Recent Post


[Sinopsis Novel] Putri Huan Zhu/ Huan Zhu Ge Ge II Bagian 1

Do you want to share?

Do you like this story?


Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge II-1: Feng Yu Zhai Chi
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan.

Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu II-1: Badai Kembali Menerjang
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tutut Bintoro
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, April 2000 (Cetakan kedua)




I

Istana Terlarang, tiga bulan usai Ziwei diangkat sebagai Mingzhu Gege…

Pada suatu siang, dua sosok melesat keluar dari Paviliun Shuofang. Keduanya berlari cepat. Begitu tergesa-gesa. Yang di depan berlari sambil menarik orang di belakangnya.

Sambil berlari, terdengar sesekali mereka bicara dengan cemas:

“Ziwei! Ayo lari lebih cepat!” dan: “Xiao Yanzi! Topimu miring!”

Aha! Mereka adalah kedua putri yang kita nanti-nantikan: Putri Huanzhu dan Putri Mingzhu. Xiao Yanzi dan Ziwei.

Hari itu, Ibunda Kaisar Qianlong pulang dari penyepiannya di Gunung Wutai. Ibu Suri ini biasa dipanggil ‘Lao Foye’. Panggilan ini diberikan sejak dia memutuskan serius menekuni Kitab Buddhis beberapa tahun lalu. Waktu itu, Lao Foye ‘bersemedi’ di sebuah biara di Gunung Wutai. Kini, setelah merasa cukup dengan penyepiannya, dia pun ‘turun gunung’ untuk merasakan kembali kehidupan istana.

Sebenarnya, pada hari yang sama, Xiao Yanzi, Ziwei, Jinshuo, Yongqi dan Erkang - pergi membantu Liu Qing dan Liu Hong. Sesuai janji Xiao Yanzi, setelah mendapat ampunan Kaisar, dia akan membalas budi baik Kedua Bersaudara Liu karena telah menolongnya keluar dari penjara.

Secara patungan, Xiao Yanzi dan kawan-kawan membeli sebuah gedung yang direnovasi menjadi restoran dan penginapan. Gedung itu diberi nama Graha Huipin. Graha Huipin ini diberikan pada Liu Qing dan Liu Hong untuk dikelola. Kelak kalau Xiao Yanzi dan Ziwei keluar istana, mereka pasti akan mampir kesana.

Maka, hari itu Xiao Yanzi dan kawan-kawan membantu mengecat serta mendekor Graha Huipin. Apesnya, terjadi ‘kecelakaan’ sewaktu Xiao Yanzi mengecat. Tanpa sengaja, kaleng-kaleng cat berjatuhan, mengenainya serta Ziwei. Belum berhasil mereka membersihkan percikan-percikan cat dari wajah, Xiao Cuozi sudah buru-buru melapor. Mereka harus kembali ke istana saat itu juga - karena - rombongan Lao Foye sudah hampir tiba!

Graha Huipin kacau-balau berantakan. Erkang dan Yongqi menarik gadis-gadis untuk segera pulang. Mereka kembali lewat gerbang belakang istana. Xiao Yanzi, Ziwei dan Jinshuo segera ke Paviliun Shuofang untuk berganti pakaian serta berdandan. Tapi bekas cat tadi sukar sekali terhapus dari wajah mereka.

Akhirnya karena sudah tak ada waktu lagi, Xiao Yanzi pun menarik Ziwei berlari ke Istana Taihe di gerbang depan. Sebenarnya, Yongqi dan Erkang sudah memperingati agar tak perlu hadir di upacara penyambutan bila keduanya belum siap. Tapi Xiao Yanzi tidak setuju. Menurutnya, penting turut serta di upacara penyambutan Ibu Suri. Dia dan Ziwei tak boleh ketinggalan.

Ketika Xiao Yanzi dan Ziwei tiba di Istana Taihe, Ibu Suri sudah turun dari tandu. Dia dipapah seorang gadis belia yang cantik dan kalem. Beberapa dayang senior mengelilinginya.

Qianlong berdiri paling depan bersama Permaisuri dan para selir. Bahkan Selir Ling yang tengah hamil, hadir menyambut Lao Foye dengan perut membusung. Para Pangeran dan Putri semua bersujud, tak berani bergerak sedikit pun.

Saat itulah Xiao Yanzi dan Ziwei - yang sudah datang terlambat, terseok-seok langsung menghambur ke depan. Keduanya menjatuhkan diri berlutut. Menyebabkan serangkaian tusuk konde, jepit rambut dan anting mereka berjatuhan.

Ibu Suri langsung kaget. Begitu pula dengan gadis cantik yang memapahnya. Qianlong dan istri-istrinya terkejut. Kaisar sungguh tak menyangka kedua putri kesayangannya hadir dengan cara sedramatis itu. Dia tak bisa berbuat apa-apa selain berusaha menjelaskan,

Huang Thaihou – Ibunda Ratu, perkenalkan, kedua gadis ini adalah Putri Huanzhu dan Putri Mingzhu yang baru masuk istana.”

Ziwei dan Xiao Yanzi langsung bersujud dan mengucapkan salam. Karena habis berlari, napas keduanya tersengal-sengal.

“Ziwei… dan Xiao Yanzi… menghadap Lao Foye! Semoga… Lao Foye… sejahtera selalu!”

Keduanya mengangkat kepala. Topi Xiao Yanzi sudah miring sejak tadi – langsung meluncur jatuh. Xiao Yanzi mencoba menahan dan memperbaiki letak topinya. Tangannya betul-betul sibuk.

Ibu Suri mengernyitkan alis. “Jadi keduanya inilah Putri rakyat jelata itu?”

Permaisuri menghampiri Lao Foye dan menimpali, “Lao Foye, selama Anda meninggalkan istana, banyak hal yang terjadi di istana ini. Diantaranya adalah munculnya kedua Putri rakyat jelata ini….” (huuuh, baru episode pertama, Permaisuri sudah mulai jahat lagi! :( ).

Ibu Suri mendengar perkataan Permaisuri dengan seksama. Dia memperhatikan Xiao Yanzi dan Ziwei sekali lagi. Pakaian kedua Putri itu miring sana-sini. Muka keduanya penuh bercak merah-kuning-hijau seperti kucing belang.

Tapi Ibu Suri enggan berkomentar panjang lebar. Dengan digandeng Kaisar dan Permaisuri, Lao Foye melangkah masuk ke istana Taihe.

Setelah Lao Foye berlalu, barulah barisan Pangeran dan Putri perlahan-lahan bubar. Xiao Yanzi menghembuskan napas lega. Ziwei menariknya berdiri. Erkang dan Yongqi yang berbaris di deretan para Pangeran segera berlari menghampiri mereka.

“Kenapa kalian muncul dengan cara yang menghebohkan seperti itu?” omel Erkang. “Pasti sekarang Lao Foye sudah mendapat kesan buruk tentang kalian!”

Yongqi juga mengeluh, “Aku tadi kan sudah bilang, kalau kalian belum siap, tak usah datang! Ada begitu banyak orang berbaris dan bersujud – Lao Foye tidak mungkin mengecek satu-satu…!”

Ziwei merasa bersalah. Sebaliknya Xiao Yanzi berkata dengan cuek. “Kalian berdua tak perlu melebih-lebihkan begitu! Lao Foye itu kan cuma seorang nenek tua! Memangnya dia sanggup menelanku bulat-bulat?”

“Dia memang sanggup menelanmu bulat-bulat!” Yongqi mengangguk serius.

Keempatnya kembali ke Paviliun Shuofang. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Erkang dan Yongqi menasihati Ziwei dan Xiao Yanzi.

“Kami bukan menakut-nakuti,” kata Erkang. “Kejadian tadi pasti membuat Ibu Suri penasaran dengan kalian. Beliau pasti akan menyelidiki segala hal tentang kalian. Tak lama lagi kalian pasti dipanggil menghadap untuk ditanyai!”

“Terutama kau, Xiao Yanzi!” sambung Yongqi. “Kalau bicara dengan Lao Foye, tak bisa seenaknya seperti ketika bicara dengan Huang Ama! Kau harus mengingat semua pelajaran tata krama yang dulu diajarkan Bibi Rong. Kalau tidak, kau akan tertimpa masalah!”

Hati Ziwei semakin cemas. “Tadi itu aku dan Xiao Yanzi sudah pasti diolok-olok orang! Aku tegang sekali! Apalagi kalau harus menjumpai Lao Foye…”

“Kau harus percaya diri. Aku yakin kau mampu mengatasinya,” Erkang memberi tatapan menenangkan bagi Ziwei.

Xiao Yanzi berkomentar, “Huang Ama sudah mengijinkanku tidak mempelajari tata krama. Kenapa dengan datangnya Ibu Suri, aku harus mempelajarinya lagi? Kalau memang harus begitu, lebih baik aku tinggalkan istana ini dan pergi ke Graha Huipin bekerja pada Liu Qing dan Liu Hong!”

“Hei! Kau bicara apa?” seru Yongqi. “Kau adalah calon istriku! Seumur hidup tidak boleh meninggalkan istana lagi!”

Akhirnya Xiao Yanzi mengangguk. “Baiklah! Aku paham sekarang. Jinshuo, ambilkan si ‘Gampang Berlutut’ buatku!”

Jinshuo pun mengambilkan penemuan andalan Xiao Yanzi: si ‘Gampang Berlutut’. Mingyue dan Caixia membantu mengikatnya pada lutut Xiao Yanzi.

Erkang, Yongqi dan Ziwei menyaksikan dengan sangsi. Ziwei berkata, “Sebaiknya kau tak mengenakan benda itu. Kau dengarkan saja petunjuk Kakak Kelima dan Erkang!”

“Aku sudah dengar semuanya,” Xiao Yanzi menjawab asal-asalan. “Karena aku suka salah bicara, kalau menghadap Ibu Suri nanti, aku akan pura-pura jadi bisu-tuli.”

“Tidak bisa begitu! Kalau Ibu Suri mengajakmu bicara, kau juga harus bersuara!” sahut Erkang.

“Ibu Suri senang dengan gadis yang sopan santun. Kalau bicara kau harus pelan-pelan. Apa yang akan kau ucapkan harus dipikirkan dulu. Jangan langsung mencerocos begitu saja!” sambung Yongqi. “Sebaiknya kalau kau bicara dengan Ibu Suri, awali dulu dengan kata-kata: ‘Duli, Lao Foye’! Mengerti?”

Xiao Yanzi pusing mendengar kedua pemuda itu mencerocokinya. “Aneh sekali! Jelas-jelas dia seorang wanita - seorang nenek. Tapi kenapa ya, dia dipanggil Lao Foye (Kakek Buddha Tua)?”

Xiao Yanzi selesai mengikat si ‘Gampang Berlutut’ dan mulai melakukan uji coba. Bruk! Dia berlutut di sana. Bruk! Dia berlutut di sini.

“Wah, bagus! Tidak bakalan copot! Kali ini sudah diikat kencang!”

“Jangan mentang-mentang memakai benda itu, kau jadi sengaja berlutut sana-sini!” Yongqi makin khawatir melihat tingkah Xiao Yanzi. “Sebaiknya kau lepaskan saja benda itu! Lututmu jadi kelihatan bengkak!”

“Aku tak akan berlutut sana-sinilah!” Xiao Yanzi menyahut jengkel. “Aku sebetulnya paling tidak sudi disuruh berlutut! Lutut manusia itu kan untuk berjalan – bukan untuk berlutut! Satu hal lagi: apa hebatnya sih, Ibu Suri ini? Permaisuri saja tak bisa berkutik menghadapiku! Kalian jangan terlalu cemas!”

“Nah, nah, ini juga salah satu penyakitmu!” sela Erkang. “Kau jangan terlalu meremehkan orang lain. Kau juga harus pandai-pandai menyembunyikan kekuranganmu. Mengerti?”

Tepat pada saat itu, muncullah seorang kasim. Dia mengibaskan lengan bajunya, berlutut memberi hormat.

“Ibu Suri memerintahkan agar Putri Huanzhu dan Putri Mingzhu menghadap ke Istana Zhuning!”

Erkang, Yongqi, Ziwei dan Xiao Yanzi serempak berseru, “Hah? Secepat itu?”

***

Di tempat kediaman Ibu Suri, Istana Zhuning – Ibu Suri, Kaisar, Permaisuri serta Selir Ling telah menunggu.

Bibi Rong dan seorang dayang senior Ibu Suri: Bibi Gui, berdiri di dekat mereka. Para dayang serta kasim yang ada di ruangan itu berdiri tegak serta tak bersuara sedikit pun.

Xiao Yanzi dan Ziwei datang. Keduanya bersujud memberi hormat pada Ibu Suri, Qianlong, Permaisuri serta Selir Ling. Usai itu, Ibu Suri berkata dengan penuh wibawa,

“Angkat wajah kalian! Biar aku bisa melihat kalian dengan jelas!”

Xiao Yanzi dan Ziwei mengangkat kepala dengan takut-takut. Mata Ibu Suri menyapu keduanya.

“Berdirilah!” perintah Ibu Suri. Sesaat kemudian senyum terkembang di wajahnya. “Aku baru saja mendengar kisah tentang kalian berdua. Tak disangka, selama kepergianku beberapa waktu, istana sudah demikian ramai. Aku pun sudah ketinggalan banyak peristiwa seru.”

Begitu melihat Ibu Suri tersenyum dan wajahnya jadi ramah, Xiao Yanzi langsung melupakan perasaan was-wasnya. Dia mencerocos, “Benar sekali, Nenek! Anda sudah ketinggalan kunjungan Raja Tibet! Kompetisi pibu (adu silat)! Dan pernikahan Ertai-Saiya!”

Ziwei segera menarik-narik baju Xiao Yanzi. Putri Huanzhu kita pun menyadari ceplas-ceplosnya.

“Maksudku…,” Xiao Yanzi beringsut. “Lao Foye memang telah ketinggalan banyak peristiwa menarik.”

Qianlong membelalak menatap Xiao Yanzi. Dia terpaksa tersenyum kecut.

“Huang Thaihou, Xiao Yanzi memang demikian. Sampai sekarang belum menguasai tata krama istana. Dia ini lugu dan polos. Jadi kubiarkan dia seperti itu. Mohon Huang Thaihou jangan marah padanya.”

Ibu suri mengernyitkan alis melihat Xiao Yanzi. “Kabarnya kau sudah yatim-piatu. Sebelum masuk istana, apa yang kau kerjakan sehari-hari?”

Xiao Yanzi sedikit terkejut. Dia mengingat-ingat pesan Yongqi. “Duli Lao Foye! Dulu saya mempertontonkan keahlian silat. Beratraksi dan berakrobat. Kadang-kadang juga bersandiwara!”

Ibu Suri tidak mengerti. “Apa? Mempertontonkan keahlian silat? Bersandiwara?”

Ziwei akhirnya bersuara. “Lao Foye, maksud Xiao Yanzi, sebelum masuk istana - dia mencari nafkah dengan mempertontonkan kungfu. Xiao Yanzi bisa sedikit kungfu. Jadi dia memainkan sandiwara untuk memperlihatkan atraksinya.”

Xiao Yanzi mengangguk-angguk. “Ya! Ya! Ya! Seperti itu, Nenek! Eh, salah - Lao Foye… Kalau Anda mau, aku akan mempertunjukkannya!”

Ibu Suri benar-benar tak habis pikir seorang anak perempuan bisa hidup seperti itu. (Dalam benak Ibu Suri, anak gadis ideal adalah mereka yang kalem, tinggal dipingit dalam rumah dan tingkah-lakunya halus. Aduh, jangan harap Xiao Yanzi begitu, booo!)

Alis Ibu Suri makin bertaut. “Aih, kau memang lugu dan polos. Atau aku yang sudah tua, ya – sehingga tidak nyambung dengan bicaramu tadi?”

“Tidak nyambung bagaimana?” Xiao Yanzi menyahut. “Semua itu hanya pertunjukan! Bukan harus berkelahi sungguhan! Anda tak perlu khawatir, Nenek! Eh, salah – Lao Foye… Emm, bolehkah saya memanggil Anda dengan sebutan ‘Nenek’ saja? Panggilan Lao Foye ini benar-benar janggal. Aku tak bisa mengucapkannya dengan lancar!”

Ibu Suri pusing tujuh keliling. Permasuri tersenyum dalam hati. Sedang Qianlong dan Selir Ling mulai cemas.

“Maksudmu apa, sih?” tanya Ibu Suri.

Ziwei kembali menjelaskan, “Lao Foye, maksud Xiao Yanzi, panggilan ‘Nenek’ itu adalah panggilan paling akrab. Begitu melihat Anda ramah dan lembut, dia jadi lupa kalau Anda adalah seorang Ibu Suri.”

Qianlong segera memotong, “Xiao Yanzi! Semua orang memanggil Ibu Suri dengan sebutan ‘Lao Foye’. Jadi kau ikut saja memanggil demikian.”

Air muka Ibu Suri sukar ditebak. Akhirnya dia berujar, “Baiklah. Mengenai Putri Huanzhu ini, aku sudah sedikit paham.”

Ibu Suri lalu berpaling ke arah Ziwei. “Ziwei, jadi sepeninggal Ibumu, kau datang ke Beijing untuk mencari Huang Ama?”

“Ya,” jawab Ziwei hati-hati.

“Aneh sekali!” komentar Ibu Suri. “Sewaktu masih hidup kenapa bukan dia sendiri yang datang? Kenapa harus menunggu saat ajal menjemputnya dan menyuruhmu yang begitu muda ini datang kemari?”

Ziwei gugup. Dia sungguh tidak menyangka kalau pada pertemuan ini, Ibu Suri langsung mengusut soal ibunya.

“Saya… saya tidak tahu, Lao Foye.” terbata-bata Ziwei menjawab. “Mungkin…dia tidak yakin dengan dirinya sendiri…”

“Wah, aneh sekali! Dia tidak yakin pada dirinya sendiri, tapi kenapa justru yakin pada dirimu?”

Wajah Ziwei memucat. Dia tak tahu harus menjawab apa.

Qianlong mencoba menengahi. “Huang Thaihou, masalah lalu, tak perlu diusut lagi.”

“Benar! Tak perlu diusut. Karena kalau diusut pun, tetap tidak ketemu asal-usulnya!” sindir Ibu Suri. Dia terus saja menatap Ziwei lekat-lekat. “Penampilannya sebagai Putri memang menarik! Kudengar dia sudah dijodohkan dengan Fu Erkang, ya?”

“Benar,” jawab Qianlong. Ibu Suri protes. “Dia baru saja dinobatkan jadi Putri. Kenapa begitu cepat dijodohkan?”

Permaisuri sejak tadi mencari kesempatan - segera menyambung dengan licik. “Begini Lao Foye, Putri Mingzhu ini pernah ikut Kaisar dalam perjalanan keluar istana. Disanalah dia dan Erkang menemukan kecocokan dan akrab satu sama lain. Kaisar pun menjodohkan keduanya.”

Ibu Suri tidak suka mendengarnya. “Hmm, menemukan kecocokan dan akrab satu sama lain?” ditudingnya Ziwei. “Kau seorang anak gadis - jangan memutuskan apa-apa sendiri! Sifat buruk ibumu itu jangan kau tiru!”

Kata-kata Ibu Suri seperti pisau menyambar Ziwei. Air mukanya langsung berubah. Ziwei tersinggung dan terhina.

Tapi Ziwei menelan penghinaan itu dan berkata gemetar, “Ziwei memahami petunjuk Lao Foye!”

Ekspresi Ziwei tak luput dari pengamatan Xiao Yanzi. Dia pun jadi geram.

Ibu Suri memergoki kemarahan Xiao Yanzi. Suaranya pun meninggi, “Putri Huanzhu sepertinya tidak puas. Benarkah? Kalau ada yang hendak disampaikan, katakanlah!”

Xiao Yanzi menggigit bibirnya sejenak. Kemudian, karena tak tahan lagi, dia pun berkata keras, “Baik! Karena disuruh bicara, aku akan bicara! Aku tahu Anda seorang Ibu Suri! Perkataan Ibu Suri lebih keramat dari Titah Kaisar! Anda sepertinya menganggap sepele masalah rakyat jelata! Jika demikian, akan kuberitahu juga pendapatku soal istana! Di sini terlalu banyak hal mengada-ada!”

Ibu Suri murka. Dipukulnya meja dan berseru, “Lancang sekali kau! Berlutut!”

Ziwei dan Xiao Yanzi berlutut. Mata Permaisuri yang tajam segera menangkap sesuatu di lutut Xiao Yanzi. Dibisiknya Ibu Suri,

“Lao Foye, Putri Huanzhu ini… entah apa yang dipakai di lututnya itu…”

Ibu Suri juga melihat lutut Xiao Yanzi agak aneh. Dia lalu memerintahkan, “Bibi Gui, Bibi Rong! Coba lihat apa yang terpasang di lututnya itu!”

“Siap!” kedua dayang senior itu maju dan menarik Xiao Yanzi untuk berdiri. Tapi bukan Xiao Yanzi namanya kalau dia tidak melawan. Dengan sekuat tenaga didorongnya keduanya hingga Bibi Gui jatuh terguling.

Bibi Rong langsung mundur. Dia berlutut pada Lao Foye. Dengan berlebihan berseru ketakutan, “Ampuuun, Lao Foye! Budak Anda ini tidak berani lancang pada Putri Huanzhu! Dia bisa kungfu! Dia biasa memukul hamba hingga babak belur!”

Ibu Suri terperanjat. “Apa?!” Ditatapnya Xiao Yanzi. “Kedua dayang ini mewakiliku! Kau berani melawan?”

Xiao Yanzi menyahut. “Kalau aku tidak melawan, berarti aku harus siap-siap menderita! Mana mungkin setiap kali dipukul, tidak ada pembalasan? Kalian tak perlu memeriksa lututku! Akan kuperlihatkan sendiri pada kalian!”

Xiao Yanzi menyingkap roknya dan memeperlihatkan si ‘Gampang Berlutut’. Dia menepuk-nepuknya sambil berkata bangga, “Ini namanya si ‘Gmapang Berlutut’! aku menciptakannya agar setiap kali berlutut, lutut kita akan terlindung dengan baik!”

Qianlong dan Selir Ling sungguh tak tahu apakah harus tertawa atau menangis. Sementara Ibu Suri mengangga.

“Bibi Gui! Bibi Rong! Berikan si ‘Gampang Berlutut’ itu padaku! Sebenarnya, mainan apa itu? Aku ingin tahu sebelum memberinya pelajaran!”

Kedua dayang itu pun bersiap-siap menangkap Xiao Yanzi. Terutaam Bibi Rong. Karena sudah mendapat restu Ibu Suri, dia jadi bernafsu sekali…

“Jangan macam-macam padaku!” Xiao Yanzi menunjuk keduanya. Kemudian dia menjerit, “Jangan macam-macaaaam!!!”

Xiao Yanzi langsung berdiri dan menarik Ziwei. “Ziwei! Ayo lari! Gadis baik-baik tak sudi dihina begitu saja!”

Ziwei tersungkur karena ditarik Xiao Yanzi. “Tidak boleh begitu… Xiao Yanzi! Kembalilah!”

Tapi Xiao Yanzi sudah melesat keluar untuk menyelamatkan diri. Ibu Suri seperti terkena serangan jantung. Semua orang tercengang.

Xiao Yanzi terus berlari keluar Istana Zhuning. Sambil berlari, sesekali dia menoleh ke belakang. Karena matanya mengarah ke belakang, pada sebuah koridor, Xiao Yanzi pun bertabrakan dengan rombongan dayang yang sedang memindahkan barang-barang Ibu Suri.

Aiya! Kau ini siapa? Kenapa lari-lari seperti itu?” tanya seorang gadis paling cantik yang jatuh terjerembab bersama Xiao Yanzi.

Xiao Yanzi membantu gadis itu berdiri sambil mengumpulkan barang-barang bawaannya. Dia melihat sekilas gadis itu. Sepertinya wajah baru. Xiao Yanzi lupa kalau mereka sebetulnya sudah bertemu di Gerbang Taihe tadi. Gadis cantik itu yang memapah Lao Foye turun dari tandu.

“Kau siapa?” tanya Xiao Yanzi.

“Aku Qing’er!”

Xiao Yanzi tak punya waktu berbasa-basi. Dia berkata cepat, “Kau harus hati-hati! Di dalam sana ada seorang Nenek tua yang cereweeet sekali! Dia sedang cari gara-gara denganku! Makanya aku melarikan diri! Kau juga sebaiknya cepat pergi! Ayo cepat!”

Gadis cantik yang bernama Qing’er itu kebingungan melihat Xiao Yanzi. Tepat saat itu penghuni Istana Zhuning sudah berhamburan keluar. Qianlong berteriak keras, “Pengawal! Saiwei! Saiguang! Lekas tangkap Putri Huanzhu dan bawa padaku!”

Para pengawal berseru menyanggupi. Mereka mulai membentuk pagar betis untuk memblokir ruang gerak Xiao Yanzi. Xiao Yanzi melompat kesana-kemari di atas gunung-gunung buatan. Saiwei dan Saiguang mengejarnya. Suasana taman Istana Zhuning jadi heboh dan menggemparkan!

Sambil lari, Xiao Yanzi juga sibuk berteriak, “Huang Ama pernah bilang aku boleh tidak mengikuti aturan istana! Kenapa sekarang Huang Ama ingkar?”

Ibu Suri benar-benar geram.

“Tangkap! Tangkap! Gadis liar macam begini, mana bisa jadi Putri?!”

Melihat Ibu Suri demikian, Permaisuri tambah memanas-manasi.

“Lao Foye, peristiwa begini hanya sebagian kecil saja… Sebelumnya sudah sering terjadi peristiwa lebih menghebohkan…”

Mendengar ribut-ribut di Istana Zhuning, Yongqi, Ertai dan Jinshuo lekas-lekas ke sana. Begitu melihat peristiwa yang terjadi, Yongqi langsung panik.

“Kenapa dia bisa begini? Bukannya tadi sudah berkali-kali diajari?” Yongqi pun berteriak, “Xiao Yanzi! Lekas berhenti!”

Saiwei dan Saiguang berusaha meringkus Xiao Yanzi. Tapi karena Xiao Yanzi tak mau ditangkap, dia mati-matian melawan. Saiwei dan Saiguang berusaha mengalah dari Xiao Yanzi. Pemandangan ini pun menjadi tontonan gratis. (akhirnya Xiao Yanzi memperlihatkan kebolehannya di hadapan Ibu Suri :P).

Ibu Suri benar-benar tidak tahan lagi. Dia berkata tegas pada Qianlong, “Yang Mulia! Ini sungguh tidak pantas!”

Yongqi segera berseru, “Huang Ama! biar aku dan Erkang yang menangkap Xiao Yanzi!”

Keduanya pun melayang dan meringkus Xiao Yanzi. Yongqi buru-buru berbisik, “Kau jangan membuat keributan lagi! Bahkan Huang Ama pun tidak berani jika berhadapan dengan Ibu Suri! Bisa-bisa dia tak dapat membelamu lagi!”

Erkang juga memperingatinya, “Menurutlah! Jangan berbuat kesalahan fatal!”

Kedua pemuda itu membawa Xiao Yanzi ke hadapan Ibu Suri dan lainnya. Yongqi dan Erkang segera berlutut dan memohon ampun bagi Xiao Yanzi. Begitu pula dengan Ziwei yang tiba kemudian.

Qianlong juga mencoba membujuk Ibu Suri. Tapi dasar sifat Xiao Yanzi keras kepala, dia sama sekali tidak berlutut atau mengaku salah. Sebaliknya, mukanya semakin merah karena marah.

Ibu Suri sangat marah melihat Xiao Yanzi demikian. “Aku tak peduli berapa orang yang hendak membela Putri ini! Hari ini harus aku sendiri yang memberi pelajaran padanya!”

Yongqi, Erkang dan Ziwei panik. Ketiganya segera bersujud dan berseru, “Mohon Lao Foye bermurah hati!”

Pada saat situasi segenting itulah, si cantik Qing’er datang menghampiri Ibu Suri. Dia menggandeng lengan Ibu Suri, dengan merdu berkata, “Lao Foye! Anda baru kembali ke istana – masa’ sudah marah-marah? Apa Anda tidak lelah? Menurutku, Putri Huanzhu ini sangat jenaka. Dia telah menyuguhkan tontonan pada kita. Benar-benar meriah! Lao Foye, anggap saja Putri Huanzhu sedang menyambut kedatangan Anda dengan pertunjukan tadi…”

Qing’er berkata dengan riang. Xiao Yanzi dan Ziwei terkesima melihatnya.

Seketika itu juga wajah Ibu Suri melunak. “O, jadi maksudmu aku tak usah memperpanjang masalah ini?”

“Tentu saja, Lao Foye!” jawab Qing’er sambil tertawa-tawa. “Lihat saja kedua Putri ini begitu ketakutan. Mereka kan baru di istana ini. Mereka tidak tahu kalau Anda sebetulnya orang yang berhati lembut dan penuh welas asih. Jadi, semestinya Anda mengampuni mereka saja…”

Ibu Suri akhirnya ikut tertawa. “Baiklah! Demi Qing’er, aku akan mengampuni mereka!” Lalu dilihatnya Ziwei dan Xiao Yanzi, “Sudahlah! Kalian berdua boleh pergi!”

Semuanya terkejut melihat begitu mudahnya Qing’er meluluhkan hati Ibu Suri. Ziwei, Yongqi dan Erkang buru-buru menghaturkan terima kasih. Setelah itu, rombongan Ibu Suri bersiap pergi.

Tapi sebelum pergi, Qing’er sempat melempar senyum penuh makna pada Erkang. Erkang terkejut. Apalagi, Ibu Suri memergoki gerak-gerik Qing’er.

***

Sesampainya di Paviliun Shuofang Xiao Yanzi berkomentar,

“Qing’er itu siapa sih? Mengapa bicaranya bisa begitu berpengaruh pada Ibu Suri?”

Yongqi melirik Erkang penuh arti. “Qing’er itu juga seorang Gege-Putri, seperti kalian.”

“Apa dia putri Huang Ama yang lain?” Ziwei penasaran.

“Bukan,” jawab Erkang. “Dia putri Bangsawan Yu. Bangsawan Yu gugur pada sebuah peperangan sepuluh tahun lalu. Istrinya lalu bunuh diri. Qing’er adalah satu-satunya keturunan Bangsawan Yu. Ibu Suri kasihan melihatnya sebatang kara. Dia pun membawa Qing’er ke istana untuk dibesarkan.”

“Qing’er itu Putri kesayangan sekaligus kepercayaan Ibu Suri,” sambung Yongqi. “Lao Foye tak sanggup berpisah darinya. Beliau menyukai Qing’er – sama seperti Huang Ama menyukai Xiao Yanzi. Begitu melihat Qing’er yatim piatu, hatinya tersentuh dan sejak itu amat menyayanginya.”

Xiao Yanzi kesal sekali. Dia keliling ruangan sambil ngomel-ngomel. “Mana mungkin Huang Ama masih menyukaiku? Tadi waktu Ibu Suri menyudutkan kami, dia sama sekali tidak menolong!”

“Kau jangan menyalahkan Huang Ama. Beliau selalu berniat melindungi kita. Tadi saja – kalau bukan karena Huang Ama membantu bicara, kita pasti sudah kena tamper,” timpal Ziwei.

“Dayang-dayang tua itu… mereka senang sekali menampar ya? Dulu ada Bibi Rong. Sekarang tambah satu lagi: Bibi Gui!”

Erkang pun bertanya cemas, “Sebenarnya tadi ada apa? Mengapa Ibu Suri sampai menyulitkan kalian?”

Ziwei memandang Erkang dan teringat sindiran Ibu Suri tadi. Dia pun mendorong Erkang keluar aula. “Pergilah! Kau jangan keseringan kemari! Kakak Kelima juga! Kembalilah ke Istana Qingyang! Kalau kalian selalu kemari, aku dan Xiao Yanzi bisa tenggelam digunjingkan orang!”

Erkang dan Yongqi terkejut. Erkang menatap Ziwei dengan seksama.

“Aku paham. Permaisuri tadi memanas-manasi Ibu Suri soal hubungan kita, kan? Menurutku, sebaiknya pernikahan kita berempat jangan ditunda lagi! Semakin ditunda, semakin banyak halangan! Pangeran Kelima, kita harus meminta Kaisar untuk segera menentukan tanggal pernikahan kita!”

“Benar! Aku akan memintanya segera!” sahut Yongqi bersemangat.

Ziwei berseru panik. “Kalian jangan sekali-kali mengutarakan maksud itu! Kalau kalian minta segera menikah, Ibu Suri akan mengira kamilah yang tidak sabaran sehingga kami akan lebih malu nantinya!”

Xiao Yanzi menyambung, “Menurutku, Ibu Suri ini benar-benar menyusahkan! Dia sama saja seperti Permaisuri yang memusuhiku! Aku tak mau menikah dengan Pangeran Kelima! Karena setelah menikah dengannya, aku pasti akan melihat wajah Ibu Suri setiap hari!” (Wkwkwkwkwk)

“Apa kau bilang? Tak mau menikah denganku?” pekik Yongqi. “Kita sudah dijodohkan!”

“Kalau begitu, batalkan saja perjodohan itu!” sahut Xiao Yanzi enteng. Semangat Yongqi jadi redup karenanya.

Erkang pun mengeluh, “Kenapa nasib kita begini? Susah payah mendapat restu Kaisar, sekarang kita kembali risau… Aih…”

Yongqi pun ikut mendesah seperti Erkang.

***

Malamnya, Ibu Suri dan Qianlong bicara serius mengenai perjodohan Yongqi-Xiao Yanzi, Erkang-Ziwei.

“Yang Mulia, sebenarnya, apa yang membuatmu tergerak sehingga mengadopsi keduanya sebagai putri?” tanya Ibu Suri.

Kaisar menjawab, “Tentang Ziwei, karena aku telah ingkar janji pada ibunya, maka aku merasa amat bersalah padanya. Ziwei itu sangat cerdas dan santun. Dia juga lemah lembut dan anggun. Benar-benar anak yang luar biasa!”

“Sedang Xiao Yanzi, dia memang menyimpang dari kriteria Putri yang layak. Tapi perasaannya sangat jujur. Tak pernah basa-basi. Kejujuran semacam itu merupakan hal langka bagiku - seorang Kaisar yang telah terbiasa mendengar puji-pujian.”

Ibu Suri mendesah. “Yang Mulia adalah Kaisar yang bajik - merupakan keberuntungan bagi Dinasti Qing kita yang agung. Tapi Xiao Yanzi itu… Gadis yang sama sekali tidak tahu aturan serta tak jelas asal-usulnya, Anda jodohkan dengna Pangeran Kelima, bukankah itu terlalu gegabah?”

“Sampai sekarang Yang Mulia belum menentukan seorang pangeran sebagai putra Mahkota. Berarti Yongqi masih mempunyai peluang. Jika kelak benar Yongqi mewarisi tahta, Xiao Yanzi akan menjadi Permaisurinya. Apakah dia layak menjadi Ibu Negara panutan? Kalaupun dia tidak menjadi istri Putra Mahkota, dia tetap akan menjadi istri seorang Pangeran. Apakah Xiao Yanzi mampu menjadi istri Pangeran?”

Qianlong terkejut. Setiap perkataan Ibu Suri sepertinya tepat mengenai sasaran.

“Untungnya mereka belum dinikahkan. Jadi perjodohan itu masih bisa dibatalkan,” kata Ibu Suri lagi.

Qianlong kaget. Dia menyanggah, “Ini tidak bisa! Perjodohan sudah kutetapkan. Sebagai Kaisar, aku harus menepati janji! Xiao Yanzi pasti akan dididik baik agar mampu mengimbangi Yongqi.”

“Apakah dia masih bisa berubah? Kudengar dari Permaisuri, tingkah lakunya yang kasar itu adalah hal yang biasa dan sudah sering jadi pertunjukan di istana ini!”

“Haish! Permaisuri…,” Qianlong geram.

“Yang Mulia, Anda memang lebih sayang Selir Ling – tapi janganlah mengabaikan Permaisuri. Bagaimanapun, Permaisuri adalah Ibu Negara Anda.”

Qianlong merasa tersudut. Sebetulnya dia marah. Tapi karena sekarang tengah berhadapan dengan ibunya, Kaisar tak bisa berkata apa-apa.

Ibu Suri kembali berkata serius, “Mengenai perjodohan Ziwei dan Erkang juga – menurutku terlalu tergesa-gesa. Apa Yang Mulia sudah melupakan Qing’er?”

Qianlong kembali terperanjat. “Qing’er?”

“Ya! Qing’er-ku, Yang Mulia! Bagaimanapun, dia satu-satunya keturunan Bangsawan Yu yang tersisa. Beberapa tahun lalu kau bilang akan mencarikan calon suami yang tepat bagi Qing’er. Kalau bukan Erkang, ya Ertai. Tapi sekarang Ertai telah menjadi menantu Raja Tibet. Jadi tinggal Erkang…”

Qianlong tersentak. “Mengenai perjodohan Qing’er, aku bisa mengajukan putra bangsawan lain. Pangeran Yongrong – misalnya.”

“Yongrong? Dia terlalu muda, usianya tak sesuai dengan Qing’er!” Ibu Suri memandang Qianlong lekat-lekat. “Qing’er itu gadis yang baik. Dia sudah melayaniku selama sepuluh tahun tanpa pernah mengeluh. Maka dari itu, untuk Qing’er, aku khusus meminta Erkang sebagai suaminya!”

Qianlong ternganga. Kali ini lidahnya benar-benar kelu.

***

Sejak Ibu Suri kembali ke istana, seolah ada batu besar yang menghimpit Erkang.

Bukan hanya memikirkan Ziwei yang sewaktu-waktu bisa mendapat kesulitan dari Ibu Suri dan Permaisuri. Tapi juga Qing’er….

Hari itu, ketika Erkang sedang berjalan melintasi taman istana, secara kebetulan dia berpapasan dengan Qing’er dari arah berlawanan.

“Hai, Erkang! Sudah beberapa lama aku kembali tapi belum sempat ngobrol-ngobrol denganmu…,” Qing’er tertawa ceria. Matanya yang jernih itu menatap Erkang dengan rindu.

Erkang agak kikuk. “Ehm, terima kasih atas bantuanmu waktu itu, ya. Untung ada kau. Jika tidak, Xiao Yanzi pasti tak akan diampuni dengan mudahnya oleh Lao Foye.”

Qing’er kembali tertawa renyah. “Sungguh tak kusangka. Sejak kepergianku bersama Lao Foye ke Gunung Wutai, di sini sudah banyak perubahan.” Qing’er menatap Erkang lurus-lurus. “Erkang, apa kau baik-baik saja selama ini?”

“Ya. Aku baik-baik saja. Ehm, bagaimana denganmu?” Erkang semakin gelisah.

“Masih seperti yang dulu… sepanjang hari mengurus Lao Foye,” Qing’er berbinar-binar. “Terus terang aku agak kecewa karena telah ketinggalan peristiwa-peristiwa seru di istana. kapan-kapan, aku ingin mendengar cerita-cerita itu langsung darimu. Pasti lebih menarik!”

“Kalau ada kesempatan, pasti akan kuceritakan padamu,” ujar Erkang. “Sekarang keadaan memang telah berubah. Tanpa disangka, aku dan Pangeran Kelima telah menemukan jodoh yang merubah takdir kami.”

Qing’er tersenyum penuh makna. “Jodoh itu mungkin telah diatur Langit. Tapi pelaksanaannya tetap ada di tangan manusia, kan?”

Erkang resah. Dia tak bisa menduga kemana arah pembicaraan Qing’er. Pada saat itulah Ziwei dan Xiao Yanzi muncul. Erkang merasa bisa teralihkan dari Qing’er bila mencegat Ziwei dan Xiao Yanzi.

“Hei, kalian mau kemana?” sapa Erkang, menutupi salah tingkahnya karena Qing’er.

Ziwei memandang Erkang. Lalu ganti melihat Qing’er. Dirasanya ada sesuatu yang ganjil di antara mereka.

“Ini Putri Qing’er, kan?” kata Ziwei perlahan.

Qing’er langsung memberi salam. “Panggil aku Qing’er saja!”

Xiao Yanzi langsung berseru riang, “ Qing’er! Tak kusangka, kau ternyata Putri yang rendah hati! Betapa besarnya pengaruhmu pada Lao Foye!”

Qing’er tersenyum mendengar pujian itu. Dia tak dapat menahan diri untuk memandang Ziwei. Dari atas hingga bawah.

Erkang mencoba memperkenalkan mereka agar ketiga gadis itu dapat akrab.

“Ziwei, Xiao Yanzi, ini Qing’er. Dia Putri kesayangan Lao Foye. Siapa tahu kalian kelak memerlukan bantuannya.”

Ziwei menghaturkan salam. “Tolong sering-seringlah menjagaku,” katanya berbasa-basi.

“Wah, aku mana sepadan menjagamu? Aku sudah mendengar kisah ‘Putri asli dan palsu’. Aku hanya kesayangan Lao Foye. Sedang kalian berdua adalah kesayangan banyak orang!” Qing’er menyahut dengan suara merdu. Lalu dia tertawa.

“Lao Foye sedang menyuruhku melakukan sesuatu. Jadi kau tak bisa lama-lama di sini. Aku pergi dulu. Lain kali aku akan bicara panjang lebar dengan kalian. Sampai jumpa!”

Qing’er pun berlalu. Tapi sekejap sebelum dia pergi, dipandangnya Erkang.

Erkang salah tingkah. Ziwei langsung merasa curiga. Dia termangu. Menatap punggung Qing’er hingga gadis itu berlalu dari pandangannya.

***

Graha Huipin akhirnya dibuka untuk umum.

Pada hari pembukaan, Graha Huipin ramai serta hiruk-pikuk. Orang-orang berkumpul untuk menyaksikan keramaian. Mereka juga sibuk berbisik-bisik.

“Kabarnya Graha Huipin ini koneksinya kuat. Ia didukung seorang Pangeran!”

“Bukan hanya Pangeran, tapi juga Putri Huanzhu!”

Dia antara kerumunan itu tampak beberapa pria bersorban putih. Mereka menangkap pembicaraan orang-orang itu dengan saksama. Satu diantaranya agak menonjol. Dia jangkung dan berwajah pucat. Matanya berkilat-kilat.

Pria-pria itu berpenampilan beda dari orang-orang Beijing pada umumnya. Pakaiannya menunjukkan kalau mereka berasal dari negeri asing. Pria yang tampak menonjol itu sepertinya adalah pemimpin kelompok - sementara yang lain adalah pengikutnya.

Liu Qing dan Liu Hong sibuk menyambut para tamu. Xiao Yanzi dan kawan-kawan juga memeriahkan upacara pembukaan dengan menampilkan atraksi barongsai dan tarian naga.

“Selamat! Selamat atas pembukaan Graha Huipin hari ini!” Erkang berujar sambil menyoja Liu Qing dan Liu Hong.

Liu Qing dan Liu Hong sangat senang melihat kedatangan mereka. Liu Hong bertanya pada Ziwei, “Bagaimana dengan Ibu Suri? Apakah dia galak? Tempo hari kalian pulang dari sini dengan muka belepotan cat. Apa yang terjadi setelah itu?”

Xiao Yanzi langsung memotong. “Aih! Lao Foye itu seperti lampu hemat minyak! Dia benar-benar penghalang! Sekarang saja kami nyaris tak bisa keluar!”

“Ssssttt…!” Erkang segera memperingatkan Xiao Yanzi yang bicaranya agak keras. Xiao Yanzi serta merta beringsut dan terdiam.

Petasan dinyalakan. Bunyi ledakan pun bergema-gema. Usai demikian, Xiao Yanzi dan kawan-kawan dijamu Liu Qing dan Liu Hong ke dalam Graha Huipin.

Pada hari pertama pembukaannya, Graha Huipin sudah menarik banyak pengunjung. Liu Qing mempekerjakan beberapa ex penghuni rumah kumuh di sana. Tapi melihat betapa ramai pengunjungnya, Xiao Yanzi tidak tahan berdiam diri. Dia pun berkata penuh semangat,

“Kelihatannya ramai sekali. Para pelayan pasti sibuk! Biar aku membantu melayani tamu!”

Liu Hong mencoba mencegah. Tapi Xiao Yanzi sudah melompat berdiri dan mengambil
nampan dari salah satu pelayan untuk diantarkan ke sebuah meja. Nampan itu berisi mangkuk sup panas yang masih mengepul. Xiao Yanzi meluncur cepat. Tepat pada saat bersamaan, rombongan pria bersorban melangkah masuk. Xiao Yanzi tidak sempat menghindar. Dia pun menabrak pria-pria itu…

Xiao Yanzi menjerit. Pria-pria itu sempat berkelit. Tapi kuah sup dalam nampan tumpah dan mengenai si pria jangkung berwajah pucat. Serta-merta dia membentak, “Kau tak punya mata ya?!”

Xiao Yanzi langsung merasa menyesal dan meminta maaf. “Ini hari pertamaku bekerja di sini. Jadi belum berpengalaman. Maafkan aku…,” Xiao Yanzi mengambil kain lap dan menyeka tumpahan sup di pakaian pria itu.

Pria itu langsung terlonjak dan alisnya mengerut. Tatapannya sama sekali tidak ramah.

“Jangan lancang padaku!” hardiknya.

Xiao Yanzi, yang selama ini sulit minta maaf, marah karena dibentak. Dia pun melempar kain lap dan menantang, “Aku kan sudah minta maaf, kenapa kau malah memakiku? Apa kau kira karena kau tamu, aku tak berani melawanmu?”

Melihat Xiao Yanzi yang mulai ribut dengan tamu, Liu Hong segera datang menengahi.

“Xiao Yanzi, jangan bertengkar. Tamu itu adalah Raja.” Liu Hong lalu berkata kepada rombongan pria itu, “Mari, mari, silakan Tuan-Tuan duduk sebelah sini…”

Pria-pria bersorban itu bermaksud mengikuti Liu Hong. Akan tetapi, tiba-tiba saja Xiao Yanzi menghadang dan melayangkan pukulan ke arah si jangkung.

Pria jangkung itu berkelit dengan gesit. Dia sama sekali tak berniat bertarung dengan Xiao Yanzi.

Tapi Xiao Yanzi mendesaknya terus. Sampai-sampai dia berteriak, “Kau ini laki-laki atau banci? Kenapa sungkan-sungkan begitu?”

Pria jangkung itu tersinggung berat. Dia pun melayang dan melayani tantangan Xiao Yanzi di luar Graha Huipin.

Xiao Yanzi bertarung dengan orang asing itu. orang-orang mulai berkerumun menyaksikan.Yongqi, Erkang dan lain-lainnya memperhatikan dengan cemas.

“Siapa orang-orang ini? Sepertinya mereka bukan orang Beijing…,” kata Erkang.

“Mereka itu orang-orang Hui – orang muslim di barat laut,” sahut Liu Qing. “Aku tahu dari sorbannya. Akhir-akhir ini banyak orang Hui berdatangan ke Beijing.”

Xiao Yanzi jelas bukan tandingan pria asing ini. Dengan mudahnya pria asing itu menyambar kerah baju Xiao Yanzi - bersiap menghempasnya.

Yongqi langsung berteriak, “Hei! Lepaskan dia!” – dia pun melompat masuk arena.

Begitu melihat Yongqi menyerang, para pengikut pria bersorban juga bergabung. Dan ketika pria-pria bersorban itu bertarung, Erkang dan Liu Qing pun turun tangan.

Erkang berhasil menendang dada si pria jangkung. Pria itu nyaris terjengkang jika saja Erkang tidak bergegas mencengkeram tangannya.

“Tuan, sudahilah pertarungan ini!” seru Erkang. Tiba-tiba dia merasa tangannya basah. Rupanya tangan pria asing yang dipegangnya itu berdarah!

“Kau terluka? Jadi kau bertarung dalam keadaan terluka? Sungguh tak kuduga!”

Pria jangkung itu menatap Erkang dengan wajahnya yang pucat seputih kertas. Dia sempoyongan. Erkang segera berseru agar orang-orang berhenti berkelahi.

Semua orang pun berhenti bertarung. Pria-pria bersorban segera menghampiri si jangkung yang lengan bajunya telah berlumuran darah. Salah seorang diantaranya mengeluarkan botol pil dari balik baju dan meminumkannya kepada si jangkung.

Xiao Yanzi melihat semuanya dan memekik, “Jadi ternyata kau terluka? Kau terluka tapi masih bisa bertarung seperti tadi! Benar-benar hebat! Tuan Pendekar, Xiao Yanzi mengaku kalah!”

Pria jangkung itu memaksakan diri tersenyum. Sejurus kemudian, pandangannya menggelap dan dia jatuh tak sadarkan diri.

***

Pria asing itu dibawa ke salah satu kamar Graha Huipin.

Liu Qing dan Liu Hong mengolesi obat serta membebat luka-lukanya. Semua orang berkumpul di kamar. Para pengikut pria itu mengawasi. Mereka tak sepenuhnya bisa bicara mandarin sehingga tak bisa ditanyai apa-apa.

Erkang pun menduga-duga. “Sepertinya mereka ini merahasiakan sesuatu. Mereka pernah bertarung di tempat lain.”

Sambil lukanya diperban, pria asing itu perlahan-lahan sadar. Begitu melihat banyak orang yang berkerumun melihatnya, dia lekas-lekas bangkit duduk di pembaringan.

Liu Qing segera menyangganya. “Tuan, lebih baik kau berbaring. Lukamu sudah kami obati dan dibalut. Obatku untuk luka tersayat itu sangat manjur. Kalau diolesi tiap hari, kujamin dalam setengah bulan kau pasti sudah sembuh.”

Pria asing itu tetap berusaha duduk tegak. Dia lalu menyoja mereka sambil berkata, “Terima kasih karena kalian semua sudah repot-repot mengurusku!”

Erkang menasihati, “Tubuhmu terluka begini, kau harus bisa menjaga diri. Jangan sembarangan berkelahi!”

Pria itu tertawa getir. “Kadang-kadang, kalau kita bertemu dengan orang yang bersikeras mengajak berkelahi, kita tak bisa menolak, kan?”

“Maksudmu aku?” Xiao Yanzi terbelalak. “Kalau kutahu kau terluka, tak mungkin aku menantangmu! Aku tak pernah menggunakan kesempatan dalam kesulitan! (alaaaa, Xiao Yanzi! Bilang saja kau memang sengaja cari gara-gara! :D) Tapi, bagaimana kau bisa terluka seperti ini?”

Pria asing itu tersenyum getir. Dia terdiam.

“Tuan, bagaimana kami harus memanggilmu?” tanya Yongqi.

Pria asing itu menatap mereka semua dengan ragu. Dia tak langsung menjawab.

“Kau sepertinya orang Shengjiang - ‘Jahe Muda’, kan?” tukas Xiao Yanzi.

“Jahe muda?” pria asing itu terkejut.

“Maksudnya, kau ini orang Hui dari Xinjiang, kah?” Yongqi menjelaskan.

Pria asing itu kembali menatap Xiao Yanzi dan kawan-kawan. Akhirnya dia pun berkata terus terang, “Aku memang orang Uyghur. Margaku Meng. Namaku Dan.”

Erkang, Yongqi dan lain-lainnya mulai memperkenalkan diri. Yang berasal dari istana tentu saja tidak menjelaskan jati diri mereka yang sebenarnya. Terakhir, Xiao Yanzi menambahkan,

“Pokoknya kami di sini semua keluarga! Ada yang jadi saudara angkat. Ada yang jadi teman sehidup-semati. Ada yang jadi teman tanpa pamrih… Pokoknya kau tidak sia-sia telah berdarah hari ini – karena kau jadi mendapat banyak teman!”

Xiao Yanzi bertanya lagi karena penasaran. “Bukankah daerah asalmu jauh sekali dari sini? Apa yang kau lakukan di Beijing? Bagaimana bahasa mandarinmu begitu fasih?”

Meng Dan ragu-ragu. “Sejak kecil aku memang sudah belajar bahasa mandarin. Aku sebenarnya berasal dari keluarga kaya dan berpengaruh di Xinjiang…” Meng Dan menatap mereka semua. “ Aku… punya permintaan. Aku ke Beijing ini dengan merahasiakan identitasku. Kulihat Anda sekalian adalah orang-orang baik. Kumohon, bantulah aku menjaga rahasia itu!”

“Aku tahu! Kau pasti sedang lari dari kejaran musuh, kan?” ujar Xiao Yanzi sok tahu. “Percayalah pada kami! Kami pasti takkan membocorkannya. Tapi kau harus meluluskan satu permintaanku!”

“Apa itu?”

“Kau harus menjadi guru silatku!”

Meng Dan terkejut. “Mana bisa aku jadi gurumu?”

Xiao Yanzi merajuk. “Kenapa tidak bisa? Aku telah mengakuimu sebagai Guru! Kelak aku akan membantumu mengenyahkan musuh-musuhmu!”

Meng Dan terbelalak. Melihat Xiao Yanzi yang terus mendesak, Ziwei tak tahan lagi untuk mengingatkan.

“Xiao Yanzi, jangan meributkan soal pengangkatan guru ini! Kita sudah lama keluar. Sekarang kita harus pulang sebelum mendapat kesulitan!”

Yongqi dan Erkang tersentak. Mereka melihat keluar jendela. Langit memang perlahan-lahan telah temaram karena menjelang senja.

“Benar! Ayo kita segera pulang!” seru Erkang.

Xiao Yanzi menyoja Meng Dan sambil berkata, “Sementara ini, Xiao Yanzi meninggalkan Guru! Rawatlah lukamu baik-baik!”

Jinshuo menarik Xiao Yanzi agar bergegas. “Jangan bertele-tele! Liu Qing dan Liu Hong akan merawat ‘Guru’mu!”

Demikianlah awal perkenalan Xiao Yanzi dan kawan-kawan dengan si pria Hui: Meng Dan.

***

Sesampainya di istana, hari memang sudah petang.

Semuanya mengendap-endap melewati taman menuju Paviliun Shuofang. Pada sebuah kompleks gunung buatan, Erkang menarik Ziwei. “Aku perlu bicara sebentar denganmu!”

Ziwei langsung menoleh ke kanan-kiri. “Kau ini apa-apaan? Jangan-jangan terlihat orang!”

Xiao Yanzi cekikikan menggoda keduanya. “Sana! Cepatlah bicara!”

Xiao Yanzi mendorong Ziwei pada Erkang kemudian melambaikan tangan menuju Paviliun Shuofang.

Erkang menarik Ziwei ke balik gunung buatan. Ziwei sangat cemas.

“Kalau ada sesuatu, lekaslah kau katakan!”

Erkang mengatur kata-katanya sebelum akhirnya bicara, “Ziwei, sejak Ibu Suri kembali,aku senantiasa khawatir. Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan padamu. Ini menyangkut soal Qing’er dan Jinshuo.”

Ziwei tersentak. “Qing’er? Jinshuo?”

“Ya. Pertama-tama, aku akan memberitahumu soal Qing’er,” kata Erkang. “Sebenarnya, setelah Putri Keenam wafat, Kaisar pernah bernait menjodohkan Qing’er denganku. Tapi waktu itu karena Qing’er masih anak-anak, usul ini tidak ditanggapi serius. Aku khawatir kalau orang lain yang bilang, hal ini akan dilebih-lebihkan. Makanya aku ingin memberitahumu duluan.”

Wajah Ziwei semakin cemas. Dia teringat ekspresi Erkang dan Qing’er ketika berbincang-bincang tempo hari. Qing’er yang molek dan cantik. Qing’er yang suaranya riang dan merdu….

“Kelihatannya kalian berdua punya ‘masa lalu’ ya? Dan sampai sekarang dia masih punya tempat di hatimu! Sekarang aku mengerti. Kau mengenalnya lebih dulu! Tapi karena dia pergi bersama Lao Foye ke Gunung Wutai, kalian jadi berjauhan sehingga kau pun melupakannya. Tapi sekarang dia telah kembali. Jadi ‘masa lalu’ itupun ikut kembali!”

Erkang tak menduga Ziwei akan salah paham seperti itu. “Kau bilang apa? Aku bermaksud menceritakan semua ini agar kita bersama Pangeran Kelima segera merencanakan pernikahan. Aku bersumpah tak punya masa lalu apapun denga Qing’er! Lao Foye sangat disiplin dan ketat – tidak mungkin membiarkan Putri didikannya sembarangan bertemu pria! Sungguh tidak adil kalau kau menuduhku demikian!”

Erkang agak marah sehingga Ziwei menyesal. Air matanya pun mulai jatuh.

“Maaf… aku tadi agak cemburu… Qing’er itu sangat cantik. Begitu pintar. Aku merasa… seolah dia ancamanku. Aku takut… di hadapannya aku merasa tak ada apa-apanya…”

Erkang jengah melihat Ziwei menangis. Sebenarnya maksud Erkang baik. Dia hanya ingin menjelaskan persoalan Qing’er sebelum Ziwei mendengar gosip-gosip tidak jelas dari orang lain. Tapi tak diduganya rekasi Ziwei jadi begini.

“Aku juga salah karena bicara agak keras tadi. Aku juga minta maaf. Jangan menangis. Satu hal yang kuingin kau tahu, tak peduli apapun yang terjadi kelak, kau satu-satunya wanita yang kucintai. Tak perlu takut – tak akan ada wanita lain menjadi sainganmu!”

“Ya! Ya! Aku percaya. Lalu, tadi kau bilang mau bicara soal Jinshuo? Apa Jinshuo pernah berkata sesuatu padamu?” (teman-teman masih ingat kan saat Ziwei terikam belati, dia menyerahkan urusan pernikahan Jinshuo pada Erkang. Dalam arti, Jinshuo kelak akan menjadi Selir Erkang).

“Tidak! Tidak jadi…,” jawab Erkang segera. Mereka mendengar langkah-langkah kaki mendekat. Ziwei jadi panik dan Erkang juga tak bisa menahannya lama-lama.

Ziwei melepaskan diri dari genggaman Erkang dan keluar dari gunung buatan. Sebelum pergi dia masih sempat mendengar Erkang berbisik, “Ingatlah! Hanya kau satu-satunya wanita di hatiku!”

Dengan perasaan haru, Ziwei lekas-lekas berlari ke Paviliun Shuofang. Tapi sesampainya di sana, perasaan melankolisnya langsung lenyap.

Seluruh pelayan Paviliun Shuofang sibuk dan cemas. Ziwei melihat Xiao Yanzi tengah berganti pakaian dan berdandan lengkap sebagai Putri.

Jinshuo segera menarik Ziwei sambil berkata panik, “Cepat, Nona! Kau harus lekas-lekas berganti pakaian dan sepatu, menyisir rambut serta memakai perhiasan. Ibu Suri telah mengutus orang untuk mengundang seluruh Pangeran dan Putri makan malam di istana Zhuning! Ya ampun, kurasa kalian pasti sudah terlambat!”

***

Di Istana Zhuning, Ibu Suri tengah menunggu dengan gusar.

Hampir seluruh keluarga Kaisar hadir dan duduk mengelilingi beberapa meja bundar besar. Ibu Suri duduk semeja dengan Kaisar, Permaisuri, para selir dan Qing’er.

Yongqi datang terlambat dan tergesa-gesa. Ketika dilihatnya Ziwei dan Xiao Yanzi belum tiba, hatinya pun cemas.

Bibi Rong dan Bibi Gui berdiri tidak jauh dari tempat duduk majikan mereka. Para dayang dan kasim berdiri diam menunggu perintah.

Ibu Suri tidak tahan untuk tak berkomentar, “Sebenarnya Xiao Yanzi dan Ziwei ini kemana? Mentang-mentang Putri, bisa keluar istana semaunya! Selir Ling, kau jangan terlalu menuruti mereka!”

Ditegur demikian, Selir Ling merasa malu dan ketakutan. “Saya mengaku bersalah, Lao Foye. Setahu saya, mereka cuma pergi ke rumah Fulun. Saya pikir, karena masih kerabat, tidak apa-apa jika mereka ke sana.”

“Meski ke rumah Fulun sekalipun, mereka tetap tidak boleh kesana! Seorang Putri itu dibatasi banyak aturan! Coba lihat Qing’er! Kapan dia pernah keluar istana diam-diam?”

Qianlong mencoba membela Selir Ling dan kedua putrinya. “Huang Thaihou, jangan menyalahkan Selir Ling. Xiao Yanzi dan Ziwei memang mendapat ijin khusus dariku. Kalau hendak keluar istana, mereka cukup melapor pada Selir Ling. Keduanya berasal dari rakyat jelata. Jadi tentu sekali waktu rindu ingin melihat kehidupan di luar sana.”

Ibu Suri berkata tidak setuju. “Yang Mulia keliru kalau begitu! Mendidik Putri tidak sama dengan mendidik Pangeran. Kalau terjadi sesuatu, siapa yang mau bertanggung jawab? Yongqi! Apakah keduanya pergi bersamamu?”

Yongqi memberanikan diri, “Duli, Lao Foye! Keduanya memang pergi bersama hamba!”

“Kalian benar-benar pergi ke rumah Fulun? Apa yang kalian kerjakan di sana?” Ibu Suri mendelik penuh kecurigaan.

“Duli Lao Foye! Setibanya di sana, kedua Putri berbincang dengan Fuqin sedang saya dan Erkang berkuda ke daerah sekitarnya.”

“Hmm… Begitukah?”

Tiba-tiba terdengar seruan kasim yang mengumumkan kedatangan Ziwei dan Xiao Yanzi. Kedua gadis itu berjalan masuk. Mereka bersujud dan mengucapkan salam dengan takut-takut.

Ibu Suri mendengus. “Kalian dari mana saja tadi?”

Xiao Yanzi mengangkat kepala dan melirik Yongqi. Yongqi menggerakkan mulutnya –memberi isyarat ‘Fu Jia’ – Rumah keluarga Fu.

Tapi Xiao Yanzi menangkap isyarat itu sebagai ‘Pu Sa’ – bodhisatva (calon Buddha). Dengan lirih dia berkata, “Kami… kami pergi melihat patung Buddha…”

“Apa katamu? Lebih keras sedikit!”

“Duli Lao Foye! Tadi… kami pergi melihat patung Dewi Guanyin Pu Sa di klenteng!” (Dewi Guanyin = Kuan Im atau Bodhisatva Avalokitesvara)

“HA? APA???” Ibu Suri berteriak. (O-ow! Jawaban Xiao Yanzi tidak sama dengan Yongqi!)

Xiao Yanzi merasa cemas karena pasti ada yang salah. Dilihatnya Yongqi yang mendesah dan memegang jidatnya. Dia tak bisa apa-apa lagi. Diulangnya perkataannya, “Benar Lao Foye! Kami pergi melihat patung Dewi Guanyin Pu Sa di klenteng!”

Ibu Suri membuang sumpitnya hingga berdenting. Dia melototi Xiao Yanzi.

“Pembohong! Kalian berdua harus dihukum berlutut di Kamar Gelap! Bibi Rong! Bibi Gui! Seret mereka pergi! Xiao Yanzi, kalau kau berani meloloskan diri seperti hari itu, akan kupatahkan kakimu!”

Qianlong, Selir Ling dan Yongqi sangat cemas. Sementara Permaisuri tersenyum puas. Yongqi melihat ke arah Qing’er dan memohon bantuan. Qing’er mengerti. Dia coba membujuk Ibu Suri, “Lao Foye, apa Anda sungguh ingin menghukum keduanya?”

Ibu Suri tahu Qing’er sedang berusaha membujuknya. Dia berkata tegas, “Qing’er kau tak kuijinkan membantu mereka kali ini! Kalau kali ini mereka diampuni lagi, mereka akan semakin tidak tahu diri!”

Bibi Rong dan Bibi Gui dengan pongah menyeret Ziwei dan Xiao Yanzi. Xiao Yanzi serta-merta memberontak. Dia menjerit-jerit, “Kamar Gelap itu tempat apa? Aku tak mau ke sana! Aku tak mauuuu!!!”

Xiao Yanzi berhasil melepaskan diri dari kedua dayang dan menghambur ke arah Qianlong. Dia memohon-mohon, “Huang Ama! Dulu Anda bilang aku bisa keluar istana. Aku juga boleh berbuat bebas dan tak perlu basa-basi. Anda tidak pernah cerewet menuntutku ini-itu. Tapi kenapa sekrang Anda seakan telah melupakan semua itu?”

Qianlong serba salah. Tapi di hadapan Ibu Suri yang lebih tua, Qianlong terpaksa memarahi Xiao Yanzi.

“Aku memang pernah mengatakannya. Tapi aku tidak pernah mengatakan kalau kau bisa berbohong, membuat keributan, berbicara kasar serta tak tahu tata krama!”

Melihat Qianlong dan Qing’er tak dapat membantu banyak, Yongqi pun bangkit dan memohon pada Ibu Suri.

“Duli, Lao Foye! Sayalah penyebab semua masalah ini! Mereka berdua hanya mengikuti! Tadi siang kami semua memang menyamar sebagai rakyat biasa pergi melihat-lihat patung Buddha di Klenteng. Mohon Lao Foye menghukum saya saja – ampunilah mereka berdua!”

Ibu Suri sangat marah hingga kepalanya pusing. “Yongqi! Kau juga harus tahu batas! Kau itu bukan anak kecil lagi! Kenapa ikut-ikutan bodoh seperti mereka?”

Yongqi bersujud. “Lao Foye benar. Saya memang bersalah!”

Bibi Rong dan Bibi Gui kembali menyeret Ziwei dan Xiao Yanzi. Bibi Rong memanfaatkan kesempatan ini untuk mencengkeram tubuh Xiao Yanzi kuat-kuat.

Aiya! Bibi Rong mau membunuhku!” jerit Xiao Yanzi. Lalu dia roboh dengan bola mata berputar.

Ziwei terperanjat. Dia merangkak mencapai Xiao Yanzi. Digoyang-goyangkannya tubuhnya sambil berkata, “Xiao Yanzi! Kau kenapa? Bangunlah!”

Tapi Xiao Yanzi tak bergeming. Melihat tunangannya pingsan, Yongqi sangat cemas. Kemarahan menyerangnya dan ditumpahkannya pada Bibi Rong.

“Bibi Rong! Kekejian apa yang kau lakukan padanya? Kau menusuk orang dengan jarum lagi? Ayo jawab! JAWAB!”

Bibi Rong ketakutan dan bersujud. “Hamba tidak melakukan apa-apa! Hamba tidak melakukan apa-apa!”

Ziwei membungkuk dan mengawasi Xiao Yanzi. Tiba-tiba XiaoYanzi mengedipkan sebelah mata padanya. Ziwei sangat kaget. Rupanya Xiao Yanzi cuma berpura-pura!

Qianlong dan Selir Ling sudah berjalan mendekat. “Ada apa dengan Xiao Yanzi?” tanya Qianlong. Ziwei benar-benar kebingungan. Diam-diam dirasanya Xiao Yanzi mencubitnya. Semua mata tertuju pada mereka. Mau tak mau, Ziwei pun bersandiwara…

“Huang Ama, belakangan ini, Xiao Yanzi suka jatuh pingsan mendadak! Sepertinya dia punya kelainan pada jantung tapi selalu ditutupinya. Entah hal apa yang dilakukan Bibi Rong tadi sehingga Xiao Yanzi pingsan lagi…”

Ziwei bicara mengiba-iba sehingga Qianlong merasa cemas. Dibentaknya Bibi Rong: “Kau manusia jahat! Bisamu cuma menyiksa, berpikiran sempit dan melakukan hal-hal keji! Kau jelas-jelas tahu keduanya adalah Putri kesayanganku! Apa kau sudah bosan dengan kepalamu?”

Bibi Rong benar-benar ketakutan. Dengan gemetaran dia bersujud, “Mohon Yang Mulia berbelas kasihan! Hamba memang pantas mati! Hamba memang pantas mati!”

Tiba-tiba Permaisuri bangkit berdiri dari kursinya dan menghampiri Xiao Yanzi. Dia berkata pada Qianlong, “Yang Mulia tak usah cemas. Untuk yang tiba-tiba jatuh pingsan, saya punya cara untuk menyadarkannya kembali…” (Oh, tidak! Apa yang akan dilakukan Permaisuri? Apa?)

Permaisuri mencabut tusuk kondenya. Lalu dengan bagian yang runcing, menusuk ke kulit antara bibir atas dan hidung Xiao Yanzi.

“AUW! MAMA!!!” kontan saja Xiao Yanzi terlonjak memekik. Permaisuri tersenyum penuh kemenangan.

“Yang Mulia sudah lihat kan? Dia langsung sadar…” (Aih, walau ini adalah kemalangan Xiao Yanzi, mau tidak mau aku tetap ketawa dibuatnya :D)

Xiao Yanzi menggertakkan gigi saking bencinya. Bibir atasnya bengkak dan berdarah.

Tapi Xiao Yanzi tidak gampang menyerah begitu saja. Sandiwara terus berlanjut. Dengan sempoyongan ditatapnya berkeliling. “Kesalahan apa lagi yang kulakukan? Huang Ama, maafkan aku… aku selalu saja salah…” Habis itu dia limbung lagi. (Wkwkwkwk).

Selanjutnya, suasana jadi geger. Xiao Yanzi ditandu ke Paviliun Shuofang. Tabib Hu dipanggil untuk memeriksanya. Setelah Tabib Hu dan Qianlong pergi, barulah Xiao Yanzi berani membuka kelopak matanya.

“Putri, tadi itu tidak lucu! Kau pura-pura pingsan tapi kami semua hampir pingsan betulan!” kata Mingyue.

“Kalian tenang saja! Aku ini tidak gampang mati!” Xiao Yanzi berkata bangga. “Aku ini burung berkepala sembilan! Satu dipenggal, masih sisa delapan! Tapi… Permaisuri itu benar-benar brengsek! Waktu Huang Ama hendak membuangnya ke penjara, mestinya Ziwei tak memohon ampun baginya! Biarkan saja dia botak dan menjadi biksuni! Sekarang setelah Ibu Suri kembali, dia mulai berulah lagi!”

”Tabib Hu juga cerdik. Dia juga mengikuti permainan sandiwara kita. Memberimu setumpuk obat dan menasihati panjang-lebar…,” Ziwei tertawa. “Kau benar-benar berani! Bukannya berembuk denganku dulu… Begitu mau pingsan, langsung saja pingsan! Hampir saja aku tak mampu mengimbangi sandiwaramu… Tipuan ini lain kali tak boleh digunakan lagi!”

Xiao Yanzi berpikir, “Lain kali, gantian kau yang pingsan! Kau kan pernah tertusuk pisau, pasti lebih meyakinkan!”

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu kamar. Xiao Dengzi melapor, “Kedua Putri, Pangeran Kelima dan Tuan Muda Fu datang berkunjung.”

Ziwei terlompat. “Sungguh berani mereka! Malam-malam masih kemari! Kalau sampai ketahuan Ibu Suri, kita semua akan dicap tidak tahu malu!”

Ziwei dan Xiao Yanzi pun menemui kedua pemuda itu di aula. Yongqi segera menanyai Xiao Yanzi, “Apa kau sudah sembuh? Tadi itu sungguhan atau cuma pura-pura?”

Xiao Yanzi terbahak-bahak. “Tentu saja pura-pura! Badanku demikian sehat, mana mungkin gampang pingsan!”

Yongqi menghembuskan napas lega. “Syukurlah… tapi bibirmu jadi bengkak.”

“Tidak apa-apa! Sudah diberi setumpuk obat, kok!”

Erkang bertanya beberapa hal kemudian berpikir-pikir. “Ibu Suri terkenal cerdik. Malam ini mungkin Beliau memang terkecoh oleh kalian. Tapi kalau dia sudah menyadari yang sebenarnya, dia akan memmanggil kalian lagi! Sekarang kita harus sepakat jawaban apa yang akan kalian berikan. Jangan sampai Ziao Yanzi menyebut ‘patung Buddha’ lagi…”

“Semuanya gara-gara Pangeran Kelima! Menyebut ‘Patung Buddha’ segala!” Xiao Yanzi bersungu-sungut.

“Nenek Xiao Yanzi! Aku bilang ‘Fu Jia’ – Rumah Keluarga Fu!” balas Yongqi.

Xiao Yanzi mengomel, “Kenapa kau tak bilang ‘Erkang’ saja? Pasti aku lebih mengerti!”

Erkang menyahut, “Kalau Pangeran Kelima bilang ‘Erkang’, dengan kepandaianmu, kau mungkin menerjemahkannya sebagai ‘shui kang’ – teko air!”

“Brrrffffttt!” Xiao Yanzi yang sedang minum teh langsung tersedak. Tehnya sampai muncrat dari mulutnya. Semua orang tertawa terpingkal-pingkal.

Pada saat mereka sedang tertawa-tawa, dari luar terdengar seruan kasim, “Yang Mulia Kaisar tiba!”

Semua orang di aula Paviliun Shuofang langsung kalag-kabut. Xiao Yanzi hendak kembali dalam kamar tapi terlambat, Qianlong sudah memasuki aula.

Semuanya menghaturkan salam pada Qianlong. Melihat Yongqi dan Erkang juga berada di sana, Qianlong mengerutkan alis.

“Wah! Ramai sekali Paviliun Shuofang ini! Yongqi, Erkang, selarut ini kalian masih menjenguk orang sakit di sini, ya?”

Qianlong menatap Xiao Yanzi. “Xiao Yanzi! Cepat sekali kau sembuh! Ilmu Tabib Hu pasti semakin lihai! Dia telah mamberimu pil dewa! Sekarang apakah kau masih pusing? Dadamu masih sakit?”

Xiao Yanzi segera pura-pura lunglai dan merintih. “Huang Ama.., kepalaku masih nyut-nyut, dadaku masih agak sesak…”

Qianlong menggebrak meja dan berseru, “Masih berani berbohong ya? Kau ingin napasmu benar-benar putus baru tahu rasa? Kalian semua masih tidak mau terus terang? Hari ini sebenarnya kalian ke mana? Apa-apaan pakai bilang ‘melihat patung Guanyin Pusa’ segala!”

Erkang akhirnya maju dan menjawab, “Mohon Yang Mulia jangan marah. Hari ini kedua Putri keluar istana untuk menjumpai dua kawan lama mereka: Liu Qing dan Liu Hong. Kedua Bersaudara Liu itu membuka rumah makan – jadi kami semua kesana untuk memberi selamat. Tapi karena sudah lama tak berjumpa, kami keasyikan ngobrol hingga lupa waktu.”

“O, begitukah?” Qianlong berpikir sejenak. “Baik juga punya teman di luar istana. Aku saja ada beberapa. Waktu Ibu Suri bertanya, kenapa kalian tidak berterus terang saja?”

Ziwei menjawab, “Huang Ama orang yang sangat memahami kami. Di hadapan Anda, kami berani berkata jujur. Tapi di istana ini hanya sedikit orang yang berpandangan luas seperti Anda!”

Perkataan Ziwei membuat Qianlong tersenyum. Dia lalu tertawa terbahak-bahak, “Xiao Yanzi memang o-on! Aku saja tahu kalau yang diisyaratkan Yongqi adalah ‘Fu Jia’. Kenapa bisa berubah menjadi ‘Patung Buddha’?”

Xiao Yanzi takjub. “Jadi sebenarnnya, Huang Ama sudah tahu kalau aku cuma bersandiwara di Istana Zhuning? Huang Ama begitu cerdas hingga bersedia melindungiku! Xiao Yanzi benar-benar menghaturkan hormat pada Huang Ama!”

Qianlong berhenti tertawa dan berkata tegas, “Bagaimanapun, Lao Foye itu adalah ibuku. Kalian jangan sampai lupa diri! Lain kali, kalian harus lebih hormat, jujur dan sopan kepada Beliau. Kalian jangan kira bisa mengecoh Lao Foye. Kalau Beliau mengusut soal ini, bahkan aku pun tak dapat menolong kalian!”

“Haaah?” Xiao Yanzi langsung menganga.

Qianlong juga teringat soal keberatan Ibu Suri atas perjodohan keempatnya. Hatinya semakin gundah. Ditatapnya Yongqi dan Erkang.

“Paviliun Shuofang ini tempat tinggal Putri. Kalian berdua harus bisa menjaga kelakuan. Jangan sampai gara-gara kalian, menyebabkan kedua gadis ini digosipkan macam-macam.”

Air muka Erkang dan Yongqi langsung berubah. Mereka serempak berujar, “Baik! Kami akan mematuhi petunjuk Kaisar!”

Kemudian Qianlong berkata lagi dengan penuh antusias, “Tapi kurasa, dalam beberapa hari ini, Lao Foye tak punya waktu untuk mengawasi kalian! Karena sebentar lagi, Pangeran Ali Hoja dari Xinjiang akan datang sambil mengajak putrinya. Ini adalah kunjungan kenegaraan penting setelah kunjungan Raja Tibet.”

Xiao Yanzi berseru, “Apa? Seorang Putri datang lagi? Kenapa sih, mereka Putri ‘jahe-jahean’ itu gemar sekali ke Beijing memilih calon suami? Kali ini bukan giliran mereka, kan? Mereka kan sudah dijodohkan!” Xiao Yanzi menunjuk Erkang dan Yongqi.

“Belum tentu…,” jawab Qianlong.

Ziwei dan Xiao Yanzi terkejut. Erkang dan Yongqi pun berseru, “Haaah?”

***

Akhirnya, tibalah hari dimana Pangeran Ali Hoja dan putrinya, Hanxiang, tiba di Istana Terlarang.

(Dalam beberapa literatur, Ali Hoja ini biasa ditulis: Ali Hechuo atau Apak Khoja. Di sini saya menggunakan Ali Hoja. Sedang nama lain Putri Hanxiang dalam bahasa Uyghur adalah Ipharhan).

Rombongan Ali Hoja disambut di Istana Taihe. Putrinya Hanxiang duudk dalam tandu khas Uyghur. Berpakaian khas suku Hui dengan topi berhias bulu-bulu burung yang sangat indah. Sebuah cadar tipis menutup mulut dan hidungnya – hanya menyisakan sepasang mata. Dia berdiri tegak di samping ayahnya, didampingi dua pelayan wanita.

Ali Hoja dan rombongannya memberi salam pada Qianlong. Qianlong menyambut dan berbasa-basi sebentar. Setelah itu Ali Hoja memperkenalkan Hanxiang.

Hanxiang menyilangkan kedua tangannya sebagai tanda hormat ala suku Hui. Saat itulah Qianlong mencium aroma lembut seperti perpaduan antara bunga melati dan kamelia.

“Ali Hoja, kau membawa wewangian apa? Kenapa aku mencium aroma semerbak yang sangat harum?”

“Yang Mulia, wewangian itu berasal dari Putriku. Sejak lahir tubuhnya telah memiliki keharuman sehingga dia pun kuberi nama ‘Hanxiang’ – mengandung keharuman.”

Qianlong menatap Hanxiang dengan takjub dan ingin tahu. Cadar yang menutup sebagian wajahnya tak mampu menyembunyikan seluruh kecantikannya. Sepasang matanya begitu sendu. Semakin dilihat, hati Qianlong semakin bergejolak dibuatnya. Hanxiang begitu anggun dan cantik. Dan tanpa sadar, Kaisar menginginkan kecantikan serta keanggunan ini…

Malamnya, diadakan jamuan kenegaraan. Hampir seluruh anggota keluarga Kaisar hadir. Qianlong duduk bersama Ali Hoja. Sementara Ibu Suri, Permaisuri, para selir, pangeran serta putri duduk di kelompok masing-masing.

Dari pihak istana, ditampilkan opera Kisah Kera Sakti Sun Gokong. Sementara sandiwara berlangsung dengan musik perkusi bertalu-talu, Yongqi yang duduk di barisan pangeran bersama Erkang berbisik,

“Kau sudah memberithu Ziwei soal Qing’er?”

Erkang menjawab, “Sudah. Tapi tidak sesuai harapanku. Baru kusinggung sedikit saja Ziwei sudah menangis.”

“Aih, perasaan wanita memang susah dimengerti. Kau ditaksir begitu banyak wanita. Mestinya kan dia bangga. Kenapa malah menangis?”

Erkang mendengus. “Jangan terlalu meremehkan. Kalau ternyata Putri Hanxiang ini naksir padamu dan memilihmu sebagai calon suami, coba kita lihat bagaimana reaksi Xiao Yanzi!” (Ha ha ha ha!)

Pertunjukan opera telah selesai. Sekarang, tibalah pertunjukan yang dipersiapkan Ali Hoja. Putri Hanxiang muncul di panggung utama bersama sejumlah penari pria. Diiringi tetabuhan rebana dan genderang, mereka mulai menari.

Tarian Hanxiang benar-benar eksotis dan mampu menyihir banyak orang. Gaun putih Hui yang dikenakan Hanxiang berkibar-kibar seperti salju. Kaisar Qianlong seolah terbius.

Usai Hanxiang menari, semua orang memberinya tepuk tangan yang meriah. Qianlong tak dapat menahan diri untuk menuju panggung dan membantu Hanxiang berdiri.

“Bangkitlah, Putri Hanxiang!”

Hanxiang berdiri. Qianlong berkata lagi, “Tengadahkan kepalamu. Biar aku bisa melihatmu!”

Hanxiang mengangkat wajahnya yang pada malam ini tak bercadar. Kecantikannya begitu melankolis. Qianlong benar-benar terpana.

Ali Hoja berjalan menghampiri Qianlong. “Yang Mulia, sebagai tanda hubungan baik antara negeri Uyghur dengan Dinasti Qing, jika Anda berkenan, aku akan memberikan putri kesayanganku ini pada Anda!”

Begitu kalimat ini terlontar, semua orang langsung terpaku.

Terlebih istri-istri Qianlong. Semuanya, tanpa terkecuali Selir Ling, langsung memucat. Apalagi Permaisuri! Selama ini dia sudah menganggap selir-selir Qianlong sebagai duri dalam daging. Sekarang ditambah lagi seorang Putri Hanxiang!

“Ali Hoja, apakah kau serius?” tanya Qianlong.

“Tentu saja, Yang Mulia! Kalau tidak serius, mana mungkin kami menempuh perjalanan demikian jauh ke Beijing?”

Qianlong kembali menatap Hanxiang. “Ha! Ha! Ha! Ali Hoja! Hadiahmu ini sungguh sangat berharga! Aku berjanji akan menjaganya sebaik-baiknya! Kau tak akan pernah menyesali keputusanmu hari ini!”

Qianlong dan Ali Hoja bersulang. Demikianlah Putri Hanxiang diangkat sebagai salah satu Selir Qianlong.

Dari balkon Xiao Yanzi tampak shock dan tidak percaya. Dia berkata geram, “Putri satu ini ternyata memiliki ambisi yang sangat besar! Yang diincarnya rupanya adalah Huang Ama!”



Bersambung



BACA JUGA SINOPSIS LAINNYA



0 comments:

Post a Comment


Friend Link List