Do you like this story?
Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge 2: Shui Shen Huo Re
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan.
Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu 1: Rahasia Yang Belum Terungkap
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tilly Zaman, Wisnu Adi Hartono
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Desember 1999 (edisi pertama)
Cerita Sebelumnya:
Ziwei akhirnya berhasil berdekatan dengan Qianlong. Awal yang baik. Semua orang senang mengetahuinya. Xiao Yanzi pada suatu kesempatan berhasil menampar Bibi Rong. Dia merasa berhasil membalas sakit hatinya. Xiao Yanzi kegirangan. Tanpa disadarinya, akibat dari perbuatan itu bisa berubah jadi bencana…
X
Siang itu, seluruh kaum wanita di Paviliun Shuofang menjahit. Atas permintaan Xiao Yanzi, mereka membuat sebuah bantal kecil dari kain satin.
Bantal itu adalah inovasi terbaru Xiao Yanzi. Nantinya diikat di lutut. Agar sewaktu berlutut, lutut tidak terasa sakit - karena terganjal oleh bantal empuk tadi.
Jinshuo sudah selesai membuat sepasang. Xiao Yanzi langsung mencobanya.
“Ha ha! Bagus sekali! Sama sekali tidak mengganggu langkahku!” Xiao Yanzi berkeliling ruangan lalu tiba-tiba jatuh berlutut.
“Wah, berlutut dengan bantalan ini nyaman sekali! Aku akan menamakannya si ‘Gampang Berlutut’! Cepatlah kalian semua menyelesaikan yang lainnya. Aku akan membagikannya pada semua orang yang ada di sini. Juga pada Pangeran Kelima, Erkang, Ertai…. Coba pikir, di istana ini kita selalu berlutut berkali-kali. Siapapun yang berlutut terus-terus seperti itu, lututnya pasti lebam-lebam.”
Ziwei tertawa. “Tak perlu membagikan pada mereka. Pangeran Kelima pasti akan tertawa setengah mati setelah menerimanya. Meski kau mengajarkan kami cara memasangnya, tak seorangpun mau mengenakannya.”
Xiao Yanzi protes. “Mengapa?”
Mingyue mengusulkan. “Daripada memakai bantal kecil seperti ini, mending Putri memakai celana berlapis saja kalau khawatir lecet ketika berlutut.”
Ziwei menyambung. “Itu tidak praktis. Musim panas begini memakai celana berlapis-lapis nanti gampang terserang hawa panas.”
Mereka tertawa-tawa. Pada saat keriuhan tawa itu, Xiao Luzi datang membawa pesan Qianlong.
“Putri, Yang Mulia minta Anda segera menemuinya di perpustakaan pribadi.”
Xiao Yanzi panik. “Celaka! Huang Ama pasti sedang mencari ‘Naskah Memindahkan Ember’ yang lain untuk kusalin. Kelihatannya aku harus menciptakan alat yang bernama si ‘Gampang Menulis…’”
Xiao Yanzi bersiap pergi. Sebelum keluar, dia berpesan pada Ziwei dan kawan-kawan. “Kalian jangan kemana-mana tanpa sepengetahuanku. Tunggu aku kembali…”
Mengikuti Xiao Luzi, Xiao Yanzi menuju perpustakaan pribadi Qianlong. Di sana Ertai dan Yongqi sudah ada. Keduanya memberi isyarat mata pada Xiao Yanzi. Selain kedua pemuda itu dan Qianlong, masih ada orang lain. Qi Xiaolan! (Weh, Halo Guru Qi! Ni hao?)
Xiao Yanzi melihat isyarat kedua pemuda lalu menatap Guru Qi yang bertampang serius. Dalam hati dia was-was. Jangan-jangan dia dipanggil karena melakukan kesalahan lagi….
Karena kepedean memakai si ‘Gampang Berlutut’, Xiao Yanzi langsung menjatuhkan dirinya di hadapan Qianlong.
“Semoga Huang Ama panjang umur dan bahagia!”
“Berdirilah!” kata Qianlong.
Xiao Yanzi bangkit. Dalam hati dia sangat senang karena si Gampang Berlutut benar-benar berguna. Dia menghadap Qi Xiaolan, dan kembali berlutut.
“Semoga Guru Qi bahagia!”
Qi Xiaolan kaget sekali. Buru-buru diulurkan tangan untuk menyuruh Xiao Yanzi berdiri.
“Putri, tak perlu memberi hormat seperti itu…”
Xiao Yanzi berdiri. Lalu berlutut lagi di hadapan Qianlong. Qianlong keheranan. Ada apa dengan anak ini?
“Berdiri! Berdiri!” kata Qianlong.
“Aku berlutut saja. Aku pakai si ‘Gampang Berlutut’, kok!”
Qianlong tidak mengerti. “Kalau kusuruh berdiri, berdiri saja. Buat apa berlutut terus?”
Xiao Yanzi terpaksa berdiri.
Qianlong mengambil setumpuk kertas di atas mejanya.
“Hari ini aku dan Guru Qi memeriksa pekerjaan sekolah kalian. Waktu membaca tulisan Yongqi dan Ertai aku sangat senang. Tapi begitu tiba giliran tulisanmu, kepalaku langsung pusing!”
Qianlong menyerahkan tumpukan kertas itu ke hadapan Xiao Yanzi.
“Puisi-puisi ini, kau yang buat?”
Xiao Yanzi mengambil tumpukan kertas dan melihat-lihat.
“Benar, Huang Ama. Aku yang membuatnya.”
“Coba kaubaca biar kudengar!”
“Sebaiknya tidak…”
“Kalau kuminta kau baca, berarti harus kau baca!”
Xiao Yanzi menunduk. Dibacanya salah satu kertas.
“Berjalan masuk ruangan. Di keempat sisi ada tembok. Kuangkat kepala menatap tikus. Kutundukkan kepala melihat kecoak…” Ini adalah plesetan dari puisi Li Bai: ‘Kerinduan Pada Kampung Halaman’.
Yongqi dan Ertai langsung cekikikan.
“Puisi macam apa ini?” usut Qianlong.
“Ini puisi yang realistis, Huang Ama! Di istana semuanya serba baik. Tapi rumah yang kutinggali dulu seperti inilah keadaannya. Li Bai bisa menulis ‘Kutengadahkan kepala menatap rembulan. Kutundukkan kepala teringat kampung halaman’. Dia pasti punya jendela di kamarnya hingga bisa melihat rembulan. Tapi di rumahku yang dulu itu, kamarnya tak berjendela. Malam hari tikus naik ke pilar dan mencicit berisik. Kecoak juga ada.”
“Yang beginian kau bilang realistis? Yang satu ini? Apa kau juga yang menulisnya?” Qianlong menyodorkan kertas lain.
Xiao Yanzi melihat kemudian mengangguk.
“Bacakan!” suruh Qianlong.
“Bolehkah aku tidak usah membacanya, Huang Ama?” Xiao Yanzi mencoba tawar-menawar.
“Tidak boleh!” Qianlong berkata tegas.
Xiao Yanzi memonyongkan mulut. Kemudian…, “Di depan pintu ada seekor anjing menggigit tulang. Lalu datang seekor lagi. Keduanya pun berkelahi mati-matian hingga kepalanya bocor…”
Yongqi dan Ertai kembali cekikikan. Bahkan Qi Xiaolan juga tak bisa mempertahankan mimik seriusnya lagi.
Sebenarnya Qianlong juga geli. Tapi ditahannya tawanya dan memasang tampang galak. “Yang macam begini pantas disebut puisi?”
“Guru Qi pernah bilang,” sahut Xiao Yanzi. “’Kau buat puisi tentang setan berkelahi pun tidak apa-apa! Asal kau mengerjakan dan menyerahkan PR-mu.’ Aku tidak pernah melihat setan berkelahi – kalau anjing berkelahi, pernah! Guru Qi juga bilang aku menggunakan kata ‘kedua anjing’ itu tepat sekali. Bukan begitu, Guru Qi?” Xiao Yanzi menatap Qi Xiaolan minta bantuan.
Iba melihat Xiao Yanzi, Qi Xiaolan akhirnya berkata pada Qianlong, “Yang Mulia, Tuan Putri telah mengalami banyak kemajuan. Dia rajin belajar. Padanan kata-katanya dalam membuat puisi juga pas. Pelan-pelan, pelajarannya pasti tambah maju.”
Yongqi menyambung, “Huang Ama, Xiao Yanzi kan tadinya hanya tahu sedikit huruf. Sekarang dia sudah bisa membuat puisi jenaka. Jangan terlalu keras padanya. Nanti dia takut belajar…”
Ertai ikut bicara, “Yang Mulia, Putri Huanzhu juga sudah bisa mengatur rimanya dalam membaca puisi. Meski baru sekarang mulai belajar, tapi prestasi seperti ini benar-benar hasil ketelatenan Guru Qi dan kegigihan Tuan Putri.”
“Hah?!” Qianlong melotot ke arah Xiao Yanzi. “Lihat berapa orang yang membantumu bicara?” Diambilnya lembar kertas lain. “Yang ini juga! Coba baca!”
Xiao Yanzi melihat ternyata kertas itu masih memuat tulisannya yang lain. Dia mendesah, tak berdaya, membaca, “Kemarin membuat puisi tak jadi sebaris pun. Hari ini membuat puisi cuma jadi dua baris. Setiap hari membuat puisi badan makin kurus. Begitu mengangkat pena teringat Ayah dan Ibu.”
“Apa ini puisi yang realistis juga?” tanya Qianlong.
“Ya...,” cicit Xiao Yanzi.
“Sangat susah membuat puisi ya?”
“Ya…”
“Masih berani bilang ya?” hardik Qianlong..
Xiao Yanzi langsung mencerocos, “Memang kenyataannya begitu, Huang Ama! Kalau aku tidak jujur, artinya aku telah membohongi Kaisar, bukan?
Qianlong menggebrak meja sambil melambai-lambaikan kertas berisi puisi tadi.
“Tapi sekarang saja kau jelas-jelas telah berbohong! Meski puisi ini telah meniru gaya pilihan katamu, tetap kelihatan bukan hasil karyamu. Cepat katakan siapa yang membantumu? Apa Yongqi? Atau Ertai? Akan kuhukum dia bersamamu!”
Yongqi dan Ertai langsung menggeleng.
Mata Xiao Yanzi berbinar. “Huang Ama kalau menghukumnya, disuruh menulis saja! Dia pasti tidak takut. Dia bisa menulis cepat dan tulisannya bagus sekali!”
“Siapa dia?” Qianlong bingung.
“Ziwei!’ jawab Xiao Yanzi.
“Ziwei?” Qianlong tercenung. Lagi-lagi gadis itu? Yang matanya bening dan berbinar-binar. Yang suaranya mersu dan lagunya mendayu-dayu. Seorang dayang yang pandai.
Qianlong tampak melamun beberapa saat. Ketika tersadar kemudian, dia berkata pada Qi Xiaolan, “Guru Qi, Xiao Yanzi ini harus diawasi lebih ketat lagi. Ada banyak orang yang membantunya mengerjakan tugas. Di sekolah ada Yongqi dan Ertai, di Paviliun Shuofang ada Ziwei.” (Wkwkwk, belum lagi kalau ujian di kelas pasti Xiao Yanzi sering nyontek ya?)
“Hamba mematuhi titah Yang Mulia!” jawab Qi Xiaolan. “Sebetulnya, Putri Huanzhu sangat pandai. Dia lincah dan bersemangat. Sifat seperti ini baik dimiliki seorang Putri. Kalau sampai diharuskan terkungkung belajar dalam kelas, dia akan tersiksa. Kelihatannya, Putri justru lebih bisa menyerap pelajaran dari kehidupan sehari-hari.”
Qianlong merenung. “Akhir-akhir ini aku ingin berjalan-jalan keluar istana dengan menyamar. Dengan begitu, aku bisa melihat langsung keadaan rakyat jelata. Qi Xiaolan, ikutlah denganku. Yongqi, Ertai – kalian dan Erkang nanti juga ikut.”
“Siap!” Yongqi dan Ertai berseru dengan sukacita.
“Aku juga ikut!” cerocos Xiao Yanzi.
“Kau anak perempuan – tidak boleh ikut!” kata Qianlong.
Xiao Yanzi merengek. “Huang Ama, Anda kan bepergian dengan menyamar. Aku juga bisa menyamar jadi pelayanmu… Aku sangat bosan tinggal di istana tiap hari. Aku bisa sakit karenanya… Kalau aku menemani Huang Ama, sepanjang perjalanan kita bisa mengobrol dan bergurau. Bukankah itu mengasyikkan?”
Qianlong berpikir-pikir. “Kalau begitu, ada syaratnya…”
“Apa?”
“Kau harus menghafal puisi ‘Himne Perjalanan Prajurit’ karya Li Chi.”
“’Himne Perjalanan Prajurit’ apa lagi itu?” gumam Xiao Yanzi. “Tapi aku tak peduli! Aku pasti akan menghafalnya! Lalu, apakah Huang Ama juga akan mengabulkan satu permohonanku?”
“Oh? Jadi kau juga mau barter persyaratan? Cepat katakan!”
“Kalau hanya satu pelayan wanita, pasti kurang. Biarkan Ziwei ikut juga, ya?”
Qianlong berpikir. Ziwei? Sepanjang perjalanan ada gadis cantik yang bisa diajak bermain catur dan bernyanyi. Pasti menyenangkan!
“Baiklah, Ziwei boleh ikut!”
Xiao Yanzi gembira sekali. Dia melompat dan berseru, “Semoga Huang Ama panjang umur hingga puluhan ribu tahun! Wan Shui!”
‘Gampang Berlutut’ yang terikat di lutut Xiao Yanzi merenggang dan terjatuh. Semua yang ada di ruangan heran melihat benda tersebut.
“Apa itu?” tanya Qianlong.
“Ini si ‘Gampang Berlutut’. Kenapa berubah jadi ‘Gampang Jatuh’? Wah, harus diperbaiki lagi…”
Qianlong melihat Xiao Yanzi dan benda itu bergantian. “’Si Gampang Berlutut’, eh?”
***
Tanpa sepengetahuan Xiao Yanzi, ketika menghadap Qianlong untuk mendiskusikan pekerjaan sekolahnya, sekelompok kasim datang menjemput Ziwei.
“Permaisuri memerintahkan Ziwei untuk menghadap di Istana Kunning!”
Semua orang di Paviliun Shuofang terkejut. Caixia menyahut, “Putri Huanzhu sedang tidak ada di tempat. Sebelum pergi dia berpesan agar kami tidak meninggalkan tempat ini.”
Kepala kasim yang berusia paruh baya itu berkata tanpa ekspresi. “Ini adalah perintah Permaisuri. Tidak boleh dibantah!”
Ziwei maju. “Baiklah, aku akan pergi.”
“Aku ikut!” seru Jinshuo.
“Permaisuri hanya memanggil Ziwei. Yang lainnya tidak usah ikut!”
Waswas, Ziwei mengikuti rombongan kasim itu ke istana Kunning. Setelah memasuki wilayah istana Kunning, Ziwei ternyata tidak dibawa ke aula. Dia digiring melewati jalanan berkelok-kelok, lalu sampai ke sebuah ruangan tertutup. Saiwei dan Saiguang mondar-mandir di depan pintu. Suasananya terasa aneh.
Pintu ruangan terbuka dan Ziwei didorong hingga terjatuh ke dalam situ. Setelahnya, pintu ruangan itu langsung tertutup rapat.
Sepertinya ini kamar rahasaia. Seluruh jendelanya tertutup rapat. Ruangan itu bercahaya redup. Ziwei menengadah. Tampaklah Permaisuri duduk di depannya. Bibi Rong dan tiga dayang senior lainnya berdiri di kedua sisi. Suasananya terasa menakutkan.
Ziwei langsung bersujud. “Hamba, Ziwei, menghadap Yang Mulia Permaisuri! Semoga Permaisuri panjang umur dan sejahtera selalu!”
Permaisuri menyahut dingin. “Angkat kepalamu!”
Ziwei mengangkat kepalanya dengan gemetar.
“Kabarnya kau bisa menyanyi, bermain kecapi dan catur, juga membuat puisi?”
“Hanya… sedikit-sedikit saja Yang Mulia…”
“Huh!” dengus Permaisuri. “Kulitmu telah menggodanya. Apakah tulangmu juga akan menelannya?”
Ziwei terperanjat. Menyadari sesuatu makna jahat tersirat dalam kalimat Permaisuri. “Yang Mulia! Sama sekali bukan demikian…”
Permaisuri memukul kursi dan berkata garang. “Katakan sejujurnya! Kenapa kau masuk istana? Apa karena Selir Ling menyuruhmu? Selama ini keluarga Fu yang melatihmu? Berapa banyak hal lagi yang kau pelajari untuk memikat Kaisar? Jawab!”
Ya Tuhan? Kesalahpahaman macam apa ini?
“Permaisuri jangan salah paham. Hamba dan Selir Ling tidak pernah saling kenal sebelumnya. Semua hal itu hamba pelajari dari ibu hamba – tidak ada hubungannya dengan keluarga Fu. Hamba berani bersumpah pada Langit!”
Permaisuri memperhatikan Ziwei dari atas hingga bawah. “Penampilanmu seperti rubah betina pemikat. Masih berani membela diri di hadapanku… Bibi Rong! Beri dia pelajaran!”
Bibi Rong mengajak ketiga temannya maju. Dia menendang perut Ziwei, sementara dayang lainnya memegangi dan menjambak rambut Ziwei.
Ziwei panik. Dia berteriak, “Permaisuri! Anda salah menuduh hamba! Hamba berani bersumpah! Hamba tidak diutus siapa pun! Hamba juga sama sekali tidak bermaksud memikat Kaisar!”
Permaisuri menggertakkan gigi. “Kalau kau tak mau mengaku, aku bisa melenyapkanmu hingga tak berbekas sama sekali!”
Bibi Rong menjatuhkan sebuah bungkusan kain merah. Dia membuka bungkusan itu. Isinya jarum-jarum emas yang berjejer dan tak terhitung jumlahnya. Bibi Rong mengambil tiga batang jarum lalu menusukkannya keras-keras ke lengan Ziwei. Tiga dayang senior lainnya juga mengambil jarum-jarum itu. Seorang tiga atau empat jarum, bersama-sama menusuknya ke bagian tubuh Ziwei yang lain.
Seketika itu juga Ziwei menjerit. Dia meronta. Tapi penderitaannya tidak langsung berhenti. Jarum-jarum itu dicabut dan ditusuk berkali-kali ke seluruh tubuhnya. Ziwei merasa amat kesakitan. Rasa sakitnya mulai dari lengan, bahu, punggung, kaki... rasanya seperti berada dalam lautan jarum.
“Permaisuri! Hamba mohon! Jangan perlakukan hamba begini! Jangan!” teriak Ziwei. Air matanya mengalir deras. “Hamba sama sekali tidak memikat Kaisar! Ya Tuhan, tolong aku! Tuhan tolong aku!!!”
Permaisuri menyeringai menyeramkan. “Di tempat ini tidak ada Tuhan! Kau boleh berteriak memanggilnya tapi Dia tidak akan datang menolongmu! Bibi Rong! Dongakkan kepalanya!”
Bibi Rong menarik rambut Ziwei hingga kepala gadis itu terangkat. Wajah Ziwei berantakan oleh rambut dan air mata. Bibi Rong berkata keji, “Sebaiknya kau cepat menjawab sejujur-jujurnya. Yang Mulia Permaisuri tak punya waktu bertele-tele denganmu! Kalau kau tak mau mengatakannya, kau akan kehilangan wajahmu yang cantik ini… begitu juga dengan jari-jari yang pandai memetik kecapi ini…”
Walau merasa sakit luar biasa, Ziwei mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berkata, “Permaisuri! Hamba hanyalah seorang dayang rendahan. Kematian hamba tentulah tak berarti. Tapi ketika hamba kemari, banyak saksi yang melihatnya. Putri Huanzhu pasti tidak akan tinggal diam jika melihat hamba hilang. Dengan sifatnya, sudah pasti dia akan membuat keributan. Anda adalah penguasa istana belakang. Apakah Permaisuri bersedia menanggung malu hanya karena nyawa seorang dayang rendahan seperti hamba?”
Permaisuri tertawa dingin. “Mulutmu memang luar biasa! Bibi Rong! Perlihatkan dia apa yang sepatutnya dia terima!”
Bibi Rong menendang pinggang Ziwei. Begitu Ziwei jatuh, tiga dayang senior lainnya mengeroyoknya. Mereka memelintir, memukul dan menusuk.
Ziwei berusaha melindungi dirinya. Tapi dia diserang dari berbagai arah. “Bibi Rong!” seru Ziwei. “Aku pernah membujuk Putri Huanzhu untuk mengampunimu! Haruskah sekarang kau sekejam ini padaku?”
Bibi Rong langsung teringat peristiwa tempo hari. Dia menjawab dengan penuh kebencian, “Kau kira aku tidak tahu kalau waktu itu, kau dan Putri Huanzhu sedang bersandiwara? Waktu itu kau hanya pura-pura baik hati!”
Dengan kukunya, Bibi Rong mencubit pinggang Ziwei amat keras. Permaisuri sekali lagi bertanya garang.
“Cepat beritahu aku! Kau, Putri Huanzhu, Pangeran Kelima, Selir Ling dan Keluarga Fu sedang merencanakan muslihat apa? Katakan!”
Ziwei tidak tahu harus menjawab apa. Para dayang kembali membenamkannya ke dalam lautan tusukan jarum. Keringat dan air mata Ziwei mengalir deras. Tubuhnya mengejang. Dia berteriak,
“Permaisuri! Kasihanilah hamba! Berikanlah kebaikan hati Anda pada orang yang tak punya ayah atau ibu! Lihatlah, Pangeran Kedua Belas sedang menyaksikan Anda dari luar jendela!”
Pangeran Kedua Belas adalah putra kandung Permaisuri. Permaisuri sangat terkejut. Refleks dia melihat ke jendela yang ditunjuk Ziwei. Tak ada siapa-siapa. Jendela itu masih tertutup rapat.
“Pembohong! Hari ini kalaupun aku membunuhmu, aku hanya membunuh seorang budak hina!”
“Pangeran Kedua Belas sedang menyaksikan kekejaman Anda! Dia berada di luar jendela!” seru Ziwei lagi.
Permaisuri kembali refleks berpaling. Jendela masih tertutup rapat seperti semula. Tak ada bayangan siapa pun. Dia murka.
“Bibi Rong! Hajar dia lebih keras lagi!”
Bibi Rong dan tiga dayang lainnya kembali menusuk Ziwei dengan jarum-jarum emas. Teriakan Ziwei semakin memilukan.
“Pangeran Kedua Belas! Lihatlah Permaisuri yang begitu kejam…. Yang tak berbelas kasihan….”
Permaisuri sangat gundah mendengar teriakan Ziwei. Dia jadi tak nyaman lagi berada di ruangan itu.
“Bibi Rong, urusan di sini selanjutnya kuserahkan padamu! Bantu aku untuk menginterogasinya!”
“Baik!” sahut Bibi Rong.
Begitu Permaisuri keluar, Bibi Rong langsung mencengkeram tangan Ziwei.
“Jadi ini tangan-tangan yang pandai bermain kecapi itu?” Bibi Rong menyeringai keji. “Akan kubuat dia lumpuh selamanya…” Diambilnya sebatang jarum lalu ditusuknya sela-sela kuku Ziwei.
“AAAAAHHHHH!” Ziwei menjerit keras sebelum akhirnya pandangannya menggelap dan jatuh pingsan.
***
Tak lama setelah Permaisuri tiba di aula istana Kunning, Xiao Yanzi datang bersama Yongqi, Erkang, Ertai dan Jinshuo.
Xiao Yanzi sangat marah ketika ditahunya Ziwei dijemput ke istana Kunning dan belum kembali. Tanpa tedeng aling-aling Xiao Yanzi berseru pada Permaisuri.
“Huang Erniang membawa Ziwei kemana? Apa yang Huang Erniang lakukan padanya? Lekas kembalikan dia padaku!”
Permaisuri tampak sangat tenang dan anggun. “Mengapa berteriak begitu di istanaku? Di Paviliun Shuofang, kau boleh saja tidak mematuhi aturan. Tapi di istana Kunning-ku, kau harus mempertahankan sopan-santunmu!”
Xiao Yanzi terpaksa memberi hormat dengan asal-asalan.
“Semoga Huang Erniang selalu sejahtera! Kabarnya Ziwei dipanggil Anda kemari. Sampai sekarang dia belum kembali ke Paviliun Shuofang! Apa dia sudah selesai disini? Kalau sudah, cepat kembalikan dia padaku!”
Permaisuri memasang mimik pura-pura. “Ziwei dayang baru itu ya?”
Xiao Yanzi merasa dipermainkan. “Ya!” ketusnya. “Ziwei dayang baru itu! Yang pernah Anda beri pelajaran itu!”
Yongqi khawatir Xiao Yanzi akan menjungkirbalikkan aula istana Kunning. Dia segera maju bicara pada Permaisuri.
“Huang Erniang, Putri Huanzhu sangat berjodoh dengan dayang Ziwei itu. seluruh keperluannya dilayani oleh dayang ini. Kalau Huang Erniang sudah selesai, tolong biarkan dayang itu kembali ke Paviliun Shuofang.”
Permaisuri menatap Yongqi dan kedua bersaudara Fu dengan curiga.
“Hanya seorang dayang rendahan – tapi bisa menggerakkan hati Pangeran Kelima dan Kedua Tuan Muda Fu, ya?”
Erkang yang sejak tadi sangat cemas, agak sulit mengendalikan diri. Dia ikut maju dan berkata, “Permaisuri, meski masalah dayang ini kelihatannya sepele, seluruh istana tahu Anda dan Putri Huanzhu tidak akur. Apa hanya karena dayang ini, Anda hendak membuat Tuan Putri marah dan sedih? Jika Permaisuri sudi melepaskan Ziwei, Putri Huanzhu tentunya amat berterima kasih.”
Permaisuri menggeram. “Siapa bilang dayang itu ada di sini?”
Jinshuo langsung menyahut, “Yang Mulia! Hamba dan seluruh pelayan di Paviliun Shuofang melihat sendiri rombongan kasim datang menjemput Ziwei! Mereka mengumumkan kalau Ziwei akan dibawa ke Istana Kunning atas perintah Permaisuri!”
Permaisuri murka dengan perkataan Jinshuo. “Lancang sekali kau! Berani bicara dengan nada tak sopan begitu! Cuihuan! Tampar mulutnya!”
Xiao Yanzi langsung melindungi Jinshuo. “Siapa yang berani memukul Jinshuo tak akan kuampuni! Huang Erniang, kalau Anda ingin melampiaskan kemarahan, utuslah orang untuk menjemputku! Jangan usik orang-orangku! Kalau Anda tidak mengembalikan Ziwei sekarang, aku akan melapor pada Huang Ama! aku tidak takut membesar-besarkan masalah ini! Aku memang terkenal tidak tahu tata krama! Apakah Anda juga mau sama terkenalnya dengna aku?”
Seperti Yongqi, Ertai juga khawatir Xiao Yanzi bakal mengamuk. Dia segera berlutut dan berkata hormat, “Yang Mulia! Sungguh tidak sepadan apabila Anda terlibat masalah dengan Putri Huanzhu hanya gara-gara masalah dayang yang sepele ini…”
Permaisuri akhirnya mendengus. “Aku memanggil Ziwei hanya menanyakan beberapa hal. Setelah itu dia langsung pergi. Ziwei hanya sebentar di sini. Barangkali sewaktu kalian di sini sekarang, Ziwei sudah kembali ke paviliun Shuofang. Atau, mungkin dia singgah ke tempat Selir Ling?”
Xiao Yanzi terpana. “Jadi Ziwei sudah pulang?”
“Benar. Dia sudah pergi sejak tadi.”
Xiao Yanzi dan kawan-kawan saling pandang sesaat. Tanpa berbasa-basi lagi, Xiao Yanzi langsung melesat keluar Istana Kunning.
Tapi Ziwei belum juga kembali di Paviliun Shuofang. Juga tak ada di istana Selir Ling. semua orang mencari hingga malam tiba, tapi bayangan Ziwei taak ditemukan sedikitpun. Akhirnya mereka menyimpulkan Ziwei pasti terperangkap di Istana Kunning.
Xiao Yanzi terduduk di kursi. Lemas. Dia menangis terisak-isak.
“Seharusnya aku mengajak Ziwei sewaktu bertemu Huang Ama! Tapi kenapa dia malah kutinggalkan di Paviliun Shuofang? Aku harus memberitahu Huang Ama untuk menyelesaikan masalah ini!”
Xiao Yanzi sudah bersiap akan keluar, tapi Yongqi menahannya. “Kau jangan sembarang bertindak! Hanya karena seorang dayang, Huang Ama tidak mungkin mendatangi Permaisuri untuk menanyakan keberadaannya! Kalau kau ingin melapor pada Huang Ama, kau harus punya cukup bukti kalau Ziwei benar-benar berada dalam istana Kunning!”
Erkang cemas sekali. “Aku hanya khawatir segalanya sudah terlanjur terlambat! Ziwei akan dibunuh untuk menghilangkan jejak!”
Mendengar kemungkinan itu, Xiao Yanzi langsung pucat pasi.
“Sebentar lagi akan gelap sekali!” kata Erkang. “Aku akan menyelinap masuk ke Istana Kunning!”
“Menyelinap?” tanya Yongqi.
“Ya! Aku tidak peduli apakah tindakanku ini masuk akal atau tidak! Yang jelas aku harus mengambil inisiatif. Aku akan coba mengintip ruangan per ruangan – untuk memastikan Ziwei berada di ruangan yang mana. Setelah itu baru kita minta pertolongan Kaisar dengan yakin. Kalau aku tertangkap, kalian terpaksa berusaha memohon Kaisar agar menyelamatkan aku dan Ziwei!”
“Kau jangan menyelinap seorang diri,” kata Ertai. Dia juga mencemaskan kakaknya. “Aku akan ikut denganmu!”
“Aku juga ikut!” sahut Yongqi. “Kalau sampai terjadi sesuatu, statusku sebagai Pangeran Kelima pasti berguna.”
Ketiganya setuju. Yongqi berpesan pada Xiao Yanzi. “Kau tetap di Paviliun Shuofang dan tunggu berita dari kami! Jangan sembarang bertindak! Kalau kau ceroboh, kau akan merepotkan kami karena harus mengurusmu juga!”
Xiao Yanzi mengangguk paham.
***
Malam sudah sangat pekat. Yongqi, Erkang dan Ertai berpakaian serba hitam dan menutup wajah mereka, menyelinap ke Istana Kunning.
Sesampainya di Istana Kunning, ketiganya berpencar. Mereka memeriksa ruangan demi ruangan lewat kusen pintu. Hingga pada sebuah ruangan di bagian belakang…Erkang melihat Ziwei. Sedang meringkuk, bergelung seperti udang di lantai. Darah Erkang serasa mendidih. Segera dia hendak menerobos ruangan itu.
Tiba-tiba Saiwei dan Saiguang muncul. Mereka menghadang Erkang dan sempat terlibat perkelahian dengan Erkang.
Yongqi dan Ertai segera ke tempat itu untuk membantu Erkang. Saiwei dan Saiguang merasa mengenali jurus ketiga penyusup itu. Ketika Saiwei berhasil dikunci Erkang, dia berbisik, “Siapa kalian? Kalian penyusup atau orang dalam?”
Erkang membalas, “Mari ikuti aku!”
Saiwei dan Saiguang digiring ke sebah sudut sepi. Di sana, Yongqi melepas penutup wajahnya. Saiwei dan Saiguang terkejut.
“Pangeran Kelima?!”
“Bagaimana keadaan Ziwei?” tanya Yongqi.
“Siang tadi dia terus-menerus disiksa Bibi Rong dan yang lainnya. Hamba rasa dia tak sangguo bertahan sampai besok.”
Erkang juga telah menanggalkan penutup wajahnya. “Di Istana Kunning ini rupanya terjadi hal-hal di luar peri kemanusiaan. Kalian berdua tentu tidak mau dicap bersekongkol. Aku akan menyelamatkan Ziwei. Anggap saja kalian berdua tak melihat kedatangan kami!”
“Tidak bisa! Jika Anda ingin menyelamatkan Ziwei, Anda harus membunuh kami terlebih dulu!”
Ertai langsung maju dan mengeluarkan pisaunya. “Kau kira kami tak tega membunuh kalian?”
Yongqi langsung menghalangi Ertai. Dia berkata pada Saiwei dan Saiguang. “Apa kalian hanya punya hati yang setia – tapi tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah?”
“Kalau kami hanya punya hati yang setia, sejak tadi kami tentu sudah teriak dan semua pengawal akan mengepung Anda sekalian di sini. Permaisuri menyerahkan Nona Ziwei untuk diawasi. Kalau dia sampai hilang, kami juga bisa mati! Anda sekalian telah tahu keberadaan Ziwei. Besok pagi datanglah lagi kemari untuk terang-terangan meminta Nona Ziwei. Kalaupun Anda ingin membuat keributan, kami berdua tak akan menghalangi!”
“Tapi selama menunggu hingga besok itu – apa yang akan terjadi pada Ziwei?”
“Nona Ziwei untuk sementara tidak dalam bahaya. Bibi Rong dan lainnya sudah keletihan. Sejak tadi sudah pergi. Kami menjamin keselamatannya!”
Yongqi menyoja. Tangan kirinya dikepalkan di depan dada dan ditangkup tangan kanan.
“Dua Pendekar Pemberani! Aku Yongqi dan Putri Huanzhu akan selalu mengingat kebaikan kalian!” Dia lalu berkata pada Erkang dan Ertai. “Mari kita pergi! Jangan terlalu lama di sini!”
Ketiganya pun lekas-lekas melompati tembok.
***
Hari masih pagi, Qianlong sudah dikejutkan kedatangan Xiao Yanzi di istananya. Xiao Yanzi berlutut di aula. Dia menangis. Matanya sudah bengkak seperti habis menangis semalaman.
“Xiao Yanzi! Kau kenapa? Ada masalah apa lagi?”
Air mata Xiao Yanzi mengalir deras seperti hujan. “Huang Ama! Kumohon selamatkanlah Ziwei! Kalau Ziwei sampai mati, aku juga tak mau hidup lagi! Aku akan berterus terang, sebenarnya Ziwei itu saudara angkatku! Kami telah bersumpah mengangkat saudara sehidup semati! Aku benar-benar tak bisa hidup tanpanya! Huang Ama, kumohon… Aku benar-benar sudah tak punya cara lain!”
Qianlong agak bingung. Tapi begitu mendengar nama Ziwei disebut, dia langsung khawatir.
“Pelan-pelan bicara. Sebenarnya ada apa dengan Ziwei?”
Xiao Yanzi menjawab sesungukan. “Kemarin, ketika Huang Ama memanggilku untuk mendiskusikan tugas sekolah, Ziwei dibawa ke Istana Kunning oleh Permaisuri. Sampai sekarang dia belum kembali. Dia dikurung dan disiksa oleh Permaisuri! Aku sangat khawatir apakah Ziwei masih hidup atau sudah mati…”
Firasat Qianlong tidak enak. “Dari mana kau tahu Ziwei dikurung Permaisuri?”
“Pokoknya aku tahu! Semalam, Pangeran Kelima dan Kedua bersaudara Fu menyelinap ke Istana Kunning. Mereka melihat Ziwei dikurung dan habis disiksa. Huang Ama! kumohon jangan tunda-tunda lagi! Tolong ingatlah saat Huang Ama bermain catur dan mengobrol dengan Ziwei! Hanya Huang Ama yang dapat menyelamatkannya!”
Qianlong segera bangkit berdiri. Diikuti Xiao Yanzi, Yongqi, Erkang, Ertai dan yang lainnya, Qianlong menerobos Istana Kunning.
“Permaisuri!” Qianlong berseru keras ketika sampai di aula.
Permaisuri bergegas keluar. Dia memberi hormat. “Salam sejahtera, Yang Mulia! Apa yang membuat Anda kemari pagi-pagi sekali?”
Tanpa basa-basi Qianlong menjawab, “Kemarin kau membawa Ziwei kemari? Kau apakan dia?”
Permaisuri membalas, “Yang Mulia, apa pantas hanya karena seorang dayang rendahan – sampai Anda harus datang sendiri kemari?”
“Benar! Sebab aku khawatir, kalau bukan aku sendiri yang datang, kau tak akan menyerahkannya kembali!”
“Ziwei – dayang itu, apakah belum kembali di Paviliun Shuofang? Kelakuannya sungguh tak sopan! Aku hanya memangilnya kemari untuk memberi sedikit nasihat. Atau mungkin dia sudah keluar istana dengan menyamar sebagai kasim kecil…?” Permaisuri menyindir Xiao Yanzi.
Xiao Yanzi tersinggung. Sejak kemarin dia sudah sangat marah. Xiao Yanzi kehilangan kontrol dan berteriak, “Huang Erniang! Ziwei itu tak bisa ilmu bela diri! Kalau bicara suaranya tidak bisa keras! Tapi kau masih juga mengarang kalau dia tidak sopan segala! Lekas kembalikan Ziwei padaku! Aku tak akan sungkan padamu! Aku tak peduli sekalipun kau seorang Permaisuri! Kalau kau tak menyerahkan Ziwei juga, aku akan bertarung habis-habisan denganmu!”
Xiao yanzi langsung maju dan menyergap Permaisuri. Keduanya jatuh dan Xiao Yanzi yang berada di atas tubuh Permaisuri sudah bersiap mencekiknya!
Saiwei dan Saiguang hendak maju untuk menyingkirkan Xiao Yanzi. Tapi pada saat bersamaan, Erkang dan Ertai manarik Xiao Yanzi. Permaisuri begitu kaget hingga wajahnya pucat. Para dayangnya buru-buru membantunya berdiri.
“Yang Mulia!” Permaisuri protes pada Qianlong. “Pagi-pagi begini Anda sudah membawa Putri yang tak tahu sipan-santun ini kemari untuk membuat keributan di sini! Apakah saya masih punya wibawa di sini?”
Qianlong juga sedang marah. Dia balas berteriak, “Statusmu yang terhormat sebagai Permaisuri ternyata hanya dipakai untuk mengurung dan menyoksa dayang! Sekarang aku minta orang itu kembali! Kalau kau tidak mau melepasnya, artinya kau tak menghormatiku lagi!”
“Yang Mulia punya bukti apa kalau Ziwei ada di istana ini?” Permaisuri bersikeras.
“Apa kau berani bersumpah kalau Ziwei benar-benar tidak berada di sini? Kalau ternyata kau berbohong, statusmu akan diturunkan sama seperti rakyat jelata!”
Permaisuri menatap Qianlong tak percaya. “Yang Mulia! Masa kedudukan Permaisuri lebih rendah daripada seorang dayang?”
Qianlong akhirnya mengcopy paste kata-kata Xiao Yanzi. “Dayang juga manusia! Punya ayah dan ibu!”
“Seorang Permaisuri harus seperti ibu bagi seluruh negeri! Di mana sifat kebajikan seorang ibu dalam dirimu? Kalau kau tak dapat bertindak sebagai ibu negara, tanggalkan saja statusmu sebagai Permaisuri itu!”
Permaisuri terhenyak. Lidahnya kelu. Qianlong segera memerintahkan Yongqi, Erkang dan Ertai, “Kalian bertiga! Lekas masuk ke dalam dan bebaskan Ziwei!”
***
Ketika ketiganya masuk ke ruang rahasia itu, Ziwei tengah lanjut disiksa oleh Bibi Rong dan tiga dayang senior lainnya.
Ertai marah sekali. “Nenek tua bangka yang patut mati! Pagi-pagi bukannya melakukan hal baik tapi malah menyiksa orang seperti ini!” Ertai membungkuk dan mengambil beberapa jarum emas – langsung ditusuknya ke tubuh Bibi Rong. “Sekarang rasakan bagaimana rasanya ditusuk seperti ini!”
Bibi Rong langsung menjerit seperti hendak disembelih. “Aduh! Permaisuri lekas tolong hamba! Permaisuri….!”
Melihat Ziwei yang meringkuk dan ketakutan, erkang sakit hati sekali. Dia langsung memeluk Ziwei dan menggendongnya.
“Ziwei! Maafkan aku! Aku terlambat datang menolongmu!”
Ziwei tak berkata apa-apa. Dia hanya menangis.
Bibi Rong berteriak-teriak kesetanan. Ertai yang emosi menarik pedangnya keluar. “Nenek tua jahat sepertimu sebaiknya dibunuh saja!”
Bibi Rong gemetar. Dia mati-matian bersujud.
“Ampuni nyawa hamba,Tuan Muda Fu Yang Mulia! Hamba menyadari kesalahan hamba!” ketika dilihatnya Ertai tak bergeming, suara Bibi Rong semakin melengking. “Pangeran Kelima! Ampuni hamba!”
Yongqi tadi telah menendang para dayang lainnya ke pinggir. Ketiganya bersujud dengan kepala seperti sedang menumbuk bawang. (‘Dung, dung, dung!’ Bukan ‘Tok, tok, tok!’)
“Ertai, jangan membunuhnya di sini. Yang penting Ziwei telah terselamatkan!”
Ertai masih belum puas. Kemarahannya harus terlampiaskan. Dia melayangkan pedangnya melibas jalinan sanggul Bibi Rong. Rambut Bibi Rong terurai. Bibi Rong yang takut dan kaget setengah mati, mengira kepalanya telah tertebas, jatuh pingsan. (Begh, Ertai ini sadis juga...)
Ertai menyeret Bibi Rong keluar.
Di aula Istana Kunning, Erkang telah muncul sambil menggendong Ziwei. Melihat kondisi Ziwei, Xiao Yanzi langsung memekik. “Ziwei! Gara-gara aku kau sampai begini! Aku benar-benar pantas mati….”
Ziwei minta diturunkan dari pelukan Erkang. Tampangnya sungguh mengenaskan. Wajah luka-luka dan lebam. Sekujur pakaiannya terdapat noda darah. Tak perlu banyak penjelasan. Melihat kondisi Ziwei, semua orang pasti tahu apa yang telah dialaminya.
Sambil terhuyung-huyung Ziwei dipapah Xiao Yanzi. Permaisuri ketakutan. Qianlong murka.
Ertai telah keluar membawa Bibi Rong. “Yang Mulia! Hamba telah menangkap algojo yang menyiksa Ziwei!”
Bibi Rong sudah siuman. Begitu melihat Qianlong, dia nyaris pingsan kembali. Dia bersujud sambil memohon-mohon, “Yang Mulia… Yang Mulia yang panjang umur hingga puluhan ribu tahun! Hamba tak berani… Hamba tak berani lagi…”
Seluruh amarah Qianlong kini tertumpah pada Bibi Rong. “Dasar makhluk rendahan! Menjengkelkan sekali melihatmu melakukan hal ini pada seorang perempuan lemah! Saiwei! Saiguang! Seret Bibi Rong keluar lalu pancung dia!”
Bibi Rong merasa rohnya melayang. “Permaisuri… Permaisuri….”
Hati Permaisuri sangat hancur. Tanpa memedulikan kedudukannya, dia berlutut di hadapan Qianlong.
“Yang Mulia! Mohon berbelas kasihan! Bibi Rong adalah ibu susu saya. Dia separuh ibu saya. Saya mengaku bersalah! Selama beberapa tahun ini, saya kesepian di istana Kunning. Untung ada Bibi Rong yang memperhatikan saya. Saya mohon demi hubungan kita sebagai suami-istri, lepaskanlah Bibi Rong!”
Sewaktu Permaisuri mengucapkan kata ‘kesepian di istana Kunning’, Qianlong merasa agak tergugah. “Kalau kau tahu mengasihani bawahanmu, mengapa kau tak bisa mengasihani bawahan Xiao Yanzi?”
“Saya mengakui kesalahan saya,” Permaisuri kembali memohon.
Akhirnya Qianlong berkata, “Bibi Rong! Untuk sementara kepalamu akan bertahan! Tapi kalau kau melakukan kesalahan serupa, tak diragukan lagi, kau pasti mati!”
Bibi Rong bersujud dalam-dalam. “Hamba berterima kasih atas kemurahan hati Kaisar! Hamba berterima kasih…”
“Hukuman mati memang tidak jadi. Tapi hukuman lain tetap harus dilaksanakan. Saiwei! Saiguang! Seret Bibi Rong keluar dan pukul dia dengan tongkat dua puluh kali!”
Bibi Rong pun dibawa keluar. Qianlong berpaling ke arah Ziwei. “Selain Bibi Rong, siapa lagi yang menyiksamu? Ayo katakana!”
Ziwei berkata lemah, “Sudah tak ada, Yang Mulia. Mohon Yang Mulia tak mengusut kejadian ini lagi. Permaisuri menghukum hamba sudah merupakan takdir… kalau Yang Mulia menyudahi semua persoalan ini sampai di sini, hamba akan sangat berterima kasih…”
Sampai sini pandangan Ziwei menggelap. Dia pingsan kembali.
Qianlong cemas dan sedih. “Cepat bawa dia kembali ke Paviliun Shuofang. Dan segera panggil tabib!”
***
Beberapa waktu kemudian, Ziwei telah siuman di Paviliun Shuofang. Qianlong menengoknya dan bertanya ini-itu.
“Kata Selir Ling, pada tubuhmu terdapat banyak bekas tusukan jarum. Kenapa demikian? Kenapa sampai Permaisuri menyiksamu seperti ini?”
Ziwei terharu atas perhatian Qianlong. “Hamba mohon Yang Mulia tidak mengusutna lagi. Kaisar sudah menghukum Bibi Rong. Itu sudah cukup.”
“Jangan begitu! Ini istanaku dan di kediamanku yang terhormat ini tidak pantas terjadi penyiksaan tak berperi kemanusiaan macam begitu!”
“Mulai sekarang aku telah mengumumkan agar tak seorang pun penghuni Paviliun Shuofang yang dapat ke Istana Kunning tanpa sepengetahuanku. Sekarang, Ziwei, baik-baiklah kau beristirahat. Meski kau tak mau bicara banyak, aku sudah sedikit memahami apa yang terjadi. Kau tak perlu khawatir. Setelah luka-lukamu sembuh, kita akan bermain catur lagi.”
Ziwei sangat terharu dengan perhatian dan tutur kata Qianlong yang lemah lembut. Dia tak henti-hentinya berkata, “Terima kasih, Kaisar.. terima kasih…”
***
Setelah beristirahat total beberapa hari, kesehatan Ziwei pun pulih.
Qianlong dan Selir Ling menghadiahkan banyak obat serta makanan berkhasiat. Tidak hanya kembali sehat, vitalitas Ziwei pun meningkat.
Hari itu sangat cerah. Angin bertiup sepoi-sepoi. Udara terasa sejuk. Para penghuni Paviliun Shuofang dipanggil menghadap Qianlong di taman bunga istana.
Para gadis berias dan mempercantik diri. Di taman bunga juga sudah ada Yongqi dan kedua bersaudara Fu. Qianlong menatap kelima muda-mudi itu dengan seksama. Xiao Yanzi dan Ziwei yang begitu cantik. Yongqi dan kedua bersaudara Fu yang begitu tampan. Dia kagum. Dalam hati dia teringat suatu ketika Selir Ling pernah mengatakan kalau Xiao Yanzi bukan gadis kecil lagi. Dia sangat akrab dengan kedua bersaudara Fu. Apakah dia sebaiknya dijodohkan dengna Erkang? Atau Ertai?
(Jodohkan dengan Ertai saja, Kaisar! Lalu kita lihat raksi Pangeran Kelima! He he!)
Qianlong berkata pada Xiao Yanzi, “Xiao Yanzi, apa kau sudah menghafal Himne Perjalanan Prajurit? Kalau sudah, berarti kau dan Ziwei sudah siap ikut pergi denganku keluar istana…”
Xiao Yanzi tersenyum girang. “Tentu saja aku sudah menghapalnya Huang Ama!”
***
Dear Temans,
Dengan ini, sinopsis buku kedua sudah berakhir.
Ini bagian yang agak menyeramkan, ya? Kehidupan di Istana Belakang China memang dulu ada seperti itu. Para wanita yang hidupnya terkurung di istana dan tak bisa kemana-mana memiliki alam pikiran yang tak terbatas liarnya. Sayangnya sebagian disalurkan ke hal-hal salah. Seperti metode penyiksaan yang dialami Ziwei.
Yang dialami Ziwei belum seberapa. Pada masa Dinasti Qing tercatat beberapa dayang atau selir dipaksa mati dengan diceburkan ke dalam sumur, dipaksa minum racun, hingga dibunuh diam-diam dan jenazahnya entah dikubur dimana.
Kata-kata Permaisuri: ‘Selama beberapa tahun ini, saya kesepian di istana Kunning,’ - merupakan curahan hati para wanita istana tak beruntung pada jaman dulu. Sebagian besar dari mereka tidak mendapat kasih sayang Kaisar cukup banyak sehingga merasa tersisih. (Itu sebabnya aku tak pernah setuju dengan namanya poligami). Selain itu, ruang gerak wanita masa itu masih sangat terbatas. Tujuan akhir mereka adalah kehidupan setelah menikah. Mereka tidak leluasa memilih dan menafkahi diri sendiri sehingga amat tergantung pada pria.
Maka, bersyukurlah bagi seluruh wanita yang terlahir di masa kini di negara-negara yang tepat! Karena kita sudah bisa menentukan jalan kita sendiri dan berkarya di banyak bidang.
Demikian bagian kesepuluh ini. Jangan lewatkan bagian kesebelas saat Pangeran Kelima menyatakan cintanya kepada Xiao Yanzi. Kira-kira akan seperti apa? Ha ha!
Sampai ketemu di sinopsis buku ketiga: Indahnya Kebenaran.
Segera!
Bersambung
0 comments:
Post a Comment