Recent Post


[Sinopsis Novel] Putri Huan Zhu/ Huan Zhu Ge Ge 1 Bagian 11

Do you want to share?

Do you like this story?



Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge 3: Chen Hsiang Ta Pai
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan.

Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu 3: Indahnya Kebenaran
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tilly Zaman, Wisnu Adi Hartono
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Desember 1999 (edisi pertama)

Cerita Sebelumnya:
Permaisuri menyekap dan menyisa Ziwei di Istana Kunning. Xiao Yanzi membuat keributan. Permaisuri seperti terkena shock terapi ketika melihat Kaisar campur tangan dalam menyelamatkan Ziwei. Setelah Ziwei pulih dari luka-lukanya, sesuai janji Qianlong pada Xiao Yanzi, dia akan mengajak kedua gadis menyamar untuk jalan-jalan keluar istana.

XI

Hari keluar istana telah tiba.

Qianlong menanggalkan jubah kaisarnya, mengganti dengan pakaian biasa. Tapi meski berusaha tidak mencolok, karena dia seorang Kaisar - para pengiring Qianlong yang ikut dalam perjalanan kali ini tetap berjumlah hingga belasan orang.

Kereta kuda bergerak perlahan-lahan memasuki jalanan pedesaan di luar kota Beijing. Di dalamnya duduk Qianlong, Qi Xiaolan, Xiao Yanzi dan Ziwei. Di luar kereta, para pengiring naik kuda. Mereka adalah Yongqi, Erkang, Ertai, Fulun, Emin, Quanheng dan Tabib Hu.

Qianlong memandang keluar jendela kereta. Tampak sawah terhampar beserta gunung biru dan langit luas. Pemandangan ini sungguh membuat hati lapang.

“Hari ini cuaca cerah sekali. Sangat cocok untuk keluar jalan-jalan. Hawa di sini membuat perasaan segar dan pikiran jernih. Pantas Xiao Yanzi selalu ingin keluar istana!”

Qianlong lalu berkata pada Xiao Yanzi dengan riang. “Xiao Yanzi! Jangan Ziwei terus yang menyanyi untuk menghiburku! Sekaran giliranmu!”

Xiao Yanzi tergagap. “A… Apakah… Tuan Kaisar ingin mendengar hamba bernyanyi?”

“Tuan Kaisar apa?” Qianlong mengetuk kepala Xiao Yanzi dengan gagang kipasnya. Penuh rasa sayang. “Baru beberapa hari keluar rumah kau sudah merubah namaku. Panggil aku Tuan Ai!”

“Baiklah… Tuan Ai… Tapi suara saya tak sebagus Ziwei…”

“Tidak apa-apa. Ayo mulai menyanyi!”

Hati Xiao Yanzi kecut. Dia pun menyanyikan sebuah lagu anak-anak.

“Wahai para bocah! Hafalkan isi bukumu! Jangan takut pada matahari yang bersinar terik. Jangan takut pada badai dan hujan. Takutlah jika Guru mengataimu tak berpengetahuan. Sehingga kau malu bertemu ayah-ibumu!”

Sambil bernyanyi, Xiao Yanzi melirik Qi Xiaolan.

Qianlong belum pernah mendengar lagu anak-anak yang begitu sederhana dan enak didengar. Dilihatnya Qi Xiaolan yang sedang tertawa.

“Guru Qi, lagu ini pasti adalah curahan hati Xiao Yanzi!” kata Qianlong geli.

“Benar! Hamba rasa, dia pasti punya ketakutan seperti dalam lagu tadi. Yang hamba khawatirkan, kalau dia sudah tidak punya rasa takut lagi! Ha ha ha!”

Muka Xiao Yanzi merah padam. Ziwei tiba-tiba menyambung dengan lagu bernada serupa tapi berlirik lain.

“Wahai para bocah! Pergilah belajar dan kerjakan tugas sekolahmu! Jika mengangkat kepala melihat tikus. Menunduk terlihat kecoak. Jangan takut kalau disuruh menulis ‘Naskah Memindahkan Ember’. Biarpun tulisannya jelek …”

Muka Xiao Yanzi semakin merah. Dia menonjok lengan Ziwei. “Kau mengejekku, ya?”

Ziwei menghindar sambil tertawa-tawa. Qianlong dan Qi Xiaolan juga tertawa.

Di luar kereta, Yongqi, Erkang dan Ertai mendengar suara riang tak henti-hentinya dari kereta.

“Mereka tampak gembira sekali!” kata Yongqi senang.

Erkang tersenyum kecil. “Aku tidak tahu harus gembira atau sedih. Sejak keluar istana, hatiku berdebar terus.”

“Jangan cemas!” sahut Ertai dengan riang. “Kau harusnya gembira karena Ziwei semakin dekat dengan tujuan yang kita harapkan…”

Di dalam kereta, Xiao Yanzi dan Ziwei bernyanyi dengan bersemangat.

“Cuaca hari ini sangat cerah. Di mana-mana terlihat pemandangan indah.
Kupu-kupu, lebah dan burung-burung sibuk beterbangan.
Awan putih juga berarak.
Langkah kuda berayun-ayun. Kelopak bunga yang berguguran menebarkan aroma wangi.
Onta-onta beriringan dengan lonceng berdentang-denting.
Di sini bernyanyi, di sana juga bernyanyi.
Tanah yang membentang hijau dengan cakrawala luas membiru!”

***

Siang itu, rombongan berhenti di sebuah padang rumput.

Di dekat mereka ada sungai kecil berkelok-kelok. Juga ada pepohonan tua yang menjulang tinggi. Dan kejauhan tampaklah gunung yang entah apa namanya. Pemandangan yang sangat cantik. Hingga membuat Qianlong lapar.

“Menyenangkan sekali kalau kita bisa makan siang di sini,” kata Qianlong.

“Sekarang?” tanya Erkang terkejut. “Kalau Tuan Besar ingin makan, lebih baik kita bergegas meninggalkan tempat ini dan mencari lokasi makan yang lebih baik.”

“Tapi pemandangan di sini sangat indah…,” Qianlong sayang meninggalkan tempat itu.

Fulun segera memberi saran. “Begini saja, Erkang dan Ertai, kalian pergilah ke rumah penduduk sekitar sini untuk membeli arak dan makanan.”

Ziwei menyambung, “Biar aku dan Xiao Yanzi ikut. Laki-laki mungkin tak tahu memilih makanan. Kalau harus memasak, kita juga harus meminjam panci, mangkuk, juga minyak dan bumbu-bumbu.”

Xiao Yanzi langsung setuju. “Ya, ya, ya! Tuan-tuan tunggulah disini! Kami pergi mencari makanan dulu…”

“Pergilah! Jangan pulang dengan tangan kosong!” seru Qianlong.

Yongi menyambung, “Kita berlima pergi sama-sama!”

Kelima muda-mudi itu pun berlalu sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Ketika kembali, mereka telah membawa panci, mangkuk, piring dan sumpit. Juga ada sayuran, ayam dan bebek.

Erkang, Ertai dan Yongqi sibuk menyiapkan kayu bakar dan menyalakan api. Xiao Yanzi menggali sebuah lubang besar di tanah lalu memanggang dua ekor ayam yang menebarkan aroma harum ke segala penjuru. Di sebelah lain, Ziwei membuat tungku dari batu. Dia menaruh kuali di atasnya dan dengan cekatan menumis.

Qianlong mencium aroma masakan yang harum hingga ngiler.

“Xiao Yanzi, masakanmu sudah siap atau belum? Yang kau panggang itu apa namanya?”

“Hi hi hi, nama masakan ini tidak boleh Tuan Ai tahu!”

“Ayolah, jangan berahasia-rahasiaan begitu…,” bujuk Qianlong penasaran.

Akhirnya Xiao Yanzi mengatakan, “Namanya Ayam Pengemis. Asal masakan ini dari seorang pengemis yang mencuri ayam lalu memanggangnya seperti ini.”

(Ayam Pengemis adalah masakan yang berasal dari Propinsi Zhejiang, China Timur. Asal muasalnya memang seperti cerita Xiao Yanzi. Ayam yang sudah dibersihkan dibungkus daun teratai lalu dilumuri lumpur. Setelah itu dikubur di dalam tanah dan nyalakan api di atasnya. Kalau sudah matang, lumpurnya akan mengeras. Pecahkan lumpurnya lalu buka bungkusan daun teratai. Ayamnya akan berubah warna jadi krem dan baunya wangi… Ha… pingin coba!)

“Kenapa ada nama masakan jelek begitu? Bagaimana bisa kau hidangkan untukku?” Qianlong mengerutkan kening. Meski seorang Kaisar, Qianlong masih percaya tabu untuk menyajikan masakan bernama buruk bagi Kaisar.

Ziwei segera menyahut. “Sebenarnya Ayam Pengemis ini punya nama lain. Karena dipanggang berpasangan, dia bernama ‘Burung yang diciptakan berpasangan oleh Tuhan’.”

“Wah, nama yang benar-benar bagus! ‘Burung yang diciptakan berpasangan oleh Tuhan’! Bagus sekali!”

Qi Xiaolan berkomentar, “Nama masakannya begitu indah. Orang jadi tak tega memakannya…”

Ayam panggang Xiao Yanzi sudah matang. Dia memecahkan lumpurnya dan memotong-motong ayam itu – membagikannya ke semua orang.

“’Burung yang diciptakan berpasangan oleh Tuhan’ ini sangat lezat!” puji Qianlong. Lalu dia menunjuk pada sebuah piring masakan Ziwei. “Sayur yang batangnya merah dengan daun hijau ini namanya apa? Warnanya bagus sekali!”

“Ini namanya ‘Burung parkit hijau berparuh merah’!”

Emin mencoba masakan itu dan berkomentar, “’Burung parkit hijau berparuh merah’ ini ternyata hanya bayam.”

“Tuan E, kalau makan di tengah pemandangan indah seperti ini, kita harus agak romantis,” kata Yongqi.

“Benar sekali!” sahut Qianlong. “Kau memimpin ribuan pasukan – tapi tak punya daya imajinasi… Ha ha!”

“Lezat sekali!” Quanheng memuji. “Hari ini kita berjodoh dengan masakan yang namanya adalah burung-burung di angkasa.”

Xiao Yanzi menyambung, “Selama kalian tidak makan ‘Burung walet kecil panggang saus merah’ atau ‘Burung walet kukus’, kalian mau makan burung lainnya – aku tak peduli!” Burung walet kecil adalah arti dari nama Xiao Yanzi.

“Sudah rasa dan namanya enak didengar, lucu pula kalau dijadikan lelucon,” kata Tabib Hu.

“Benar! Ziwei memang manis dan pandai!” Qi Xiaolan memuji tulus.

Xiao Yanzi cari-cari perhatian. “Guru Qi, kalau aku bagaimana?”

“Kalau kau?” sahut Qianlong. “Kau si lidah tajam tapi tak iri hati!”

“Sedang Tuan – Anda orang yang agak pilih kasih dalam hati!” balas Xiao Yanzi.

Semua orang tertawa terbahak-bahak. Qi Xiaolan berseru, “Xiao Yanzi benar-benar sudah mengalami kemajuan!”

Berikutnya, Ziwei menghidangkan berturut-turut masakan dengan nama-nama:

“Semak sutra hijau si burung walet!”

“Pohon mulberi beranting hijau!”

“Bangau putih terbang tenang melintasi sawah!”

“Burung kepodang kuning berkicau di atas pohon musim panas!”

“Burung Hong di atas tahta dan burung hong berpiknik!”

Semua orang makan sambil tertawa dan terus memuji. Erkang tak henti-hentinya menatap Ziwei. Dia semakin sayang pada gadis itu…

***

Hari berikutnya, rombongan tiba di sebuah kota kecil.

Mereka berjalan kaki melihat-lihat keadaan kota. Tiba-tiba, tampak sekelompok orang tergesa-gesa.

Erkang menarik salah satu diantaranya dan menanyai. “Permisi, ada peristiwa apa sehingga Anda semua terburu-buru?”

Orang itu menjawab, “Kalian pasti orang luar, ya? Pantas saja kalian tidak tahu. Hari ini, putri Tuan Du akan mencari suami dengan melempar bola bersulam. Dia gadis tercantik di desa ini. Sekarang kami sedang berkumpul ke sana!”

Begitu mendengarnya, Xiao Yanzi jadi bersemangat. Ditariknya Ziwei.

“Cepat! Kita juga harus pergi! Aku belum pernah menyaksikan ‘melempar bola untuk mencari suami’ macam ini!”

“Aku juga belum pernah lihat!” sahut Qianlong. “Ayo kita pergi menyaksikannya!”

Mereka semua pun menuju rumah Tuan Du. Ternyata, di depan rumah sudah berkerumun orang-orang. Erkang, Ertai, Fulun, Emin dan Quanheng sibuk membuka jalan dan melindungi Qianlong. Akhirnya mereka berada dekat dengan balkon tempat pelemparan bola.

Begitu sampai di tempat itu, Xiao Yanzi menggoda Yongqi dan Ertai. “Tuan-tuan muda, katanya Nona ini sangat cantik. Kalian jangan menyia-nyiakan kesempatan. Tangkap bola bersulamnya dengan cepat. Aku akan membantu kalian…”

Alis Yongqi berkerut. “Jangan macam-macam! Ini bukan perihal main-main!” (Iya, kalau bolanya jatuh pada pemuda siapa, harus dinikahkan saat itu juga! Ha ha!)

“Sebaiknya kita menyingkir saja…,” Ertai juga was-was melihat mata Xiao Yanzi yang berkilat jahil.

“Tapi ini kesempatan langka! Kalian berdua memang pantas menangkap bola itu. Kecuali Erkang.”

Qianlong yang kebetulan mendengar langsung bertanya, “Kenapa Erkang tidak boleh ikut menangkap bola?”

Xiao Yanzi gelagapan. “Karena… Karena Erkang… AUW!” - Erkang menginjak kakinya keras-keras.

Qianlong keheranan. Tapi tidak sempat bertanya lebih lanjut karena orang-orang sudah berseru-seru. Gadis cantiknya sudah keluar balkon.

Nona itu muncul di balkon sambil memegang bola bersulamnya diiringi dua gadis pelayannya. Dia anggun dan cantik sekali. Kerumunan orang berbisik-bisik. “Nona Du ini sudah berumur 22 tahun. Tapi karena terlalu pemilih, dia belum menikah. Tuan Du akhirnya memilih cara melempar bola ini untuk mencarikannya suami. Biarlah Tuhan menentukan jodoh sang Nona lewat bola tersebut.”

Orang-orang yang berkerumun mengelu-elukan Nona Tu. Ziwei bergumam, “Dia benar-benar cantik…”

“Tapi tak secantik seseorang…,” kata Erkang.

Yongqi dan Ertai menyindir, “Benar! Tak secantik seseorang… Masih ada yang lebih cantik!”

Saat itu muncullah seorang pemuda pengemis berbaju compang-camping dan bertubuh kurus.

“Tuan-tuan, Nona-nona, mohon belas kasihan. Di rumah ibu saya sedang sakit. Juga seorang kakek yang tengah sekarat. Jika anda sekalian sudi berbaik hati, saya, Qi Zegao, akan sangat berterima kasih!”

Xiao Yanzi melihat tampang pemuda itu yang memelas. Dia tidak mungkin berpura-pura. Akhirnya dia dan Ziwei mengeluarkan uang dari kantung uang masing-masing dan diberikannya pada pemuda itu.

Pemuda itu senang sekali. Dia menghormati Xiao Yanzi dan Ziwei berkali-kali.

“Terima kasih Nona Berdua! Terima kasih…!”

Terdengar bunyi gong ditabuh. Hening sejenak. Tuan Du muncul di balkon dan berkata ke hadapan khalayak,

“Para kerabat sedesa, hari ini, putriku Du Ruolan akan mencari suami lewat pelemparan bola. Siapa pemuda bujangan berumur antara 18 sampai 25 tahun boleh ikut kompetisi ini! Siapa yang berhasil menangkap bola akan langsung kenikahkan dengan putriku! Tapi bagi pria yang telah beristri dan usianya tidak memenuhi syarat harap mundur. Jika bola tersebut jatuh ke pria yang tidak memenuhi syarat di atas, putriku berhak melempar bolanya sekali lagi!”

Setelah pengumuman itu, orang-orang pun heboh. Para pemuda berteriak-teriak, “Nona Du! Lempar bolanya kemari! Berikan padaku! Nona Du! Tengoklah kemari!”

Nona Du mengangkat bola bersulamnya. Akhirnya dia memejamkan mata dan melemparkan bolanya itu…

Bola itu melayang, meluncur…. Tepat sekali ke dekat Xiao Yanzi! Xiao Yanzi segera melompat dan menepuk bola itu ke arah Yongqi.

Yongqi terkejut. Dia segera mengulurkan tangan untuk menangkis bola itu. bola melayang ke arah Erkang. Erkang juga kaget. Buru-buru menepuknya kembali pada Xiao Yanzi.

Xiao Yanzi senang sekali. Bola kembali ditepuknya pada Yongqi. Yongqi jengkel. Ditepuknya bola itu kembali ke arah Xiao Yanzi. Xiao Yanzi kembali menepuk bola ke arah Yongqi. Yongqi menepuknya lagi ke Xiao Yanzi. Begitu seterusnya mereka saling menepuk bola seperti orang bermain voli…

Orang-orang riuh rendah berseru-seru karena bola tak kunjung jatuh-jatuh. Qianlong akhirnya berteriak, “Xiao Yanzi! Apa yang sedang kau lakukan!”

Teriakan Qianlong mengalihkan konsentrasi Xiao Yanzi. Tepukannya kali ini melenceng dari Yongqi. Bola melayang, jatuh ke pangkuan si pengemis tadi!

Orang-orang segera mengerumuni pemuda itu. Pemuda itu masih terpana hingga menganga. Xiao Yanzi sangat bersimpati pada pemuda itu. dia langsung bersorak, “Wah! Kau yang berhasil menangkap bolanya! Siapa namamu lagi?”

“Qi… Qi Zegao!”

“Yang berhasil menangkap bolanya adalah Qi Zegao!” seru Xiao Yanzi. “Calon suami Nona Du adalah Qi Zegao!”

Saat itu Tuan Du juga telah datang bersama anggota keluarganya yang lain. Begitu melihat yang menangkap bola adalah seorang pemuda pengemis berpenampilan menyedihkan, Tuan Du langsung tidak senang.

“Yang ini dianggap tidak sah! Bolanya harus dilempar sekali lagi!”

Xiao Yanzi menganggap ini tidak adil. “Kenapa tidak sah? Bukankah tadi anda bilang kalau syaratnya cuma pemuda berusia 18 hingga 25 tahun serta belum beristri? Anda tidak menyebutkan kalau pemuda miskin tidak boleh ikut kompetisi ini!” Xiao Yanzi menanyai Qi Zegao, “Apa kau sudah menikah? Berapa usiamu?”

Qi Zegao menjawab, “Saya belum menikah. Umur saya dua puluh tahun. Saya sangat miskin. Makan buat sekeluarga pun tak cukup – mana berani saya berpikir untuk menikah segala? Silakan Tuan Du menerima bolanya kembali!”

Tuan Du merampas bola itu dari Qi Zegao. Xiao Yanzi marah. Dia berseru, “Tuan! Ternyata anda seorang yang ingkar janji! Umurnya sudah sesuai! Dia juga belum menikah! Anda mau menyuruh putri anda melempar bola berapa kali lagi sampai anda puas?”

Tuan Du membentak Xiao Yanzi. “Hei! Kau darimana? Memangnya apa urusanmu kalau aku menyuruh putriku melempar bola berapa kali?”

Xiao Yanzi balas berteriak, “Tentu saja aku ada urusan! Anda telah melakukan pelanggaran dengan berbohong di depan pejabat!”

“Pejabat apa? Mana? Mana ada pejabat di sini?”

Qianlong akhirnya maju dan berkata penuh wibawa, “Dengarkan kata-kataku!”

Semuanya langsung terdiam. Para pengiring Qianlong memberi jalan sekaligus mengelilingi Qianlong. Qianlong mendekati Qi Zegao.

“Qi Zegao, dari tutur bicaramu, kudengar kau sangat santun. Apa kau pernah bersekolah?”

“Pernah, Tuan,” jawab Qi Zegao.

“Apa kau pernah ikut ujian menjadi pegawai negeri?”

“Pernah. Tapi sudah mencoba beberapa kali masih belum lulus. Saya pun tidak mencobanya lagi.”

“Jangan patah semangat! Kau masih muda. Harapanmu masih banyak,” Qianlong memberi semangat. Dia lalu menoleh pada Tuan Du. “Hari ini aku hanya kebetulan lewat. Tak disangka menyaksikan peristiwa penting dan membantu menguru masalah ini. Tuan Du, janganlah membedakan antara orang miskin dan orang kaya. Menurutku Qi Zegao ini kelak akan menjadi pria sukses. Tuhan sudah membantumu memilih menantu. Jadi terimalah dia!”

Qianlong meminta Fulun menyerahkan hadiah pernikahan pada Qi Zegao berupa dua keping uang emas yang sangat bernilai.

“Ini hadiah dari Tuan kami. Pakailah sebagai mas kawin. Setelah menikah, jangan lupa untuk terus mencoba ikut ujian negara,” kata Fulun.

Melihat uang yang diberikan Fulun pada pemuda itu, orang-orang yang berkerumun langsung heboh berbisik-bisik. Tuan Du terpana menatap Qianlong. Dilihatnya Qianlong yang berwibawa dengan orang-orang yang mengegelilinginya. Jangan-jangan, dia memang pejabat penting yang tengah menyamar?

Nada bicara Tuan Du jadi berhati-hati. “Tuan, bagaimana aku harus memanggil Anda?”

“Margaku Ai. Panggil saja aku Tuan Ai!”

Ai? Marga yang tidak lazim – pikir Tuan Du. “Tuan, mari masuk ke dalam rumahku dulu untuk minum teh!”

Qianlong menolak halus. “Maaf, aku tak bisa mampir. Aku harus bergegas. Anggap saja semua ini sudah suratan takdir. Sekarang kau mau menerima Qi Zegao sebagai menantumu, kan?”

Tuan Du tampak tak berdaya. Qianlong menoleh ke arah Qi Xiaolan. “Guru Qi! Apakah kau membawa kertas dan pena?”

Qi Xiaolan menghampiri dengan membawa dua benda tersebut. “Hamba sudah menduga kalau Tuan Besar membutuhkannya. Karena itu, hamba baru saja meminjamnya dari keluarga Du.”

“Aku hendak menulis kaligrafi,” kata Qianlong.

Erkang langsung maju. “Silakan Tuan Besar menulisnya di atas punggung saya!” Erkang membungkuk. Qi Xiaolan menaruh kertas di atas punggung Erkang. Lalu Qianlong menulis dengan cepat empat huruf kaligrafi besar yang sangat indah: ‘Perjodohan Yang Direstui Tuhan’. Kemudian, dari balik bajunya, Qianlong mengeluarkan stempel dan mencap kertas itu.

Qianlong menyerahkan kertas itu pada Tuan Du. Lalu berbisik di telinganya hingga Tuan Du terperanjat dan memegang kertas gemetaran….

Qianlong tersenyum lalu mengibaskan lengannya ke arah rombongan. “Ayo, cukup lihat-lihatnya! Kita teruskan perjalanan!”

Xiao Yanzi dan lain-lainnya mengikuti Qianlong meninggalkan tempat itu.

Lutut Tuan Du lemas. Dia bahagia sekaligus terkejut. Sambil memandangi sosok Qianlong pergi, Tuan Du bersujud hingga keningnya menyentuh tanah. Melihat Tuan Du bersikap demikian, Qi Zegao juga ikut bersujud.

Tuan Du berdiri. Dia seperti bermimpi bertemu Qianlong. Dilihatnya Qi Zegao. Dia nyaris menangis karena gembira.

“Berdirilah menantuku! Ternyata kau memang menantu yang dipilihkan Tuhan untukku! Mari masuk untuk upacara!”

Dan pesta pernikahan Nona Du dengan Qi Zegao pun digelar.

***

Malamnya, rombongan bermalam di penginapan.

Xiao Yanzi pergi sendirian ke sumur hendak mengambil air. Tanpa disadarinya, Yongqi mengikutinya dan langsung menariknya ke sebuah bilik kecil.

“Pangeran Keli…” seru Xiao Yanzi tapi terputus karena Yongqi membekap mulutnya.

Xiao Yanzi sadar kalau dia nyaris menyebut identitas Yongqi yang sebenarnya. Ketika Yongqi menurunkan tangannya kembali, Xiao Yanzi maklum saja. Tapi ternyata, Yongqi menemuinya diam-diam di sini karena ingin menginterogasinya.

“Siang tadi kau melempar bola bersulam berulang kali ke arahku – sebenarnya apa maksudmu?”

“Aku hanya bermaksud baik,” Xiao Yanzi mengerjap-ngerjapkan mata. “Bukannya berterima kasih tapi sekarang kau malah marah-marah padaku. Nona Du itu cantik sekali… Cocok denganmu!”

“Apa kau tidak tahu kalau masalah perjodohanku ditentukan oleh Huang Ama?”

“Lalu?” Xiao Yanzi memasang tampang lugu. “Kalaupun kau yang mendapat bola itu, Huang Ama pasti tidak bisa menolak. Mungkin kelak Huang Ama akan memilih istri resmimu sedang Nona Du akan menjadi selirmu. Ketika mengetahui statusmu yang sebenarnya, aku yakin putrinya kau jadikan istri keberapapun, Tuan Du tak akan keberatan!”

Yongqi kesal. “Kau baik sekali ya? Berlagak jadi mak comblang! Apa kau tidak tahu kalau aku mungkin saja sudah menyukai seseorang?” (Ha ha ha! Siap-siap! Siap-siap!)

Xiao Yanzi terkejut. “Kau sudah menyukai seseorang? Siapa? Kau tidak pernah bilang! Apa lebih cantik dari Nona Du?”

“Ya! Menurutku lebih cantik dari Nona Du!” sahut Yongqi ketus.

“Apa aku kenal dia?”

“Ooh, kau kenal sekali dengannya!”

Xiao Yanzi semakin penasaran. “Siapa?” Dia berpikir keras. Tiba-tiba dia melihat Yongqi dengan mata tebelalak. “Kau tidak boleh menyukai Ziwei! Dia sudah punya Erkang!”

Yongqi nyaris pingsan! “Kau punya otak tidak, sih? Ziwei itu kan jelas adikku! Mana mungkin aku punya perasaan begitu padanya? Kau jangan bicara sembarangan!”

Xiao Yanzi tercengang. Dia benar-benar bingung. “Kalau begitu, apakah Jinshuo?”

Yongqi geregetan sekali melihat Xiao Yanzi. Dia menghentakkan kaki. “Bukan Ziwei! Bukan Jinshuo! Bukan Mingyue! Bukan pula Caixia! Tapi gadis lain yang tiap hari bersama mereka! Gadis yang pernah terpanah olehku! Yang sejak itu membuatku selalu memikirkannya! Dia sudah berdiri di sini tapi pura-pura tidak tahu! Siang tadi malah mencoba jadi mak comblangku!”

Kali ini Xiao Yanzi yang nyaris pingsan. Kepalanya berkunang-kunang. “Kau… kau membuatku bingung…”

“Bingung karena apa? Memangnya selain kau, aku pernah memanah Xiao Yanzi mana lagi? Aneh sekali sudah sekian lama kita bersama tapi kau tidak merasakan sesuatupun padaku!”

Xiao Yanzi shock. Dia mundur beberapa langkah ke belakang seperti orang linglung. Matanya menerawang. Melihat sikap Xiao Yanzi, Yongqi merasa kecewa. (Begitulah Pangeran Kelima, Xiao Yanzi kan baru pertama kali ‘ditembak’! Wkwkwkwk!)

“Jadi… perasaanku ini bertepuk sebelah tangan? Selama ini kau tak pernah memikirkanku, kan?”

Xiao Yanzi mengerjap-ngerjapkan matanya yang besar. “Aku memikirkanmu…, sebagai saudara. Kau kakakku yang paling baik…”

Semangat Yongqi turun. “Begitukah? Apakah kita memang bersaudara? Lantas, Ziwei itu siapa? Kenyataannya kita bukan kakak-adik!”

“Tapi…, tapi aku tidak pernah berpikir menganggapmu lebih daripada seorang kakak…”

“Bagaimana kalau kau diperbolehkan berpikir menganggapku lebih dari seorang kakak?”

“Aku… aku tak tahu… Aku benar-benar tak tahu…”

Ekspresi Xiao Yanzi seperti bermimpi. Yongqi biasa melihat Xiao Yanzi yang lincah dan periang, kini tak tahu berkata-kata – hatinya jadi deg-degan.

Yongqi mencoba mendekati Xiao Yanzi lagi. Digenggamnya tangan gadis itu. Terasa dingin. Dia berkata lemah-lembut,

“Mulai hari ini, tolong pikirkan kata-kataku tadi. Sejak Ziwei muncul, aku tidak pernah menganggapmu sebagai adik lagi. Kalau Ziwei dan Erkang bisa jadi kekasih, kau dan aku juga bisa. Sekarang memang tidak mungkin. Tunggu setelah kau dan Ziwei kembali ke posisi masing-masing. Kau tak akan berstatus sebagai saudariku lagi.”

“Posisi putrimu yang sekarang memang palsu. Tapi perasaanku padamu tidak palsu…” (Wuiiiih, aku klepak-klepak menulisnya Pangeran Kelima! Love You!)

Xiao Yanzi tak sanggup berkata-kata. Dia masih terkejut. Pikirannya kacau. Dan bingung.

***

Malam itu, pertama kalinya dalam hidup Xiao Yanzi, dia tidak bisa tidur!

Sepanjang malam dia berguling kesana-kemari. Sambil komat-kamit sendiri. Membuat Ziwei juga tak bisa tidur. Ziwei sudah bisa membaca perasaan Yongqi sejak lama. Dari cara pemuda itu memperhatikan dan membela Xiao Yanzi. Dia menduga, tadi Pangeran Kelima pasti sudah mengungkapkan perasaannya pada Xiao Yanzi.

Ziwei duduk di ranjang. Mengguncang bahu Xiao Yanzi. “Katakan padaku! Apa yang sudah dikatakan Pangeran Kelima padamu? Kau sekarang gelisah, kan? Kau yang tomboy – selalu menganggap semua orang seperti saudara. Jadi, setelah malam ini, apa Pangeran Kelima masih menjadi kakakmu?”

Xiao Yanzi tak berdaya. “Kukatakan padamu. Sebelum malam ini, aku selalu menganggapnya kakak paling baik. Tapi sekarang… aku seperti ‘tenaga yang mengental jadi kanji’ – otakku yang encer telah mengental sehingga tak dapat berpikir jernih.”

Xiao Yanzi juga duduk menghadap Ziwei. “Ziwei, menurutmu, kenapa dia bisa menyukaiku? Banyak hal aku tak bisa. Masih banyak huruf tak bisa kubaca. Empat bentuk puisi belum kukuasai - sehingga dia yang harus selalu mengajariku. Dia sudah pasti melihat banyak gadis yang lebih baik. Dia pandai dalam berbagai hal. Apakah dia sedang linglung sehingga bilang menyukaiku? Aku rasa dia tidak serius. Dia mungkin cuma mau mempermainkanku…”

Melihat Xiao Yanzi yang malu-malu dan bingung, Ziwei gembira.

“Hahai! Si tomboy sudah mulai jatuh cinta! Akhirnya dia menjadi gadis tulen juga…”

“Siapa yang mulai jatuh cinta?” muka Xiao Yanzi merah padam. Dia meninju tempat tidur untuk menutupi kegugupannya. “Aku tidak mau jatuh cinta! Jatuh cinta itu sangat merepotkan! Aku melihatmu dengan Erkang sebentar gembira – sebentar sedih. Sungguh sinting! Aku tak mau seperti kalian!”

Ziwei menatap Xiao Yanzi dalam-dalam. “Sekarang aku mengerti kenapa Kakak Kelima juga begitu bersemangat mengembalikan posisi kita seperti semula. Hubungan kalian yang kakak-beradik itu merupakan masalah besar baginya. Kalau dipikir, kasihan sekali dia. Selama ini dia pasti telah mengalami serangkaian pergulatan batin. Dia selalu memikirkan serta mengkhawatirkanmu. Tapi kau malah menuduhnya tidak serius. Apalagi siang tadi kau melempar bola bersulam terus ke arahnya. Kau telah menyiksanya.”

“Hei…, kata-katamu barusan seolah-olah aku sudah jahat sekali padanya! Aku kan cuma bilang tidak mau jatuh cinta…”

Ziwei merebahkan tubuhnya ke ranjang sambil bergumam, “Ya Tuhan! Kisah kita begitu rumit. Kita lihat saat semuanya terungkap nanti – Kaisar pasti akan pingsan sewaktu mendengarnya!”

***

Kita tinggalkan dulu soal Yongqi dan Xiao Yanzi. Karena setelah mengutarakan perasaannya, Xiao Yanzi belum langsung memberi Yongqi jawaban ya atau tidak.

Beberapa hari kemudian, rombongan Qianlong berjalan di tengah hujan deras di tengah hutan.

Kereta yang dinaiki Qianlong terperosok ke dalam lumpur. Membuat Qianlong dan lain-lainnya kehujanan sementara menunggu roda kereta diangkat kembali. Malam harinya, Qianlong demam.

Tabib Hu yang ikut rombongan mendiagnosa, “Yang Mulia sedang pilek. Mungkin karena kehujanan tadi. Syukurlah bukan sesuatu yang serius. Hamba sudah membawa obat untuk pilek, akan segera hamba rebus untuk diminum. Kalau keringat sudah keluar, demamnya akan hilang. Yang Mulia sudah pasti pulih.”

Yongqi mendekati Qianlong. Dia cemas. “Huang Ama, bagian mana lagi yang terasa tidak enak? Katakanlah!”

“Benar! Yang Mulia jangan ragu untuk mengatakannya!” sambung Fulun.

Qianlong mendongak ke arah orang-orang yang mengerubunginya. Dia mengibaskan tangan.

“Sakitku ini cuma masalah sepele! Kalian semua pergilah! Jangan berkumpul di sini! Cukup Xiao Yanzi dan Ziwei saja yang menemaniku!”

“Baiklah. Kalau Anda memerlukan kami, hamba dan Ertai ada di kamar sebelah.”

“Selantai bangunan ini juga telah kami jaga. Jika memerlukan sesuatu, panggillah kami,” lanjut Quanheng.

“Ya! Ya! Pergilah! Jangan perlakukan aku seperti orang tua penyakitan!” Qianlong menggerutu.

Kaum pria membungkuk memberi hormat lalu satu-persatu keluar kamar. Tinggallah Xiao Yanzi dan Ziwei yang mengurus Qianlong. Ziwei mencelup saputangan untuk mengompres Qianlong. Sedang Xiao Yanzi menyajikan teh.

Kedua gadis itu mondar-mandir dengan tenang. Ziwei mengalasi punggung Qianlong sewaktu duduk kemudian memotong pir. Xiao Yanzi mengganti kompres Qianlong.

Qianlong melihat keduanya. Hatinya terasa hangat dan bahagia. Dia tiba-tiba bergumam, “Aku sangat bersyukur Tuhan telah menganugerahkan kalian berdua padaku. Perasaan ini belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku benar-benar menikmatinya!”

Ziwei dan Xiao Yanzi terkejut. Mereka tak berani berkata apa-apa.

Tak lama, obat telah selesai direbus. Xiao Yanzi membawa mangkuk obat itu kepada Qianlong sambil meniup-niup agar lekas dingin. Ziwei mengambil sendok untuk menyuapkannya ke mulut Qianlong. Melihat kedua gadis itu memperlakukannya seperti anak kecil, Qianlong geli. Diambilnya mangkuk tersebut.

“Kalian memperlakukanku seperti orang sakit keras. Aku masih bisa meminumnya sendiri.”

Ziwei tersenyum. “Yang Mulia, hal begini, sudah sepantasnya kami anak perempuan yang melakukannya. Ijinkanlah kami terus menjaga Anda. Kalau Anda bahagia, kami juga bahagia.”

Qianlong terdiam. Akhirnya dibiarkannya Ziwei dan Xiao Yanzi menyuapinya minum obat.

Usai minum obat, Qianlong tertidur dalam posisi setengah duduk-berbaring. Malam sudah sangat larut. Xiao Yanzi akhirnya tertidur dengan kepala menelungkup di meja.

Hanya Ziwei yang masih berjaga. Melihat Qianlong yang tengah tertidur, hatinya tergerak. Dia kini begitu dekat dengan ayahnya – tapi tetap tak bisa dipanggilnya ‘Ayah’. Ditatapnya Qianlong dengan penuh kasih sayang. Diperbaikinya selimut Qianlong. lalu disekanya peluh di dahi Qianlong dengan saputangan.

Qianlong sedang bermimpi. Dalam mimpinya, dia melihat Xia Yuhe yang duduk di tepi Danau Daming sambil menangis.

Sudah lama sekali Qianlong tak bermimpi bertemu Yuhe. Dalam mimpinya kali ini, Yuhe memohon, ”Jangan pergi… Aku takut jika kita berpisah hari ini, kita tak akan bertemu lagi selamanya…”

Qianlong bergumam tidak jelas. Yuhe berkata lagi, “Aku tidak berani menuntut cintamu padaku tak akan berubah selamanya. Yang aku khawatirkan, kau hanya mengingatku sebentar. Sementara aku akan menanti seumur hidup.”

“Kau ibarat batu karang. Sedang aku hanya setangkai rumput. Setangkai rumput takkan mampu menggoyahkan batu karang!”

Pelan-pelan, Yuhe berpaling. Qianlong berteriak memanggilnya, tapi sebaris kabut telah menutupinya.

Qianlong tersentak bangun dan terduduk. Pandangannya bertemu dengan pandangan Ziwei. Samar-samar, bayangan Xia Yuhe dan Ziwei menyatu….

Bersambung

BACA JUGA SINOPSIS LAINNYA



0 comments:

Post a Comment


Friend Link List