan bertanya bagaimana dengan Sang Go-jae. Jin-ho kaget dan bertanya apa maksudnya. In-hae tanya apakah Jin-ho merasa tidak bebas tinggal di sana. Jin-ho hanya berkata lumayan.
“Kelihatannya tidur serumah dengan Kae-in, kamu tidak merasa tidak tenang” tanya In-hae.
“Jadi saya seharusnya bagaimana?” tanya Jin-ho dingin.
In-hae kaget.
“Kamu sudah kasih informasi begitu bagus. Saya merasa saya seharusnya tidak hanya bilang terima kasih” kata Jin-ho.
In-hae tersenyum dan berkata “Jadi kamu traktir saya makan saja lain kali”.
“Begitukah?” kata Jin-ho sambil tersenyum.
In-hae merasa ada yang tidak beres, tapi ia membiarkannya saja. In-hae dan Jin-ho telah sampai di Museum. Chang-ryul melihat mereka berdua, asisten Kim memanasi dan bertanya apa gara-gara ini In-hae menolak telepon Chang-ryul tadi dan sekarang mereka malah bertukar nomor telepon.
“Lain kali telepon aku” kata Jin-ho.
“Aku sudah bantu kau, jadi lain kali kalau kau berhasil sudah bukan masalah traktir makan lagi” kata In-hae berharap.
“Tentu” kata Jin-ho.
“Saya pergi dulu” kata In-hae meninggalkan Jin-ho.
“Kelihatannya tidur serumah dengan Kae-in, kamu tidak merasa tidak tenang” tanya In-hae.
“Jadi saya seharusnya bagaimana?” tanya Jin-ho dingin.
In-hae kaget.
“Kamu sudah kasih informasi begitu bagus. Saya merasa saya seharusnya tidak hanya bilang terima kasih” kata Jin-ho.
In-hae tersenyum dan berkata “Jadi kamu traktir saya makan saja lain kali”.
“Begitukah?” kata Jin-ho sambil tersenyum.
In-hae merasa ada yang tidak beres, tapi ia membiarkannya saja. In-hae dan Jin-ho telah sampai di Museum. Chang-ryul melihat mereka berdua, asisten Kim memanasi dan bertanya apa gara-gara ini In-hae menolak telepon Chang-ryul tadi dan sekarang mereka malah bertukar nomor telepon.
“Lain kali telepon aku” kata Jin-ho.
“Aku sudah bantu kau, jadi lain kali kalau kau berhasil sudah bukan masalah traktir makan lagi” kata In-hae berharap.
“Tentu” kata Jin-ho.
“Saya pergi dulu” kata In-hae meninggalkan Jin-ho.
Chang-ryul yang sedang panas meminta asisten Kim menyelidiki apa yang dilakukan Jin-ho belakangan ini.
Jin-ho di toilet museum sedang berlatih menjelaskan apa yang terjadi di warung tadi malam.
Dengan gaya serius
“Ketua, masalah kemarin adalah salah paham saya bukan begitu”.
Dengan gaya ceria
“Ketua, masalah kemarin adalah salah paham saya tidak suka lelaki”.
Dengan gaya tegas dan langsung to the point
“Saya bukan homo”.
Pada kalimat terakhir ini seseorang masuk ke toilet dan jadi takut pada Jin-ho (he..he..).
Dengan gaya serius
“Ketua, masalah kemarin adalah salah paham saya bukan begitu”.
Dengan gaya ceria
“Ketua, masalah kemarin adalah salah paham saya tidak suka lelaki”.
Dengan gaya tegas dan langsung to the point
“Saya bukan homo”.
Pada kalimat terakhir ini seseorang masuk ke toilet dan jadi takut pada Jin-ho (he..he..).
Young-soon datang ke rumah Kae-in membawa bingkisan. Young-soon berkata bingkisan itu dari ibunya. Kae-in membuka bingkisan itu dan ternyata adalah kerang, Kae-in senang sekali menerimanya.
“Ini pasti enak sekali dan segar” kata Kae-in.
Young-soon lalu berkata bahwa barang-barang Kae-in yang dulu di kembalikan sekarang sudah dipasang di tempatnya dan jika ada yang membeli ia akan menelepon Kae-in. Kae-in terharu dan berkata kalau Young-soon adalah teman yang paling baik baginya. Young-soon kemudian melihat Kae-in sedang sibuk dengan laptopnya. Ia tanya Kae-in sedang buat apa. Kae-in menjalaskan bahwa ia sedang membuat surat balasan untuk sebuah perusahaan furniture yang mau mewawancarainya. Young-soon heran ia tanya bukankah Kae-in tidak suka kerja dikantoran.
Kae-in berkata “Mau bagaimana lagi? Biaya hidup sudah tidak cukup”.
“Bagaimana dangan Jin-ho?” tanya Young-soon.
“Sudah putus asa. Sekarang itu tidak mungkin lagi” kata Kae-in memelas.
“Kenapa? Ada masalah lagi kah?” tanya Young-soon lagi. Kae-in hanya bisa menunduk sedih.
Jin-ho sedang berdiri sendiri melihat lukisan ketika ketua Choi datang. Do-bin heran melihat Jin-ho di sana. Ia menghampiri Jin-ho dan tanya ada urusan apa Jin-ho datang kesana. Jin-ho beralasan ia datang untuk melihat karya-karya di sana agar bisa lebih mengerti saat akan membuat rancangan museum nantinya. Do-bin mengajak Jin-ho bicara disuatu ruangan ia berkata kalau ia tahu kecelakaan mobilnya dulu bukanlah suatu kebetulan. Jin-ho tersenyum ia berkata akan sangat bagus bila itu hanya dianggap sebagai kesalahan anak muda saja. Do-bin akhirnya mau mengerti karena ia juga pernah muda, ia lalu berkata kalau Jin-ho sifatnya seperti temannya yang punya pacar sangat menarik. Jin-ho lalu segera mau menjelaskan kejadian kemarin. Tapi Do-bin segera bilang kalau ia tidak tertarik dengan urusan pribadi seseorang jadi Jin-ho tak perlu cemas. Ia minta Jin-ho konsentrasi pada tema rancangannya saja. Do-bin lalu pamit pergi. Jin-ho memberi hormat dan memberi saran lukisan yang harus dipasang disalah satu sudut museum itu. Do-bin terkesan dan berkata kalau ide Jin-ho lumayan juga.
Jin-ho tersenyum senang lalu ia berkata “Kalau begitu bisa pura-pura kebetulan ketemu lagi”. Jin-ho pergi, Do-bin kaget melihat sikap Jin-ho (terpesona sepertinya dia ma senyum oppaku.. hehe).
Young-soon lalu berkata bahwa barang-barang Kae-in yang dulu di kembalikan sekarang sudah dipasang di tempatnya dan jika ada yang membeli ia akan menelepon Kae-in. Kae-in terharu dan berkata kalau Young-soon adalah teman yang paling baik baginya. Young-soon kemudian melihat Kae-in sedang sibuk dengan laptopnya. Ia tanya Kae-in sedang buat apa. Kae-in menjalaskan bahwa ia sedang membuat surat balasan untuk sebuah perusahaan furniture yang mau mewawancarainya. Young-soon heran ia tanya bukankah Kae-in tidak suka kerja dikantoran.
Kae-in berkata “Mau bagaimana lagi? Biaya hidup sudah tidak cukup”.
“Bagaimana dangan Jin-ho?” tanya Young-soon.
“Sudah putus asa. Sekarang itu tidak mungkin lagi” kata Kae-in memelas.
“Kenapa? Ada masalah lagi kah?” tanya Young-soon lagi. Kae-in hanya bisa menunduk sedih.
Jin-ho sedang berdiri sendiri melihat lukisan ketika ketua Choi datang. Do-bin heran melihat Jin-ho di sana. Ia menghampiri Jin-ho dan tanya ada urusan apa Jin-ho datang kesana. Jin-ho beralasan ia datang untuk melihat karya-karya di sana agar bisa lebih mengerti saat akan membuat rancangan museum nantinya. Do-bin mengajak Jin-ho bicara disuatu ruangan ia berkata kalau ia tahu kecelakaan mobilnya dulu bukanlah suatu kebetulan. Jin-ho tersenyum ia berkata akan sangat bagus bila itu hanya dianggap sebagai kesalahan anak muda saja. Do-bin akhirnya mau mengerti karena ia juga pernah muda, ia lalu berkata kalau Jin-ho sifatnya seperti temannya yang punya pacar sangat menarik. Jin-ho lalu segera mau menjelaskan kejadian kemarin. Tapi Do-bin segera bilang kalau ia tidak tertarik dengan urusan pribadi seseorang jadi Jin-ho tak perlu cemas. Ia minta Jin-ho konsentrasi pada tema rancangannya saja. Do-bin lalu pamit pergi. Jin-ho memberi hormat dan memberi saran lukisan yang harus dipasang disalah satu sudut museum itu. Do-bin terkesan dan berkata kalau ide Jin-ho lumayan juga.
Jin-ho tersenyum senang lalu ia berkata “Kalau begitu bisa pura-pura kebetulan ketemu lagi”. Jin-ho pergi, Do-bin kaget melihat sikap Jin-ho (terpesona sepertinya dia ma senyum oppaku.. hehe).
Young-soon memarahi Kae-in.
Kae-in sedih dan tanya “Kali ini ia tidak akan melepaskan saya kan?”.
“Masalah sudah parah” kata Young-soon sambil gelaeng-geleng kepala.
Tapi tiba-tiba Young-soon ada ide ia mengajak Kae-in pergi. Young-soon mengajak Kae-in pergi ke supermarket. Ia menyuruh Kae-in merayu Jin-ho dengan masakan kemudian berdamai dengannya.
“Dia seperti batu terhadap wanita cantik walaupun saya rayu, dia juga tidak akan merasa” kata Kae-in putus asa.
Young-soon lalu melirik tubuh Kae-in dan bilang “Iya juga walaupun aku lelaki, hanya bisa anggap kamu batu juga”.
“Kamu mau matikah” kata Kae-in kesal (hehe..).
“Biarkan dia makan dulu saja tak mau?” kata Young-soon.
“Masalahnya aku tak bisa masak dan dia begitu pemilih. Saya yakin bisa lakukan dengan bagus asal saya kumpulkan dana sewa” kata Kae-in kesal.
“Kenapa kamu seharian ini ingin dia keluar? Kamu harus cari cara agar kamu yang tinggalin dia” kata Young-soon.
Kae-in jadi heran apa maksud Young-soon sebenarnya.
Jin-ho baru sampai kembali ke kantornya tapi In-hae sudah meneleponnya. Sang-hoon heran mendengarnya ia langsung minta keterangan pada Jin-ho begitu ia selesai telepon. Sang-joon bertanya apa Jin-ho sedang berusaha mengambil hati In-hae. Jin-ho menyangkalnya dan bilang kalau tadi In-hae hanya meneleponya untuk mengajak makan siang bersama besok. Sang-joon malah senang, ia memuji Jin-ho, ia berharap Jin-ho mengambil kesempatan ini untuk mendapat informasi dari In-hae.
Young-soon mengajak Kae-in ke persewaan dvd. Di sana ia memberitahu bahwa seseorang mencari teman Gay adalah agar mereka bisa jalan-jalan bersama, bisa mengerti perasaan perempuan, makan bersama dan kemudian nonton bersama. Young-soon memilih film tentang cara hidup bersama teman homo. Young-soon lalu berkata sebenarnya hidup dengan Jin-ho seharusnya baik buat Kae-in yang telah dikhianati In-hae sehingga merasa kesepian. Kae-in cukup menganggap Jin-ho sebagai dirinya. Kae-in berpikir sebentar, ia lalu mengambil sebuah dvd. Young-soon memukul Kae-in dan memarahinya. Kae-in beralasan bukankah Young-soon ingin ia membantu Jin-ho. Kae-in ingin membantu Jin-ho agar tidak menderita merahasiakan kelemahannya lagi.
Kae-in sedih dan tanya “Kali ini ia tidak akan melepaskan saya kan?”.
“Masalah sudah parah” kata Young-soon sambil gelaeng-geleng kepala.
Tapi tiba-tiba Young-soon ada ide ia mengajak Kae-in pergi. Young-soon mengajak Kae-in pergi ke supermarket. Ia menyuruh Kae-in merayu Jin-ho dengan masakan kemudian berdamai dengannya.
“Dia seperti batu terhadap wanita cantik walaupun saya rayu, dia juga tidak akan merasa” kata Kae-in putus asa.
Young-soon lalu melirik tubuh Kae-in dan bilang “Iya juga walaupun aku lelaki, hanya bisa anggap kamu batu juga”.
“Kamu mau matikah” kata Kae-in kesal (hehe..).
“Biarkan dia makan dulu saja tak mau?” kata Young-soon.
“Masalahnya aku tak bisa masak dan dia begitu pemilih. Saya yakin bisa lakukan dengan bagus asal saya kumpulkan dana sewa” kata Kae-in kesal.
“Kenapa kamu seharian ini ingin dia keluar? Kamu harus cari cara agar kamu yang tinggalin dia” kata Young-soon.
Kae-in jadi heran apa maksud Young-soon sebenarnya.
Jin-ho baru sampai kembali ke kantornya tapi In-hae sudah meneleponnya. Sang-hoon heran mendengarnya ia langsung minta keterangan pada Jin-ho begitu ia selesai telepon. Sang-joon bertanya apa Jin-ho sedang berusaha mengambil hati In-hae. Jin-ho menyangkalnya dan bilang kalau tadi In-hae hanya meneleponya untuk mengajak makan siang bersama besok. Sang-joon malah senang, ia memuji Jin-ho, ia berharap Jin-ho mengambil kesempatan ini untuk mendapat informasi dari In-hae.
Young-soon mengajak Kae-in ke persewaan dvd. Di sana ia memberitahu bahwa seseorang mencari teman Gay adalah agar mereka bisa jalan-jalan bersama, bisa mengerti perasaan perempuan, makan bersama dan kemudian nonton bersama. Young-soon memilih film tentang cara hidup bersama teman homo. Young-soon lalu berkata sebenarnya hidup dengan Jin-ho seharusnya baik buat Kae-in yang telah dikhianati In-hae sehingga merasa kesepian. Kae-in cukup menganggap Jin-ho sebagai dirinya. Kae-in berpikir sebentar, ia lalu mengambil sebuah dvd. Young-soon memukul Kae-in dan memarahinya. Kae-in beralasan bukankah Young-soon ingin ia membantu Jin-ho. Kae-in ingin membantu Jin-ho agar tidak menderita merahasiakan kelemahannya lagi.
Di kantor Jin-ho. Para karyawan sedang membahas hasil penelitian di internet tentang hadiah apa yang paling di inginkan perempuan saat natal. Dan hasilnya adalah pacar gay. Sang-hoon dan seorang karyawan laki-laki disana tertarik melihatnya. Mereka lalu membaca bersama-sama. Jin-ho yang kebetulan akan pulang melihat karyawannya berkumpul dan mendekati mereka. Pegawai perempuan membacakan bahwa perempuan tertarik jalan dengan teman gay karena bisa jalan-jalan bersama, masih bisa mengerti perasaan perempuan, bisa komunikasi dengan baik. Jin-ho kemudian ikut mendengarkannya secara diam-diam di belakang. Seorang pegawai laki-laki kemudian melanjutkan membaca “waktu pacaran, tidak akan ada tekanan batin”. Mereka semua lalu setuju dengan hasil itu. Sang-joon melirik kesebelah, ia heran Jin-ho juga ada disana.
“Katanya mau pulang?” tanya Sang-joon.
“Pulang? tentu” Kata Jin-ho.
“Apa kamu juga tertarik dengan ini?” tanya Sang-joon lagi.
“Tidak” kata Jin-ho mengelak, ia lalu menyerahkan laporan ke pegawai pria dan pergi pulang. Saat pulang ternyata di belakang mobil Jin-ho, Tae-hoon sudah siap membututinya dengan mobilnya.
Ia berkata “Hyung, maaf. Kamu tahu juga, dunia ini siapapun tidak bisa dipercaya”.
“Katanya mau pulang?” tanya Sang-joon.
“Pulang? tentu” Kata Jin-ho.
“Apa kamu juga tertarik dengan ini?” tanya Sang-joon lagi.
“Tidak” kata Jin-ho mengelak, ia lalu menyerahkan laporan ke pegawai pria dan pergi pulang. Saat pulang ternyata di belakang mobil Jin-ho, Tae-hoon sudah siap membututinya dengan mobilnya.
Ia berkata “Hyung, maaf. Kamu tahu juga, dunia ini siapapun tidak bisa dipercaya”.
Hye-mi menemani ibu Jin-ho pergi ke spa. Di sana ibu Jin-ho memuji badan Hye-mi yang bagus, dan merasa Hye-mi sekarang sudah besar. Hye-mi mengadu bahwa Jin-ho oppa masih menganggapnya anak kecil. Ibu Jin-ho menyuruh Hye-mi maklum karena Jin-ho tidak ada waktu bersama perempuan, bukan karena Hye-mi tidak cantik. Ibu Jin-ho lalu bercerita sejak ayah Jin-ho meninggal waktu ia masih sekolah, Jin-ho lalu belajar keras demi menjadi orang yang berhasil. Dan setelah kerja pun tidak pacaran demi itu. Tapi Hye-mi masih mengeluh ia berkata kalau Jin-ho bersikap dingin kepadanya. Ibu Jin-ho berkata kalau itu adalah keistimewaan anaknya. Ia bercerita lagi bahwa dulu dengan ayah Jin-ho ia lah yang mengejar-ngejarnya. Ia meyakinkan Hye-mi bahwa nanti Jin-ho juga akan luluh. Hye-mi jadi senang mendengarnya. Tapi Ibu Jin-ho kemudian berkata kalau ia cemas dengan Jin-ho sekarang, karena ia tidak tahu dimana Jin-ho tinggal sekarang. Hye-mi menenangkan ibu Jin-ho dan berkata kalau ia tidak akan lama lagi akan tahu di mana Jin-ho sekarang tinggal. Ibu Jin-ho jadi senang mendengarnya.
Tae-hoon berhasil mengikuti Jin-ho tanpa ketahuan. Sebelum masuk rumah Jin-ho teringat hasil survei tadi.
“Walaupun dapat berkomunikasi dengan baik, tapi aku tidak bisa bersama perempuan itu lagi” kata Jin-ho pada dirinya sendri.
Young-soon mencatatkan langkah-langkah yang harus Kae-in lakukan untuk memasak seafood. Kae-in berkata kalau ia tidak akan bisa mengikutinya karena ia tidak pernah melakukannya. Ia minta Young-soon membantunya, Young-soon menolaknya dengan halus dan berkata kalau ia masih ada anaknya yang harus diurus.
“Dia sudah datang” kata Kae-in ketakutan sambil bersembunyi dibelakang Young-soon begitu melihat Jin-ho datang.
“Tenang” kata Young-soon mencoba menenangkan.
Tae-hoon turun dari mobilnya dan melihat rumah Jin-ho yang baru. Ia membaca papan nama rumah itu dengan kesusahan “Sang.. Sang Go Jae”. Tae-hoon terlalu senang bisa menemukan rumah Jin-ho yang baru dan tidak sadar dengan nama Sang Go-jae, sehingga ia langsung pergi setelah tahu.
Kae-in pura-pura menyambut Jin-ho dengan sikap baik meski ia sebenarnya takut. Tapi Jin-ho malah bersikap dingin.
Young-soon berkata “Jin-ho, kau sudah datang. Kalian berdua masih belum damai kah? Aku sudah lihat surat perjanjian kalian, usia kalian tidak jauh beda jadi kalian jangan begini terus, bersikap biasa dikit lah”.
Kae-in mencoba bersikap baik dan menanyakan apakah Jin-ho sudah makan. Tapi sikap Jin-ho tidak berubah.
“Mau saya masakin kah?” kata Kae-in mencoba bersikap baik lagi.
Young-soon menasehati mereka lagi, dan menyuruh mereka duduk minum teh untuk membahas masalah mereka. Jin-ho berkata dengan dingin bahwa ia perlu waktu, ia lalu pamit masuk kamarnya.
Kae-in putus asa ia tanya pada Young-soon “Saya harus gimana lagi?”.
Young-soon menghindar dengan berkata “Saya mau pulang jaga Jun-he”.
“Kamu pergi, saya bagaimana?” kata Kae-in khawatir.
Tapi Young-soon tetap mengelak ia berkata kalau ia juga tak bisa melakukan apa-apa karena ia seorang ibu dan anaknya sedang kelaparan menunggunya.
“Kamu benar-benar mau pergi?” kata Kae-in cemas.
“Benar.. semangat” kata Young-soon.
Kae-in mencoba mencegah tapi tak bisa.
“Dasar perempuan jahat” kata Kae-in kesal.
Kae-in mendekati kamar Jin-ho. Jin-ho tiba-tiba keluar, Kae-in jadi kaget. Jin-ho berkata “Mari kita bicara?”. Kae-in masih takut kepada Jin-ho. Mereka lalu bicara tentang masalah kemarin, Kae-in terus menunduk dan berkata kalau ia tidak ingat apa-apa tentang masalah kemarin. Jin-ho berkata kalau ia yang membayar makanan kemarin. Kae-in pura-pura kaget, dan berjanji akan mengembalikan uang itu. Jin-ho lalu berkata bahwa setelah sampai rumah Kae-in meminjam uang 1 juta lagi. Awalnya Kae-in mengiyakan dan minta maaf tapi kemudian ia berkata itu tidak mungkin. Ia tertawa sendiri dan menunjuk Jin-ho mau menipunya.
Jin-ho tersenyum senang karena pancingannya tentang ingatan Kae-in berhasil.
“Kehilangan ingatan, tapi kamu masih bisa memilih ingatan” kata Jin-ho.
Kae-in hanya bisa terdiam.
“Saya bisa maafkan yang lainnya, tapi kebohongan saya tak dapat maafkan” kata Jin-ho.
Kae-in langsung memohon dikaki Jin-ho dan berkata kalau ia tidak akan melakukannya lagi.
“Kehilangan ingatan, tapi kamu masih bisa memilih ingatan” kata Jin-ho.
Kae-in hanya bisa terdiam.
“Saya bisa maafkan yang lainnya, tapi kebohongan saya tak dapat maafkan” kata Jin-ho.
Kae-in langsung memohon dikaki Jin-ho dan berkata kalau ia tidak akan melakukannya lagi.
Jin-ho akhirnya meminta Kae-in menulis surat perjanjian. Jin-ho mendikte apa yang harus di tulis dalam surat perjanjian itu.
“Saya Park Kae-in jika berkata sesutu tentang hubungan kesukaan Jeon Jin-ho maka..”.
Jin-ho menyuruh Kae-in menentukan sendiri hukuman apa yang ia akan terima jika melanggar perjanjian itu. Kae-in bertaka ia akan menggigit lidahnya sampai mati, tapi Jin-ho berkata itu tidak ada gunanya bagi Jin-ho. Kae-in bingung harus menulis apa lagi, akhirnya Jin-ho memberitahu bahwa Kae-in harus menulis ia akan melakukan apa pun yang diinginkan Jin-ho jika ia melanggar perjanjian itu. Kae-in ragu tapi Jin-ho memaksanya dengan menggenggam tangan Kae-in dan menuntunnya untuk memberikan cap tangannnya pada surat perjanjian itu.
“Ada yang ingin kamu katakan?” kata Jin-ho.
“Apa kamu sudah bisa tidak mempermasalahkan ini lagi?” tanya Kae-in.
“Sekarang iya” kata Jin-ho.
“Jadi, kamu tunggu bentar saya akan membuat makan malam sebagai bayaran uang makan kemarin” kata Kae-in sedikit kecewa.
“Saya Park Kae-in jika berkata sesutu tentang hubungan kesukaan Jeon Jin-ho maka..”.
Jin-ho menyuruh Kae-in menentukan sendiri hukuman apa yang ia akan terima jika melanggar perjanjian itu. Kae-in bertaka ia akan menggigit lidahnya sampai mati, tapi Jin-ho berkata itu tidak ada gunanya bagi Jin-ho. Kae-in bingung harus menulis apa lagi, akhirnya Jin-ho memberitahu bahwa Kae-in harus menulis ia akan melakukan apa pun yang diinginkan Jin-ho jika ia melanggar perjanjian itu. Kae-in ragu tapi Jin-ho memaksanya dengan menggenggam tangan Kae-in dan menuntunnya untuk memberikan cap tangannnya pada surat perjanjian itu.
“Ada yang ingin kamu katakan?” kata Jin-ho.
“Apa kamu sudah bisa tidak mempermasalahkan ini lagi?” tanya Kae-in.
“Sekarang iya” kata Jin-ho.
“Jadi, kamu tunggu bentar saya akan membuat makan malam sebagai bayaran uang makan kemarin” kata Kae-in sedikit kecewa.
Kae-in mencoba membuat masakan sesuai petunjuk Young-soon. Tapi ia kesusahan dalam mengeluarkan kerang dan memotong sayuran. Tangan Kae-in terus-terusan terkena pisau. Ia juga memasak dengan berantakan serta kerang yang ia masak sebagaian gosong. Ia terpaksa membuat lagi dengan sisa kerang yang hanya sedikit. Saat makan malam Jin-ho mengambil makanannya sendiri di lemari es, Kae-in tampak kesal ia menyodorkan makanan buatannya.
“Tidak tahu demi siapa, sudah sibuk seharian hingga terbakar seperti ini, aduh sakit sekali..” kata Kae-in melihat luka di jarinya.
Jin-ho tak peduli dan tetap akan makanannya sendiri. “Ini tadi tergores pisau, sangat banyak darahnya. Aduh..”. Jin-ho akhirnya memakan masakan kerang buatan Kae-in. “Bagaimana?” kata Kae-in senang. “Lumayan, tidak membuat mati orang” kata Jin-ho dingin. Kae-in tetap senang, ia melihat Jin-ho makan sampai hampir berliur. “kamu mau makankah?” kata Jin-ho tidak suka dengan gaya Kae-in melihatnya makan. “Tidak, tadi saya sudah makan banyak” kata Kae-in. “Jadi saya makan” kata Jin-ho. “Enak kah?”. “Bukankah sudah makan masa tidak tahu rasaya?”. Kae-in jadi tidak enak ia menyuruh Jin-ho menghabiskannya, ia juga berkata awalnya ia ingin makan bersama baru mendekatkan kembali hubungannya dengan Jin-ho. Tapi Jin-ho dengan dingin berkata kalau ia tidak ingin mempunyai hubungan yang dekat dengan Kae-in. Jin-ho sudah selesai makan, ia berterima kasih atas makanan Kae-in dan pergi dari sana. Tapi Kae-in malah mengulurkan tangannya dan berkata “Tuan Jeon Jin-ho, kita damai lah”. “Asal kamu tidak membuat masalah lagi, kita tidak akan ada masalah” kata Jin-ho tidak menyambut uluran tangan tangan Kae-in.
Jin-ho tak peduli dan tetap akan makanannya sendiri. “Ini tadi tergores pisau, sangat banyak darahnya. Aduh..”. Jin-ho akhirnya memakan masakan kerang buatan Kae-in. “Bagaimana?” kata Kae-in senang. “Lumayan, tidak membuat mati orang” kata Jin-ho dingin. Kae-in tetap senang, ia melihat Jin-ho makan sampai hampir berliur. “kamu mau makankah?” kata Jin-ho tidak suka dengan gaya Kae-in melihatnya makan. “Tidak, tadi saya sudah makan banyak” kata Kae-in. “Jadi saya makan” kata Jin-ho. “Enak kah?”. “Bukankah sudah makan masa tidak tahu rasaya?”. Kae-in jadi tidak enak ia menyuruh Jin-ho menghabiskannya, ia juga berkata awalnya ia ingin makan bersama baru mendekatkan kembali hubungannya dengan Jin-ho. Tapi Jin-ho dengan dingin berkata kalau ia tidak ingin mempunyai hubungan yang dekat dengan Kae-in. Jin-ho sudah selesai makan, ia berterima kasih atas makanan Kae-in dan pergi dari sana. Tapi Kae-in malah mengulurkan tangannya dan berkata “Tuan Jeon Jin-ho, kita damai lah”. “Asal kamu tidak membuat masalah lagi, kita tidak akan ada masalah” kata Jin-ho tidak menyambut uluran tangan tangan Kae-in.
Jin-ho membersihkan peralatan makannya, Kae-in menyusulnya dengan membawa peralatan makannya. Kae-in mendekati Jin-ho agar peralatannya dibersikan juga dan mereka bisa membersihkan bersama-sama, tapi Jin-ho setelah selesai membersihkan miliknya langsung pergi. Kae-in berusaha mendekati Jin-ho lagi dengan mengajaknya nonton. Jin-ho lagi-lagi menolak dan berkata kalau ia sedang ada banyak pekerjaan. Kae-in kesal karena Jin-ho tidak menghargai usahanya seharian ini.
In-hae pulang ke apartementnya dan kode pintunya sudah diubah Chang-ryul kali ini. In-hae kesal dan membunyikan bel terus menggedor-gedor pintu karena ia yakin Chang-ryul ada di dalam. Chang-ryul menekan remote untuk membuka pintu. In-hae masuk dengan kesal. Tapi Chang-ryul tak peduli dan malah menikmati musik yang ia setel. In-hae kesal ia mematikan lagu itu dan muncul tulisan “Goodbye”. Chang-ryul menghidupkan lagi dengan remotenya dan muncul tulisan “Welcome”. In-hae kesal mematikannya lagi, Chang-ryul tak mau kalah ia menghidupkan lagi. Akhirnya In-hae benar-benar kesal dan berkata “Kenapa kamu begitu kekanak-kanakan?”.
“Saya dari awal sudah seperti ini, apa kamu tak tahu?” kata Chang-ryul.
“Kamu ingin saya puji kah?” tanya In-hae.
Chang-ryul kesal ia bangkit dari duduknya dan bertanya sejak kapan In-hae ada hubungan dengan Jin-ho.
“Aku melihatmu bertukar nomor telepon dengannya” kata Chang-ryul.
“Jadi kamu mengawasiku” kata In-hae.
“Tadi aku ke gedung Meishu dan melihat kalian disana” kata Chang-ryul menjelaskan.
“Diantara kita sudah berakhir, jadi kamu jangan pedulikan saya” pinta In-hae.
“Jangan peduli? Kamu yang mengakhiri secara sepihak apa itu berarti sudah berakhirkah?” kata Chang-ryul kesal.
“Ya, Chang-ryul bukankah kamu yang memutuskan sendiri juga saat mengakhiri hubunganmu dengan Kae-in” kata In-hae mengingatkan.
“Kamu tak tahu kah itu demi siapa?” kata Chang-ryul mulai kesal.
“Jadi sekarang kamu mau menyalahkan aku?” kata In-hae juga tak kalah kesal (rasain..).
“Tidak peduli kau sudah menganggap ini sudah berakhir, tapi saya tidak akan pernah menganggapnya. Jadi saya ada hak bertanya kenapa kamu duduk semobil dengan Jin-ho itu?” tanya Chang-ryul.
“Baiklah jika kamu benar-benar penasaran. Saya akan katakan kalau saya akan bertemu Jin-ho kembali” kata In-hae kesal dan pergi dari sana.
Chang-ryul menyusulnya dan menarik sambil berkata “Jin-ho tidak bisa”.
“Tidak bisa? Kenapa tidak bisa? Jika kamu terus seperti ini malah membuatku semakin ingin bertemu dengannya” kata In-hae.
Chang-ryul akhirnya memohon agar In-hae memberinya kesempatan lagi dan akan melakukan apapun yang dikatakan In-hae.
“Kamu tahu aku suka barang-barang bermerek. Suka barang-barang kuno untuk dikoleksi. Tapi kamu sekarang sudah tidak, kamu sekarang sudah tidak bisa disimpan lama-lama” kata In-hae (wah laki-laki disamain sama tas.. rha gitu g ya? *lirik krha*).
In-hae pergi, Chang-ryul mencegahnya dengan memeluknya dari belakang. Tapi melihat In-hae tidak bereaksi Chang-ryul melepas pelukannya dan memohon agar In-hae agar memberitahunya apa yang harus ia lakukan.
“Ini bukan salahmu, tapi salah saya. Saya sudah putuskan untuk tidak akan kembali lagi” kata In-hae.
“Benarkah? Baiklah kalau begitu kita terus begini saja. Tapi saya akan tinggal disini terus, sampai saya sudah tidak ingin tinggal disini lagi. bagaimana?” kata Chang-ryul (cek..cek.. g boleh ditiru ya).
“Baik tapi kamu jangan ganggu kehidupan pribadi saya dan tidak memperdulikan dengan siapa saya pergi ketemu siapa” kata In-hae.
In-hae pergi ke kamar, Chang-ryul hanya bisa terbengong melihatnya.
“Saya dari awal sudah seperti ini, apa kamu tak tahu?” kata Chang-ryul.
“Kamu ingin saya puji kah?” tanya In-hae.
Chang-ryul kesal ia bangkit dari duduknya dan bertanya sejak kapan In-hae ada hubungan dengan Jin-ho.
“Aku melihatmu bertukar nomor telepon dengannya” kata Chang-ryul.
“Jadi kamu mengawasiku” kata In-hae.
“Tadi aku ke gedung Meishu dan melihat kalian disana” kata Chang-ryul menjelaskan.
“Diantara kita sudah berakhir, jadi kamu jangan pedulikan saya” pinta In-hae.
“Jangan peduli? Kamu yang mengakhiri secara sepihak apa itu berarti sudah berakhirkah?” kata Chang-ryul kesal.
“Ya, Chang-ryul bukankah kamu yang memutuskan sendiri juga saat mengakhiri hubunganmu dengan Kae-in” kata In-hae mengingatkan.
“Kamu tak tahu kah itu demi siapa?” kata Chang-ryul mulai kesal.
“Jadi sekarang kamu mau menyalahkan aku?” kata In-hae juga tak kalah kesal (rasain..).
“Tidak peduli kau sudah menganggap ini sudah berakhir, tapi saya tidak akan pernah menganggapnya. Jadi saya ada hak bertanya kenapa kamu duduk semobil dengan Jin-ho itu?” tanya Chang-ryul.
“Baiklah jika kamu benar-benar penasaran. Saya akan katakan kalau saya akan bertemu Jin-ho kembali” kata In-hae kesal dan pergi dari sana.
Chang-ryul menyusulnya dan menarik sambil berkata “Jin-ho tidak bisa”.
“Tidak bisa? Kenapa tidak bisa? Jika kamu terus seperti ini malah membuatku semakin ingin bertemu dengannya” kata In-hae.
Chang-ryul akhirnya memohon agar In-hae memberinya kesempatan lagi dan akan melakukan apapun yang dikatakan In-hae.
“Kamu tahu aku suka barang-barang bermerek. Suka barang-barang kuno untuk dikoleksi. Tapi kamu sekarang sudah tidak, kamu sekarang sudah tidak bisa disimpan lama-lama” kata In-hae (wah laki-laki disamain sama tas.. rha gitu g ya? *lirik krha*).
In-hae pergi, Chang-ryul mencegahnya dengan memeluknya dari belakang. Tapi melihat In-hae tidak bereaksi Chang-ryul melepas pelukannya dan memohon agar In-hae agar memberitahunya apa yang harus ia lakukan.
“Ini bukan salahmu, tapi salah saya. Saya sudah putuskan untuk tidak akan kembali lagi” kata In-hae.
“Benarkah? Baiklah kalau begitu kita terus begini saja. Tapi saya akan tinggal disini terus, sampai saya sudah tidak ingin tinggal disini lagi. bagaimana?” kata Chang-ryul (cek..cek.. g boleh ditiru ya).
“Baik tapi kamu jangan ganggu kehidupan pribadi saya dan tidak memperdulikan dengan siapa saya pergi ketemu siapa” kata In-hae.
In-hae pergi ke kamar, Chang-ryul hanya bisa terbengong melihatnya.
Kae-in menonton film sendirian. Jin-ho keluar untuk mengambil minum dan heran melihat Kae-in tertawa sendirian melihat film.
“Memang perempuan ceria. Sudah ditinggal pacar dan dikhianati teman tapi tetap ceria” gumam Jin-ho sendiri.
“Saya juga tidak tahu” kata Kae-in menimpali.
Jin-ho kaget, Kae-in juga kaget ia jadi takut setelah melirik Jin-ho. Jin-ho mendekati Kae-in dan menawarinya minum. Kae-in menerimanya dan balik menawari Jin-ho popcorn. Tapi Jin-ho menolak, ia heran kenapa Kae-in memakan popcorn sebanyak itu sendirian. Ia tanya apa Kae-in tidak diet. Kae-in berkata walaupun ia makan banyak berat badannya tidak akan naik (wuih enaknya... mau dong). Jin-ho memperingatkan walaupun tidak naik tapi seharusnya wanita seumuran Kae-in harus tahu mana makanan yang baik untuk perutnya.
“Memang perempuan ceria. Sudah ditinggal pacar dan dikhianati teman tapi tetap ceria” gumam Jin-ho sendiri.
“Saya juga tidak tahu” kata Kae-in menimpali.
Jin-ho kaget, Kae-in juga kaget ia jadi takut setelah melirik Jin-ho. Jin-ho mendekati Kae-in dan menawarinya minum. Kae-in menerimanya dan balik menawari Jin-ho popcorn. Tapi Jin-ho menolak, ia heran kenapa Kae-in memakan popcorn sebanyak itu sendirian. Ia tanya apa Kae-in tidak diet. Kae-in berkata walaupun ia makan banyak berat badannya tidak akan naik (wuih enaknya... mau dong). Jin-ho memperingatkan walaupun tidak naik tapi seharusnya wanita seumuran Kae-in harus tahu mana makanan yang baik untuk perutnya.
Jin-ho mengalihkan pembicaraan dan tanya Kae-in sudah berhubungan dengan In-hae berapa lama, karena ia merasa itu pasti waktu yang lama sehingga Kae-in terus mencarinya meski sudah disakiti. Kae-in dengan ringan berkata bahwa ia sudah berhungan 10 tahun dengan In-hae. Kae-in memakan popcornnya langsung banyak dan berkata kalau popcorn itu kenapa tidak berkurang padahal ia sudah makan banyak. Jin-ho merasa prihatin, ia akhirnya menemani Kae-in menonton film. Ia mengambil popcorn Kae-in dan berkata kalau popcorn itu lumayan enak. Kae-in menyindir apa Jin-ho tidak takut makan sembarangan akan membuatnya gemuk.
“Saya makan berapa banyak pun tidak akan gemuk” kata Jin-ho mengulang perkataan Kae-in tadi.
Kae-in kesal, tapi akhirnya tersenyum karena hubungannya dengan Jin-ho kembali normal lagi dan bahkan lebih baik. Mereka menghabiskan malam dengan menonton film dan makan popcorn bersama.
Kae-in bertanya sejak kapan Jin-ho tahu kalau dirinya berbeda.
“Berbeda apa?” tanya Jin-ho.
“Gay” Kata Kae-in menjelaskan.
Jin-ho tak menjawab dan terus menonton dan makan popcorn saja. Kae-in berkata ia tahu dirinya berbeda saat umur 8 tahun.
Jin-ho kaget dan tanya “lesbi kah?” (haha..).
Kae-in tersenyum dan berkata bukan, ia lalu bercerita ia baru tahu kalau ia berbeda dengan anak lainnya karena ia tidak memiliki seorang ibu. Saat pertunjukan di sekolah, anak-anak lain dibantu ibunya memakai pakaian tradisional. Tapi ia tidak, lalu seorang ibu datang membantunya dan ia baru sadar kalau ternyata ia tidak mempunyai ibu. Kae-in lalu berkata pasti keadaan itu tidak jauh beda dengan dengan keadaan Jin-ho. Jin-ho malah menjawab kalau ia tidak pernah ikut pertunjukan apa pun karana ia tidak suka memakai pakaian tradisional yang ribet. Kae-in malah cekikikan. Jin-ho tanya ada apa. Kae-in mengejek Jin-ho dan berkata kalau saat itu pasti Jin-ho sudah tahu kalau ia Gay jadi berpura-pura seperti laki-laki yang tidak suka hal-hal ribet. Jin-ho kesal dan menyumpal mulut Kae-in dengan popcorn. Kae-in terus mendesak Jin-ho mengatakan yang sesungguhnya. Jin-ho berkata Kae-in hanya cantik jika sedang diam. Malam berlalu dengan pertengkaran-pertengkaran kecil mereka.
“Saya makan berapa banyak pun tidak akan gemuk” kata Jin-ho mengulang perkataan Kae-in tadi.
Kae-in kesal, tapi akhirnya tersenyum karena hubungannya dengan Jin-ho kembali normal lagi dan bahkan lebih baik. Mereka menghabiskan malam dengan menonton film dan makan popcorn bersama.
Kae-in bertanya sejak kapan Jin-ho tahu kalau dirinya berbeda.
“Berbeda apa?” tanya Jin-ho.
“Gay” Kata Kae-in menjelaskan.
Jin-ho tak menjawab dan terus menonton dan makan popcorn saja. Kae-in berkata ia tahu dirinya berbeda saat umur 8 tahun.
Jin-ho kaget dan tanya “lesbi kah?” (haha..).
Kae-in tersenyum dan berkata bukan, ia lalu bercerita ia baru tahu kalau ia berbeda dengan anak lainnya karena ia tidak memiliki seorang ibu. Saat pertunjukan di sekolah, anak-anak lain dibantu ibunya memakai pakaian tradisional. Tapi ia tidak, lalu seorang ibu datang membantunya dan ia baru sadar kalau ternyata ia tidak mempunyai ibu. Kae-in lalu berkata pasti keadaan itu tidak jauh beda dengan dengan keadaan Jin-ho. Jin-ho malah menjawab kalau ia tidak pernah ikut pertunjukan apa pun karana ia tidak suka memakai pakaian tradisional yang ribet. Kae-in malah cekikikan. Jin-ho tanya ada apa. Kae-in mengejek Jin-ho dan berkata kalau saat itu pasti Jin-ho sudah tahu kalau ia Gay jadi berpura-pura seperti laki-laki yang tidak suka hal-hal ribet. Jin-ho kesal dan menyumpal mulut Kae-in dengan popcorn. Kae-in terus mendesak Jin-ho mengatakan yang sesungguhnya. Jin-ho berkata Kae-in hanya cantik jika sedang diam. Malam berlalu dengan pertengkaran-pertengkaran kecil mereka.
Keesokan harinya. Sang-joon datang terburu-buru karena terlambat. Ia langsung mencari Jin-ho diruangannya untuk laporan. Tapi ia kaget karena tidak seperti biasanya Jin-ho tidak ada diruangannya. Tae-hoon menunjuk toilet dan berkata kalau Jin-ho sedang ada di toilet. Jin-ho keluar dari toilet, Sang-joon bercerita kalau ia terjebak macet karena ada kecelakaan di depan perusahaan mereka. Jin-ho memotong cerita Sang-joon dan segera berlari keluar. Sang-joon heran, kenapa Jin-ho tertarik dengan kecelakaan itu. tapi ternyata Jin-ho tidak peduli dengan kecelakaan itu, ia berlari ke sebuah apotik karena perutnya sakit lagi. Jin-ho berusaha menahan perutnya sampai ke apotik, ia meminta segera dicarikan obat diare oleh penjaga apotiknya. Penjaga apotiknya tertawa cekikikan melihat Jin-ho yang melintir-lintir menahan sakit perutnya.
Kae-in sedang menyiapkan resume untuk iterviewnya, tiba-tiba Young-soon meneleponnya dan bertanya apa ia baik-baik saja karena ibunya menelepon dan berkata kalau ia salah mengirim hadiahnya.
“Kamu tidak makan kan?” tanya Young-soon panik.
“Apa? Saya tidak makan apa-apa karena Jin-ho yang makan semuanya” kata Kae-in kaget.
“Kamu tidak makan kan?” tanya Young-soon panik.
“Apa? Saya tidak makan apa-apa karena Jin-ho yang makan semuanya” kata Kae-in kaget.
Jin-ho kesal ia berpikir ini pasti karena ia makan kerang yang sudah busuk. Setelah obatnya diberikan, Jin-ho menanyakan toilet ada dimana karena sudah tidak tahan lagi. Petugas sambil tersenyum berkata toiletnya ada diluar. Jin-ho segera keluar menuju toilet. Petugas tiba-tiba memanggilnya kembali untuk memberikan kunci toilet. Jin-ho mau mengambilnya tapi ia sudah tidak bisa berjalan lagi karena menahan perutnya, dan dengan menghapus rasa malu ia meminta petugas itu menghampirinya. Di dalam toilet Jin-ho sangat kesal pada Kae-in.
“Park Kae-in.. Park Kae-in, saya tidak akan lepaskan kamu!” kata Jin-ho kesal sambil menggebrak pintu.
“Park Kae-in.. Park Kae-in, saya tidak akan lepaskan kamu!” kata Jin-ho kesal sambil menggebrak pintu.
Kae-in berangkat interview sambil terus menelepon Jin-ho, tapi Jin-ho tak mengangkatnya. Kae-in sangat khawatir dengan keadaan Jin-ho, tapi ia lalu kesal dan berkata asalkan kali ini mendapatkan kerja ia bisa menyuruh Jin-ho segera pindah. Kae-in lalu pergi terburu-buru ketempat interview.
Jin-ho sudah sedikit baikan. Sang-joon yang mengantar Jin-ho kemobilnya karena hujan, merasa khawatir dengan keadaan Jin-ho. Ia menyarankan Jin-ho tidak pergi bertemu ketua Choi kalau keadaanya tidak memungkinkan. Tapi Jin-ho memaksa dan Sang-joon tak dapat mencegahnya.
Chang-ryul datang ke sebuah perusahaan furniture yang akan bekerjasama dengan perusahaannya. Ia melihat Kae-in juga ada disana, Chang-ryul segera sembunyi. Kae-in menemui manager perusahaan itu, tapi manager itu menyuruh Kae-in untuk menunggu lagi karena ia sedang ada tamu (Chang-ryul). Kae-in memaksa dan memperlihatkan hasil karyanya, tapi manager itu bilang bahwa Kae-in dipanggil untuk wawancara sebagai staf bukan designer. Kae-in pergi dengan persaan kecewa, dan Chang-ryul mendengar percakapan tadi jadi merasa prihatin dengan keadaan Kae-in saat ini. Kae-in keluar dari perusahaan tersebut dan cuaca sedang hujan. Chang-ryul melihat Kae-in hujan-hujannya, ia yang tadinya bersama asisten Kim, meminta asisten Kim turun karena ia mau mengikuti Kae-in. Kae-in masuk ke sebuah restoran dan Chang-ryul melihatnya dari jauh. Ia merasa semakin prihatin karena Kae-in hanya memakan mie istan disana.
Chang-ryul datang ke sebuah perusahaan furniture yang akan bekerjasama dengan perusahaannya. Ia melihat Kae-in juga ada disana, Chang-ryul segera sembunyi. Kae-in menemui manager perusahaan itu, tapi manager itu menyuruh Kae-in untuk menunggu lagi karena ia sedang ada tamu (Chang-ryul). Kae-in memaksa dan memperlihatkan hasil karyanya, tapi manager itu bilang bahwa Kae-in dipanggil untuk wawancara sebagai staf bukan designer. Kae-in pergi dengan persaan kecewa, dan Chang-ryul mendengar percakapan tadi jadi merasa prihatin dengan keadaan Kae-in saat ini. Kae-in keluar dari perusahaan tersebut dan cuaca sedang hujan. Chang-ryul melihat Kae-in hujan-hujannya, ia yang tadinya bersama asisten Kim, meminta asisten Kim turun karena ia mau mengikuti Kae-in. Kae-in masuk ke sebuah restoran dan Chang-ryul melihatnya dari jauh. Ia merasa semakin prihatin karena Kae-in hanya memakan mie istan disana.
Jin-ho menemui Do-bin. Tapi baru bicara sebentar Jin-ho merasakan sakit perutnya lagi hingga ia berkeringat. Do-bin bertanya apa Jin-ho sakit. Tapi Jin-ho berkata kalau ia baik-baik saja. Do-bin lalu mengambil sapu tangannya, ia berkata sebaiknya Jin-ho istirahat dulu baru mereka ketemu lagi. Sebelum pergi Do-bin mengingatkan agar Jin-ho mengembalikan sapu tangannya karena itu sangat berarti baginya.
Kae-in pulang ke rumahnya dan Chang-ryul terus mengikutinya. Setelah sampai dan memastikan Kae-in masuk rumahnya kemudian Chang-ryul baru pergi. Tak lama setelah Chang-ryul pergi, Jin-ho datang. Ia sempat ragu masuk ke Sang Go-jae. Jin-ho masuk dengan perasaan kesal. Kae-in segera menyambutnya dan tanya bagaimana keadaan Jin-ho.
“Apa aku kelihatan baik-baik saja?” kata Jin-ho dingin.
“Bagaimana ini? Benar-benar minta maaf. Apakan kamu tadi diare?” tanya Kae-in.
“Diare? Sudahlah..jangan ungkit lagi” kata Jin-ho kesal lalu mau pergi ke kamarnya. Kae-in mencegahnya dan berkata kalau ia punya obat diare yang bagus, Kae-in pergi mencarinya. Jin-ho kesal, ia lalu melihat lantai yanng basah. Ia mengikuti lantai yang basah itu dan ternyata berasal dari tubuh Kae-in yang kehujanan.
Jin-ho melempar handuk pada Kae-in dengan dingin berkata “Kamu ingin buat rumah penuh dengan air kah?”.
Kae-in masih merasa tidak enak ia mau membuatkan Jin-ho bubur karena Jin-ho sudah diare seharian.
“Dasar. jangan ungkit lagi masalah diare itu” kata Jin-ho kesal. “Sudahlah, jangan flu.
Cepat ganti pakaian” kata Jin-ho akhirnya sebelum masuk ke kamarnya.
“Bagaimana ini? Benar-benar minta maaf. Apakan kamu tadi diare?” tanya Kae-in.
“Diare? Sudahlah..jangan ungkit lagi” kata Jin-ho kesal lalu mau pergi ke kamarnya. Kae-in mencegahnya dan berkata kalau ia punya obat diare yang bagus, Kae-in pergi mencarinya. Jin-ho kesal, ia lalu melihat lantai yanng basah. Ia mengikuti lantai yang basah itu dan ternyata berasal dari tubuh Kae-in yang kehujanan.
Jin-ho melempar handuk pada Kae-in dengan dingin berkata “Kamu ingin buat rumah penuh dengan air kah?”.
Kae-in masih merasa tidak enak ia mau membuatkan Jin-ho bubur karena Jin-ho sudah diare seharian.
“Dasar. jangan ungkit lagi masalah diare itu” kata Jin-ho kesal. “Sudahlah, jangan flu.
Cepat ganti pakaian” kata Jin-ho akhirnya sebelum masuk ke kamarnya.
Chang-ryul pergi minum sendirian. Ia berpikir akan menelepon seseorang. Jin-ho sedang membuat sketsa di kamarnya ketika ada teriakan dari luar. Jin-ho tak peduli dan melanjutkan seketsanya. Kae-in ternyata menjatuhkan sebuh mangkuk dan saat akan mengambil pecahannya tangannya terkena pecahan itu hingga berdarah. Jin-ho keluar dan melihat Kae-in kesakitan. Ia lalu membantu Kae-in membereskan pecahan mangkuk.
“Memang Park Kae-in, sehari tidak buah masalah apakah tubuh sudah gatal?” sindir Jin-ho.
“Jadi Jin-ho sehari tidak kerjain saya, apakah tubuh sudah gatal?” balas Kae-in.
Jin-ho menyuruh Kae-in diam saja, tapi Kae-in menjelaskan ia menjatuhkan mangkuk itu karena ia mengira buburnya sudah dingin.
“Aku sudah memasak bubur” kata Kae-in.
Kae-in menyiapkan bubur untuk Jin-ho. Tapi Jin-ho ragu ia takut diracuni Kae-in lagi. Ia lalu meminta Kae-in mencicipinya terlebih dahulu. Kae-in meski kesal tapi menurutinya, ia akhirnya mencicipi bubur itu dulu dengan sendok Jin-ho dan Jin-ho akhirnya mau makan buburnya. (Hubungan mereka kembali baik)
“Kamu tahu kah? Tadi saya sudah ciuman dengan kamu” Kata Kae-in senang.
“Lebih baik minum racun saja” kata Jin-ho.
“Kamu ini memang” kata Kae-in kesal dan mau memukul Jin-ho.
“Kenapa dengan tanganmu?” kata Jin-ho melihat luka-luka dijari Kae-in.
Kae-in lalu merajuk dan menyalahkan Jin-ho karena ia mendapat luka itu setelah bersusah payah masak kemarin.
“Pakai hansaplas saja” kata Jin-ho(memang disana ada merk ini????).
Kae-in tersenyum karena Jin-ho perhatian kepadanya. Ia berkata itu hanya luka kecil.
“Memang Park Kae-in, sehari tidak buah masalah apakah tubuh sudah gatal?” sindir Jin-ho.
“Jadi Jin-ho sehari tidak kerjain saya, apakah tubuh sudah gatal?” balas Kae-in.
Jin-ho menyuruh Kae-in diam saja, tapi Kae-in menjelaskan ia menjatuhkan mangkuk itu karena ia mengira buburnya sudah dingin.
“Aku sudah memasak bubur” kata Kae-in.
Kae-in menyiapkan bubur untuk Jin-ho. Tapi Jin-ho ragu ia takut diracuni Kae-in lagi. Ia lalu meminta Kae-in mencicipinya terlebih dahulu. Kae-in meski kesal tapi menurutinya, ia akhirnya mencicipi bubur itu dulu dengan sendok Jin-ho dan Jin-ho akhirnya mau makan buburnya. (Hubungan mereka kembali baik)
“Kamu tahu kah? Tadi saya sudah ciuman dengan kamu” Kata Kae-in senang.
“Lebih baik minum racun saja” kata Jin-ho.
“Kamu ini memang” kata Kae-in kesal dan mau memukul Jin-ho.
“Kenapa dengan tanganmu?” kata Jin-ho melihat luka-luka dijari Kae-in.
Kae-in lalu merajuk dan menyalahkan Jin-ho karena ia mendapat luka itu setelah bersusah payah masak kemarin.
“Pakai hansaplas saja” kata Jin-ho(memang disana ada merk ini????).
Kae-in tersenyum karena Jin-ho perhatian kepadanya. Ia berkata itu hanya luka kecil.
Tiba-tiba telepon Kae-in berbunyi. Kae-in melihat siapa peneleponnya dan wajahnya langsung berubah. Jin-ho menyuruh Kae-in mengangkat teleponnya karena sepertinya itu telepon penting.
“Chang-ryul” kata Kae-in.
Chang-ryul menelepon untuk meminta Kae-in keluar sebentar menemuinya karena ia sekarang ada di depan rumah Kae-in. Ia berjanji setelah bertemu ia akan segera pergi dan berkata ia akan menunggu sampai Kae-in keluar menemuinya.
“Mau bertemu denganmu kan?” tebak Jin-ho tentang telepon tadi.
“Sekarang dia ada di luar” kata Kae-in sedikit sedih karena teringat masa lalunya.
“Jangan keluar” kata Jin-ho memberi saran.
“Tidak akan keluar” kata Kae-in ragu.
“Di keningmu ada tulisan ingin keluar. Cinta yang tidak dapat dipertahankan. Kalau keluar akan kacau” kata Jin-ho memperingatkan.
“Tidak, saya tidak akan keluar” kata Kae-in kesal dan pergi ke kamarnya.
Chang-ryul menelepon untuk meminta Kae-in keluar sebentar menemuinya karena ia sekarang ada di depan rumah Kae-in. Ia berjanji setelah bertemu ia akan segera pergi dan berkata ia akan menunggu sampai Kae-in keluar menemuinya.
“Mau bertemu denganmu kan?” tebak Jin-ho tentang telepon tadi.
“Sekarang dia ada di luar” kata Kae-in sedikit sedih karena teringat masa lalunya.
“Jangan keluar” kata Jin-ho memberi saran.
“Tidak akan keluar” kata Kae-in ragu.
“Di keningmu ada tulisan ingin keluar. Cinta yang tidak dapat dipertahankan. Kalau keluar akan kacau” kata Jin-ho memperingatkan.
“Tidak, saya tidak akan keluar” kata Kae-in kesal dan pergi ke kamarnya.
Di dalam kamar telepon Kae-in terus berbunyi. Waktu terus berjalan Kae-in bingung harus melakukan apa. Jin-ho melihat kotak p3knya, ia teringat Kae-in dan hendak membawakan hansaplas untuknya. Tapi saat keluar ia melihat Kae-in lari pergi keluar menemui Chang-ryul. Jin-ho hanya bisa memandangi hansaplasnya.
“Jeaon Jin-ho, kamu memang...” gumam Jin-ho pada dirinya sendiri kemudian masuk kembali ke kamarnya.
Kae-in keluar ia tidak melihat Chang-ryul disana, ia mau masuk lagi tapi ia teringat sesauatu, ia lalu pergi ke samping rumah dan menemukan Chang-ryul sedang menunggunya disana.“Jeaon Jin-ho, kamu memang...” gumam Jin-ho pada dirinya sendiri kemudian masuk kembali ke kamarnya.
“Pulang tidurlah, bodoh” kata Kae-in mengejutkan Chang-ryul.
“Kae-in” kata Chang-ryul menghampiri Kae-in dalam keadaan mabuk.
“Apa kau salah tempat? Di sini tidak ada In-hae lagi” kata Kae-in.
Chang-ryul berkata kalau ia datang untuk menemuinya.
“Kenapa? Lihat tadi pagi kehujanan jadi ingat anjing kecil yang kehujanan kah?” kata Kae-in yang ternyata mengetahui kalau Chang-ryul mengikutinya tadi pagi.
“Park Kae-in, maaf. Aku hanya ingin mengatakan ini sendiri padamu” kata Chang-ryul.
“Begini kamu baru bisa legakan? Selalu sangat egois bukan begitu” kata Kae-in.
“Kae-in bukan begitu.. atau kamu mau pukul saya saja. Sebenarnya datang ke sini ingin suruh kamu memukul saya, lebih baik kamu pukul saya saja” kata Chang-ryul menarik tangan Kae-in untuk memukulnya.
Kae-in menarik tangannya dan berkata “Kenapa saya harus pukul kamu? Saya bisa kotor” kata Kae-in kesal sekaligus sedih.
“Kotor? Iya.. saya sudah lakukan hal begini” kata Chang-ryul.
“Kenapa harus In-hae?” tanya Kae-in.
“Karena In-hae sudah memberikan semuanya pada saya” jawab Chang-ryul.
“Apa? Apa maksudmu itu?” kata Kae-in tak percaya.
“Kamu selalu kasih jaga jarak denganku, selalu tampil seperti saya bukan kekasihmu” jawab Chang-ryul.
“Kapan saya seperti itu? saya sungguh tak mengerti kamu sedang bicara apa, bisa lebih jelas sedikit kah?” pinta Kae-in.
“Kamu lihat sekarang, kata ini pun kamu tak menegrti. Kae-in, kita... kita sudah bukan anak remaja lagi bukan pacaran anak kecil. Saya selalu memperlakukanmu seperti perempuan dewasa tapi kamu selalu bisa...apapun tidak mengerti. Selalu sangat polos memperlakukan saya dengan hati anak remaja” jawab Chang-ryul.
“Begitukah? Karena itukah?” kata Kae-in bingungg dan kaget.
Chang-ryul mengangguk. Kae-in syok ia dengan sedih berkata bahwa ia bisa goyah juga saat Chang-ryul menciumnya, dan ia juga berdandan saat bertemu dengan Chang-ryul. Ia bertanya apa semua itu tidak cukup menandakan kalau ia memberikan semuanya pada Chang-ryul. Chang-ryul tidak bermaksud demikian tapi ia berkata justru hal itu yang membuatnya yakin bahwa Kae-in adalah perempuan yang polos, dan ia tidak bisa menikah dengan perempuan seperti itu. Ia berkata bahwa semua itu bukan salah Kae-in tapi karena pemikiran mereka tidak sama.
“Kae-in” kata Chang-ryul menghampiri Kae-in dalam keadaan mabuk.
“Apa kau salah tempat? Di sini tidak ada In-hae lagi” kata Kae-in.
Chang-ryul berkata kalau ia datang untuk menemuinya.
“Kenapa? Lihat tadi pagi kehujanan jadi ingat anjing kecil yang kehujanan kah?” kata Kae-in yang ternyata mengetahui kalau Chang-ryul mengikutinya tadi pagi.
“Park Kae-in, maaf. Aku hanya ingin mengatakan ini sendiri padamu” kata Chang-ryul.
“Begini kamu baru bisa legakan? Selalu sangat egois bukan begitu” kata Kae-in.
“Kae-in bukan begitu.. atau kamu mau pukul saya saja. Sebenarnya datang ke sini ingin suruh kamu memukul saya, lebih baik kamu pukul saya saja” kata Chang-ryul menarik tangan Kae-in untuk memukulnya.
Kae-in menarik tangannya dan berkata “Kenapa saya harus pukul kamu? Saya bisa kotor” kata Kae-in kesal sekaligus sedih.
“Kotor? Iya.. saya sudah lakukan hal begini” kata Chang-ryul.
“Kenapa harus In-hae?” tanya Kae-in.
“Karena In-hae sudah memberikan semuanya pada saya” jawab Chang-ryul.
“Apa? Apa maksudmu itu?” kata Kae-in tak percaya.
“Kamu selalu kasih jaga jarak denganku, selalu tampil seperti saya bukan kekasihmu” jawab Chang-ryul.
“Kapan saya seperti itu? saya sungguh tak mengerti kamu sedang bicara apa, bisa lebih jelas sedikit kah?” pinta Kae-in.
“Kamu lihat sekarang, kata ini pun kamu tak menegrti. Kae-in, kita... kita sudah bukan anak remaja lagi bukan pacaran anak kecil. Saya selalu memperlakukanmu seperti perempuan dewasa tapi kamu selalu bisa...apapun tidak mengerti. Selalu sangat polos memperlakukan saya dengan hati anak remaja” jawab Chang-ryul.
“Begitukah? Karena itukah?” kata Kae-in bingungg dan kaget.
Chang-ryul mengangguk. Kae-in syok ia dengan sedih berkata bahwa ia bisa goyah juga saat Chang-ryul menciumnya, dan ia juga berdandan saat bertemu dengan Chang-ryul. Ia bertanya apa semua itu tidak cukup menandakan kalau ia memberikan semuanya pada Chang-ryul. Chang-ryul tidak bermaksud demikian tapi ia berkata justru hal itu yang membuatnya yakin bahwa Kae-in adalah perempuan yang polos, dan ia tidak bisa menikah dengan perempuan seperti itu. Ia berkata bahwa semua itu bukan salah Kae-in tapi karena pemikiran mereka tidak sama.
Tiba-tiba telepon Chang-ryul berbunyi dan ternyata In-hae meneleponnya, Chang-ryul menjauh dari Kae-in untuk menerima telepon dari In-hae itu. In-hae marah Chang-ryul keluar begitu saja, ia ingin penjelasan dari Chang-ryul. Chang-ryul mencoba menjelaskan keadaannya disana sekarang dengan memanggil nama In-hae. Dan Kae-in mendengarnya ia lalu mendengar Chang-ryul berkata.
“Malam ini tidak ada yang mau saya bicarakan denganmu, jadi tidak usah tunggu saya. Tidurlah”.
Kae-in syok ternyata Chang-ryul masih tinggal bersama In-hae sekarang.
“Sekarang dengan In-hae kah?” tanya Kae-in.
Chang-ryul tak dapat menjelaskan.
“Begitu, lalu kenapa masih cari saya katakan semua ini? Sampai terakhir pun kamu masih begitu terhadap saya. Sangat menyedihkan. Mana bisa buat orang susah sampai akhir. Kamu tolong pergi?” kata Kae-in sedih mengusir Chang-ryul.
Kae-in dengan sedih masuk ke rumahnya, Chang-ryul kesal pada dirinya karena gagal menjelaskan dengan baik pada Kae-in.
“Malam ini tidak ada yang mau saya bicarakan denganmu, jadi tidak usah tunggu saya. Tidurlah”.
Kae-in syok ternyata Chang-ryul masih tinggal bersama In-hae sekarang.
“Sekarang dengan In-hae kah?” tanya Kae-in.
Chang-ryul tak dapat menjelaskan.
“Begitu, lalu kenapa masih cari saya katakan semua ini? Sampai terakhir pun kamu masih begitu terhadap saya. Sangat menyedihkan. Mana bisa buat orang susah sampai akhir. Kamu tolong pergi?” kata Kae-in sedih mengusir Chang-ryul.
Kae-in dengan sedih masuk ke rumahnya, Chang-ryul kesal pada dirinya karena gagal menjelaskan dengan baik pada Kae-in.
“Park Kae-in, kamu tidak punya perasaankah? Kamu bodohkah? Panggil kamu, kamu langsung keluar” sindir Jin-ho.
“Cukup” kata Kae-in.
“Memang anjing kecil setelah ditinggalkan asal panggil, langsung keluar lagi. Kamu tahu kamu kelihatankan betapa kasihankah?” kata Jin-ho lagi.
Kae-in kesal ia tidak bisa menahan emosinya lagi, ia berbalik dan memukuli Jin-ho dengan bantal.
“Kenapa semua merasa saya begitu mudah dikerjai? Saya sudah salah apa? Kenapa semua buat saya jadi.. Kenapa?” kata Kae-in sambil menangis.
“Makanya, kenapa mau buat begitu susah? Yang buat kamu begini adalah kamu sendiri” kata Jin-ho kesal.
“Orang sepertimu pasti tidak pernah seharian menunggu telepon dari orang yang kamu suka? Saya walaupun hanya melihatnya saja sudah merasa jantung saya mau meledak. Kamu tidak akan tahu selamanya perasaan ini. Orang yang membuat saya begitu, suruh saya keluar walaupun sudah salah, malah masih ingin dengar saya bagaimana. Saya memang begini, hanya bisa begini” balas Kae-in.
Kae-in lalu jongkok sambil menangis dan Jin-ho melihatnya kasihan.
“Cukup” kata Kae-in.
“Memang anjing kecil setelah ditinggalkan asal panggil, langsung keluar lagi. Kamu tahu kamu kelihatankan betapa kasihankah?” kata Jin-ho lagi.
Kae-in kesal ia tidak bisa menahan emosinya lagi, ia berbalik dan memukuli Jin-ho dengan bantal.
“Kenapa semua merasa saya begitu mudah dikerjai? Saya sudah salah apa? Kenapa semua buat saya jadi.. Kenapa?” kata Kae-in sambil menangis.
“Makanya, kenapa mau buat begitu susah? Yang buat kamu begini adalah kamu sendiri” kata Jin-ho kesal.
“Orang sepertimu pasti tidak pernah seharian menunggu telepon dari orang yang kamu suka? Saya walaupun hanya melihatnya saja sudah merasa jantung saya mau meledak. Kamu tidak akan tahu selamanya perasaan ini. Orang yang membuat saya begitu, suruh saya keluar walaupun sudah salah, malah masih ingin dengar saya bagaimana. Saya memang begini, hanya bisa begini” balas Kae-in.
Kae-in lalu jongkok sambil menangis dan Jin-ho melihatnya kasihan.
Jin-ho lalu menemani Kae-in minum dan makan snack di teras. Ia juga menjadi pendengar yang baik untuk cerita-cerita Kae-in. Kae-in sambil mabuk bercerita kalau Chang-ryul memutuskannya karena In-hae dapat memberikan segalanya yang tak bisa ia berikan untuk Chang-ryul. Jin-ho merasa Chang-ryul lucu sudah kejadian buat apa mengatakan itu semua pada Kae-in. Kae-in bercerita lagi kalau Chang-ryul hanya menganggapnya anak kecil bukan perempuan dewasa.
“Lupakanlah” kata Jin-ho.
“Mana mungkin. Kata dari orang yang pertama ku cintai sejak lahir. Bilang saya bukan wanita, sehingga meninggalkan saya” kata Kae-in sedih.
”Sudah, semua itu sudah tidak berguna lagi sekarang” kata Jin-ho menguatkan.
”Selalu merasa, mungkin benar salah saya. Mungkin juga bukan salah Chang-ryul. bukan In-hae yang jahat tapi semua karena saya” kata Kae-in sedih.
Ia lalu meminum minuman langsung dari botolnya.
Jin-ho meraik botol minuman itu dan berkata “Apa kau ingin mati dengan meminum seperti itu?”.
Kei-in menghela nafas, Jin-ho juga.
“Kalau merasa begitu, suruh dia kembali saja biarkan dia menyesal tinggalkan perempuan sepertimu” kata Jin-ho lagi.
“Jin ho” panggil Kae-in sambil melihat Jin-ho.
Jin-ho menoleh, Kae-in mendekati Jin-ho dan berkata.
“Bisakah buat saya jadi wanita?”.
Jin-ho tentu saja kaget mendengarnya (pikiranya macem-macem sih).
“Lupakanlah” kata Jin-ho.
“Mana mungkin. Kata dari orang yang pertama ku cintai sejak lahir. Bilang saya bukan wanita, sehingga meninggalkan saya” kata Kae-in sedih.
”Sudah, semua itu sudah tidak berguna lagi sekarang” kata Jin-ho menguatkan.
”Selalu merasa, mungkin benar salah saya. Mungkin juga bukan salah Chang-ryul. bukan In-hae yang jahat tapi semua karena saya” kata Kae-in sedih.
Ia lalu meminum minuman langsung dari botolnya.
Jin-ho meraik botol minuman itu dan berkata “Apa kau ingin mati dengan meminum seperti itu?”.
Kei-in menghela nafas, Jin-ho juga.
“Kalau merasa begitu, suruh dia kembali saja biarkan dia menyesal tinggalkan perempuan sepertimu” kata Jin-ho lagi.
“Jin ho” panggil Kae-in sambil melihat Jin-ho.
Jin-ho menoleh, Kae-in mendekati Jin-ho dan berkata.
“Bisakah buat saya jadi wanita?”.
Jin-ho tentu saja kaget mendengarnya (pikiranya macem-macem sih).
credit : maldoeopsi
0 comments:
Post a Comment