Recent Post


[Sinopsis Novel] Putri Huan Zhu/ Huan Zhu Gege 1 Bagian 12

Do you want to share?

Do you like this story?



Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge 3: Chen Hsiang Ta Pai
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan.

Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu 3: Indahnya Kebenaran
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tilly Zaman, Wisnu Adi Hartono
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Desember 1999 (edisi pertama)

Cerita Sebelumnya:

Xiao Yanzi dan Ziwei ikut rombongan Qianlong keluar istana. Keduanya sangat senang. Xiao Yanzi bisa melihat hal baru sedang Ziwei berdekatan dengan ayahnya. Perjalanan mereka diselingi dengan pernyataan cinta Yongqi pada Xiao Yanzi. Pada suatu hari, rombongan mereka terperangkap dalam hujan badai. Malamnya Qianlong demam. Dalam demamnya dia bermimpi bertemu Xia Yuhe.

XII

Qianlong tersentak dari mimpinya. Dia bangun dan terduduk. Pandangannya bertemu dengan pandangan Ziwei. Samar-samar, bayangan Xia Yuhe dan Ziwei menyatu…

Ziwei sejak tadi berada di samping Qianlong menyeka peluhnya. Dia agak terkejut mendengar Qianlong memanggil nama ibunya dalam mimpi.

“Barusan aku megigau, ya?” tanya Qianlong.

“Ya, Yang Mulia. Anda tadi memanggil Xia Yuhe.”

Qianlong menatap Ziwei, “Kau mengetahui soal Xia Yuhe?”

“Ya…, hamba tahu semua seluk-beluk Xia Yuhe,” Ziwei berkata perlahan. “Juga tentang puisi Anda. ‘Selepas hujan, bunga teratai mendapat anugerah embun. Seluruh kota ditebari warna musim semi yang tersiram cahaya mentari. Betapa indah cahaya Danau Daming. Puncak Gunung Tai, tampak menjulang tinggi.’”

Tanpa sadar, air mata mengalir turun ke pipi Ziwei dan jatuh ke punggung tangan Qianlong.

Qianlong tersentak. ”Bagaimana kau bisa tahu puisi ini? Oh, pasti Xiao Yanzi yang memberitahumu.”

Ziwei terdiam. Qianlong memandang Ziwei lekat-lekat. Dia tampak ragu dan bingung.

”Aneh sekali. Rasanya aku sudah mengenalmu sejak dulu. Mungkin ini hanya perasaan saja... Tapi.... Ziwei, kau belum pernah memberitahuku dari mana asalmu?”

Ziwei menjawab, ”Hamba..., hamba berasal dari tempat yang sama dengan Xiao Yanzi. Hamba juga tinggal di Jinan, di tepi Danau Daming.”

”Jadi kau berasal dari tempat yang sama dengan Xiao Yanzi? Kau pernah bertemu Xia Yuhe?”

”Benar! Beliau ibu angkat hamba.”

Qianlong terpana. ”Jadi kau dan Xiao Yanzi sudah lama saling kenal?”

”Hamba dan Xiao Yanzi saling mengangkat saudara, Yang Mulia. Mungkin di kehidupan lampau, kami memang sepasang saudari.”

Qianlong agak ragu-ragu. Menurutnya, Ziwei ini penuh teka-teki. Dia hendak menanyai Ziwei lagi. Tapi tiba-tiba Xiao Yanzi menggelinding dari atas meja tempatnya tidur menumpu. Dia mengigau, “Maling! Mau lari kemana kau?”

Xiao Yanzi tersentak. Dia duduk sambil terbengong-bengong.

Rahasia yang dipersiapkan Ziwei untuk disampaikan pada Qianlong jadi tertahan. Dia terpaksa tersenyum melihat Xiao Yanzi, “Kau habis mimpi berkelahi ya?”

Xiao Yanzi terlompat kaget. Melihat Qianlong yang tengah duduk, Xiao Yanzi menghampirinya. Diulurkan tangan mengusap dahi Qianlong. “Wah, syukurlah, demamnya sudah hilang!”

Ziwei menyambung, “Yang Mulia, berbaringlah kembali. Menurut hamba, setelah beristirahat dua hari, Anda sudah akan benar-benar sembuh.”

Kedua gadis itu membantu Qianlong merebahkan kembali tubuhnya ke ranjang.

“Kalian berdua memperlakukanku seperti siapa?”

“Seperti ayah – tentu saja!” Xiao Yanzi spontan menjawab.

Qianlong mencari jawaban pada Ziwei. Ziwei berkata, “Hamba juga demikian. Walau hamba sadar hal ini tidak pantas…”

Qianlong agak terkejut dengna jawaban Ziwei. Mata Ziwei memancarkan sorot yang sangat mendamba. Qianlong tercekat. Baginya Ziwei ini semakin lama semakin misterius.

***

Dua hari kemudian, Qianlong benar-benar telah pulih. Rombongan kembali melanjutkan perjalanan.

Hari itu mereka sampai di sebuah desa. Karena bertepatan dengan hari pasar, alun-alun desa tersebut ramai sekali. Terdapat aneka macam barang kebutuhan sehari-hari, hewan ternak, penjual makanan. Para pedagang riuh rendah menjajakan dagangannya.

Tiba-tiba di tengah hiruk-pikuk pasar tampak seorang gadis cantik. Umurnya tujuh belas atau delapan belas tahun. Dia memakai baju berkabung putih, sedang berlutut di hadapan sebuah kertas yang bertulis: ‘Zailian dan ayah sedang dalam perjalanan ke Beijing mencari kerabat. Tapi di tengah perjalanan Ayahnya sakit keras dan meninggal. Zailian tak dapat menguburkan ayahnya karena sudah tidak memiliki uang. Jika ada yang bermurah hati hendak menolongnya, Zailian akan sangat berterima kasih dengan menjadi budaknya seumur hidup.”

Xiao Yanzi berdiri di depan Zailian, membaca selebaran itu lalu berbisik pada Ziwei.

“Menurutmu, dia sungguhan atau cuma pura-pura?”

“Kalau sungguhan kenapa? Kalau pura-pura juga kenapa?” balas Ziwei.

Xiao Yanzi cekikikan. “Kalau dia sungguhan menjual diri untuk mengubur ayahnya, tentu aku akan memberinya uang. Kalau dia berbohong pun, aku lebih wajib lagi memberinya uang – karena ternyata dia seprofesi denganku!” (Wkwkwk, masih ingat dengan cara Xiao Yanzi mengamen di bagian pertama kan?)

Saat kedua gadis tengah berbisik-bisik, tiba-tiba terdengar kegaduhan. Beberapa bandit muncul dan menghampiri Zailian. Seorang yang berbadan paling besar dan wajahnya paling kasar menarik gadis itu sambil menggeram.

“Bangsat! Kemarin aku sudah membelimu! Kau sudah jadi budakku! Tapi kenapa kau masih lari kemari untuk menjual diri?”

Zailian ketakutan. “Aku tidak pernah menerima uangmu! Aku tidak mau menerima uangmu! Aku tidak mau ikut denganmu! Lebih baik aku mati daripada menjadi budakmu!”

“Wanita sial!” bandit itu menampar pipi Zailian keras-keras.

Sifat gila urusan Xiao Yanzi muncul lagi. Tak tega melihat Zailian, dia berteriak kea rah bandit-bandit itu.

“He! Lepaskan nona itu!”

Bandit itu melihat Xiao Yanzi dan memaki, “Kau setan darimana? Berani-beraninya ikut campur urusan orang?”

Baru saja bandit itu selesai bicara, Yongqi sudah melayang di depannya dan menampar wajahnya keras-keras.

“Mulutmu kotor sekali, Bung!” bentak Yongqi. “Dasar bajingan! Kalian bisanya Cuma menindas wanita! Lepaskan dia!”

Bandit itu langsung marah. Dia dan anak buahnya mengepung Yongqi dan Xiao Yanzi. Kemudian, terjadilah perkelahian.

Xiao Yanzi memukul membabi buta sambil ribut berteriak. “Rasakan tinjuku! Terima tendangan berantaiku ini! Dasar bajingan teri! Hiaaaaa…!!!”

Fulun lekas-lekas berseru, “Erkang! Ertai! Lindungi mereka!”

Erkang dan Ertai bergegas melesat ke tempat perkelahian yang sengit itu. Menghadapi ketiga pemuda itu (bagaimanapun, Xiao Yanzi kungfunya tidak seberapa baguslah), bandit-bandit itu kewalahan. Mereka babak balur. Akhirnya satu persatu jatuh terkapar.

Xiao Yanzi bertepuk tangan. “Wah, aku puas sekali!” Lalu dia menantang ke para bandit yang sudah berjatuhan itu, “Masih ada yang berani maju?”

Dengan napas ngos-ngosan dan wajah lebam-lebam, salah satu bandit menyahut, “ Tunggu… pembalasan kami!”

Erkang menendang segumpal lumpur dan langsung menyumpal mulut si bandit hingga terdiam. Para bandit itupun bergegas pergi kocar-kacir.

Fulun tampak gelisah. Dia tak tahan lagi sehingga menegur Xiao Yanzi. “Kau harus menahan diri. Jangan selalu menimbulkan keributan sehingga menarik perhatian orang!”

Xiao Yanzi membela diri. “Habis, mau bagaimana lagi? Masa melihat ketidak adilan, kita tinggal diam saja?”

“Ya sudah! Semuanya sudah selesai. Mari kita pergi!” kata Qianlong.

Mereka pun bergerak pergi. Setelah beberapa saat, Yongqi menoleh ke belakang dan melihat Zailian membuntuti mereka.

Yongqi mendekati gadis itu. “Di mana jenazah ayahmu?”

Zailian memandang Yongqi dengan penuh rasa terima kasih. Dia membungkuk, “Jenazah ayah hamba sekarang masih terbaring di kuil sebelah sana…” tunjuknya.

Yongqi mengeluarkan satu tael perak dari balik jubahnya. Diberikannya pada Zailian.

“Pakailah ini untuk memakamkan ayahmu. Sisanya bisa kau gunakan untuk pergi ke Beijing mencari kerabatmu.”

Zailian terharu menerima batangan perak itu. sambil menangis, dia bersujud ke hadapan Yongqi.

“Tuan muda, mulai sekarang, hamba adalah budakmu!”

Yongqi panik. “Bukan! Bukan! Aku sama sekali tidak bermaksud begitu! Aku hanya ingin menolongmu! Cepat makamkan ayahmu!”

Erkang mendekat dan berkata, “Sepertinya bukan begitu penyelesaiannya. Bandit-bandit itu masih bisa mengusiknya. Bagaimana kalau sebellum dia memakamkan ayahnya, peraknya juga sudah dirampas para bandit?”

“Betul kata Erkang!” sahut Xiao Yanzi. “Kita bantu saja dia memakamkan ayahnya!”

Fulun langsung menggeleng-geleng. Qianlong tersenyum dan berkata, “Sepertinya, malam ini kita masih harus menginap semalam di tempat ini.”

Mereka pun membantu memakamkan ayah Zailian. Selesai pemakaman, rombongan kembali berjalan.

Setelah rombongan bergerak agak jauh, tiba-tiba Yongqi menoleh. Di belakang mereka tampak Zailian yang tersaruk-saruk mengejar mereka. Yongqi terpaksa memacu kudanya ke arah Zailian.

“Zailian? Ada apa lagi? Bukankah kau sebaiknya melanjutkan perjalananmu ke Beijing untuk mencari kerabatmu? Jangan membuntuti kami lagi!”

Zailian menatap Yongqi dengan memelas, “Tapi…, tapi sekarang hamba sudah menjadi budak Tuan…”

“Tidak! Tidak! Aku tidak membelimu! Aku hanya membantumu! Di rumahku sudah banyak pelayan! Kami tidak memerlukan tambahan orang lagi!”

Zailian menunduk sedih.

Tanpa sengaja, Yongqi melihat ke arah sepatu Zailian yang sudah koyak. Jari kakinya juga terluka dan berdarah. Dia merasa iba.

“Baiklah… Naiklah ke kudaku. Nanti sesampainya di pemberhentian berikutnya, aku akan mengaturmu ke Beijing.”

Yongqi mengulurkan tangan. Zailian terkejut sekaligus senang. Dia duduk di atas kuda - di depan Yongqi.

Yongqi kembali ke rombongan bersama Zailian. Ertai terkejut melihat keduanya. Setengah berbisik, dia membentuk mulut, “Ke na pa kau me nga jak nya?”

Yongqi tak berdaya sambil mengisyaratkan, “Nantilah kita bicarakan lagi.”

Xiao Yanzi melongok keluar jendela. Dan dia melihat pemandangan itu tepat di depan matanya…

***

Sampai di pemberhentian berikutnya, Zailian masih belum mengerti maksud Yongqi. Dia tetap berharap Yongqi membawanya sebagai pelayan.

Yongqi serba salah dan serba susah. Bagaimanapun usahanya menjelaskan Zailian, gadis itu tetap belum paham. Xiao Yanzi mulai tidak senang. Dia menghampiri keduanya sambil menyindir, “Tuan Muda! Kulihat kau mengajak gadis cantik. Itu bagus buat menemanimu sepanjang perjalanan. Ada yang mengajak ngobrol dan tetawa-tawa!”

Melihat Xiao Yanzi cemburu, Ertai menahan tawa lalu turut memanas-manasi, “Benar, Tuan Muda! Kulihat sepanjang jalan tadi kau sangat memperhatikan Zailian! Kau baik sekali padanya….”

Yongqi terdesak. Dia akhirnya menoleh pada Ziwei minta bantuan. “Bisakah kau membantunya mencari sepatu? Sepatunya robek dan kakinya terluka.”

Ziwei memahami kesulitan Yongqi. Dia pun mengambil alih Zailian.

Muda-mudi itu pergi. Tinggallah Yongqi dan Xiao Yanzi yang berwajah masam.

“Kau marah padaku, ya?” tanya Yongqi lembut. Penuh harapan - karena sejak malam itu, Xiao Yanzi belum juga memberinya jawaban atas ungkapan perasaannya.

“Siapa bilang aku marah?” Xiao Yanzi membuang muka.

“Jadi kenapa kau masih di sini? Sebentar lagi Huang Ama akan mencarimu…”

Xiao Yanzi langsung menyahut marah. “Kau kan barusan membeli gadis pelayan! Kalau Huang Ama butuh orang melayaninya, suruh saja gadis itu! Memangnya aku dilahirkan sebagai pelayan, apa? Kau tidak pernah memberiku uang atau membeli diriku! Buat apa aku mau kalian perintah disuruh begini-begitu?!”

Yongqi kaget dengan sikap Xiao Yanzi. Dia seorang pangeran. Tidak pernah diperlakukan ketus begitu. Suaranya mulai meninggi.

“Kau ini aneh sekali! Kau yang pertama-tama membela Zailian! Sekarang kau marah karena melihatnya ikut kita! Masa aku harus pura-pura tidak melihatnya terpincang-pincang dengan kaki berdarah-darah begitu? Jadi rasa kasihanmu hanya segitu saja padanya?”

Xiao Yanzi balas berteriak, “Kalau kau tidak tega melihat kakinya berdarah, urus saja dia sana! Pergi! Pergi!”

Suara Yongqi menajam. “Melihatmu begini, aku bisa-bisa mengiramu cemburu!”

Xiao Yanzi melotot. “APA? Cemburu? Mimpi kau! Kau merasa semua wanita pantas mengejar-ngejarmu! Kukatakan padamu: bagiku kau sama sekali bukan siapa-siapa!”

Yongqi tersentak. Dia marah sekali. “Sekarang aku tahu sifatmu yang sebenarnya! Kau ternyata orang tak punya perasaan!”

Kata-kata Yongqi menyinggung Xiao Yanzi. Kemarahannya memuncak. “Aku memang berpikiran dangkal dan tak berpengetahuan! Tapi aku sama sekali tidak pernah menyakitimu!”

“Hei…, aku tidak bilang kau berpikiran dangkal dan tak berpengetahuan…”

“Kau mengatakannya! Itulah maksudmu, bukan? “ Xiao Yanzi berteriak membabi buta. Dengan emosi, dipungutnya sebongkah batu lalu dilemparnya ke arah Yongqi.

Batu sedikit menyentil kepala Yongqi. Dengan marah, diusap kepalanya.

“Benar-benar tidak bisa diajak kompromi!” – lalu dia pergi meninggalakn Xiao Yanzi.

***

Zailian ikut rombongan Qianlong tiga hari.

Tiga hari pula Xiao Yanzi marah pada Yongqi.

Pada petang hari ketiga, setelah Ziwei bantu membujuk, Zailian akhirnya bersedia pergi ke Beijing. Yongqi menghampiri Xiao Yanzi.

“Kita berbaikan lagi, ya? Kita sudah tiga hari tidak bicara. Tempo hari aku terserang ‘penyakit pangeran’ jadi perkataanku telah menyakitimu. Kau tidak marah lagi kan? Sekarang Zailian ingin pamitan denganmu. Dia akan pergi ke Beijing….”

Xiao Yanzi tidak memedulikan Yongqi. Dia mendadak melompat ke punggung salah satu kuda dan melarikan kuda itu secepat kilat.

Ziwei terkejut. “Xiao Yanzi! Apa yang kau lakukan? Kau tak bisa menunggang kuda! Kembalilah!”

Erkang langsung mendorong Yongqi untuk bergegas menyusul Xiao Yanzi.

Yongqi melecut kudanya. Setelah beberapa jauh, dilihatnya Xiao Yanzi mulai tak bisa mengendalikan kudanya. Yongqi cemas sekali.

“Xiao Yanzi! Jangan pedulikan kekangnya! Pegang erat-erat leher kudanya!”

Xiao Yanzi malah balas bertertiak, “Buat apa kau balas mengikutiku? Jangan pedulikan aku! Pergi!”

Xiao Yanzi menjepit perut kudanya hingga kuda itu melesat semakin kencang. Yongqi kepayahan menyusulnya. Ketika berhasil dekat Xiao Yanzi, Yongqi berteriak, “Xiao Yanzi! Kalau kau marah, hal lain boleh kau lakukan! Tapi jangan membahayakan dirimu seperti ini!”

“Aku celaka atau tidak bukan urusanmu!”

Xiao Yanzi menjepit perut kudanya sekali lagi. Menyebabkan kuda itu meringkik dan terangkat tinggi. Xiao Yanzi tergelincir – dia jatuh dari kuda tersebbut.

Yongqi yang sudah berada di sampingnya segera meloncat dan menyambar tangan Xiao Yanzi. Keduanya jatuh bersamaan lalu berguling-guling hingga ke bawah lereng.

Setelah sampai di bawah, xiao Yanzi terngah-engah ketakutan. Yongqi mendekap Xiao Yanzi erat. Tadi itu dia juga ketakutan setengah mati.

Tiba-tiba Xiao Yanzi tersadar. Dia meronta marah.

“Jangan menyentuhku! Jangan dekat-dekat denganku! Aduh!”

Kaki Xiao Yanzi terserang nyeri. Sehingga dia tidak dapat berdiri stabil. Yongqi segera memegang kaki Xiao Yanzi. Dia menggulung celana gadis itu dan mendapati luka lecet dan lebam di betis.

Xiao Yanzi mendorong Yongqi dengan kasar. “Pergi! Aku sudah bersumpah tidak mau bicara denganmu lagi!”

Yongqi langsung memeluk Xiao Yanzi lagi. Gadis itu berusaha melepaskan diri tapi sia-sia.

“Sudah jatuh begini kau masih marah, ya?” tanya Yongqi lembut. “Kau tahu? Dalam hatiku cuma ada kau seorang. Tak ada tempat untuk Zailian! Putri dari kerajaan atau bidadari dari kahyangan manapun, tak akan sebanding denganmu…”

Air mata Xiao Yanzi menetes. Sambil tetap meronta, dia berkata terisak, “Aku perempuan tak berpengetahuan! Pikiranku pendek! Aku tak punya ini-itu. Aku bukan siapa-siapa…”

Tiba-tiba Yongqi tak dapat mengendalikan dirinya. Dia menunduk dan dengan cepat… KISS!!!

Xiao Yanzi terkesima. Selama beberapa detik dunia serasa terbalik. Lalu dia tersadar. Sontak didorongnya Yongqi.

“Apa yang kaulakukan?” seru Xiao Yanzi. “Kau masih mau memperdayaiku?!?”

“Aku tidak memperdayaimu,” sahut Yongqi. “Tenanglah! Biar kulihat keadaan kakimu. Apa kau mau lukamu terus berdarah sampai kau mati?”

“Biar saja aku mati!”

“Aku juga akan ikut mati…”

“Sekarang kau baik – tapi nanti sifat pangeranmu pasti mucul lagi!”

Yongqi menahan tubuh Xiao Yanzi agar tetap duduk’ dia kembali memeriksa luka Xiao Yanzi. Dirobeknya bagian bawah jubahnya lalu dibebatnya luka Xiao Yanzi.

Sambil membalut, Yongqi berujar, “Aku tahu aku salah. Maafkan aku. Ini pertama kalinya aku memahami yang namanya jatuh cinta. Kau bisa cemburu, itu bukti bahwa aku telah berhasil merebut hatimu. Perkataanmu tempo hari benar. Aku telah terbiasa jadi pangeran. Sehingga sikapku terkadang agak angkuh. Tapi lain kali aku tak akan begitu lagi…”

Mendengar Yongqi yang bicara begitu lemah lembut, Xiao Yanzi jadi melunak. Dia tidak membalas Yongqi dengna kata-kata ketus lagi. Sebaliknya hanya diam mendengarkan.

“Nah, coba gerak-gerakkan kakimu. Apakah masih sakit?”

Xiao Yanzi menggerak-gerakkan kakinya. Dia meringis.

“Syukurlah hanya luka luar. Tulangnya tidak patah. Tapi hatiku… nyaris patah…”

“Kau tak usah berlagak!” kata Xiao Yanzi. Dia mengerjapkan mata. Air mata mengalir di kedua pipinya dan dia mulai menangis menumpahkan kekesalan hatinya.

Yongqi jadi gelisah. “Xiao Yanzi, jangan menangis! Begitu kau menangis hatiku jadi tak karuan…”

Xiao Yanzi menangis terisak-isak. “Lain kali jangan sewenang-wenang padaku…”

“Ya! Ya! Aku tak akan begitu lagi!” kata Yongqi sambil membantu Xiao Yanzi mengusap air matanya. “Mulai sekarang kita akan menangis dan tertawa bersama…”

Xiao Yanzi mengangkat kepala mellihat Yongqi. Dia lalu menyandarkan kepalanya di bahu Yongqi.

Baikan deh… jadian pula… ;)

***

Perjalanan Qianlong kali ini benar-benar ramai.

Rata-rata tiap tiga hari sekali, Xiao Yanzi pasti berkelahi. Begitu Xiao Yanzi berkelahi, Yongqi pasti turun tangan. Dan kalau Yongqi turun tangan, Erkang dan Ertai pasti tak akan tinggal diam juga.

Meski di sisi Qianlong ada Xiao Yanzi yang suka cari gara-gara, masih ada Ziwei yang dapat diandalkan menyelesaikan masalah. Qialong sangat menikmati perjalanan kali ini. Seumur hidup, kebahagiaan macam ini belum pernah dirasakannya.

Suatu hari, mereka sampai di kota Jizhou di Propinsi Hubei. Kebetulan di kota itu sedang berlangsung festival klenteng. Orang-orang berdandan serupa dewa-dewi diarak keliling kota. Bunyi tambur, gong, terompet membahana. Di sana-sini terdapat kios-kios penjual makanan dan kerajinan tangan.

Barisan penari memakai egrang mulai bermunculan. Para penonton begitu antusias melihat arak-arakan itu. termasuk rombongan Qianlong.

Xiao Yanzi seperti biasa – paling bersemangat melihat keramaian. Dengan cepat dia menyusup di antara desakan orang-orang agar bisa melihat arak-arakan dengan jelas.

Melihat Xiao Yanzi pergi, Yongqi bergegas menyusulnya. Erkang dan Ertai juga mengikuti.

Fulun dan lain-lainnya tetap berada dekat Qianlong. tapi karena orang-orang semakin banyak, akhirnya para pengiring Qianlong agak menyebar kesana-kemari. Tinggal Ziwei yang tetap bersama Qianlong.

Qianlong mulai kepanasan. Dia lalu mencari tempat di pinggir. Ziwei mengipasi Qianlong. Pada saat itulah sepasang suami-istri penjual telur chayetan berhenti di depan Ziwei dan Qianlong. (Chayetan adalah telur yang direbus dalam larutan teh, adas, dan bumbu lainnya. Warnanya kecoklatan).

“Di sana terlalu banyak orang. Kita berjualan di sini saja!” kata sang suami.

“Benar! Kita menjual telur chayetan sambil membawa tungku. Kalau ada orang yang terkena api hingga kulitnya melepuh kita bisa repot,” sahut sang istri.

Qianlong memperhatikan sepasang suami-istri itu. sudah tua tapi masih berdagang. Dengan penuh simpati dia bertanya, “Hari ini usaha bagus, tidak?”

Si suami menjawab. “Lumayan Tuan Besar… Pokoknya masih bisa untuk makan…”

“Apa Tuan Besar mau beli telut chayetan kami?” tanya si istri. “Kami pakai daun teh terbaik untuk merebusnya. Coba Anda cium, wangi bukan?’

Qianlong tersenyum. “Baiklah! Beri aku sepuluh butir. Ziwei, tolong bayarkan.”

“Baik!” sahut Ziwei sambil mengambil uang dari kantung untuk membayar. Tiba-tiba, suami-istri tua itu bukannya membungkus telur-telur chayetan… melainkan mengambil kuali yang berisi telur-telur chayetan panas dan melemparnya ke arah Qianlong!

Ziwei yang berdiri di depan Qianlong langsung terkena telur-telur itu. Dia memekik kepanasan. Yang laki-laki tua berteriak, “Kaisar keparat! Sekarang tibalah ajalmu!”

Si perempuan tua tiba-tiba menghunus sebilah belati kecil. “Aku membalas dendam untuk para pengikut aliran Dacheng yang mati mengenaskan!”

(Aliran Dacheng ini kemungkinan adalah pemberontak dari Dinasti Ming yang ingin menggulingkan Dinasti Qing serta mendirikan Dinasti Ming kembali. Dan para pengikutnya banyak ditumpas selama pemerintahan Qianlong)

Fulun melihat semua itu dari kejauhan amat terkejut.

“Ada pembunuh! Ada pembunuh! Cepat lindungi Yang Mulia!” teriak Fulun.

Para pengiring berusaha mendekati Qianlong. Xiao Yanzi, Yongqi, Erkang dan Ertai terpisah agak jauh sehingga tidak menyadari peristiwa yang tengah terjadi.

Qianlong menengadah dan melihat belati si perempuan tua menuju arahnya. Dia tak bisa menghindar. Tiba-tiba, Ziwei melesat maju mendorong Qianlong. Tanpa memedulikan keselamatannya, dia menghadang perempuan tua itu dan belati pun menancap di dadanya.

Darah langsung mengalir deras di tubuh Ziwei. Qianlong sangat terperanjat. Dia langsung memeluk Ziwei yang terkulai. Orang-orang di sekitar situ mulai tersentak dan panik. Mereka saling dorong dan histeris. Terjadilah chaos.

Tiba-tiba, orang-orang yang berdandan sebagai dewa-dewi arak-arakan menghunus senjata dari balik kostum mereka. mereka bersiap menyerang Qianlong. Fulun dan para pengiring lainnya sudah mendekat ke Qianlong – langsung menghadang orang-orang itu.

Xiao Yanzi, Yongqi, Erkang dan Ertai juga mendengar kegaduhan. Mereka hendak kembali ke tempat Qianlong. Tapi pada saat bersamaan, para penari egrang juga menghadang mereka dengan menjadikan tongkat egrang sebagai senjata. Keempatnya pun terlibat pertarungan sengit.

Suasana benar-benar kacau-balau. Qianlong menggendong Ziwei mencoba mencari tempat yang aman. Fulun dan Emin melindunginya hingga mundur ke sebuah pohon besar. Qianlong merebahkan Ziwei – yang napasnya mulai megap-megap. Dia segera berseru, “Tabib Hu! Mana Tabib Hu?”

“Dia terpisah ketika suasana kacau tadi! Hamba akan pergi mencarinya!” kata Emin.

“Jangan! Kau harus di sini melindungi Yang Mulia!” seru Fulun.

Qi Xiaolan yang baru tiba segera berkata, “Hamba saja yang pergi!” Dia langsung menerobos orang-orang mencari Tabib Hu.

Erkang yang sedang bertarung melihat Qi Xiaolan yang berteriak-teriak mencari Tabib Hu. Tahulah dia kalau ada seseorang yang terluka. Erkang melihat berkeliling, dan dilihatnya Tabib Hu sedang dikejar salah satu dari orang arak-arakan.

Erkang berhasil mendapat Tabib Hu dan berkelahi dengan orang yang mengejar si tabib. Orang itu berhasil menebaskan pedangnya ke lengan Erkang hingga terluka. Pada saat genting itulah Ertai muncul menghunjamkan pedangnya.

Ertai rupanya telah bertemu Qi Xiaolan. “Kaisar telah berada di bawah pohon besar sebelah sana! Ziwei terluka parah! Cepat kesana!”

Begitu mendengar Ziwei terluka parah, Erkang segera membawa Tabib Hu menerjang maju.

Di bawah pohon Qianlong terus menatap Ziwei yang semakin pucat. “Ziwei! Ziwei! Lihat aku! Berusahalah untuk terus sadar. Cobalah bicara denganku!”

Ziwei menatap Qianlong. Pandangannya sulit fokus. Setiap kali bernapas, darahnya seolah ikut mengalir. Ziwei mengira dirinya akan mati. Sementara masih banyak hal yang belum dijelaskannya pada Qianlong.

“Yang Mulia… seandainya aku mati, bolehkah aku minta satu hal dari Anda?”

“Kau tidak akan mati!” Qianlong berkata panik. “Kau hendak minta apa?”

“Kumohon …Anda sudi mengampuni Xiao Yanzi! Jangan hukum mati dia…”

“Jangan sebut-sebut soal mati lagi…”

Ziwei bergumam lirih. “Kami tidak sengaja melakukannya… kami tidak sengaja melakukannya…”

Qianlong tidak mengerti perkataan Ziwei. Dia mengira Ziwei mulai kehilangan kesadaran.

Saat itu Erkang telah tiba membawa Tabib Hu. Lengannya yang terkena sabetan pedang berlumuran darah.

Begitu melihat Ziwei dengan belati tertancap di dada dan darah menetes-netes, Erkang nyaris pingsan.

Tabib Hu mengatur napasnya yang terengah-engah. Seteahnya, dia langsung memeriksa kondisi Ziwei.

Di sisi lain, bupati Jizhou, Pejabat Ting, telah tiba dengan sebatalyon pasukan dan mengendalikan situasi. Para pengacau pun berhasil diringkus. Xiao Yanzi, Yongqi dan Ertai akhirnya bisa menghampiri tempat Qianlong. Begitu melihat Ziwei terluka parah, Xiao Yanzi langsung menjerit.

“Ziwei! Kenapa bisa begini? Ya Tuhan….!”

Ziwei menatap Xiao Yanzi. Ada banyak hal yang hendak disampaikannya. Tapi dia tak tahu harus mulai dari mana…

Pejabat Ting sudah mengatasi keadaan dan menghadap Qianlong di bawah pohon besar.

Quanheng berseru, “Lapor Yang Mulia! Pejabat Ting dan pasukannya sudah tiba! Para pengacau tadi berhasil diringkus! Rupanya mereka telah mengawasi kita sejak acara pelemparan bola bersulam. Semuanya akan diinterogasi!”

Pejabat Ting memberi salam, “Hamba Ting Zhengxian menghadap Yang Mulia Kaisar! Hamba tidak mengetahui kedatangan Yang Mulia! Hamba pantas mati!”

Lalu semua prajurit di sana berlutut dan berseru bersama, “Semoga Yang Mulia Panjang Umur! Wanshui!”

Qianlong mengibaskan tangannya. Hatinya sangat gundah melihat Ziwei.

“Tabib Hu, bagaimana keadaan Ziwei?”

“Hamba mohon cepat dicarikan tempat bersih untuk mencabut belatinya!” sahut Tabib Hu.

Pejabat Ting langsung maju, “Yang Mulia jangan khawatir! Hamba persilakan Yang Mulia langsung saja ke rumah hamba!”

Ziwei pun dibawa ke rumah Pejabat Ting.

***

Tidak lama, di kediaman Pejabat Ting telah terjadi kesibukan luar biasa.

Ziwei telah dibaringkan di kamar tamu. Tabib Hu menggunting pakaian di sekitar tancapan belati. Para pelayan dimintanya menekan luka dengan saputangan agar darah lambat mengalir. Dia tak langsung menarik belati itu karena khawatir, nyawa Ziwei juga ikut melayang seiring dengan ditariknya belati. Dia menyiapkan segalanya dengan hati-hati. Para pelayan diminta menyediakan perban, obat luka, air panas, sup ginseng dan lain-lainnya.

Qianlong melihat Tabib Hu keluar masuk kamar dengan gelisah akhirnya bertanya.

“Tabib Hu, apakah kondisi Ziwei sangat berbahaya?”

Tabib Hu menjawab tegang, “Yang Mulia, luka Nona Ziwei tidak dekat jantung. Tapi mengiris urat nadi besarnya. Hamba khawatir, begitu belatinya ditarik, darah tidak mau berhenti sehingga Nona Ziwei kehabisan darah. Jadi memang berbahaya…”

Qianlong coba memahami. Dia akhirnya berkata, “Aku akan melihatmu mencabut belati itu!”

Tabib Hu sudah berdiri di pinggir ranjang. Dia menyuruh para pelayan mundur dan menekan sendiri luka Ziwei. Xiao Yanzi, Erkang, Ertai, Yongqi, Qianlong dan Fulun berdiri dekat tempat tidur. Mereka memandangi Ziwei dengan sangat cemas.

“Hamba perlu bantuan seseorang untuk memegang kepala Nona Ziwei,” kata Tabib Hu.

Erkang lupa diri, langsung maju. “Biar aku!” Tapi baru disadarinya luka di lenganya mulai nyeri. Dia tidak bisa bergerak leluasa.

“Aku saja!” tiba-tiba Qianlong sudah maju dan duduk di samping tempat tidur. Dia merangkul kepala Ziwei.

Tabib Hu waswas. “Yang Mulia, apa tidak sebaiknya Anda digantikan yang lain? Hamba khawatir darahnya akan memercik kemana-mana.”

“Jangan pedulikan hal itu! Paling penting, selamatkan dia!”


Qianlong melihat ke arah Xiao Yanzi dan lainnya, “Kalian semua keluarlah!”

Xiao Yanzi buru-buru menghambur ke tepi ranjang. “Aku tak mau pergi! Aku akan di sini bersama Ziwei!”

Yongqi tahu Erkang juga tak mungkin pergi. Jadi dia angkat bicara.

“Huang Ama, selama beberapa waktu ini kami sudah sangat dekat dengan Ziwei. Ijinkan kami mendampinginya di sini.”

Qianlong sedang kalut. Dia tidak menjawab lagi.

Ziwei tiba-tiba berkata lirih, “Yang Mulia… hamba mohon… satu hal dari Anda…”

“Baik! Cepat katakan! Belati itu harus dicabut! Tak bisa ditunda lagi!”

“Yang Mulia… berjanjilah pada hamba… kelak tak peduli kesalahan apapun yang dilakukan Xiao Yanzi… ampunilah dia! Anda tidak boleh menghukum mati dia…”

Qianlong sangat heran. Ini sudah dua kalinya Ziwei memohon begini. Tapi dia tak punya waktu berdebat. “Baik! Baik! Aku berjanji tak akan menghukum mati dia! Kau sudah tenang, kan?”

Ertai dan Yongqi saling pandang. Ironis sekali. Kata-kata itu justru diucapkan Ziwei saat kondisinya seperti ini…

Ziwei merasa agak tenang. Dia melihat ke arah Erkang.

“Erkang… aku juga minta tolong satu hal padamu... Kalau aku mati, kumohon terimalah Jinshuo sebagai pelayanmu… Kuserahkan urusan pernikahannya padamu…” (Dengan kata lain, Ziwei meminta Erkang menjadikan Jinshuo selirnya).

Hati Erkang sakit sekali. Di saat segmenting ini, yang diingat Ziwei justru Xiao Yanzi dan Jinshuo. Tapi dia tak berani mengulur waktu. Maka dia berkata, “Baiklah…”

Ziwei akhirnya berpaling ke Tabib Hu.

“Silakan cabut belatinya…”

Tabib Hu berujar, “Akan kulakukan. Akan terasa sakit… tapi sungguh tak ada cara lain lagi…”

Ziwei mengangguk lemah. Semua orang menahan napas. Tak seorang pun berani bersuara.

Air mata Xiao Yanzi mengalir deras seperti hujan. Tabib Hu menggenggam erat gagang belati. Lalu, mencabutnya sekuat tenaga!

Darah langsung memercik kemana-mana. Ziwei mengerang keras. Setelah itu tak sadarkan diri.

Qianlong masih memeluk kepala Ziwei erat-erat. Tangan dan bajunya berlumuran darah. Bahkan wajahnya terpercik darah Ziwei.

“Ziwei! Ziwei!” seru Qianlong.

Xiao Yanzi jatuh lemas. Dia juga terkulai pingsan.

Bersambung

BACA JUGA SINOPSIS LAINNYA



0 comments:

Post a Comment


Friend Link List