Do you like this story?
Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge 3: Chen Hsiang Ta Pai
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan.
Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu 3: Indahnya Kebenaran
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tilly Zaman, Wisnu Adi Hartono
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Desember 1999 (edisi pertama)
Cerita Sebelumnya:
Perjalanan rombongan Qianlong akhirnya sampai pada sebuah festival klenteng di propinsi Hubei. Saat tengah asyik melihat-lihat, para pemberontak yang menyamar dalam arak-arakan menyerang Qianlong. Ziwei yang berada dekat Qianlong tidak memikirkan keselamatannya sendiri. Dia menaruh tubuhnya di depan Qianlong hingga tertikam belati…
XIII
Usai pencabutan belati oleh Tabib Hu, Ziwei pingsan berjam-jam.
Dia baru siuman ketika menjelang tengah malam. Kelopak matanya bergerak perlahan lalu terangkat sedikit. Ziwei melihat sinar lampu, lalu Tabib Hu, Xiao Yanzi dan… Qianlong!
Kalimat pertama yang keluar dari mulut Ziwei setelah siuman adalah ayahnya.
“Yang Mulia!” seru Ziwei.
Qianlong rupanya juga menunggui Ziwei. Melihat gadis itu sudah sadar, Qianlong melempar senyum yang sulit ditafsir Ziwei. Xiao Yanzi menghambur ke ranjang. Dengan girang dia berseru, “Kau sudah sadar! Kau sudah sadar!”
Tabib Hu buru-buru menghampiri Ziwei dan memeriksa kedua bola mata dan denyut nadinya. Setelah itu dia bernapas lega.
“Yang Mulia, denyut nadi Nona Ziwei sudah stabil. Bisa dibilang, masa kritisnya sudah lewat. Sekarang hamba akan merebus tonik baginya.”
Tabib Hu keluar kamar. Qianlong yang selama Ziwei pingsan terus-menerus gelisah kini bisa tenang. Dia menunduk dan mengamati Ziwei dengan seksama.
“Ziwei, bagaimana perasaanmu? Apa kau benar-benar sudah sadar?”
Ziwei merasa tidak enak dan berkata, “Yang Mulia, hamba telah membuat Anda khawatir…”
Ziwei mencoba bangkit tapi Qianlong buru-buru memegang dan menahannya agar tetap berbaring.
“Jangan banyak bergerak!” kata Qianlong penuh perhatian. “Apakah kau masih ingat peristiwa tadi siang dengan jelas?”
Ziwei mengangguk. “Mengapa harus ada pembunuh? Mengapa harus ada orang yang mencelakai Yang Mulia? Anda Kaisar yang baik – belum tentu bisa ditemukan dalam seribu tahun sekali. Aku sungguh tidak mengerti…” Ziwei menelan ludah. “Siapa lagi yang terluka selain aku?”
“Hanya Erkang,” jawab Qianlong. “Dia terkena sabetan pedang.”
“Erkang?!” Ziwei memekik. Dia mencoba bangkit lagi.
Qianlong kembali menahannya. “Luka Erkang tidak ada artinya bila dibandingkan dengan lukamu. Perhatikan saja dirimu sendiri!”
Qianlong lanjut berkata, “Kau telah melindungiku dengan tubuhmu sendiri. Tindakanmu benar-benar membuatku terkejut. Aku tak mengerti, kau yang selemah ini ternyata memiliki keberanian yang begitu besar. Kau sungguh membuatku terharu…”
Ziwei menitikkan air mata. Dia ingin berkata banyak pada Qianlong tapi yang terucap justru, “Yang Mulia tak perlu berlebihan. Tindakan hamba itu hanya refleks semata.”
“Refleks? Itu refleks yang sangat berharga! Selamanya, aku akan sangat menghargai refleksmu itu!”
Qianlong lalu berkata, “Sekarang sudah larut. Aku tak akan menemanimu lagi. Kalau masih ada yang ingin kau bicarakan, beritahu aku nanti saja. Xiao Yanzi, kau temani Ziwei, ya?”
“Baik!” jawab Xiao Yanzi.
Qianlong melihat Ziwei sekilas lalu meninggalkan tempat itu. Begitu Qianlong keluar kamar, Xiao Yanzi langsung berkata pada Ziwei.
“Tadi itu kau benar-benar luar biasa! Meski terluka parah, kau masih bisa meminta Huang Ama mengampuniku! Kurasa, kepalaku tak akan pindah rumah!”
Ziwei tersenyum lemah.
“Kalau begitu, apalagi yang kita tunggu? Sekarang saja kita katakan semua kebenarannya…,” kata Xiao Yanzi.
“Jangan! Tunggu kita kembali ke istana baru katakan.”
“Oh, maksudmu sampai tubuhmu lebih sehat? Tentu saja! Kalau seandainya Huang Ama tetap murka, kau harus sudah cukup kuat menghadapinya…”
Ziwei mengangguk lemah.
Pada saat itulah Erkang memasuki kamar. Dia menutup pintu kamar begitu masuk dan langsung menghampiri pembaringan.
“Erkang!” pekik Ziwei. ”Bagaimana lenganmu?”
Erkang menjawab, “Jangan cemaskan aku! Aku kemari hanya untuk memberitahumu: aku mencintaimu!”
“Kau sekarang sudah mendapat perhatian Kaisar. Juga rasa hormat semua orang! Aku sangat bangga! Beberapa hari ini aku tak akan leluasa menemuimu karena ada Tabib dan Kaisar yang sering keluar-masuk sini. Tapi kau harus tahu satu hal: kau begitu berani! Kurasa kelak kita bisa mendapat pengampunan khusus. Tunggu setelah kembali ke istana dan kesehatanmu pulih. Kita akan mencari kesempatan bicara dengan Kaisar!”
Selesai berkata panjang lebar, Erkang mengecup kening Ziwei. Lalu dia bersiap pergi.
“Tabib Hu sebentar lagi pasti kembali. Aku tak bisa tinggal lama-lama. Berjanjilah kau akan minum obat. Kau harus lekas sembuh demi aku!”
Ziwei dan Erkang berpegangan beberapa saat, sampai Erkang dengan berat hati melepas tangannya. “Besok aku akan mencari waktu menyelinap kemari lagi!”
Ziwei mengangguk. Erkang pun bergegas pergi. Xiao Yanzi mengerjap-ngerjapkan matanya yang besar sambil berkomentar, “Aku iri… Kenapa begitu banyak orang menyukaimu?”
“Bukankah kau lebih banyak?”
“Oh ya? Banyak yang menyukaiku juga? Kok aku tak merasa, ya?”
Meski tengah kesakitan, Ziwei tak dapat menahan tawa melihat tingkah Xiao Yanzi.
***
Peristiwa terlukanya Ziwei membuat perubahan besar dalam diri Qianlong.
Kini dia benar-benar memperhatikan keberadaan Ziwei. Hampir setiap saat dia memikirkannya. Qianlong sering tepekur. Orang-orang terdekatnya mengetahui gelagat ini. Kaisar seperti sedang kasmarn…
Pada Qi Xiaolan, Qianlong curhat, “Ziwei ini telah membuatku gundah. Aku sama sekali tidak memahami, kekuatan apa yang mendorongnya untuk menghadang belati itu? Dia mengatakan itu hanya refleks belaka. Tapi bagiku, hal ini tetap saja membuatku terguncang.”
Qi Xiaolan dapat membaca pikiran Kaisar. Dia menanggapi, “Nona Ziwei adalah wanita cerdas. Sepanjang perjalanan ini hamba melihat kepribadiannya yang luar biasa. Wanita seperti ini sulit ditemukan. Yang Mulia sangat beruntung dapat menemukannya. Karena dia telah menyelamatkan nyawa Baginda, kiranya Nona Ziwei patut diberi anugerah serta gelar kehormatan. Sesampainya di istana, tidak ada salahnya Yang Mulia mulai merencanakannya.” (Maksud Guru Qi mengangkat Ziwei sebagai selir Kaisar? Oh No! Itu incest!)
Qianlong ragu-ragu. “Aku juga berpikir begitu. Tapi… perasaanku pada Ziwei sangat aneh. Aku belum pernah merasa demikian pada wanita manapun. Perasaan ini bahkan melebihi rasa cinta antara pria dan wanita. Aku sangat menghormati Ziwei. Jadi aku tak ingin menggunakan statusku sebagaia Kaisar untuk memaksanya. Tapi aku sangat penasaran padanya. Aku ingin mengetahui seluruh hal tentang dirinya. Oh! Perasaan ini sungguh sulit kupahami!”
Qi Xiaolan menyambung, “Menurut hamba, wanita semacam ini ibarat buku bagus. Kita ingin terus membacanya karena selalu saja ada topik baru di dalamnya.”
Qianlong terkesan mendengar penuturan Qi Xiaolan. “Benar! Ziwei ibarat buku seperti itu. Terkadang aku tak sabar ingin melihat ending buku tersebut – tapi khawatir melewatkan bagian pertengahan yang menarik. Maka lebih baik aku tidak terburu-buru. Ada beberapa bagian dari diri Ziwei yang misterius…”
Benar, Ziwei ibarat teka-teki. Dan Qianlong gelisah karena belum dapat memecahkan teka-teki itu…
***
Ziwei beristirahat di kediaman Pejabat Ting hampir setengah bulan lamanya.
Sejak peristiwa penyerangan, Qianlong kehilangan minat melanjutkan perjalanan. Dia sudah ingin kembali ke istana. Hanya saja dia masih menunggu hingga Ziwei pulih benar.
Hari itu, Xiao Yanzi mengajak Ziwei keluar berjalan-jalan di taman. Erkang, Ertai dan Yongqi pun bergabung bersama mereka. Kelimanya lalu duduk-duduk di sebuah paviliun kecil sambil bercakap-cakap. Tak jauh dari tempat mereka, beberapa anak keluarga Ting sedang memantul-mantulkan chience – semacam shuttle cock yang terbuat dari bulu ayam dan karet.
(Kalau di Makassar, kami menyebutnya cincu’. Waktu kecil dulu, kami membuatnya dari karet gelang yang banyak. Cara mainnya agak mirip sepak takraw – hanya boleh pake kaki. Ditendang atau dipantulkan lewat betis, tumit atau telapak kaki).
Xiao Yanzi bergabung dengan kelompok anak-anak itu.
“Aku akan ajari kalian cara bermain cheince!” kata Xiao Yanzi. “Ditendang dengan gaya memutar seperti ini disebut ‘Ikan Kakap Melompati Gerbang Naga!’”
“Lalu kalau ditendang dari depan-belakang seperti ini namanya ‘Rajawali Tua Menangkap Anak Ayam!’”
Xiao Yanzi memamerkan kebolehannya. Anak-anak yang menyaksikan aksinya terbengong-bengong. Kepala mereka maik-turun mengikuti gerakan chience. Ziwei dan lain-lainnya yang menonton di paviliun jadi tergelak-gelak.
Pada satu kesempatan, Xiao Yanzi menendang chiencenya terlalu bersemangat hingga mendarat ke atap. Anak-anak itu seketika berseru, “Waaah….! Itu chience kami! Kembalikan chience kami….”
Xiao Yanzi langsung menenangkan anak-anak. “Tenang, tenang! Pasti kuambilkan! Gampang kok!”
Xiao Yanxi memasang kuda-kuda melompat ke atap. Yongqi hendak mencegah, “Xiao Yanzi! Biar aku saja…” – belum selesai Yongqi bicara, Xiao Yanzi sudah melayang ke atap.
“Wah! Dia berhasil melayang ke atas dengan satu kali lompat!” Ertai bersorak.
Semua anak-anak juga terpana menatap Xiao Yanzi. Mereka mengelu-elukannya.
“Putri Huanzhu memang luar biasa! Bisa terbang sampai ke atap... Putri Huanzhu hebat!”
Xiao Yanzi ge-er dengan puja-puji itu. Tapi ternyata, chience itu tergeletak di sudut lain sehingga Xiao Yanzi masih harus mengulurkan tangan untuk menjangkaunya.
Pada bersamaan, Qianlong dan pengiringnya lewat tempat itu. Melihat orang-orang sedang menengadahkan kepala ke atas, Qianlong juga ikut-ikutan. Alangkah terkejutnya dia ketika dilihatnya Xiao Yanzi tengah berada di atas atap.
“Xiao Yanzi! Aturan macam apa ini? Cepat turun!”
Xiao Yanzi terkejut. Tangannya berhasil meraih chience – tapi konsentrasinya pecah. Kakinya tergelincir. Dia pun jatuh bergulingan meluncur ke bawah.
Semua orang menjerit. Yongqi yang sejak tadi waspada langsung melesat menangkap tubuh Xiao Yanzi. Xiao Yanzi akhirnya jatuh ke dalam pelukan Yongqi sambil menggenggam erat chience.
Alis Qianlong mencuat. Beberapa waktu ini dia merasa ada sesuatu yang aneh antara Yongqi dengan Xiao Yanzi. Dan sekarang dugaan itu semakin kuat.
Qianlong memarahi Xiao Yanzi, “Xiao Yanzi! Mana ada Putri yang sebadung kau! Sekarang kita sedang bertamu di rumah Pejabat Ting! Kau seharusnya menjaga sopan-santunmu! Tadi kau malah naik ke atap! Apa itu pantas?”
Xiao Yanzi melompat dari pelukan Yongqi. “Huang Ama, aku kan cuma membantu anak-anak mengambil chience mereka! Tadi aku berhasil naik ke atap dengan sekali lompat. Jarang-jarang ilmu meringankan tubuhku sebagus itu. Anak-anak itu sudah bertepuk tangan dan memujiku. Aku bangga sekali! Tiba-tiba Huang Ama datang dan membentakku – membuat pamorku jatuh! Mengapa Huang Ama begitu galak padaku?”
Qianlong membelalakkan mata, “Ha! Aku baru satu kalimat, kau sudah membalasnya dengan begitu banyak kata, ya?”
Xiao Yanzi mendesah, “Kita belum pulang, tapi Huang Ama sudah memberlakukan tata krama istana. Aku paling takut kalau Huang Ama mulai bilang: ‘aturan macam apa itu?!’”
Ziwei berjalan mendekat. Dia berkata lemah-lembut, “Yang Mulia, Putri hanya ingin bersenang-senang. Biarkan saja dia menikmatinya.”
Qianlong menatap Ziwei. Hatinya diliputi kegembiraan. Dia berkata penuh kasih, “Baiklah, demi Ziwei, aku tak akan menghukum Xiao Yanzi!”
Xiao Yanzi senang sekali. Dia menekuk lutut mengucapkan terima kasih, lalu melemparkan chience kembali ke anak-anak.
Pejabat Ting tergopoh-gopoh datang menghadap Qianlong. dia mengibaskan lengan bajunya lalu berlutut.
“Yang Mulia, ada surat penting dari Beijing!”
Qianlong mengambil surat dari Pejabat Ting. Dia membuka lalu membacanya.
“Ha, ha! Rupanya surat ini berisi kabar gembira! Awal bulan depan: Palepen, Kepala Suku Tibet, akan mengunjungi Beijing sambil membawa putrinya yang bernama Saiya! Benar-benar kabar baik!”
Semua orang turut gembira mendengarnya. Erkang menyahut, “Kalau begitu, berarti kita harus segera kembali ke Beijing?”
Qianlong berujar, “Benar! Kita harus segera kemballi ke Beijing!”
***
Sesampainya Qianlong di Beijing, Kota Terlarang segera sibuk menyambut kunjungan kepala suku Tibet.Tapi di sela-sela kesibukan itu, Qianlong masih sempat bicara pada Selir Ling soal Ziwei.
“Selir Ling, ada yang ingin kusampaikan,” kata Qianlong suatu malam. ”Tentang Ziwei… Setelah dia nyaris mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkanku, aku rasa… dia tak dapat lagi dijadikan sekedar dayang biasa…”
Selir Ling terkejut. “Maksud Anda…? Apakah Anda dengan dia telah… bersama-sama…?”
“Tidak! Aku tidak melakukan hal seperti yang kau pikirkan! Ziwei selalu bersama Xiao Yanzi sepanjang waktu. Seperti kakak-adik. Aku hanya merasa, perasaan Ziwei padaku agak berbeda. Siapa tahu dia juga punya pemikiran berbeda dari dugaanku…”
“Apa Ziwei membuat hati Anda amat tergetar, Yang Mulia?” Selir Ling bertanya lirih.
“Entahlah…,” Qianlong agak tepekur. “Aku amat mengaguminya… dan belum pernah aku mengagumi seseorang seperti ini…”
Dalam hatinya, Selir Ling agak tersinggung. Dia cemburu. Tapi dikuatkan dirinya.
“Apa Anda bermaksud mengangkatnya sebagai selir?”
Qianlong tampak gundah. Dia memberi jawaban mengambang, “Jangan mengagetkan Ziwei! Aku belum pasti hendak menganugerahinya gelar apa. Kepala suku Tibet akan berkunjung. Setelah kunjungan itu berlalu barulah kita rundingkan masalah Ziwei lagi…”
(Mata keranjang Kaisar rasanya muncul lagi… Bagaimana reaksinya ketika tahu bahwa Ziwei putrinya?)
***
Akhirnya, Raja Tibet: Palepen – sampai juga di Beijing bersama putrinya, Saiya.
Kedatangan mereka diiringi rombongan besar yang sangat megah dan meriah. Ada pengawal, pembawa bendera, pemusik serta penari. Palepen dan Saiya duduk dalam tandu terpisah yang masing-masing diangkut oleh belasan pemuda perkasa Tibet. Kedatangan mereka di Istana Terlarang disambut Qianlong beserta para pejabat dan pangeran yang semuanya adalah laki-laki.
Dari salah satu pilar dekat Istana Perdamaian Agung – tempat Qianlong menemui Palepen, Xiao Yanzi, Ziwei dan Jinshuo tengah bersembunyi. Xiao Yanzi sangat penasaran dengan penampilan si Putri Tibet. Dia nekat mengajak Ziwei dan Jinshuo mencuri lihat upacara penyambutan mereka.
Ziwei sangat cemas ketahuan. Dia menarik-narik Xiao Yanzi agar bergegas. “Cepat! Kalau sudah lihat, kita harus segera pergi!”
Dasar Xiao Yanzi! Kepalanya justru semakin terjulur keluar. “Sebentar lagi! Para penari dari Tibet itu aneh-aneh! Mereka menari sambil memakai topeng-topeng seram. Tapi tarian mereka bagus-bagus!”
Jinshuo berkata dengan kagum, “Lihat Putri Saiya itu! langsing sekali! Gaun merahnya indah. Topinya juga sangat bagus dengan bulu-bulu putih. Begitu juga dengan perhiasan yang dikenakannya…”
“Huang Ama memang payah!” celutuk Xiao Yanzi. “Lihat si Raja Tibet – jauh-jauh ke sini membawa putrinya. Bukannya menyuruh dia bersembunyi seperti aku! Kenapa ya, aku tidak boleh ikut menyambut mereka bersama Huang Ama?”
Ziwei semakin cemas. Dia menarik Xiao Yanzi keras-keras. “Ayo cepat pergi! Sebentar lagi mereka akan lewat sini dan melihat kita…”
Xiao Yanzi mengibaskan tangan Ziwei. “Biarkan aku melihatnya sedikiiiiiiit lagi…”
Upacara penyambutan di Istana Perdamaian Agung telah selesai. Palepen dan Qianlong saling berbasa-basi sebentar sambil tertawa-tawa. Setelahnya Palepen menggandeng Saiya untuk maju ke depan dan memperkenalkannya.
“Ini putri bungsu saya, Saiya.”
Qianlong juga memperkenalkan para pangeran. “Ini putra-putra saya.”
“Oh?” Palepen melongo. “Apa Anda tidak punya putri?”
“Tentu saja ada. Saya punya delapan putri.”
“Kenapa mereka tidak kelihatan satu pun?”
“Menurut tata krama Dinasti Qing, anak perempuan tidak perlu menyambut tamu.”
Palepen keheranan. “Kenapa? Anak perempuan itu sangat berharga. Tidak kalah dari anak lelaki. Karenanya tidak pantas disembunyikan. Kalau tidak ada perempuan, dari mana datangnya laki-laki?”
(Ha ha ha! Setuju dengan Raja Tibet! Di Tibet kaum wanita amat dihargai. Pada beberapa sub sukunya wanita malah punya peranan serta kekuasaan besar dalam menentukan nasib mereka sendiri. Termasuk dalam masalah memilih calon suami. Mereka juga menganut faham matrilineal, yakni keturunan mengikuti garis keluarga ibu).
Kali ini Qianlong yang keheranan. Sambil bercakap-cakap, keduanya pun berjalan mendekati arah Xiao Yanzi, Ziwei dan Jinshuo.
Ziwei dan Jinshuo buru-buru mengambil langkah seribu ketika dilihatnya rombongan Qianlong-Palepen mendekat. Xiao Yanzi yang semula dipegang Ziwei dan Jinshuo jadi kehilangan keseimbangan dan jatuh terjerembap tepat di hadapan Qianlong dan Palepen!
Semua orang terkejut melihat Xiao Yanzi. Xiao Yanzi sangat malu…. Duh! Tapi karena sudah berada di hadapan Qianlong, dia tak bisa lari. Terpaksa, Xiao Yanzi berlutut memberi hormat.
“Semoga Huang Ama sejahtera selalu!”
Qianlong salah tingkah. Tapi karena sudah terlanjur, dia pun berkata pada Palepen.
“Ini salah satu putri saya, Putri Huanzhu!”
Xiao Yanzi masih dalam posisi berlutut menengadahkan kepalanya. Dilihatnya si Putri Tibet tengah melihatnya dengan rasa ingin tahu yang besar.
Saiya lalu berbicara pada Palepen dalam bahasa Tibet - dengan gayanya yang manja. Palepen menegurnya, “Kau kan sudah belajar bahasa mandarin? Jangan bicara dalam bahasa Tibet di sini!”
Akhirnya Saiya melihat Xiao Yanzi lagi sambil berkata dalam bahasa mandarin patah-patah, “Mengapa... Putri Huanzhu ini... muncul dengan meragkak? Dia dan aku sama-sama putri..., tapi kenapa dia bicara sambil berlutut?”
Xiao Yanzi langsung kesal mendengarnya. Dia melompat berdiri. Sambil berkecak pinggang membentak Saiya, “Kau bilang apa?”
“Xiao Yanzi!” Qianlong memelototinya. “Tidak sopan begitu! Sana! Pergilah!”
Xiao Yanzi kesal sekali usai bertemu Saiya. Sepanjang sisa hari itu, di Paviliun Shuofang, Xiao Yanzi mengomel tak karuan.
Pada sore hari, Erkang muncul tergesa-gesa di Paviliun Shuofang.
“Aku hanya singgah sebentar. Besok akan ada pertunjukan pibu (baca: phi pu – adu silat). Raja Tibet membawa beberapa pendekar untuk bertanding dengan pendekar-pendekar istana. Yang Mulia tahu Xiao Yanzi pasti suka menontonnya, maka dia memintaku menyampaikan pesan ini. Di arena sudah dipersiapkan tiga kursi bagi Xiao Yanzi, Ziwei dan Jinshuo.”
Jinshuo langsung berseru kegirangan. “Waaah, bahkan aku bisa ikut!”
Xiao Yanzi senang sekali mendengarnya. Dia mengacungkan tangannya tinggi-tinggi di udara sambil melompat dan menirukan bahasa Tibet asal-asalan.
“Ma mi ma mi ku lu ku lu sheng tong chiang!”
Erkang kaget. “Apa yang kau katakan?”
“Itu bahasa Tibet,” jawab Xiao Yanzi. “Artinya: besok mereka akan kalah sampai bisulan!”
***
Keesokan harinya, di arena Pibu ramai sekali.
Qianlong menonton bersama Permaisuri, Selir Ling serta sejumlah selir lainnya. Para pangeran serta beberapa putri juga hadir. Di samping itu masih ada sejumlah pejabat.
Di samping Qianlong duduk Palepen dan Saiya. Di sebelah lain duduk Xiao Yanzi, Ziwei, Jinshuo, Erkang dan Ertai.
Pertandingan telah dimulai antara Saiwei dengan jagoan Tibet bernama Luqia. Putri Saiya yang lincah tidak bisa duduk diam saja. Dia melompat dari kursinya lalu sibuk berteriak memberi semangat kepada jagoan Tibet.
“Luqia! Hajar dia! Hali hala mamiya!”
Saiya sibuk berteriak dalam bahasa mandarin dan Tibet yang campur aduk. Di arena, Saiwei dan Luqia tengah bertarung sengit. Saiwei agak sedikit terdesak. Pentandingan ini benar-benar menegangkan.
Xiao Yanzi yang melihat kelakuan Saiya begitu berlebihan tak mau kalah norak. (Menirukan kata-kata Ertai: kalau mau gila, mari gila bersama-sama!) Dia juga melompat dari kursinya dan berseru di pinggir arena, “Saiwei! Maju terus! Jangan menyerah! Kau jagoan terhebat! Jangan buat kami kehilangan muka! Kerahkan tenagamu!”
Saiya menoleh ke arah Xiao Yanzi yang teriakannya lebih keras. Dia pun berteriak sekeras-kerasnya, “LUQIA MENANG! LUQIA MENANG! HALI HALA MAMIYA!”
Xiao Yanzi tidak mau kalah. Dia berteriak lebih keras lagi, “SAIWEI! HAJAR DIA HABIS-HABISAN! HAJAR DIA SAMPAI BABAK BELUR! JANGAN SUNGKAN-SUNGKAN!”
Qianlong dan yang lain-lain terbengong-bengong melihat tingkah Xiao Yanzi dan Saiya yang adu teriak. Mereka hampir lupa menyaksikan jalannya pertandingan karena menatap Xiao Yanzi dan Saiya bergantian.
Saiya menirukan teriakan Xiao Yanzi, “LUQIA! Hajar dia sampai babak belur! Hajar dia sampai babak belur!”
Xiao Yanzi juga ganti menirukan cara Saiya. “Saiwei! Hali hala mamiya! Hali hala mamiya!”
Saiya dan Xiao Yanzi saling pandang dengan kaget. Kemudian mereka sama-sama membuang muka dengan angkuh, “Huh!”
Suasana dalam arena dan di luar arena sama sengitnya. Tanpa disangka, ronde pertama ini Saiwei kalah. Saiya bersorak kegirangan sambil mengacung tinggi-tinggi.
“Kami menang! Kami menang!”
Xiao Yanzi tentu saja tidak senang. Ronde berikutnya, Saiguang maju melawan jagoan Tibet yang lain. Saiya dan Xiao Yanzi kembali adu teriak.
“Hajar dia! Jangan sungkan!”
“Saiguang! Gunakan ilmu peringan tubuhmu untuk menaklukkannya!”
“Jagoan Tibet harus nomor satu!”
“Tidak bisa! Jagoan Manchu yang harus nomor satu!”
Saiguang berhasil mengalahkan lawan. Jagoan Tibet itu dihempaskannya hingga tak berkutik.
Xiao Yanzi sangat bangga. Dia menoleh kepada Saiya dan mengejek, “Kalian kalah! Kalian kalah! Ne ne ne ne… ne ne ne ne…!”
Wajah Saiya memucat. Dia segera berteriak memanggil salah satu jagoan Tibet untuk masuk arena. Jagoan itu melawan pendekar istana yang lain – dan ternyata, pertarungan kali ini dimenangkan oleh pendekar Tibet hingga dua kali berturut-turut.
Wajah Qianlong jadi keruh. Xiao Yanzi juga sangat marah. Dia berteriak keras, “Mana semua jagoan Manchu? Ayo keluar!”
Tiba-tiba seseorang melayang memasuki arena. Semua orang berseru.
“Erkang!” teriak Xiao Yanzi. “Hebat kau! Ayo perlihatkan kebolehanmu pada mereka!”
Erkang dan jagoan Tibet itu saling bertukar jurus. Pertarungan mereka sangat seru. Ziwei yang menyaksikan semuanya merasa sangat cemas sampai memilin-milin sapu tangannya.
Erkang memenangkan ronde itu. Begitu juga dengan beberapa jagoan Tibet berikutnya. Semuanya dikalahkan Erkang. Teriakan Xiao Yanzi makin membahana. Sedangkan suara Saiya nyaris tak terdengar…
Akhirnya Erkang pun mengalahkan jagoan Tibet terakhir. Palepen mendesah dan mengaku kalah. Dia berkata pada Qianlong, “Yang Mulia, jagoan Anda ini memang hebat. Kami tak punya jagoan lain lagi untuk menandinginya.”
“Siapa bilang?” seru Saiya. “Kita masih punya satu jagoan lagi!”
Selesai berkata demikian, Saiya melompat masuk arena dan mendarat tepat di hadapan Erkang. Semua orang terkejut. Erkang juga. Dia langsung menghaturkan salam hormat.
“Hamba Fu Erkang tidak berani melawan Putri!”
Saiya mengeluarkan seutas cambuk dari pinggangnya dan melecutnya. Lecutan itu mengenai pipi Erkang dan meninggalkan tanda kemerahan. Erkang kaget. Belum sempat Erkang menghindar, Saiya kembali melecutkan cambuknya seperti kilat dan bunyi mendengung.
Xiao Yanzi tak tahan melihat Erkang yang masih sungkan. “Erkang! jangan terpana oleh kecantikannya! Kau tak sampai hati menghajarnya ya?!”
Teriakan Xiao Yanzi seperti mengejek Erkang. Semangatnya tersulut. Tanpa ragu-ragu Erkang melesat dan mencoba merebut cambuk Saiya. Tapi Saiya yang lincah segera berkelit. Kedua orang itu naik-turun. Melompat dan melayang ke sana kemari. Semua orang menyaksikan tanpa berkedip.
Pada satu kesempatan, Saiya lengah sehingga Erkang pun merebut cambuknya.
Erkang bermaksud menyudahi pertarungan. Dia berkata, “Tuan Putri memang hebat! Hamba mengaku kalah…”
“Apa artinya ‘hamba mengaku kalah’? Aku akan bertarung habis-habisan denganmu!”
Saiya belum menyerah. Dia melayangkan tendangan ke dada Erkang.
Erkang menghindari tendangan. Melihat Saiya yang gigih, dia tidak sungkan-sungkan lagi. Diayunkan cambuk di tangannya sehingga topi Saiya terlepas.
Saiya semakin gencar menyerang. Erkang pun meladeninya. Hingga terakhir, Erkang berhasil melecut kalung Saiya hingga melayang di udara.
Erkang melompat untuk mengambil kalung itu. Setelah itu dia memberikannya kembali pada Saiya beserta cambuknya sambil bartanya, “Apa Anda masih mau melanjutkan pertarungan?”
Saiya mengambil kembali kalung dan cambuknya. Dia merasa puas. Disojanya Erkang. “Pendekar tangguh, Saiya mengaku kalah!”
Saiya tersenyum pada Erkang kemudian kembali ke tempatnya. Dia berbisik manja di telinga Palepen.
“Ha ha ha! Kata Saiya, akhirnya dia bertemu dengan lawan yang sepadan! Kungfu jagoan ini memang hebat!”
Palepen dan Qianlong saling memuji.
“Orang Tibet juga hebat! Punya putri kecil yang mahir bela diri dan membuat semua orang terpesona!”
***
Pibu sudah berakhir. Tapi Erkang, Ertai dan Yongqi masih sangat sibuk. Mereka menemani si Putri Tibet berjalan-jalan, sehingga tidak sempat mampir ke Paviliun Shuofang.
Suatu siang, Selir Ling mengunjungi Paviliun Shuofang dengan setumpuk pakaian baru. Dua dayang Selir Ling: Lamei dan Dongxue yang membawa pakaian-pakaian itu.
“Xiao Yanzi! Ziwei! Ini ada pakaian-pakaian baru untuk kalian. Sebentar lagi akan ada ‘perjamuan bahagia’ dan kalian harus hadir. Kenakanlah pakaian-pakaian ini ke sana.”
Perjamuan bahagia yang dimaksud Selir Ling adalah jamuan pernikahan. Xiao Yanzi agak terkejut mendengarnya. Dia bertanya, “Perjamuan bahagia apa? Pasti diadakan untuk Raja Tibet itu, kan? Dia memang aneh! Kenapa dia lama sekali di sini dan belum pulang juga?”
Selir Ling tersenyum sambil berkata, “Kelihatannya mereka ‘Le Pu Se Shu’ – terlalu senanghingga lupa pulang!’
Xiao Yanzi menyembur, “Kalaupun mereka ‘Le Te Xiang Lao Shu’ – terlalu senang hingga seperti tikus, tetap saja harus harus pulang, kan?”
Jinshuo menerima baju-baju itu sementara Selir Ling menatap Ziwei dengan intens.
“Kelihatannya sebentar lagi kau pun akan memperoleh berbagai macam kelimpahan. Seumur hidup kau akan bergelimang emas dan perak serta kemewahan yang tak ada habisnya…”
Ziwei terkejut dengan kata-kata Selir Ling yang sepertinya bermakna ganda. “Paduka Selir, apa maksud perkataan Anda pada hamba?”
Selir Ling berjalan mendekat. Dia membelai rambut Ziwei dengan lembut. Tatapannya menyorotkan pujian, kekaguman, serta sedikit kecemburuan.
“Ziwei, kau sekarang bukan seorang hamba lagi. Kelak kita akan saling menyapa dengan sebutan ‘kau dan aku’ saja.”
“Hamba… hamba tidak berani!” kata Ziwei cemas. Dia merasa sesuatu yang aneh.
Selir Ling berkata lembut, “Kau adalah dewi penolong. Demi keselamatan Kaisar, kau telah gunakan tubuhmu sendiri untuk menghadang senjata. Kau begitu berharga dan terhormat. Kaisar senantiasa teringat padamu. Sepertinya, kau tak akan lama lagi tinggal di Paviliun Shuofang ini…”
Xiao Yanzi sementara menyeduh teh. Dia terkejut dengan perkataan Selir Ling. Buru-buru dia menyahut, “Aku dan Ziwei sudah terbiasa tinggal di sini. Kami sudah berjanji sehidup-semati, bagaimana mungkin kami berpisah?”
Selir Ling tertawa. “Mana mungkin kau dan Ziwei seterusnya bersama? Cepat atau lambat kau akan dinikahkan. Apa kau mau Ziwei juga ikut dinikahkan bersamamu?”
“Aku? Dinikahkan? Dengan siapa?” tanya Xiao Yanzi cemas.
“Aku belum tahu. Yang jelas, beberapa waktu ini Yang Mulia sudah menyinggung-nyinggung masalah perjodohanmu. Tunggu setelah urusan Putri Saiya selesai. Ada kemungkinan, dia akan dinikahkan dengan salah satu pangeran dari keluarga kita.”
“Dinikahkan dengan salah satu pangeran keluarga kita? Siapa?” Xiao Yanzi was-was.
“Kemungkinan dengan Pangeran Kelima. Beberapa hari ini, Pangeran Kelima dan Kedua Bersaudara Fu menemaninya jalan-jalan. Jika rencana ini benar, kemungkinan pernikahannya akan diselenggarakan bulan depan.”
Xiao Yanzi terlonjak. Poci teh yang sedang dipegangnya jatuh dan hancur berkeping-keping. Selir Ling terkejut.
Begitu Selir Ling pergi, Xiao Yanzi langsung mengomel soal Yongqi.
“Oh, pantas beberapa hari ini tidak kelihatan batang hidungnya! Rupanya menemani si Putri Tibet jalan-jalan. Baiklah! Kalau mau menikah, menikah saja! Aku tak peduli!”
Ziwei dan Jinshuo mencoba menenangkannya. “Kau jangan marah-marah dulu. Ini kan baru rencana – belum tentu benar. Putri Saiya itu sangat galak. Lagipula kalau Pangeran Kelima tidak bersedia, Kaisar pasti tak akan memaksa.”
“Kenapa tidak? Saiya itu kan seorang Putri?”
“Percayalah, itu pasti tak mungkin. Pangeran Kelima tetap setia padamu. Coba lihat ini – salep langka yang dihadiahkannya karena tahu kau sering terluka. Pangeran Kelima sangat perhatian padamu. Kau jangan berburuk sangka padanya…”
Xiao Yanzi yang sedang marah merampas botol salep dan melemparnya keluar jendela.
Dari luar botol salep mengenai kepala seseorang dan terdengar teriakan, “Auw!”
Xiao Yanzi, Ziwei dan Jinshuo menghambur ke jendela dan melihat Yongqi, Erkang serta Ertai berjalan memasuki Paviliun Shuofang (botol salep tadi pasti mengenai Yongqi :P)
Xiao Yanzi langsung pergi ke pintu dan menghalangi ketiganya masuk. Dia mendorong Yongqi sambil berkata, “Pergi! Pergi! Kau tak usah ke sini lagi! Temani saja si Putri Tibet itu!”
Yongqi mundur sambil berkata keheranan, “Kau kenapa sih? Susah payah kami mencari waktu luang kemari – kau malah uring-uringan dan mengusir kami.”
“Aku memang uring-uringan!” Xiao Yanzi berkata galak. Dia menunjuk Erkang dan Ertai. “Kalian berdua! Kalian bersekongkol dengannya kan?”
“Bersekongkol? Bersekongkol apa?” tanya Ertai.
“Kalian pura-pura tidak tahu ya? Kabarnya Huang Ama tengah memilih salah satu dari kalian untuk menjadi calon suami Putri Saiya dan pilihannya jatuh pada Pangeran Kelima!”
Yongqi terkejut. Erkang dan Ertai juga.
“Tidak mungkin! Aku sedikit pun tidak tahu soal ini!” Yongqi terbengong-bengong.
Xiao Yanzi menghentakkan kaki. Sambil berkecak pinggang dia berkata, “Begitulah kenyataannya! Sekarang kau sudah hampir menikah dan setiap hari menemani Putri Tibet itu! ‘Kau begitu senang hingga seperti tikus…’ Rupanya segala omong manismu hanya bohong belaka! Aku tak mau mendengarnya! Juga tak mau melihatmu lagi!”
Yongqi ternganga.
“Sekarang aku mengerti, kenapa Huang Ama memilih kita bertiga menemani Saiya. Jadi rupanya mereka sedang mencari calon suami baginya. Selain aku dan Pangeran Keenam, tak ada pangeran lain yang lebih cocok dengan usia Saiya. Tapi Huang Ama tidak pernah menyinggung soal Pangeran Keenam. Jadi diam-diam, aku sudah ‘dijual’ ke Tibet?”
Yongqi termangu sejenak lalu meraih tangan Xiao Yanzi. “Lebih baik kita pergi menghadap Huang Ama sekarang dan menceritakan semua kebenarannya! Kau toh sudah diampuni dari hukuman mati karena permintaan Ziwei!”
Erkang menghalangi. “Kau bermaksud mengutarakan kebenaran sekarang?”
Ertai menyambung, “Ini masalah besar! Kita tidak bisa memprediksikan bagaimana reaksi Kaisar! Apalagi sekarang sedang ada tamu kehormatan – mana mungkin Yang Mulia bisa membereskan masalah keluarga?”
Jinshuo maju dan berkata, “Pangeran Kelima, kabar tentang perjodohanmu itu kami dengar dari Selir Ling. Benar atau tidak juga belum pasti. Sebaiknya Anda pergi mencari tahu dulu baru mempertimbangkan langkah berikutnya.”
“Benar yang dikatakan Jinshuo,” sambung Erkang. “Sebaiknya Pangeran Kelima pergi mengecek kebenarannya dulu baru kita bertindak. Jangan terburu-buru!”
Yongqi tersadar. Dia lalu memutar badannya pergi mencari Qianlong.
***
Tak lama, Yongqi pun kembali dengan emosi yang meledak-ledak.
“Pernikahan diplomatis ini memang akan dilaksanakan! Tapi bukan aku mempelai prianya - melainkan Erkang!”
Semua orang terperanjat. “Aku?” tanya Erkang tidak percaya.
“Ya! Kau! Semula Huang Ama memang hendak memilihku. Tapi Palepen keberatan karena Saiya lebih menaruh hati padamu. Awalnya Huang Ama tidak setuju karena kau sebenarnya hendak dijodohkan dengan Xiao Yanzi! Tapi kemudian dia luluh oleh permintaan Palepen!” (weh, kebayang tidak kalau mereka tukar-tukaran pasangan macam begini…?)
Ziwei yang sejak tadi tidak banyak bicara tiba-tiba terhenyak dan memucat. Jinshuo segera memegangnya dan berkata, “Nona! Kita tak bisa menunda lagi! Cepat cari Kaisar dan jelaskan semuanya! Kalau tidak, kesalah pahaman ini akan semakin rumit dan berbagai masalah baru akan terus bermunculan!”
Yongqi menyambung, “Selama ini kita selalu khawatir ini-itu. Sekarang keadaannya sudah genting! Kata-kata Jinshuo benar. Kita tak usah memilih saat yang tepat bagaimana lagi! Anggap saja ini takdir! Kita ungkapkan saja semua kebenaran itu!”
Ziwei pucat. Dia sangat ketakutan.
“Aku … aku ingin memikirkannya lagi…”
Xiao Yanzi langsung berseru, “Kau pikir apa lagi? Kalau kau terlalu lama berpikir, Erkang sudah menjadi menantu Raja Tibet! Aku tak peduli apakah waktunya sesuai atau tidak! Pokoknya kebenaran ini akan kukatakan sekarang! Pokoknya kalaupun nyawaku akan diambil… akan kuberikan!”
Usai berkata begitu, Xiao Yanzi langsung berlari mencari Qianlong.
Semua tampak cemas dan panik. Ziwei terutama. Yongqi menepuk punggung Erkang.
“Kuatkan dirimu! Bersiaplah! Kita akan bersama-sama menghadap Huang Ama!”
Erkang mengangguk. Digandengnya Ziwei. Berlima – mereka mengejar Xiao Yanzi.
***
Qianlong tengah bersama Permaisuri, Selir Ling dan beberapa selir lainnya di taman bunga istana. Mereka menemani Palepen dan Saiya berjalan-jalan.
Palepen dan Qianlong bicara dengan akrab. Mereka membahas soal pernikahan Saiya. Palepen berkata pada putrinya, “Saiya, bahasa mandarinmu masih belum lancar. Kau juga masih harus mempelajari banyak kebudayaan China.”
Saiya mengangguk antusias. “Aku tahu! Selain itu aku masih harus belajar berlutut dan bersujud. Perempuan di sini harus selalu berlutut dan bersujud – aneh sekali!”
Selir Ling tidak dapat menahan kegeliannya. Dia berbisik pada Qianlong, “Putri Saiya ini agak mirip dengan Putri Huanzhu kita. Kelak mereka bisa berteman baik…”
Qianlong tertawa mendengarnya. Permaisuri mendengus dingin. Dan Qianlong langsung menatap Permaisuri dengan pandangan mencemooh.
Palepen bertanya pada Qianlong, “Apakah Putri Huanzhu ini yang awalnya hendak Anda jodohkan dengan Fu Erkang?”
“Benar!”
Palepen menoleh ke arah Saiya, “Seleramu bagus juga! Kau memilih pemuda itu – berarti kau telah merebutnya dari Putri yang lain. Kelak kau tak boleh galak padanya…”
“Aku tidak galak…” Saiya mengoceh. “Aku wula-wula…”
Qianlong dan istri-istrinya keheranan melihat Saiya yang tidak canggung membicarakan masalah pernikahannya. Tepat pada saat itu, Xiao Yanzi dan kawan-kawan datang. Xiao Yanzi langsung berseru dengan serius, “Huang Ama! jangan jodohkan Erkang dengan Saiya!”
Qianlong dan lain-lainnya terkejut sekali. Alis Palepen terangkat.
Qianlong marah melihat Xiao Yanzi yang tak tahu sopan-santun.
“Apa kau tidak melihat di sini sedang ada tamu kehormatan? Kau tiba-tiba datang dan berteriak. Aturan macam apa itu? Kalau ada yang ingin kau bicarakan, sampaikan besok saja!”
“Tidak bisa menunggu besok, Huang Ama! Kalau Huang Ama benar-benar menjodohkan Erkang dengan Saiya, Huang Ama akan sangat menyesal! Cepat Huang Ama beritahukan Saiya bahwa dia tidak bisa menikahi Erkang! Huang Ama jangan mementingkan putri orang lain daripada putri kandung sendiri!”
Semua orang mengira Xiao Yanzi tidak rela kehilangan Erkang. Permaisuri tak dapat menahan diri, maju dan berkata tajam, “Putri Huanzhu benar-benar tak tahu aturan! Beraninya berebut suami dengan Putri Tibet! Yang Mulia, Anda tidak bisa diam saja melihat Xiao Yanzi mempermalukan keluarga kita!”
Yongqi dan lain-lainnya mendekat. Yongqi buru-buru menghampiri Qianlong.
“Huang Ama, kami hendak memberitahu satu hal. Mohon Huang Ama memberi waktu bagi kami… perintahkan yang lainnya untuk menyingkir dahulu…”
Qianlong semakin marah. “Yongqi! Jadi kau juga ikut-ikutan tak tahu sopan-santun seperti Xiao Yanzi? Di sini sedang ada tamu kehormatan! Mana mungkin seenaknya kau minta mereka untuk menyingkir ke tempat lain?”
Melihat semua orang yang hadir di sana, Ziwei merasa situasinya benar-benar tidak menguntungkan. Dia langsung maju mencengkeram Xiao Yanzi dan menyeretnya pergi. “Putri! Ini bukan saat yang tepat untuk bicara! Kaisar sedang ada tamu! Lebih baik kita kembali saja!”
Xiao Yanzi meronta. Saiya tak dapat berdiam diri, dia maju sambil menuding Xiao Yanzi.
“Jadi kau yang bernama Putri Huanzhu, ya? Tempo hari kita beradu teriak, sekarang kita akan berebut calon suami! Kalau kau menang melawanku, Erkang akan kukembalikan padamu!”
Saiya langsung mengeluarkan cambuknya dan melecutnya.
Xiao Yanzi melepaskan diri dari Ziwei dan berteriak, “Dasar Putri tidak tahu malu! Memangnya di Tibet tidak ada laki-laki ya? Kau datang kemari untuk merebut calon suami orang! Siapa yang takut padamu? Ayo kita bertarung!”
Xiao Yanzi maju dan meyeruduk Saiya hingga jatuh terlentang. Mereka bergulingan. Xiao Yanzi menendang, memukul, menyeruduk, mencekik… Saiya juga membalas dan menggigit.
Palepen berkata antusias, “Bagus! Bagus! Putri Huanzhu ini benar-benar pemberani! Kalau punya anak perempuan, harus yag seperti ini – pantang menyerah! Pantang mundur! Biarkan mereka bertarung untuk berebut calon suami! Jangan ada yang bantu! Biar kita lihat siapa yang menang di antara mereka berdua!” (Weh, Palepen ini pantas dijuluki bokap sableng. Membantu saingan putrinya… heghegheg)
Erkang tak tahan menyaksikan perkelahian Saiya-Xiao Yanzi. Dia maju dan berusaha melerai kedua gadis itu.
“Cukup! Jangan bertarung lagi!”
Begitu melihat Erkang turun tangan, Saiya langsung tersenyum genit.
“Eh, kau! Baiklah, kalau kau yang minta, aku akan menurut… Tak akan bertarung lagi..”
Saiya mundur kembali pada Palepen. Keadaan Xiao Yanzi mengenaskan. Wajah dan tangannya lebam serta bilur-bilur. Ziwei dan Jinshuo buru-buru memapahnya.
Melihat keadaan Xiao Yanzi, Qianlong jadi menyesal karena telah menyetujui perjodohan Erkang dengan Saiya. Dia pun melembutkan suaranya dan berkata, “Pulanglah! Bersihkan dirimu!”
Xiao Yanzi menatap Qianlong dengan amat memelas. Di dalam hatinya bertumpuk banyak kata yang hendak diucapkan. Akhirnya, Xiao Yanzi pun mulai menumpahkan sebagian,
“Huang Ama! Aku merebut Erkang bukan untukku! Aku melakukannya demi Ziwei! Ingatlah dirinya yang telah mempertaruhkan nyawa demi Huang Ama! Sebagai balas budi, mengapa Huang Ama tak memberi Erkang sebagai suami Ziwei?”
Qianlong sangat terpukul. Dia seolah tak percaya dengan pendengarannya sendiri. (Bayangkan Kaisar yang telah naksir Ziwei, kini harus menghadapi kenyataan kalau ternyata gadis itu dan pengawalnya saling mencintai…)
“Apa yang kau katakan?”
Ziwei segera membekap mulut Xiao Yanzi dan menyeretnya pergi. Namun Qianlong dengan penuh wibawa berseru, “Tunggu! Kembali dan katakan hal tadi sejelas-jelasnya!”
Ziwei tidak bergerak. Dia memejamlan mata dan melepas pegangannya. Xiao Yanzi langsung menghambur di hadapan Qianlong. Dia menjatuhkan diri berlutut.
“Huang Ama…” Xiao Yanzi berurai air mata. “Aku telah membohongimu… Aku bukanlah putrimu… Putri Huanzhu yang sebenarnya adalah Ziwei! Ziwei-lah anak Xia Yuhe yang sebenarnya…”
Jreng! Jreng! Jreng!
“Apa? APA?” Qianlong semakin terkejut.
Permaisuri, Selir Ling dan para selir lainnya terperanjat. Mereka saling bertukar pandang dan berbisik-bisik. Palepen dan Saiya sebagai tamu hanya bisa melongo.
Ziwei sudah hampir pergi. Qianlong melihatnya dan berseru, “Ziwei! Kemari! Kau yang harus menjelaskan – ada apa dengan semua ini?!”
Ziwei tak dapat menghindar lagi. Dia berjalan ke hadapan Qianlong dan berlutut di samping Xiao Yanzi. Ziwei menengadahkan kepala – dan dengan suara jernih barkata,
“Sebelum ibu meninggal, dia pernah berpesan, jika suatu hari aku bertemu ayahku, aku harus memberitahunya kalimat ini. Kalimat ini bahkan tidak diketahui Xiao Yanzi sampai sekarang. ‘Xia Yuhe itu ibarat setangkai rumput. Dan pria yang dicintainya ibarat batu karang. Setangkai rumput, takkan mampu menggeser batu karang….’” (Kata-kata ini sama seperti yang diucapkan Xia Yuhe dalam mimpi Qianlong)
Qianlong sangat-sangat-sangat terperanjat.
Rasanya seperti baru disambar halilintar….
Bersambung
0 comments:
Post a Comment