Do you like this story?
Jin-ho mulai menyadari perasaannya pada Kae-in dan merasa kesal karena tak ada hak untuk menghentikan balas dendam Kae-in pada Chang-ryul itu.
In-hae datang menemui Jin-ho dikantornya, tapi Sang-joon berkata kalau Jin-ho sedang pergi dan tak bisa di hubungi sejak tadi. Sang-joon lalu menyilahkan In-hae menunggu Jin-ho.
Kae-in di antar pulang oleh Chang-ryul. Kae-in terus berusaha memberitahu Jin-ho kalau ia mengalami kecelakaan. Tapi tidak ada tanggapan dari Jin-ho dan hal ini membuat Kae-in sedikit kesal. Chang-ryul memberitahu ayahnya tentang keadaan Kae-in. Kae-in bertanya apa ayah Chang-ryul tahu tentang dirinya. Chang-ryul membenarkaan dan berkata kalau ayahnya tahu Kae-in saat melihat Kae-in di pernikahannya.
Jin-hoo tak kunjung kembali ke kantor. In-hae akhirnya mengajak Sang-joon pergi minum Soju. Di Warung Soju In-hae segaja mengajak Sang-joon minum banyak hingga akhirnya Sang-joon menjadi sedikit mabuk. Dan saat sudah mabuk In-hae mulai bertanya tentang Jin-ho. In-hae bertanya apa ia punya kesempatan mendekati Jin-ho. Sang-joon berkata tentu saja bisa gadis seperti In-hae, laki-laki mana akan menolaknya. In-hae lalu bertanya tentang pengakuan gay Jin-ho dihadapan Chang-ryul. Sang-joon berkata itu hanya kebohongan karena Jin-ho dan Chang-ryul adalah musuh. In-hae senang karena ia akhirnya tahu kalau Jin-ho adalah laki-laki sejati.
Saat sampai di depan Sang Go-jae, Chang-ryul ingin menemani Kae-in lagi tapi Kae-in menolak dan menyuruh Chang-ryul pergi. Tiba-tiba Young-soon datang. Young-soon khawatir setelah mendengar kabar kecelakaan Kae-in, tapi ia menjadi kesal saat melihat Chang-ryul disana. Kae-in menyuruh Chang-ryul pergi saja karena sudah ada Young-soon yang akan menemaninya sekarang. Chang-ryul akhirnya mau pergi.
Jin-ho kembali ke kantor saat semua karyawan sudah pulang. Kae-in menelepon untuk memberitahu keadaannya tapi Jin-ho bersikap dingin. Kae-in merasa aneh, ia tanya apa Jin-ho ada masalah. Jin-ho berkata kalau ia baik-baik saja. Kae-in lalu tanya kapan Jin-ho akan pulang, tapi Jin-ho berkata kalau ia akan lembur hari itu dan kemudian Jin-ho menutup teleponya.
Jin-ho kembali ke kantor saat semua karyawan sudah pulang. Kae-in menelepon untuk memberitahu keadaannya tapi Jin-ho bersikap dingin. Kae-in merasa aneh, ia tanya apa Jin-ho ada masalah. Jin-ho berkata kalau ia baik-baik saja. Kae-in lalu tanya kapan Jin-ho akan pulang, tapi Jin-ho berkata kalau ia akan lembur hari itu dan kemudian Jin-ho menutup teleponya.
Young-soon heran kenapa Jin-ho tak merasa khawatir dengan teman serumahnya yang baru saja mengalami kecelakaan. Kae-in membela Jin-ho dan berkata kalau Jin-ho sudah minta maaf kepadanya. Young-soon lalu heran kenapa Kae-in yang sedang sakit malah makan sedikit. Kae-in berkata kalau mulai saat itu ia ingin menjadi wanita yang membuat laki-laki jadi tidak konsen. Young-soon khawatir Kae-in mau kemabali pada Chang-ryul. Kae-in segera berkata kalau Young-soon tak perlu khawatir karena ia sekarang sudah menjadi wanita yang berbeda dan lagi pula jika ia kembali pada Chang-ryul ia takut akan luluh dan tidak jadi balas dendam.
Tiba-tiba In-hae menelepon Jin-ho dan berkata kalau apartementnya kemalingan. Ia juga minta Jin-ho datang membantunya karena merasa ketakutan dan tidak ada lagi orang yang bisa dimintai tolong. Setelah selesai menelepon In-hae kemudian sengaja memberantakan apartementnya (cih.. gadis in!!). Saat Jin-ho datang ia tanya bagaimana keadaan In-hae sekarang apa masih ketakutan. Tapi In-hae langsung memeluk Jin-ho dan berkata terimakasih karena Jin-ho mau datang. In-hae juga berpura-pura kalau ia tadi merasa sangat ketakutan karena melihat keadaan apartementnya yang berantakan seperti itu. Jin-ho tak enak tapi membiarkan In-hae seperti itu di pelukannya.
Young-soon khawatir dengan keadaan Kae-in karena ia harus pulang menemani anaknya tidur dan Jin-ho harus lembur. Kae-in berkata kalau ia baik-baik saja. Tapi saat Young-soon sudah pergi Kae-in merasa kesepian ia bergumam Jin-ho harusnya tetap merasa khawatir dan pulang menemaninya meskipun ia sedang banyak kerjaan.
“Benar-benar orang yang tak punya perasaan” kata Kae-in.
Jin-ho membantu In-hae membereskan rumahnya. In-hae sendiri sedang membuatkan teh untuk Jin-ho. Setelah selesai beres-beres Jin-ho pamit pulang. In-hae mencegah ia minta Jin-ho minum dulu baru pulang. Jin-ho berkata kalau ia masih ada urusan. In-hae kemudian pura-pura masih ketakutan sehingga minta Jin-ho tinggal di sana malam itu. Jin-ho berkata tak enak seorang laki-laki tinggal sampai malam di tempat seorang wanita. In-hae langsung berkata bahwa itu hanya alasan karena selama ini Jin-ho tidak masalah tinggal bersama Kae-in. Akhirnya Jin-ho tak dapat menolak karena In-hae terus memohon.
“Benar-benar orang yang tak punya perasaan” kata Kae-in.
Jin-ho membantu In-hae membereskan rumahnya. In-hae sendiri sedang membuatkan teh untuk Jin-ho. Setelah selesai beres-beres Jin-ho pamit pulang. In-hae mencegah ia minta Jin-ho minum dulu baru pulang. Jin-ho berkata kalau ia masih ada urusan. In-hae kemudian pura-pura masih ketakutan sehingga minta Jin-ho tinggal di sana malam itu. Jin-ho berkata tak enak seorang laki-laki tinggal sampai malam di tempat seorang wanita. In-hae langsung berkata bahwa itu hanya alasan karena selama ini Jin-ho tidak masalah tinggal bersama Kae-in. Akhirnya Jin-ho tak dapat menolak karena In-hae terus memohon.
Sementara itu di Sang Go-jae, Kae-in tak bisa tidur meski sudah menghitung beratus-ratus domba. Ia lalu bangun dan memarahi Jin-ho bonekanya. Jin-ho sendiri di rumah In-hae memilih tidur di sofa ruang tamu meski dipaksa In-hae untuk tidur di kamar tidur tamu. Dan saat In-hae membawakan selimut untuk Jin-ho dan memaksa tidur di kamar tidur tamu lagi, Jin-ho memilih pulang, ia berkata kalau hari sudah mulai pagi jadi In-hae tak perlu takut lagi (haha... g behasil malah kabur).
Pagi harinya Kae-in langsung mengecek kamar Jin-ho dan ternyata Jin-ho tidak pulang, ia lalu berpikir untuk membawakan baju ganti untuk Jin-ho (tahunya kan lembur). Meski awalnya risih dan takut Jin-ho berpikir macam-macam karena ia mengambilkan pakaian dalam untuk Jin-ho, tapi akhirnya Kae-in melakukannya.
“Kami kan teman” gumam kae-in.
“Kami kan teman” gumam kae-in.
Jin-ho sendiri ternyata kembali ke kantornya setelah dari rumah In-hae. Sang-joon yang datang terlambat langsung menemui Jin-ho untuk minta maaf. Sang-joon beralasan ia semalam pergi minum bersama In-hae hingga ia mabuk.
“Nona In-hae!” kata Jin-ho kaget.
“Ya” kata Sang-joon.
Sang-joon lalu menjelaskan mulanya ia mengira In-hae itu sombong tapi ternyata tidak. Jin-ho khawatir Sang-joon bicara yang tidak-tidak pada In-hae, ia tanya apa yang diobrolkan Sang-joon dengan In-hae. Sang-joon lalu pura-pura tidak ingat karena ia terlalu mabuk tadi malam. Kemudian Sang-joon mengalihkan pembicaraan dengan bertanya kenapa Jin-ho memakai pakaian yang sama dengan kemarin. Ia heran apa Jin-ho tidak pulang kemarin. Jin-ho tak mau menjawab dan hanya berkata kalau ada sesuatu yang spesial. Sang-joon makin penasaran ada masalah apa kemarin hingga Jin-ho pergi buru-buru dan tak dapat dihubungi. Jin-ho tetap menyangkal dan berkata tidak ada apa-apa. Mereka lalu membicarakan tentang Sang Go-jae, Sang-joon merasa harus segera mengambil gambar Sang Go-jae karena sudah terlalu lama Jin-ho tinggal di sana dan belum ada kemajuan. Jin-ho langsung tidak setuju dengan ide itu, ia berkata kalau Kae-in tak akan membiarkannya mengambil gambar Sang Go-jae. Sang-joon lalu memberi saran agar Jin-ho mengajak Kae-in pergi dan ia akan masuk mengambil gambar Sang Go-jae diam-diam. Jin-ho tetap tak setuju dan bertanya apa harus sampai seperti itu. Sang-joon berkata bahwa tanggal penyerahan draf gambar sudah hambir tiba tapi mereka belum menghasilkan apa-apa. Sang-joon lalu heran kenapa Jin-ho menurut sekali dengan Kae-in padahal setelah proyek ini selesai mereka tak perlu ketemu lagi. Jin-ho hanya diam, Sang-joon lalu merasa kalau Jin-ho mulai ada perasaan khusus dengan Kae-in. Jin-ho hanya diam. Sang-joon semakin penasaran. Jin-ho lalu menatap Sang-joon penuh arti.
“Nona In-hae!” kata Jin-ho kaget.
“Ya” kata Sang-joon.
Sang-joon lalu menjelaskan mulanya ia mengira In-hae itu sombong tapi ternyata tidak. Jin-ho khawatir Sang-joon bicara yang tidak-tidak pada In-hae, ia tanya apa yang diobrolkan Sang-joon dengan In-hae. Sang-joon lalu pura-pura tidak ingat karena ia terlalu mabuk tadi malam. Kemudian Sang-joon mengalihkan pembicaraan dengan bertanya kenapa Jin-ho memakai pakaian yang sama dengan kemarin. Ia heran apa Jin-ho tidak pulang kemarin. Jin-ho tak mau menjawab dan hanya berkata kalau ada sesuatu yang spesial. Sang-joon makin penasaran ada masalah apa kemarin hingga Jin-ho pergi buru-buru dan tak dapat dihubungi. Jin-ho tetap menyangkal dan berkata tidak ada apa-apa. Mereka lalu membicarakan tentang Sang Go-jae, Sang-joon merasa harus segera mengambil gambar Sang Go-jae karena sudah terlalu lama Jin-ho tinggal di sana dan belum ada kemajuan. Jin-ho langsung tidak setuju dengan ide itu, ia berkata kalau Kae-in tak akan membiarkannya mengambil gambar Sang Go-jae. Sang-joon lalu memberi saran agar Jin-ho mengajak Kae-in pergi dan ia akan masuk mengambil gambar Sang Go-jae diam-diam. Jin-ho tetap tak setuju dan bertanya apa harus sampai seperti itu. Sang-joon berkata bahwa tanggal penyerahan draf gambar sudah hambir tiba tapi mereka belum menghasilkan apa-apa. Sang-joon lalu heran kenapa Jin-ho menurut sekali dengan Kae-in padahal setelah proyek ini selesai mereka tak perlu ketemu lagi. Jin-ho hanya diam, Sang-joon lalu merasa kalau Jin-ho mulai ada perasaan khusus dengan Kae-in. Jin-ho hanya diam. Sang-joon semakin penasaran. Jin-ho lalu menatap Sang-joon penuh arti.
Tiba-tiba Tae-hoon datang dan mengatakan kalau ada tamu. Kae-in kemudian masuk ke ruangan Jin-ho. Sang-joon heran Kae-in datang kesana pagi-pagi. Jin-ho sendiri bersikap malas-malasan bertemu Kae-in (cemburu nguras jolang kata teh nana).
Jin-ho dan Kae-in kemudian bicara di teras kantor. Kae-in menyerahkan baju Jin-ho yang ia bawa dan berkata kalau ia tahu Jin-ho suka yang bersih-bersih jadi pasti tidak tahan kalau memakai baju yang sama selama 2 hari.
Jin-ho kaget dan berkata “Apa?? Kamu sudah buka laciku?”.
“Kita kan teman. Jadi tak perlu malu” kata Kae-in.
Jin-ho lalu berkata kalau kae-in tak pelu repot seperti itu. Kae-in sedikit kesal dan berkata cukup ucapkan terimakasih kepadanya itu sudah cukup. Jin-ho lalu mengucapkan terima kasih dengan dingin. Kae-in lalu tanya apa Jin-ho merasa bersalah kepadanya. Jin-ho tak tahu maksudnya. Kae-in lalu berkata apa Jin-ho merasa bersalah karena tidak menemaninya saat ia mengalami kecelakaan.
“Tidak” kata Jin-ho dingin.
Kae-in kesal kenapa Jin-ho tak punya rasa khawatir kepadanya.
“Kenapa aku harus khawatir padamu?” tanya Jin-ho dingin.
Kae-in terdiam kecewa mendengarnya. Jin-ho lalu berkata bukankah hati Kae-in sudah ditetapkan untuk balas dendam. Kae-in berkata bahwa sekarang mereka membicarakan pertemanan mereka bukan tentang masalah balas dendamnya. Jin-ho lalu berkata dengan tegas bahwa Kae-in harus fokus dengan tujuannya bukan hal lainnya. Jin-ho lalu menyuruh Kae-in pulang karena ia masih ada kerjaan. Kae-in bertanya apa Jin-ho tak ada hal lain yang dipikirkan selain masalah pekerjaan.
“Ya, tidak ada” kata Jin-ho dingin.
Kae-in lalu pulang dengan perasaan kecewa.
Jin-ho kaget dan berkata “Apa?? Kamu sudah buka laciku?”.
“Kita kan teman. Jadi tak perlu malu” kata Kae-in.
Jin-ho lalu berkata kalau kae-in tak pelu repot seperti itu. Kae-in sedikit kesal dan berkata cukup ucapkan terimakasih kepadanya itu sudah cukup. Jin-ho lalu mengucapkan terima kasih dengan dingin. Kae-in lalu tanya apa Jin-ho merasa bersalah kepadanya. Jin-ho tak tahu maksudnya. Kae-in lalu berkata apa Jin-ho merasa bersalah karena tidak menemaninya saat ia mengalami kecelakaan.
“Tidak” kata Jin-ho dingin.
Kae-in kesal kenapa Jin-ho tak punya rasa khawatir kepadanya.
“Kenapa aku harus khawatir padamu?” tanya Jin-ho dingin.
Kae-in terdiam kecewa mendengarnya. Jin-ho lalu berkata bukankah hati Kae-in sudah ditetapkan untuk balas dendam. Kae-in berkata bahwa sekarang mereka membicarakan pertemanan mereka bukan tentang masalah balas dendamnya. Jin-ho lalu berkata dengan tegas bahwa Kae-in harus fokus dengan tujuannya bukan hal lainnya. Jin-ho lalu menyuruh Kae-in pulang karena ia masih ada kerjaan. Kae-in bertanya apa Jin-ho tak ada hal lain yang dipikirkan selain masalah pekerjaan.
“Ya, tidak ada” kata Jin-ho dingin.
Kae-in lalu pulang dengan perasaan kecewa.
Hari itu Kae-in bekerja sambil terus mengomel tentang sikap Jin-ho kepadanya. Tiba-tiba Do-bin datang dan mendengar omelan Kae-in. Kae-in kaget melihat Do-bin di sana. Do-bin pun kaget melihat luka di kepala Kae-in. Kae-in berkata kalau ia hanya mengalami luka sedikit saja, jadi Do-bin tak perlu khawatir kepadanya. Do-bin lalu tanya apa yang sedang dilakukan Kae-in kenapa membuat bentuk yang sama dalam jumlah banyak. Kae-in berkata ia sedang membuat diafragma.
“Diafragma?” tanya Do-bin.
Kae-in lalu menjelaskan kalau ia ingin menumpuk bentuk-bentuk itu jadi satu dinding diafragma.
“Bermacam-macam warna. Seharusnya anak-anak pasti suka” kata Do-bin.
“Ya. Barang yang berwarna-warna akan memberi reaksi pada otak anak-anak” Kata Kae-in.
Do-bin berkata kalau ia suka ide itu. Kae-in lalu mengatakan terima kasih karena Do-bin memberi kesempatan kepada perusahaannya Jin-ho. Do-bin berkata kalau semua itu berkat dukungan Kae-in waktu itu sehingga ia bisa membuat keputusan besar seperti itu. Kae-in lalu mengajak Do-bin minum kopi bersama dan Do-bin dengan senang hati menerimanya.
Do-bin lalu tiba-tiba tanya apa baiknya cinta sepihak.“Diafragma?” tanya Do-bin.
Kae-in lalu menjelaskan kalau ia ingin menumpuk bentuk-bentuk itu jadi satu dinding diafragma.
“Bermacam-macam warna. Seharusnya anak-anak pasti suka” kata Do-bin.
“Ya. Barang yang berwarna-warna akan memberi reaksi pada otak anak-anak” Kata Kae-in.
Do-bin berkata kalau ia suka ide itu. Kae-in lalu mengatakan terima kasih karena Do-bin memberi kesempatan kepada perusahaannya Jin-ho. Do-bin berkata kalau semua itu berkat dukungan Kae-in waktu itu sehingga ia bisa membuat keputusan besar seperti itu. Kae-in lalu mengajak Do-bin minum kopi bersama dan Do-bin dengan senang hati menerimanya.
“Cinta sepihak!” kata Kae-in.
Kae-in lalu menjelaskan kalau cinta sepihak tidak memerlukan uang karena jika pasangan kekasih maka mereka biasanya akan saling berikan barang untuk pasangannya.
“Tidak ada batas.. juga sangat bebas” kata Do-bin menambahkan.
“Tidak perlu di mana saja memikirkan pihak lawan, sehingga irit banyak hati” kata Kae-in. “Tidak perlu berharap mendapatan balasan dari pihak lawan karena hanya memandang pihak lawan sudah cukup” kata Do-bin.
“Lagipula bila kita ingin mengakhirinya, maka bisa kapan saja berakhir. Dan hanya akan ada satu orang yang sedih” kata Kae-in sambil berpikir sesuatu (mikirin perasaannya pada Jin-ho kali ya???).
“Bagian ini sepertinya kau lebih pintar dari pada aku” kata Do-bin.
Kae-in dengan bangga berkata kalau itu adalah salah satu kepandaiannya.
“Apa sekarang kau sedang cinta sepihak dengan seseorang” tanya Do-bin.
“Ehm.. aku tak tahu apa ini termasuk cinta atau bukan. Di dalam hati selalu merasa khawatir dengan keadaan orang itu tapi juga takut ia merasa ada beban karena permasalahan ini. Jadi saya sedang belajar besabar” kata Kae-in.
“Pasti bukan hal mudah” kata Do-bin.
“Benar, oleh karena itu saya sedang berusah fokus dengan yang lainnya. Saya ini orang yang sangat bodoh hanya bisa fokus pada 1 hal saja” kata Kae-in.
“Aku harusnya juga berbuat begitu” kata Do-bin.
“Apa kau juga sedang merasakan cinta sepihak pada seseorang?” tanya Kae-in.
“Harusnya ya” kata Do-bin.
“Tak peduli bagaimana. Orang yang cinta sepihak adalah orang yang berani karena tak semua orang berani merasakan cinta. Orang yang di sukai kepala Choi mungkin juga bukannya tidak suka tapi mungkin ia ingin mendapat pengakuan dari semua orang dengan pekerjaannya. Aku merasa seharusnya dia orang yang seperti itu bukan?” kata Kae-in.
“Apa maksudmu adalah jangan menyerah?” tanya Do-bin.
Kae-in terdiam lalu menjawabnya dengan lelucon. Mereka pun tertawa bersama dan berikrar menjadi adik dan kakak kelas dalam urusan cinta sepihak (curhat padahal orang yang di sukai sama.. hehe..).
Kae-in lalu menjelaskan kalau cinta sepihak tidak memerlukan uang karena jika pasangan kekasih maka mereka biasanya akan saling berikan barang untuk pasangannya.
“Tidak ada batas.. juga sangat bebas” kata Do-bin menambahkan.
“Tidak perlu di mana saja memikirkan pihak lawan, sehingga irit banyak hati” kata Kae-in. “Tidak perlu berharap mendapatan balasan dari pihak lawan karena hanya memandang pihak lawan sudah cukup” kata Do-bin.
“Lagipula bila kita ingin mengakhirinya, maka bisa kapan saja berakhir. Dan hanya akan ada satu orang yang sedih” kata Kae-in sambil berpikir sesuatu (mikirin perasaannya pada Jin-ho kali ya???).
“Bagian ini sepertinya kau lebih pintar dari pada aku” kata Do-bin.
Kae-in dengan bangga berkata kalau itu adalah salah satu kepandaiannya.
“Apa sekarang kau sedang cinta sepihak dengan seseorang” tanya Do-bin.
“Ehm.. aku tak tahu apa ini termasuk cinta atau bukan. Di dalam hati selalu merasa khawatir dengan keadaan orang itu tapi juga takut ia merasa ada beban karena permasalahan ini. Jadi saya sedang belajar besabar” kata Kae-in.
“Pasti bukan hal mudah” kata Do-bin.
“Benar, oleh karena itu saya sedang berusah fokus dengan yang lainnya. Saya ini orang yang sangat bodoh hanya bisa fokus pada 1 hal saja” kata Kae-in.
“Aku harusnya juga berbuat begitu” kata Do-bin.
“Apa kau juga sedang merasakan cinta sepihak pada seseorang?” tanya Kae-in.
“Harusnya ya” kata Do-bin.
“Tak peduli bagaimana. Orang yang cinta sepihak adalah orang yang berani karena tak semua orang berani merasakan cinta. Orang yang di sukai kepala Choi mungkin juga bukannya tidak suka tapi mungkin ia ingin mendapat pengakuan dari semua orang dengan pekerjaannya. Aku merasa seharusnya dia orang yang seperti itu bukan?” kata Kae-in.
“Apa maksudmu adalah jangan menyerah?” tanya Do-bin.
Kae-in terdiam lalu menjawabnya dengan lelucon. Mereka pun tertawa bersama dan berikrar menjadi adik dan kakak kelas dalam urusan cinta sepihak (curhat padahal orang yang di sukai sama.. hehe..).
Jin-ho datang ke gedung Meiseu untuk bertemu Do-bin, tapi ia tak sengaja berpapasan dengan In-hae. Di sudut lain Kae-in tak sengaja melihat mereka berdua dan berhenti untuk medengar pembicaraan mereka. In-hae bertanya apa Jin-ho tidak capek setelah tidak bisa tidur di apartementnnya. Jin-ho tak tertarik membahasnya. In-hae terus berkata kalau ia sangat khawatir pada Jin-ho karena kejadian semalam, ia takut mengganggu kerja Jin-ho. Ia lalu mau mengajak Jin-ho pergi setelah bertemu dengan ketua Choi. Jin-ho tak menjawab ajakan itu dan segera pamit pergi. Sementara itu Kae-in terkejut mendengarnya Jin-ho bermalam di apatement In-hae.
Di tempat lain ayah Chang-ryul bertanya bagaimana hubungan Chang-ryul dengan putri Prof. Park. Chang-ryul berkata kalau masih berjalan dengan baik jadi ia belum sempat bicara dengan Kae-in tentang Prof. Park. Ayah Chang-ryul berkata bahwa peyerahan draf gambar proyek museum tak lama lagi. Chang-ryul berkata kalau Kae-in bukan orang yang mudah dikontrol. Ayah Chang-ryul lalu berkata bukankah Chang-ryul sudah bersikap baik pada Kae-in tapi kenapa bisa belum bisa meluluhkan Kae-in.
“Kae-in bukan wanita seperti itu (yang gampang dirayu dengan barang-barang)” kata Chang-ryu.
“Aigoo.. kau membuatku malu saja tidak bisa menaklukan seorang wanita seperti itu. semua wanita sama. Kamu tak lihat ada banyak wanita disisiku” kata ayah Chang-ryul.
Chang-ryul mulai kesal karena ayahnya menyuruhnya menirunya. Ayah Chang-ryul berkata kalau ia hanya tidak ingin Chang-ryul dikontrol oleh seorang wanita. Chang-ryul berkata kalau Kae-in sekarang masih sedih dengan kelakuannya dulu jadi dia ingin menujukan kesungguhan hatinya dulu. Ayah Chang-ryul mengingatkan bahwa sudah tidak ada waktu lagi, ia lalu merasa kesal pada Kae-in karena ia telah bicara dengan jelas pada Kae-in agar bisa memaafkan kelakuan Chang-ryul dulu. Chang-ryul kaget dan kesal ayahnya bertemu dengan Kae-in tanpa sepengetahuannya. Ayah Chang-ryul kaget dan kesal melihat reaksi Chang-ryul seperti itu. Chang-ryul pun tak kalah kesal, ia lalu minta ayahnya tidak mencampuri urusan hidupnya lagi.
Do-bin ternyata memanggil Jin-ho untuk memberikan beberapa gambar referensi arsitek terkenal yang bisa di jadikan sumber ide buat Jin-ho mendesain Museum. Jin-ho jadi tak enak. Do-bin berkata kalau ia memberikan itu bukan karena perasaannya pada Jin-ho tapi karena ia sebagai teman Jin-ho ingin Jin-ho berusaha memberikan yang terbaik. Tapi Jin-ho tetap menolaknya, ia berkata kalau ia bisa memenangkan tander kali ini dengan kemampuannya sendiri. Do-bin jadi gugup dan berkata kalau ia sebenarnya sudah tahu pemberiannya itu akan ditolak tapi ia tetap memanggil Jin-ho karena ia sudah merasa bosan. Jin-ho kaget mendengarnya. Do-bin menjelaskan kalau ia bosan karena setiap hari duduk di depan simulasi arsitektur dan tidak ada teman yang bisa diajak bercanda.
“Raja malah lebih kesepian dari pada rakyatnya” kata Do-bin (Jadi teringat Seondeok ya??? ah kagen oppa bidam deh....). Jin-ho tertawa mendengarnaya (Suasana jadi cair deh).
“Kae-in bukan wanita seperti itu (yang gampang dirayu dengan barang-barang)” kata Chang-ryu.
“Aigoo.. kau membuatku malu saja tidak bisa menaklukan seorang wanita seperti itu. semua wanita sama. Kamu tak lihat ada banyak wanita disisiku” kata ayah Chang-ryul.
Chang-ryul mulai kesal karena ayahnya menyuruhnya menirunya. Ayah Chang-ryul berkata kalau ia hanya tidak ingin Chang-ryul dikontrol oleh seorang wanita. Chang-ryul berkata kalau Kae-in sekarang masih sedih dengan kelakuannya dulu jadi dia ingin menujukan kesungguhan hatinya dulu. Ayah Chang-ryul mengingatkan bahwa sudah tidak ada waktu lagi, ia lalu merasa kesal pada Kae-in karena ia telah bicara dengan jelas pada Kae-in agar bisa memaafkan kelakuan Chang-ryul dulu. Chang-ryul kaget dan kesal ayahnya bertemu dengan Kae-in tanpa sepengetahuannya. Ayah Chang-ryul kaget dan kesal melihat reaksi Chang-ryul seperti itu. Chang-ryul pun tak kalah kesal, ia lalu minta ayahnya tidak mencampuri urusan hidupnya lagi.
Do-bin ternyata memanggil Jin-ho untuk memberikan beberapa gambar referensi arsitek terkenal yang bisa di jadikan sumber ide buat Jin-ho mendesain Museum. Jin-ho jadi tak enak. Do-bin berkata kalau ia memberikan itu bukan karena perasaannya pada Jin-ho tapi karena ia sebagai teman Jin-ho ingin Jin-ho berusaha memberikan yang terbaik. Tapi Jin-ho tetap menolaknya, ia berkata kalau ia bisa memenangkan tander kali ini dengan kemampuannya sendiri. Do-bin jadi gugup dan berkata kalau ia sebenarnya sudah tahu pemberiannya itu akan ditolak tapi ia tetap memanggil Jin-ho karena ia sudah merasa bosan. Jin-ho kaget mendengarnya. Do-bin menjelaskan kalau ia bosan karena setiap hari duduk di depan simulasi arsitektur dan tidak ada teman yang bisa diajak bercanda.
“Raja malah lebih kesepian dari pada rakyatnya” kata Do-bin (Jadi teringat Seondeok ya??? ah kagen oppa bidam deh....). Jin-ho tertawa mendengarnaya (Suasana jadi cair deh).
Do-bin lalu tanya apa Jin-ho sudah tidak lagi marah karena ia memanggilnya. Jin-ho berkata tentu saja tidak. Do-bin lalu memberanikan diri bertanya apa Jin-ho kelak bisa datang jika ia panggil karena ia merasa bosan. Jin-ho berkata tentu saja bisa asal ia diberi lebih banyak referensi lagi. Kali ini Do-bin yang tertawa mendengarnya (Suasana jadi benar-benar cair).
“Jadi apa kita bisa begini terus saling memahami” kata Do-bin tiba-tiba.
Jin-ho kaget mendengarnya (Suasan jadi canggung lagi).
“Nona Park Kae-in berkata hanya orang yang punya keberanian yang bisa merasakan cinta. Hari ini saya telah membangkitkan keberanian yang sangat besar untuk mengungkapkan ini” kata Do-bin (Suasana benar-benar jadi canggung akhirnya).
Saat Kae-in pulang kerja tiba-tiba sebuah rangkaian bunga mawar disodorkan kepadanya. Tentu saja Kae-in kaget melihatnya. Dan ternyata orang yang menyodorkan bunga itu adalah Chang-ryul. Chang-ryul berkata kalau dulu ia sama sekali tak pernah memberikan rangkaian bunga untuk Kae-in. Kae-in enggan menerimanya. Chang-ryul berkata kalau ia berpikir jika mereka ingin memulai hubungan kembali maka ia harus melakukan semuanya dari awal. Kae-in hanya tersenyum tipis. Chang-ryul memaksa Kae-in menerima bunga itu. Kae-in akhirnya menerimanya. Chang-ryul terlihat malu karenanya.
“Jadi apa kita bisa begini terus saling memahami” kata Do-bin tiba-tiba.
Jin-ho kaget mendengarnya (Suasan jadi canggung lagi).
“Nona Park Kae-in berkata hanya orang yang punya keberanian yang bisa merasakan cinta. Hari ini saya telah membangkitkan keberanian yang sangat besar untuk mengungkapkan ini” kata Do-bin (Suasana benar-benar jadi canggung akhirnya).
Saat Kae-in pulang kerja tiba-tiba sebuah rangkaian bunga mawar disodorkan kepadanya. Tentu saja Kae-in kaget melihatnya. Dan ternyata orang yang menyodorkan bunga itu adalah Chang-ryul. Chang-ryul berkata kalau dulu ia sama sekali tak pernah memberikan rangkaian bunga untuk Kae-in. Kae-in enggan menerimanya. Chang-ryul berkata kalau ia berpikir jika mereka ingin memulai hubungan kembali maka ia harus melakukan semuanya dari awal. Kae-in hanya tersenyum tipis. Chang-ryul memaksa Kae-in menerima bunga itu. Kae-in akhirnya menerimanya. Chang-ryul terlihat malu karenanya.
Ternyata di sisi lain Jin-ho dan In-hae melihat kejadian itu.In-hae langsung berseru "Selamat padamu Kae-in".
Kae-in menoleh kesumber suara, ia jadi kaget karena melihat Jin-ho juga ada disana.
In-hae menghampiri Kae-in dan mengucapkan selamat lagi.
"Bukankah ini yang selama ini kamu impikan. Setelah aku mundur, keinginanmu langsung jadi kenyataan. Sebenarnya aku masih tidak enak meninggalkan Chang-ryul.. tapi dengan begini hatiku jadi tenang. Semoga kalian melewati waktu yang indah" kata In-hae.
"Jangan halangi kedua orang ini. Kita lebih baik segera pergi dari sini" kata In-hae pada Jin-ho.
Kae-in melirik ke arah Jin-ho. Jin-ho yang sejak tadi diam segera berbalik dan pergi dari sana (1-1... tadi Kae-in lihat jin-ho sm In-hae skrg Jin-ho liat Kae-in sm Chang-ryul).
Kae-in menoleh kesumber suara, ia jadi kaget karena melihat Jin-ho juga ada disana.
In-hae menghampiri Kae-in dan mengucapkan selamat lagi.
"Bukankah ini yang selama ini kamu impikan. Setelah aku mundur, keinginanmu langsung jadi kenyataan. Sebenarnya aku masih tidak enak meninggalkan Chang-ryul.. tapi dengan begini hatiku jadi tenang. Semoga kalian melewati waktu yang indah" kata In-hae.
"Jangan halangi kedua orang ini. Kita lebih baik segera pergi dari sini" kata In-hae pada Jin-ho.
Kae-in melirik ke arah Jin-ho. Jin-ho yang sejak tadi diam segera berbalik dan pergi dari sana (1-1... tadi Kae-in lihat jin-ho sm In-hae skrg Jin-ho liat Kae-in sm Chang-ryul).
In-hae dan Jin-ho pergi makan berdua disebuah restoran .Di sana In-hae terus membicarakan tentang hubungan Chang-ryul dan Kae-in. Tapi Jin-ho tak mendengarkannya dan malah membayangkan kejadian tadi. In-hae menegurnya hingga Jin-ho sadar dari lamunannya. In-hae lalu mengucapkan terimakasih kepada Jin-ho karena membantunya kemarin malam dan untuk itu ia ingin mengajak Jin-ho minum anggur di apartementnya. Jin-ho menolaknya. In-hae lalu minta ijin minum obat. Jin-ho tanya apa In-hae sedang sakit. In-hae berpura-pura dengan berkata kalau ia masih kaget dengan kejadian kemarin jadi badannya sedikit tidak sehat. In-hae juga berkata kalau ia takut pulang, sehingga minta diantar pulang oleh Jin-ho.
Jin-ho mengantar In-hae sampai apartementnya. Setelah mengecek keadaan apartement In-hae Jin-ho pamit pulang dan menyuruh In-hae masuk saja. Tapi In-hae tiba-tiba mencium Jin-ho. Jin-ho kaget dan segera melepaskannya.
“Kamu sedang buat apa!” kata Jin-ho kesal.
“Kamu tidak suka wanita atau tidak suka padaku” kata In-hae.
Jin-ho kesal dan berkata kalau ia heran dengan kelakuan In-hae. In-hae menyuruh Jin-ho menganggapnya sebagai pengakuan kalau ia menyukai Jin-ho dan kelak ia akan masuk dalam pikiran dan hati Jin-ho. Jin-ho berkata kalau itu tidak akan mungkin (ya lah kan dah ada Kae-in). In-hae berkata walaupun ia pernah gagal tapi ia pikir ia tidak akan gagal untuk kedua kalinya. Jin-ho menyuruh In-hae cari orang lain saja karena ia salah orang. In-hae menegaskan bahwa ia kali ini tidak akan salah orang dan berkata kalau ia akan tetap mengejar Jin-ho. Jin-ho pamit pergi. In-hae berteriak bahwa cepat atau lambat Kae-in akan tahu kalau mereka satu jenis (bukan gay). Ia juga berkata bahwa barang yang ia inginkan pasti ia akan dapatkan (Jin-ho disamain dengan barang... cek..cek!!). tapi Jin-ho tetap pergi dari sana.
“Kamu sedang buat apa!” kata Jin-ho kesal.
“Kamu tidak suka wanita atau tidak suka padaku” kata In-hae.
Jin-ho kesal dan berkata kalau ia heran dengan kelakuan In-hae. In-hae menyuruh Jin-ho menganggapnya sebagai pengakuan kalau ia menyukai Jin-ho dan kelak ia akan masuk dalam pikiran dan hati Jin-ho. Jin-ho berkata kalau itu tidak akan mungkin (ya lah kan dah ada Kae-in). In-hae berkata walaupun ia pernah gagal tapi ia pikir ia tidak akan gagal untuk kedua kalinya. Jin-ho menyuruh In-hae cari orang lain saja karena ia salah orang. In-hae menegaskan bahwa ia kali ini tidak akan salah orang dan berkata kalau ia akan tetap mengejar Jin-ho. Jin-ho pamit pergi. In-hae berteriak bahwa cepat atau lambat Kae-in akan tahu kalau mereka satu jenis (bukan gay). Ia juga berkata bahwa barang yang ia inginkan pasti ia akan dapatkan (Jin-ho disamain dengan barang... cek..cek!!). tapi Jin-ho tetap pergi dari sana.
Di kantor Jin-ho. Sang-joon sedang memikirkan cara bagaimana bisa mengambil gambar Sang Go-jae. Tae-hoon tiba-tiba datang mau pamit pulang. Sang-joon tiba-tiba dapat ide.
“Kau ikut aku sekarang ke Sang Go-jae” kata Sang-joon.
“Sekarang? Kenapa malam-malam begini” tanya Tae-hoon.
“Kau harus kerja hingga malam hari ini” kata Sang-joon.
Ternyata Sang-joon meminta Tae-hoon membantunya untuk mengambil gambar Sang Go-jae dan Tae-hoon tentu saja menolaknya. Tapi Sang-joon terus memohon dan memaksa Tae-hoon meski mereka telah sampai rumah Tae-hoon. Hye-mi datang ke rumah Tae-hoon dan melihat Sang-joon tengah memohon-mohon dengan cara “aneh”.
Hye-mi langsung sembunyi dan bergumam “Dua orang ini kenapa begitu? Oppa Sang-joon jangan-jangan benar-benar suka laki-laki”.
Tae-hoon akhirnya luluh dan mau membantu Sang-joon dan mereka pergi lagi naik mobil.
Hye-mi mengikutinya dengan taksi.
“Kau ikut aku sekarang ke Sang Go-jae” kata Sang-joon.
“Sekarang? Kenapa malam-malam begini” tanya Tae-hoon.
“Kau harus kerja hingga malam hari ini” kata Sang-joon.
Ternyata Sang-joon meminta Tae-hoon membantunya untuk mengambil gambar Sang Go-jae dan Tae-hoon tentu saja menolaknya. Tapi Sang-joon terus memohon dan memaksa Tae-hoon meski mereka telah sampai rumah Tae-hoon. Hye-mi datang ke rumah Tae-hoon dan melihat Sang-joon tengah memohon-mohon dengan cara “aneh”.
Hye-mi langsung sembunyi dan bergumam “Dua orang ini kenapa begitu? Oppa Sang-joon jangan-jangan benar-benar suka laki-laki”.
Tae-hoon akhirnya luluh dan mau membantu Sang-joon dan mereka pergi lagi naik mobil.
Hye-mi mengikutinya dengan taksi.
Chang-ryul mengantar Kae-in pulang. Chang-ryul mengkhawatirkan kesehatan Kae-in. Tapi Kae-in cuek saja dan mau langsung rurun saja. Saat sampai di depan Sang Go-jae. Kemudian dengan sedikit rasa takut Chang-ryul berkata kalau ia sudah dengar ayahnya menemui Kae-in. Chang-ryul menyakinkan Kae-in bahwa bukan karena ayahnya ia mau kembali berhubungan dengan Kae-in.
“Kenapa aku harus percaya padamu?” kata Kae-in dingin.
Chang-ryul menjelaskan ia bukan orang yang tak berperasaan mau kembali hanya karena sekarang ia tahu Kae-in putri Prof. Park.
“Bukankah perusahaanmu sekarang membutuhkan ayahku?” kata Kae-in.
“Tentu saja bukan, itu hanya pemikiran ayahku saja” kata Chang-ryul.
Kae-in tak tahan lagi ia berkata kalau sekarang ia sulit percaya pada Chang-ryul.
“Kalau kamu tak percaya.. juga tak apa-apa” kata Chang-ryul sedih.
Kae-in merasa tak enak, ia kemudian mengalihkan pembicaraan dengan berkata kalau ia sudah capek dan mau masuk ke dalam saja. Kae-in turun dan Chang-ryul tak dapat mencegahnya. Chang-ryul kemudian melihat bunga yang ia berikan tadi di tinggal begitu saja oleh Kae-in.
“Kenapa aku harus percaya padamu?” kata Kae-in dingin.
Chang-ryul menjelaskan ia bukan orang yang tak berperasaan mau kembali hanya karena sekarang ia tahu Kae-in putri Prof. Park.
“Bukankah perusahaanmu sekarang membutuhkan ayahku?” kata Kae-in.
“Tentu saja bukan, itu hanya pemikiran ayahku saja” kata Chang-ryul.
Kae-in tak tahan lagi ia berkata kalau sekarang ia sulit percaya pada Chang-ryul.
“Kalau kamu tak percaya.. juga tak apa-apa” kata Chang-ryul sedih.
Kae-in merasa tak enak, ia kemudian mengalihkan pembicaraan dengan berkata kalau ia sudah capek dan mau masuk ke dalam saja. Kae-in turun dan Chang-ryul tak dapat mencegahnya. Chang-ryul kemudian melihat bunga yang ia berikan tadi di tinggal begitu saja oleh Kae-in.
Sang-joon dan Tae-hoon telah sampai di depan Sang Go-jae. Tae-hoon masih ragu hingga tak mau segera turun dari mobil. Ia menyakinkan Sang-joon bahwa tindakannya gila. Sang-joon berkata itu demi kelangsungan hidup perusahaan mereka jadi ia minta Tae-hoon menyelesaikannya sebelum Jin-ho datang. Tae-hoon tetap tak mau dan berkata sebaiknya mereka menunggu Jin-ho pulang saja. Tiba-tiba Hye-mi datang mengetuk jendela mobil.
“Jadi ini adalah tempat tinggal Oppa Jin-ho” kata Hye-mi senang dan langsung mau masuk ke dalam.
Sang-joon dan Tae-hoon kaget serta panik. Mereka buru-buru keluar untuk mencegah Hye-mi.
“Kamu kenapa bisa di sini?” tanya Sang-joon sambil melirik Tae-hoon.
“Tidak.. tidak.. bukan aku. Aku satu kalimat pun tidak katakan” kata Tae-hoon.
“Kalian sedang laukan apa. Kenapa masih tidak mau masuk” kata Hye-mi.
Sang-joon dan Tae-hoon mencegah Hye-mi lagi dan menariknya masuk kedalam mobil. Mereka bertiga masuk kedalam mobil. Hye-mi kesal ia bertanya apa yang sedang dilakuan mereka berdua kepadanya.
“Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku?” kata Hye-mi.
Sang-joon dan Tae-hoon bingung bagaimana menjelaskan keadaan sesungguhnya.
Tiba-tiba Hye-mi berteriak “Itu.. wanita itu” kata Hye-mi saat melihat Kae-in keluar untuk membuanng sampah.
Sang-joon dan Tae-hoon panik, mereka mendorong Hye-mi menunduk agar tak ketahuan oleh Kae-in.
“Bukankah wanita itu yang ada di pesta. Jangan-jangan.. apa Oppa Jin-ho tinggal bersama wanita ini!” kata Hye-mi mengelak bersembunyi.
Sang-joon mau menjelaskan, tapi Hye-mi mau keluar. Tae-hoon mencegah. Hye-mi tak bisa tenang melihat Jin-ho tinggal dengan Kae-in.
Sang-joon panik dan berteriak “Sudah ku katakan bukan” sambil memukuli kursi.
Hye-mi dan Tae-hoon kaget melihat reaksi Sang-joon seperti itu.
“Kamu pulang ke rumah. Kamu antar dia. Aku sendiri yang akan kerjakan” kata Sang-joon yang kemudian turun dari mobil.
“Jadi ini adalah tempat tinggal Oppa Jin-ho” kata Hye-mi senang dan langsung mau masuk ke dalam.
Sang-joon dan Tae-hoon kaget serta panik. Mereka buru-buru keluar untuk mencegah Hye-mi.
“Kamu kenapa bisa di sini?” tanya Sang-joon sambil melirik Tae-hoon.
“Tidak.. tidak.. bukan aku. Aku satu kalimat pun tidak katakan” kata Tae-hoon.
“Kalian sedang laukan apa. Kenapa masih tidak mau masuk” kata Hye-mi.
Sang-joon dan Tae-hoon mencegah Hye-mi lagi dan menariknya masuk kedalam mobil. Mereka bertiga masuk kedalam mobil. Hye-mi kesal ia bertanya apa yang sedang dilakuan mereka berdua kepadanya.
“Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku?” kata Hye-mi.
Sang-joon dan Tae-hoon bingung bagaimana menjelaskan keadaan sesungguhnya.
Tiba-tiba Hye-mi berteriak “Itu.. wanita itu” kata Hye-mi saat melihat Kae-in keluar untuk membuanng sampah.
Sang-joon dan Tae-hoon panik, mereka mendorong Hye-mi menunduk agar tak ketahuan oleh Kae-in.
“Bukankah wanita itu yang ada di pesta. Jangan-jangan.. apa Oppa Jin-ho tinggal bersama wanita ini!” kata Hye-mi mengelak bersembunyi.
Sang-joon mau menjelaskan, tapi Hye-mi mau keluar. Tae-hoon mencegah. Hye-mi tak bisa tenang melihat Jin-ho tinggal dengan Kae-in.
Sang-joon panik dan berteriak “Sudah ku katakan bukan” sambil memukuli kursi.
Hye-mi dan Tae-hoon kaget melihat reaksi Sang-joon seperti itu.
“Kamu pulang ke rumah. Kamu antar dia. Aku sendiri yang akan kerjakan” kata Sang-joon yang kemudian turun dari mobil.
Sang-joon masuk ke dalam Sang Go-jae. Sang-joon beralasan kalau ada barang Jin-ho yang ketinggalan sehingga ia datang malam-malam kesana. Kae-in heran tapi ia menyilahkan Sang-joon menunggu Jin-ho di dalam kamar Jin-ho. Sang-joon minta ijin agar ia bisa melihat-lihat Sang Go-jae. Kae-in kaget mendengarnya. Sang-joon beralasan bahwa rumah seperti Sang Go-jae adalah tumah impiannya kelak jika ia punya istri dan anak. Kae-in heran Sang-joon bukankah gay kenapa mau punya istri dan anak. Sang-joon buru-buru menambahkan kalau itu impian ibunya dan ia sedih sekali tak dapat mengabulkan impian ibunya. Kae-in merasa tidak enak dan minta maaf karenanya. Sang-joon sambil pura-pura sedih minta dibuatkan minum oleh Kae-in. Kae-in langsung pergi membuatkan minuman. Sang-joon lalu beraksi ia mengeluarkan kamera dan mulai pergi memotret detail-detail Sang Go-jae.
Jin-ho datang ia heran melihat sepatu tapi tak ada satu orang pun di sana. Kae-in datang membawa minuman Sang-joon. Karena kejadian tadi siang hubungan mereka jadi canggung. Kae-in berkata kalau Sang-joo datang tepat saat Jin-ho tanya siapa yang datang.
“Hyung Sang-joon ada di mana?” kata Jin-ho.
Kae-in baru sadar dan heran, ia berkata kalau tadi Sang-joon benar-benar ada di sana. Jin-ho berkeliling mencari Sang-joon dan menemukan Sang-joon sedang ada di belakang memotret detail Sang Go-jae.
“Hyung Sang-joon ada di mana?” kata Jin-ho.
Kae-in baru sadar dan heran, ia berkata kalau tadi Sang-joon benar-benar ada di sana. Jin-ho berkeliling mencari Sang-joon dan menemukan Sang-joon sedang ada di belakang memotret detail Sang Go-jae.
“Kamu sedang lakukan apa?” kata Jin-ho.
“Tidak lihatkah! Tentu saja sedang kerja” kata Sang-joon sambil menunjuan kamera yang ia bawa.
“Jangan lakukan” kata Jin-ho sambil mengambil kamera itu dari tangan Sang-joon.
“Kenapa.. kenapa tidak biarkan aku mengambil gambar Sang Go-jae. kamu coba pikirkan lagi tujuanmu masuk ke dalam Sang Go-jae. Jangan-jangan kamu ada perasaan dengan nona Kae-in ya? Kau seharusnya bisa membedakan permasalahan pribadi dengan kantor!” kata Sang-joon.
“Ya. Aku tak bisa membedakan masalah pribadi dengan masalah perusahaan” kata Jin-ho.
“Kamu sadarlah! Kamu lebih tahu dari siapa pun seberapa penting permasalahan ini” kata Sang-joon.
“Ya. Karena tahu makanya tak ingin demi keuntungan sendiri melukai perasaan orang lain” kata Jin-ho.
“Siapa yang terluka?” kata Sang-joon.
“Kamu apa benar-benar tidak tahu! Hal seperti ini pasti akan membuat Park Kae-in mati dua kali.. tidak tahukah kamu?” kata Jin-ho.
“Perasaanmu.. apa benar-benar sudah sampai tahap seperti itu. Demi wanita.. kamu bisa menyerah dalam kariermu” kata Sang-joon heran melihat reaksi Jin-ho.
Jin-ho hanya tertunduk.
Tiba-tiba ada suara Kae-in memanggil-manggil Sang-joon. Sang-joon panik dan segera kabur dari sana. Jin-ho lalu menemui Kae-in.
“Kamu di sini sedang buat apa?” tanya Kae-in.
Jin-ho hanya menunjuk arah belakang.
“Sang-joon pergi ke mana? Apa kalian berdua sedang bertengkar?” tanya Kae-in.
“Ya” kata Jin-ho.
Sang-joon menguping pembicaraan mereka.
“Kenapa?” tanya Kae-in lagi.
“Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu” kata Jin-ho serius.
“Jika hal itu (kejadian tadi siang).. aku tak mau mendengarnya” kata Kae-in mau pergi.
Jin-ho mencegah dengan menarik tangan Kae-in.
“Kamu kira aku akan katakan apa? Walau tak ingin dengar coba dengarkan dulu. jika bukan hari ini, aku merasa selamanya tidak akan bisa katakan keluar lagi” kata Jin-ho.
Kae-in lalu mau mendengar.
“Aku masuk Sang Go-jae... adalah demi..”.
Tiba-tiba Sang-joon datang pura-pura sedang mencari kucing (Lagi-lagi gagal).
“Kae-in, apa kau memelihara kucing?” tanya Sang-joon.
“Kucing?” kata Kae-in heran.
“Iya tadi aku melihatnya disana sangat cantik” kata Sang-joon menujuk tempatnya.
Kae-in bingung mendengarnya. Sang-joon berkata mungkin itu kucing tetangganya dan tak bisa pulang. Kae-in merasa kasihan dan minta ditunjukan tempatnya. Kae-in pergi mencari kucing itu setelah diberitahu tempatnya.
“Kamu jangan katakan! Apa pun jangan katakan!” kata Sang-joon pada Jin-ho.
“Hyung!” kata Jin-ho.
“Tolonglah.. kalau kamu katakan satu kalimat lagi, aku akan langsung menggigit lidahku bunuh diri” kata Sang-joon.
Tiba-tiba Kae-in datang dan berkata kalau ia tidak melihat kucing itu. Sang-joon berkata mungkin sudah pulang, ia lalu minta minumannya tadi (ciah masih inget aja ma minuman... yg baca aja dah lupa).
“Tidak lihatkah! Tentu saja sedang kerja” kata Sang-joon sambil menunjuan kamera yang ia bawa.
“Jangan lakukan” kata Jin-ho sambil mengambil kamera itu dari tangan Sang-joon.
“Kenapa.. kenapa tidak biarkan aku mengambil gambar Sang Go-jae. kamu coba pikirkan lagi tujuanmu masuk ke dalam Sang Go-jae. Jangan-jangan kamu ada perasaan dengan nona Kae-in ya? Kau seharusnya bisa membedakan permasalahan pribadi dengan kantor!” kata Sang-joon.
“Ya. Aku tak bisa membedakan masalah pribadi dengan masalah perusahaan” kata Jin-ho.
“Kamu sadarlah! Kamu lebih tahu dari siapa pun seberapa penting permasalahan ini” kata Sang-joon.
“Ya. Karena tahu makanya tak ingin demi keuntungan sendiri melukai perasaan orang lain” kata Jin-ho.
“Siapa yang terluka?” kata Sang-joon.
“Kamu apa benar-benar tidak tahu! Hal seperti ini pasti akan membuat Park Kae-in mati dua kali.. tidak tahukah kamu?” kata Jin-ho.
“Perasaanmu.. apa benar-benar sudah sampai tahap seperti itu. Demi wanita.. kamu bisa menyerah dalam kariermu” kata Sang-joon heran melihat reaksi Jin-ho.
Jin-ho hanya tertunduk.
Tiba-tiba ada suara Kae-in memanggil-manggil Sang-joon. Sang-joon panik dan segera kabur dari sana. Jin-ho lalu menemui Kae-in.
“Kamu di sini sedang buat apa?” tanya Kae-in.
Jin-ho hanya menunjuk arah belakang.
“Sang-joon pergi ke mana? Apa kalian berdua sedang bertengkar?” tanya Kae-in.
“Ya” kata Jin-ho.
Sang-joon menguping pembicaraan mereka.
“Kenapa?” tanya Kae-in lagi.
“Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu” kata Jin-ho serius.
“Jika hal itu (kejadian tadi siang).. aku tak mau mendengarnya” kata Kae-in mau pergi.
Jin-ho mencegah dengan menarik tangan Kae-in.
“Kamu kira aku akan katakan apa? Walau tak ingin dengar coba dengarkan dulu. jika bukan hari ini, aku merasa selamanya tidak akan bisa katakan keluar lagi” kata Jin-ho.
Kae-in lalu mau mendengar.
“Aku masuk Sang Go-jae... adalah demi..”.
Tiba-tiba Sang-joon datang pura-pura sedang mencari kucing (Lagi-lagi gagal).
“Kae-in, apa kau memelihara kucing?” tanya Sang-joon.
“Kucing?” kata Kae-in heran.
“Iya tadi aku melihatnya disana sangat cantik” kata Sang-joon menujuk tempatnya.
Kae-in bingung mendengarnya. Sang-joon berkata mungkin itu kucing tetangganya dan tak bisa pulang. Kae-in merasa kasihan dan minta ditunjukan tempatnya. Kae-in pergi mencari kucing itu setelah diberitahu tempatnya.
“Kamu jangan katakan! Apa pun jangan katakan!” kata Sang-joon pada Jin-ho.
“Hyung!” kata Jin-ho.
“Tolonglah.. kalau kamu katakan satu kalimat lagi, aku akan langsung menggigit lidahku bunuh diri” kata Sang-joon.
Tiba-tiba Kae-in datang dan berkata kalau ia tidak melihat kucing itu. Sang-joon berkata mungkin sudah pulang, ia lalu minta minumannya tadi (ciah masih inget aja ma minuman... yg baca aja dah lupa).
Sementara itu Hye-mi pulang ke rumah Jin-ho dalam keadaan menangis. Ibu Jin-ho heran, ia tanya ada masalah apa. Hye-mi sambil menangis berkata kalau Jin-ho tinggal dengan seorang wanita. Tae-hoon refleks langsung menutup mulut Hye-mi dan menjelaskan pada ibu Jin-ho kalau bukan seperti itu kejadiannya. Hye-mi memberontak dan berteriak kalau Jin-ho tinggal dengan wanita yang di ajaknya ke pesta dulu.
“Apa!” teriak ibu Jin-ho kaget.
Tae-hoon langsung bersujud dan minta ibu Jin-ho mengerti bahwa Jin-ho melakukan itu semua demi perusahaan.
“Apa hubungannya perusahaan dan wanita itu?” tanya ibu Jin-ho.
Tae-hoon sulit menjelaskannya. Hye-mi sudah kesal ia minta Tae-hoon jangan menyembunyikan sesuatu pada mereka lagi.
Jin-ho habis mengantar Sang-joon pulang. Kae-in melihatnya dengan pandangan aneh. Jin-ho langsung mau masuk kamarnya. Kae-in kesal mengingat perkataan In-hae pada Jin-ho di gedung Meiseu, ia lalu menyindir Jin-ho yang terlihat sibuk akhir-akhir ini hingga membawa kerjaan pulang atau hanya pura-pura sibuk. Jin-ho berhenti, ia juga kesal mengingat sikap Kae-in pada Chang-ryul tadi siang.
“Selamat padamu” kata Jin-ho tiba-tiba.
Kae-in kaget.
“Jadi wanita yang menerima bunga dari laki-laki. Baik-baik merawatnya dan simpan selamanya” kata Jin-ho lagi.
“Kenapa kau begitu menyindirku. Kamu jelas tahu aku? apa tujuanku melakukannya?” kata Kae-in.
“Aku benar-benar dengan tulus ingin mengucapkan selamat padamu, apa aku salah? Ekspresimu saat menerima bunga itu sangat tak biasa” kata Jin-ho.
“Jika kamu bilang permainan berakhir. Aku akan segera mengakhirinya” kata Kae-in.
“Itu bukan masalahku. Mau akhiri atau tidak itu pilahanmu” kata Jin-ho lalu pergi masuk kamarnya (hehe.. saling cemburu ni ye!).
“Apa!” teriak ibu Jin-ho kaget.
Tae-hoon langsung bersujud dan minta ibu Jin-ho mengerti bahwa Jin-ho melakukan itu semua demi perusahaan.
“Apa hubungannya perusahaan dan wanita itu?” tanya ibu Jin-ho.
Tae-hoon sulit menjelaskannya. Hye-mi sudah kesal ia minta Tae-hoon jangan menyembunyikan sesuatu pada mereka lagi.
Jin-ho habis mengantar Sang-joon pulang. Kae-in melihatnya dengan pandangan aneh. Jin-ho langsung mau masuk kamarnya. Kae-in kesal mengingat perkataan In-hae pada Jin-ho di gedung Meiseu, ia lalu menyindir Jin-ho yang terlihat sibuk akhir-akhir ini hingga membawa kerjaan pulang atau hanya pura-pura sibuk. Jin-ho berhenti, ia juga kesal mengingat sikap Kae-in pada Chang-ryul tadi siang.
“Selamat padamu” kata Jin-ho tiba-tiba.
Kae-in kaget.
“Jadi wanita yang menerima bunga dari laki-laki. Baik-baik merawatnya dan simpan selamanya” kata Jin-ho lagi.
“Kenapa kau begitu menyindirku. Kamu jelas tahu aku? apa tujuanku melakukannya?” kata Kae-in.
“Aku benar-benar dengan tulus ingin mengucapkan selamat padamu, apa aku salah? Ekspresimu saat menerima bunga itu sangat tak biasa” kata Jin-ho.
“Jika kamu bilang permainan berakhir. Aku akan segera mengakhirinya” kata Kae-in.
“Itu bukan masalahku. Mau akhiri atau tidak itu pilahanmu” kata Jin-ho lalu pergi masuk kamarnya (hehe.. saling cemburu ni ye!).
“Kenapa jadi begini kekanak-kanakan” gumam Jin-ho didalam kamar.
Tiba-tiba In-hae menelepon dan Jin-ho tak mau mengangkatnya.
Kae-in pun bekerja di bengkelnya dengan perasaan kesal. Ia sengaja memukul keras-keras saat melihat Jin-ho keluar dari kamarnya. Tiba-tiba In-hae telepon, Kae-in dengan malas-malasan menerimanya. Kae-in tanya ada urusan apa In-hae meneleponnya. In-hae berkata kalau ia tidak mencari Kae-in tapi ia mencari Jin-ho dan minta Kae-in menyerahkan teleponnya kepada Jin-ho sebentar. Kae-in sebetulnya tak mau tapi In-hae memaksa.
Tiba-tiba In-hae menelepon dan Jin-ho tak mau mengangkatnya.
Kae-in pun bekerja di bengkelnya dengan perasaan kesal. Ia sengaja memukul keras-keras saat melihat Jin-ho keluar dari kamarnya. Tiba-tiba In-hae telepon, Kae-in dengan malas-malasan menerimanya. Kae-in tanya ada urusan apa In-hae meneleponnya. In-hae berkata kalau ia tidak mencari Kae-in tapi ia mencari Jin-ho dan minta Kae-in menyerahkan teleponnya kepada Jin-ho sebentar. Kae-in sebetulnya tak mau tapi In-hae memaksa.
Kae-in mengetuk kamar mandi, kemudian masuk dan menyerahkan telepon dari In-hae dengan malas-malasan dan berkata sepertinya ada keadaan darurat. Kae-in keluar sambil membanting pintu dan Jin-ho menerima telepon In-hae itu. In-hae minta maaf atas kejadian tadi, tapi ia juga berkata kalau ia tak bisa menahan perasaannya lagi. Jin-ho tak mau mendengarnya lagi dan berkata kalau akan menutup teleponnya.
“Bagaiman mungkin aku tahu hal itu” kata Kae-in kesal.
“Tidak peduli bagaimana. Kenapa kamu hal seperti ini pun mau lakukan? Bukankah In-hae sudah mengkhianatimu” kata Jin-ho tak kalah kesal.
“Itu adalah masalahku dengan In-hae. Aku tak tahu kau dan In-hae ada masalah apa di rumah In-hae.. Di rumah In-hae menginap bersama” kata Kae-in kesal.
Jin-ho kaget mendengarnya.
“Kamu.. bagaimana bisa tahu” kata Jin-ho.
“Aku tak sengaja mendengarnya” kata Kae-in.
Kae-in mau pergi, tapi berbalik lagi dan berkata “Tidak bisa karena aku dan kamu adalah teman. Jadi aku tak akan biarkan kamu ada hubungan dengan In-hae. Aku tahu In-hae adalah orang penting dalam perusahaan Maiseu dan bisa sangat membantumu. Aku merasa kelak ia akan menjadi orang yang penting bagimu. Aku bagaimana bisa tidak menerima teleponnya” kata Kae-in menjelaskan alasannya menerima telepon itu.
“Tidak peduli bagaimana. Kenapa kamu hal seperti ini pun mau lakukan? Bukankah In-hae sudah mengkhianatimu” kata Jin-ho tak kalah kesal.
“Itu adalah masalahku dengan In-hae. Aku tak tahu kau dan In-hae ada masalah apa di rumah In-hae.. Di rumah In-hae menginap bersama” kata Kae-in kesal.
Jin-ho kaget mendengarnya.
“Kamu.. bagaimana bisa tahu” kata Jin-ho.
“Aku tak sengaja mendengarnya” kata Kae-in.
Kae-in mau pergi, tapi berbalik lagi dan berkata “Tidak bisa karena aku dan kamu adalah teman. Jadi aku tak akan biarkan kamu ada hubungan dengan In-hae. Aku tahu In-hae adalah orang penting dalam perusahaan Maiseu dan bisa sangat membantumu. Aku merasa kelak ia akan menjadi orang yang penting bagimu. Aku bagaimana bisa tidak menerima teleponnya” kata Kae-in menjelaskan alasannya menerima telepon itu.
“Apa kau ingin terluka lagi!” kata Jin-ho.
“Apa hubungannya denganmu” kata Kae-in mengelak.
“Karena rumah In-hae kecurian makanya baru pergi ke sana” Kata Jin-ho tiba-tiba.
Kae-in kaget mendengarnya.
“Waktu kau telepon aku, aku masih ada di kantor. Ah.. benar-benar tak tahu kenapa aku harus menjelaskan ini padamu” kata Jin-ho.
“Apa dia bertemu dengan pencurinya? Terluka tidak?” tanya Kae-in khawatir.
“Kamu sekarang khawatir dengannya? Kamu ini benar-benar...” kata Jin-ho.
“Jika hal seperti ini kenyataannya kamu kan bisa katakan padaku dulu” kata Kae-in.
“Apa itu perlu? Akau tak mau menyombongkan diri untuk dapat pujian” kata Jin-ho.
“Walaupun aku tahu kamu tidak seperti laki-lak lain yang bisa melakukan hal-hal “itu”. Tapi waktu aku mendengarnya, aku merasa sangat bingung. Aku merasa teman paling baikku di dunia ini pun akan direbut In-hae juga” kata Kae-in sedih.
“Tidak akan begitu” kata Jin-ho.
Kae-in tersenyum tipis dan berkata “benarkah”.
Tiba-tiba ada suara telepon. Kae-in mengangkatnya dan ternyata dari Chang-ryul. Jin-ho kesal dan pergi dari sana.
“Apa hubungannya denganmu” kata Kae-in mengelak.
“Karena rumah In-hae kecurian makanya baru pergi ke sana” Kata Jin-ho tiba-tiba.
Kae-in kaget mendengarnya.
“Waktu kau telepon aku, aku masih ada di kantor. Ah.. benar-benar tak tahu kenapa aku harus menjelaskan ini padamu” kata Jin-ho.
“Apa dia bertemu dengan pencurinya? Terluka tidak?” tanya Kae-in khawatir.
“Kamu sekarang khawatir dengannya? Kamu ini benar-benar...” kata Jin-ho.
“Jika hal seperti ini kenyataannya kamu kan bisa katakan padaku dulu” kata Kae-in.
“Apa itu perlu? Akau tak mau menyombongkan diri untuk dapat pujian” kata Jin-ho.
“Walaupun aku tahu kamu tidak seperti laki-lak lain yang bisa melakukan hal-hal “itu”. Tapi waktu aku mendengarnya, aku merasa sangat bingung. Aku merasa teman paling baikku di dunia ini pun akan direbut In-hae juga” kata Kae-in sedih.
“Tidak akan begitu” kata Jin-ho.
Kae-in tersenyum tipis dan berkata “benarkah”.
Tiba-tiba ada suara telepon. Kae-in mengangkatnya dan ternyata dari Chang-ryul. Jin-ho kesal dan pergi dari sana.
Chang-ryul memberitahu kalau ia sedang mabuk. Kae-in berkata kalau mabuk sebaiknya Chang-ryul tidur saja. Chang-ryul mengatakan kalau Kae-in meninggalkan bunga pemberiannya di mobil. Ia menebak Kae-in pasti tak tahu hal itu. Kae-in berkata kalau ia lupa. Chang-ryul berkata bagaimana bisa Kae-in melupakan bunga pertama pemberiannya, padahal dulu Kae-in selalu menghargai pemberiannya meski itu sebuah gantungan kunci tapi kenapa sekarang tidak. Kae-in tak mau mendengarnya lagi dan berkata kalau ia akan menutup teleponnya.
Kae-in lalu keluar ia melihat kamar Jin-ho dengan perasaan khawatir apa yang akan dipikirkan Jin-ho tentangnya. Sementara Jin-ho didalam juga memikirkan kae-in. Kae-in kembali ke kamarnya. Mereka berdua tidak bisa tidur malam itu saling memikirkan satu sama lain.
Kae-in lalu keluar ia melihat kamar Jin-ho dengan perasaan khawatir apa yang akan dipikirkan Jin-ho tentangnya. Sementara Jin-ho didalam juga memikirkan kae-in. Kae-in kembali ke kamarnya. Mereka berdua tidak bisa tidur malam itu saling memikirkan satu sama lain.
Keesokan harinya. Kae-in menelepon pegawai pabrik kayu dan mengabarkan kalau kayu pesanannya sudah datang. Pegawai tanya bagaimana keadaan Kae-in sekarang. Kae-in berkata kalau ia baik-baik saja. Pegawai pabrik kayu lalu berkata kalau Kae-in benar-benar beruntung karena banyak orang yang mencintainya. Kae-in kaget mendengarnya. Pegawai menjelaskan bahwa ada 2 orang anak muda yang khawatir dengan keadaan Kae-in saat itu. yang pertama yang menemani Kae-in ke rumah sakit dan yang kedua menelepon tanya dimana rumah sakit Kae-in berada. Kae-in kaget ada orang yang telepon menanyakan keadaannya. Pegawai pabrik kayu tanya apa Kae-in tidak bertemu dengannya padahal ia sudah memberitahu alamatnya. Ia juga memberitahu bahwa nada orang yang telepon itu sepertinya sangat khawatir dengan keadaan Kae-in saat itu. Kae-in tak percaya mendengarnya.
Kae-in lalu telepon Jin-ho dan minta bertemu. Mereka lalu bertemu di sebuah taman. Kae-in membawa bekal makanan. Kae-in berkata kalau sudah lama ia ingin melakukan hal seperti itu dengan pacarnya. Jin-ho berkata agar Kae-in melakukannya dengan Chang-ryul. Kae-in lalu berkata kenapa Jin-ho bicara seperti itu padahal ia tahu maksud Kae-in sebenarnya pada Chang-ryul. “
Aku tak tahu” kata Jin-ho.
“Sudahlah aku demi mau membuatmu senang sudah berusaha seperti ini” kata Kae-in.
“Kalau begitu semua ini yang kamu buat sendiri kah?” tanya Jin-ho.
“Sebenarnya ingin seperti itu, tapi karena kemampuan tak cukup jadi membelinya. Kamu coba rasakan ini. Ini adalah sayur ungu bertenaga setan. Tak peduli seberapa banyak makan masih ingin makan lagi” kata Kae-in.
“Semua nasi gulung sama” kata Jin-ho.
“Kau bukankah tiap hari juga ditipu orang. Cepat sedikit. Buka mulutmu.. a..a..” kata Kae-in sambil menyuapi Jin-ho.
Jin-ho akhirnya mau memakannya.
“Bagaimana? Enak kan? Ini karena sudah dimasukan bahan spesial dari Park Kae-in baru jadi begini” kata Kae-in bangga.
Jin-ho kaget mendengarnya. Kae-in menjelaskan kalau ia telah mendengar kalau Jin-ho datang ke rumah sakit saat ia kecelakaan.
“Kenapa pernah datang tapi katakan tak pernah datang?” tanya Kae-in.
“Aku tidak harus pergi halangi kalian” kata Jin-ho.
“Kamu bukannya tidak tahu aku ada di pabrik kayu mana?” tanya Kae-in heran.
“Bahan kayu Zhen Ying. Tinggal telepon 114 akan tahu” kata Jin-ho.
“Aigoo.. kenapa kau tidak memberitahuku lebih cepat. Aku jadi makin terharu” kata Kae-in sambil memukul Jin-ho.
“Hanya karena kaget.. makanya pergi lihat. Jangan terlalu diperbesar” kata Jin-ho merendah.
“Tapi akau ingin memperbesarnya” kata Kae-in.
Jin-ho kaget mendengarnya.
“Karena teman jadi baru bisa khawatir bukankah begitu?” kata Kae-in.
“Jin-ho, bagaimana jika aku adalah laki-laki? Apakah kau akan ada sedikit rasa suka padaku?” tanya Kae-in penuh harap.
“Aku tak bisa membayangkannya” kata Jin-ho.
“Tak bisa bayangkah?” tanya Kae-in tak percaya.
Kae-in lalu mengambil rumput laut dan memasangannya di mulutnya sehingga mirip kumis.
“Bagaimana?” tanya Kae-in sambil memperlihatkan kumisnya.
Jin-ho tertawa melihatnya.
“Baiklah.. hari ini aku jadi pacar laki-lakimu” kata Kae-in.
“Apakah aku ganteng? Sangat bagus kan!” kata Kae-in lagi.
Jin-ho tertawa melihatnya.Aku tak tahu” kata Jin-ho.
“Sudahlah aku demi mau membuatmu senang sudah berusaha seperti ini” kata Kae-in.
“Kalau begitu semua ini yang kamu buat sendiri kah?” tanya Jin-ho.
“Sebenarnya ingin seperti itu, tapi karena kemampuan tak cukup jadi membelinya. Kamu coba rasakan ini. Ini adalah sayur ungu bertenaga setan. Tak peduli seberapa banyak makan masih ingin makan lagi” kata Kae-in.
“Semua nasi gulung sama” kata Jin-ho.
“Kau bukankah tiap hari juga ditipu orang. Cepat sedikit. Buka mulutmu.. a..a..” kata Kae-in sambil menyuapi Jin-ho.
Jin-ho akhirnya mau memakannya.
“Bagaimana? Enak kan? Ini karena sudah dimasukan bahan spesial dari Park Kae-in baru jadi begini” kata Kae-in bangga.
Jin-ho kaget mendengarnya. Kae-in menjelaskan kalau ia telah mendengar kalau Jin-ho datang ke rumah sakit saat ia kecelakaan.
“Kenapa pernah datang tapi katakan tak pernah datang?” tanya Kae-in.
“Aku tidak harus pergi halangi kalian” kata Jin-ho.
“Kamu bukannya tidak tahu aku ada di pabrik kayu mana?” tanya Kae-in heran.
“Bahan kayu Zhen Ying. Tinggal telepon 114 akan tahu” kata Jin-ho.
“Aigoo.. kenapa kau tidak memberitahuku lebih cepat. Aku jadi makin terharu” kata Kae-in sambil memukul Jin-ho.
“Hanya karena kaget.. makanya pergi lihat. Jangan terlalu diperbesar” kata Jin-ho merendah.
“Tapi akau ingin memperbesarnya” kata Kae-in.
Jin-ho kaget mendengarnya.
“Karena teman jadi baru bisa khawatir bukankah begitu?” kata Kae-in.
“Jin-ho, bagaimana jika aku adalah laki-laki? Apakah kau akan ada sedikit rasa suka padaku?” tanya Kae-in penuh harap.
“Aku tak bisa membayangkannya” kata Jin-ho.
“Tak bisa bayangkah?” tanya Kae-in tak percaya.
Kae-in lalu mengambil rumput laut dan memasangannya di mulutnya sehingga mirip kumis.
“Bagaimana?” tanya Kae-in sambil memperlihatkan kumisnya.
Jin-ho tertawa melihatnya.
“Baiklah.. hari ini aku jadi pacar laki-lakimu” kata Kae-in.
“Apakah aku ganteng? Sangat bagus kan!” kata Kae-in lagi.
Mereka lalu pergi ke pusat perbelanjaan. Kae-in mengubah penampilannya jadi laki-laki dan menghampiri Jin-ho yang sedang berada di photo box. Jin-ho kaget dan geli melihat penampilan Kae-in.
“Kamu sudah lakukan apa?” kata Jin-ho.
Mereka tertawa berdua kemudian foto bersama dengan penampilan itu.
“Kamu sudah lakukan apa?” kata Jin-ho.
Mereka tertawa berdua kemudian foto bersama dengan penampilan itu.
Saat sudah selesai Jin-ho menyuruh Kae-in kembali kepenampilan semula tapi Kae-in menolak.
“Aku tak ingin jalan dengan wanita gila sepertimu” kata Jin-ho.
Tiba-tiba Kae-in memukul Jin-ho.
“Tenaga ku sangat mirip laki-laki kan?” tanya Kae-in.
Jin-ho malu dan meninggalakan Kae-in. Kae-in mengejarnya terus.
Sementara itu Chang-ryul mendapat laporan dari orang suruhannya bahwa Jin-ho itu benar-benar laki-laki sejati sejak kecil tidak ada satu pun bukti yang menunjukan bahwa Jin-ho itu gay. Chang-ryul kaget mendengarnya.
Kae-in dan Jin-ho ketempat permaianan game. Tiba-tiba Chang-ryul menelepon, Kae-in tak mau mengangkatanya.
“Teman. Ayo kita Main saja” kata Kae-in.
Mereka lalu main tembak-tembakan. Sepasang remaja di sebelah mereka heran melihat mereka. Si perempuan bilang kenapa laki-laki tampan seperti Jin-ho mau bersama dengan seorang gadis yang berpenampilan laki-laki seperti Kae-in. Kae-in terganggu mendengarnya, Jin-ho minta Kae-in konsentrasi saja pada permainan. Si teman pria bilang laki-laki tampan apa, tampang seperti bebek seperti itu di bilang tampan. Kali ini Jin-ho yang terganggu mendengarnya, Kae-in memarahi Jin-ho karena membuat pemainan mereka kalah.
“Aku tak ingin jalan dengan wanita gila sepertimu” kata Jin-ho.
Tiba-tiba Kae-in memukul Jin-ho.
“Tenaga ku sangat mirip laki-laki kan?” tanya Kae-in.
Jin-ho malu dan meninggalakan Kae-in. Kae-in mengejarnya terus.
Sementara itu Chang-ryul mendapat laporan dari orang suruhannya bahwa Jin-ho itu benar-benar laki-laki sejati sejak kecil tidak ada satu pun bukti yang menunjukan bahwa Jin-ho itu gay. Chang-ryul kaget mendengarnya.
Kae-in dan Jin-ho ketempat permaianan game. Tiba-tiba Chang-ryul menelepon, Kae-in tak mau mengangkatanya.
“Teman. Ayo kita Main saja” kata Kae-in.
Mereka lalu main tembak-tembakan. Sepasang remaja di sebelah mereka heran melihat mereka. Si perempuan bilang kenapa laki-laki tampan seperti Jin-ho mau bersama dengan seorang gadis yang berpenampilan laki-laki seperti Kae-in. Kae-in terganggu mendengarnya, Jin-ho minta Kae-in konsentrasi saja pada permainan. Si teman pria bilang laki-laki tampan apa, tampang seperti bebek seperti itu di bilang tampan. Kali ini Jin-ho yang terganggu mendengarnya, Kae-in memarahi Jin-ho karena membuat pemainan mereka kalah.
Di perjalanan pulang Kae-in kesal dengan omongan anak-anak tadi dan juga geli melihat reaksi Jin-ho saat dikatai seperti bebek. Jin-ho minta mereka tidak usah membahasnya lagi, ia lalu tanya sampai kapan Kae-in akan berpenampilan seperti laki-laki.
“Jin-ho kamu bisa tidak pakai pakaian wanita. Aku merasa akan sangat menarik” kata Kae-in.
“Aku bukan orang gila. Bagaimana mungkin memakai pakaian wanita” kata Jin-ho menolak.
“Dengan nama pertemanan, bukankah seharusnya kamu bisa melakukannya” kata Kae-in.
“Kamu ini kenapa selalu memakai nama pertemanan untuk menyuruhku pergi bunuh diri” kata Jin-ho.
Kae-in lalu berakting dan berkata kalau ia terharu sekali mendengarnya. Jin-ho malu melihat tingkah Kae-in itu dan meninggalkan Kae-in.
“Sangat memalukan” kata Jin-ho sambil berjalan pergi.
“Teman.. Hai teman kamu mau pergi kemana” teriak Kae-in mengejar.
Jin-ho menoleh, Kae-in terdiam sambil memandang Jin-ho.
“Jin-ho kamu bisa tidak pakai pakaian wanita. Aku merasa akan sangat menarik” kata Kae-in.
“Aku bukan orang gila. Bagaimana mungkin memakai pakaian wanita” kata Jin-ho menolak.
“Dengan nama pertemanan, bukankah seharusnya kamu bisa melakukannya” kata Kae-in.
“Kamu ini kenapa selalu memakai nama pertemanan untuk menyuruhku pergi bunuh diri” kata Jin-ho.
Kae-in lalu berakting dan berkata kalau ia terharu sekali mendengarnya. Jin-ho malu melihat tingkah Kae-in itu dan meninggalkan Kae-in.
“Sangat memalukan” kata Jin-ho sambil berjalan pergi.
“Teman.. Hai teman kamu mau pergi kemana” teriak Kae-in mengejar.
Jin-ho menoleh, Kae-in terdiam sambil memandang Jin-ho.
Dalam hati Kae-in bergumam “Park kae-in. Laporan cuaca besok: aku sudah lama memikirkannya. Apa yang bisa aku lakukan untuk berterima kasih padamu? Aku pernah ingin mengatakan kalau aku mencintaimu. Tapi aku tak punya keberanian seperti itu jadi aku bersedia menjadi seorang laki-laki yang sama mencintaimu seperti aku. Aku harap kamu bisa melihat dan tergerak hatinya karena melihatku begini. Mulai hari ini laporan cuaca kan tidak jelas. Laporan cuaca Park Kae-in”
Kae-in lalu berlari mengejar Jin-ho sambil terus pura-pura jadi laki-laki.
Kae-in lalu berlari mengejar Jin-ho sambil terus pura-pura jadi laki-laki.
Chang-ryul datang ke Sang Go-jae menggedor-gedor pintu ingin bertemu Kae-in. Tapi Kae-in belum pulang, Chang-ryul lalu menelepon In-hae.
“Chang-ryul, ada apa kau menghubungiku?” kata In-hae.
“Apa kau sedang bersama Jin-ho sekarang ini?” tanya Chang-ryul.
“Kamu kenapa tanya ini? Chang-ryul kau hanya perlu perhatian pada Kae-in sudah bisa kan?” kata In-hae.
“Kamu jawab saja! Sebenarnya apa kamu bersama dengannya atau tidak? sudah bisa kan?” kata Chang-ryul lagi.
“Sebenarnya kenapa?” tanya In-hae heran.
“Aku khawatir ia hanya pura-pura baik pada Kae-in. Aku khawatir jika ia masih bersama Kae-in” kata Chang-ryul.
“Kenapa? Kamu sekarang di mana?” tanya In-hae bingung.
“Kenapa sekarang aku harus bertemu denganmu? Hari ini aku ingin bertemu Kae-in membongkar semua kebenaran tentang Jin-ho” kata Chang-ryul kesal sambil menutup teleponnya.
Sementara itu.
“Teman kita minum dulu baru balik, bagaimana?” kata Kae-in.
“Tidak berminat, teman” kata Jin-ho.
“Diantara laki-laki bukankah seharusnya bersama minum sedikit soju dulu baru ngobrol secara terbuka” kata Kae-in.
Jin-ho tak tahan ia mencopot dandanan Kae-in secara paksa.
“Jangan lakukan lagi..cabut saja” kata Jin-ho.
“Kamu buat apa?” tanya Kae-in.
“Ini juga” kata Jin-ho sambil mencabut kumis palsu Kae-in.
“Au..” teriak Kae-in.
“Sakitkkah?” tanya Jin-ho.
“Tentu saja sakit, bagaimana mungkin tidak sakit” kata Kae-in.“Chang-ryul, ada apa kau menghubungiku?” kata In-hae.
“Apa kau sedang bersama Jin-ho sekarang ini?” tanya Chang-ryul.
“Kamu kenapa tanya ini? Chang-ryul kau hanya perlu perhatian pada Kae-in sudah bisa kan?” kata In-hae.
“Kamu jawab saja! Sebenarnya apa kamu bersama dengannya atau tidak? sudah bisa kan?” kata Chang-ryul lagi.
“Sebenarnya kenapa?” tanya In-hae heran.
“Aku khawatir ia hanya pura-pura baik pada Kae-in. Aku khawatir jika ia masih bersama Kae-in” kata Chang-ryul.
“Kenapa? Kamu sekarang di mana?” tanya In-hae bingung.
“Kenapa sekarang aku harus bertemu denganmu? Hari ini aku ingin bertemu Kae-in membongkar semua kebenaran tentang Jin-ho” kata Chang-ryul kesal sambil menutup teleponnya.
Sementara itu.
“Teman kita minum dulu baru balik, bagaimana?” kata Kae-in.
“Tidak berminat, teman” kata Jin-ho.
“Diantara laki-laki bukankah seharusnya bersama minum sedikit soju dulu baru ngobrol secara terbuka” kata Kae-in.
Jin-ho tak tahan ia mencopot dandanan Kae-in secara paksa.
“Jangan lakukan lagi..cabut saja” kata Jin-ho.
“Kamu buat apa?” tanya Kae-in.
“Ini juga” kata Jin-ho sambil mencabut kumis palsu Kae-in.
“Au..” teriak Kae-in.
“Sakitkkah?” tanya Jin-ho.
“Aku sudah bilangkan tadi.. kamu kenapa lakukan hal seperti ini?” tanya Jin-ho.
“Aku khawatir kehidupan yang akan datang tak bisa dilahirkan jadi laki-laki” kata Kae-in sedikit sedih.
Jin-ho kaget mendengarnya.
“Jin-ho kehidupan yang akan datang jika kau masih dilahirkan seperti sekarang ini (gay). Kita bertemu lagi saja” kata Kae-in.
“Aku suka Park Kae-in yang sekarang ini” kata Jin-ho.
Gantian Kae-in yang kaget mendengarnya.
Chang-ryul masih menunggu di depan Sang Go-jae. Tiba-tiba In-hae datang.
“Chang-ryul” panggil In-hae.
“Bicara denganku saja” ajak In-hae lagi.
“Aku sekarang tidak ada waktu bicara denganmu lagi” kata Chang-ryul.
“Kae-in, karena ia tahu Jin-ho gay makanya tinggal bersama Jin-ho” kata In-hae akhirnya.
“Apa? Jin-ho tinggal di sini? Bersama Kae-in?” tanya Chang-ryul kaget.
“Kita lebih baik cari tempat untuk bicara hal ini selagi Kae-in dan Jin-ho belum pulang” ajak In-hae.
“Apa maksud perkataanmu tadi? Jin-ho tinggal disini bersama Kae-in! Mulai kapan? Kenapa orang itu bisa tinggal di sini?” tanya Chang-ryul lagi.
“Chang-ryul” panggil In-hae.
“Bicara denganku saja” ajak In-hae lagi.
“Aku sekarang tidak ada waktu bicara denganmu lagi” kata Chang-ryul.
“Kae-in, karena ia tahu Jin-ho gay makanya tinggal bersama Jin-ho” kata In-hae akhirnya.
“Apa? Jin-ho tinggal di sini? Bersama Kae-in?” tanya Chang-ryul kaget.
“Kita lebih baik cari tempat untuk bicara hal ini selagi Kae-in dan Jin-ho belum pulang” ajak In-hae.
“Apa maksud perkataanmu tadi? Jin-ho tinggal disini bersama Kae-in! Mulai kapan? Kenapa orang itu bisa tinggal di sini?” tanya Chang-ryul lagi.
Belum sempat In-hae menjawab mobil Jin-ho sudah sampai di depan Sang Go-jae. Jin-ho dan Kae-in kaget melihat In-he dan Chang-ryul ada di sana. Chang-ryul kaget melihat Kae-in datang bersam Jin-ho. Kae-in dan Jin-ho turun dari mobil. Chang-ryul yang sudah kesal langsung memukul Jin-ho. Kae-in dan In-hae mau mencegah.
“Kamu kenapa selalu ikut campur urusan hidupku” kata Chang-ryul kesal pada Jin-ho.
“Sebenarnya apa yang sudah aku lakukan?” tanya Jin-ho.
“Kamu ada tujuan apa tinggal di rumah ini? Kamu sudah lakukan apa pada Kae-in?” tanya Chang-ryul.
“Aku tak pernah lakukan apa-apa pada Kae-in” kata Jin-ho.
“Park Kae-in kenapa kamu masih bisa tinggal bersama orang ini? Kenapa tidak memberitahuku?” tanya Chang-ryul.
“Itu.. karena ada alasan itu..” kata Kae-in mencoba menjelaskan.
“Sebab bagaimana?” tanya Chang-ryul tak sabar.
Kae-in tak bisa menjawabnya.
“Kamu segera hilang dari sisi wanitaku, Mengerti!” kata Chang-ryul pada Jin-ho.
“Han Chang-ryul. kamu termasuk urutan berapa berani memerintahku! Aku di sisi Park Kae-in, apa membuatmu begitu peduli? Kamu begitu tak percaya dirikah?” tanya Jin-ho.
Chang-ryul tak tahan ia mau memukul Jin-ho lagi. Tapi Jin-ho berhasil menepisnya.
“Aku bukannya tidak bisa memukulmu” kata Jin-ho melepaskan tangan Chang-ryul. Tapi Chang-ryul tak mau menyerah, ia langsung memukul Jin-ho lagi. In-hae memarahi Chang-ryul dan berusaha menolong Jin-ho sementara Kae-in hanya diam bingung harus bertindak apa.
“Orang yang tidak berguna” kata Jin-ho pergi mau masuk rumah. Chang-ryul mencegah dan mau memukul Jin-ho, tapi kali ini Jin-ho berhasil menepis lagi sekaligus membalas pukulan Chang-ryul hingga membuat ia terjatuh ke jalanan. Kae-in refleks menghampiri Chang-ryul dan bertanya apa Chang-ryul baik-baik saja. Jin-ho tak suka melihat perhatian Kae-in pada Chang-ryul.
“Chang-ryul kamu tidak apa-apa kan?”.
muka Jin-ho langsung berubah kesal (cemburu gitu lho).
“Sebenarnya apa yang sudah aku lakukan?” tanya Jin-ho.
“Kamu ada tujuan apa tinggal di rumah ini? Kamu sudah lakukan apa pada Kae-in?” tanya Chang-ryul.
“Aku tak pernah lakukan apa-apa pada Kae-in” kata Jin-ho.
“Park Kae-in kenapa kamu masih bisa tinggal bersama orang ini? Kenapa tidak memberitahuku?” tanya Chang-ryul.
“Itu.. karena ada alasan itu..” kata Kae-in mencoba menjelaskan.
“Sebab bagaimana?” tanya Chang-ryul tak sabar.
Kae-in tak bisa menjawabnya.
“Kamu segera hilang dari sisi wanitaku, Mengerti!” kata Chang-ryul pada Jin-ho.
“Han Chang-ryul. kamu termasuk urutan berapa berani memerintahku! Aku di sisi Park Kae-in, apa membuatmu begitu peduli? Kamu begitu tak percaya dirikah?” tanya Jin-ho.
Chang-ryul tak tahan ia mau memukul Jin-ho lagi. Tapi Jin-ho berhasil menepisnya.
“Aku bukannya tidak bisa memukulmu” kata Jin-ho melepaskan tangan Chang-ryul. Tapi Chang-ryul tak mau menyerah, ia langsung memukul Jin-ho lagi. In-hae memarahi Chang-ryul dan berusaha menolong Jin-ho sementara Kae-in hanya diam bingung harus bertindak apa.
“Orang yang tidak berguna” kata Jin-ho pergi mau masuk rumah. Chang-ryul mencegah dan mau memukul Jin-ho, tapi kali ini Jin-ho berhasil menepis lagi sekaligus membalas pukulan Chang-ryul hingga membuat ia terjatuh ke jalanan. Kae-in refleks menghampiri Chang-ryul dan bertanya apa Chang-ryul baik-baik saja. Jin-ho tak suka melihat perhatian Kae-in pada Chang-ryul.
“Chang-ryul kamu tidak apa-apa kan?”.
muka Jin-ho langsung berubah kesal (cemburu gitu lho).
Credit : maldoeopsi
0 comments:
Post a Comment