Recent Post


[Sinopsis Novel] Putri Huan Zhu/ Huan Zhu Ge Ge 1 Bagian 9

Do you want to share?

Do you like this story?



Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge 2: Shui Shen Huo Re
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan.

Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu 1: Rahasia Yang Belum Terungkap
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tilly Zaman, Wisnu Adi Hartono
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Desember 1999 (edisi pertama)

Cerita Sebelumnya:

Kedatangan Ziwei dan Jinshuo ke istana sebagagai dayang Xiao Yanzi mengusik Permaisuri. Dia mendatangi Paviliun Shuofang dan memukul kedua gadis itu. Tidak hanya itu, Permaisuri menyampaikan desas-desus tentang penghuni Paviliun Shuofang kepada Kaisar. Qianlong yang penasaran mangecek. Tapi malam itu di Paviliun Shuofang, yang didengarnya justru nyanyian sedih Ziwei.


IX

“Huang Ama?” Xiao Yanzi terpana. Tubuhnya yang semula siap menyerang tak disangka justru dengan mudahnya dikunci Qianlong.

“Kenapa malam-malam begini Huang Ama kemari?”

Begitu melihat Qianlong memasuki aula, Ziwei dan Jinshuo saling pandang. Keduanya tidak tahu mesti terkejut atau gembira.

“Huang Ama kenapa tidak memberi kabar dulu? Atau meminta Xiao Luzi mengumumkan kedatangan Huang Ama? Huang Ama berdiri di luar jendela seperti itu membuatku kaget setengah mati!” kata Xiao Yanzi.

Qianlong tertawa. “Mana Xiao Dengzi dan yang lainnya?”

“Semuanya sudah tidur. Apa Huang Ama mau mereka dipanggil kemari?”

“Tidak usah. Cukup kalian saja.”

Ziwei dan Jinshuo menyeduh teh. Ziwei lalu menyuguhkan teh itu kepada Qianlong.

“Yang Mulia, silakan diminum tehnya. Ini teh Piluochuan – teh khas dari dari Danau Barat di Hangzhou. Kabarnya, Anda paling menyukai teh jenis ini…”

Qianlong sedikit terkejut mendengar Ziwei mengetahui jenis teh kegemarannya. Diterimanya cawan teh itu lalu disesapnya.

“Teh yang wangi dan enak!” puji Qianlong. Dipandangnya Ziwei. “Kaukah yang memetik kecapi dan bernyanyi barusan?”

“Ya. Hambalah yang melakukannya.”

“Kau mahir memetik kecapi. Suaramu juga merdu,” puji Qianlong sekali lagi. Diperhatikannya Ziwei. Gadis yang cantik sekali! Meski tanpa riasan wajah! Terutama matanya. Berbinar-binar seperti bintang.

“Maukah kau memainkan sekali lagi lagu yang tadi kau bawakan?” tanya Qianlong.

“Daulat, Yang Mulia!”

Ziwei menekuk lutut. Perlahan-lahan duduk kembali di depan meja. Dia memetik senar kecapi dan kembali menyanyikan lagu tersebut.

Qianlong terbawa suasana. Lagu seperti ini, orang seperti ini… Rasanya dulu dia pernah mengalami kejadian seperti ini – tapi dimana?

Akhirnya Ziwei selesai dengan nyanyiannya. Qianlong seolah terhipnotis.

“Siapa yang mengajarimu bernyanyi dan bermain kecapi?”

“Ibuku…,” spontan Ziwei menjawab. Lalu tiba-tiba dia ingat sedang berbicara dengan Kaisar. “Ibu hamba…, dia yang mengajari hamba….”

Qianlong mendesah. “Pantas saja Xiao Yanzi tidak setuju dengna pengucapan ‘hamba’ ini. Terlalu berbelit-belit. Sekarang tinggal kita berempat, jadi kau tak perlu berbasa-basi.”

“Baik, Yang Mulia!”

“Ibumu dimana sekarang? Mengapa dia mengirimmu kemari sebagai dayang?”

Ziwei menjawab sendu, “Ibuku… sudah lama meninggal, Yang Mulia.”

“Oh! Jadi siapa yang mengarang lirik lagu barusan?”

“Ibuku yang mengarangnya.”

“Wah, rupanya ibumu bisa mengubah lagu dan menulis lirik. Tapi kurasa, lirik lagu tadi agak tragis.”

Melihat Qianlong yang tak lagi berbasa-basi, Ziwei memberanikan diri berkata, “Ibuku menulis lagu itu ketika sedang merindukan ayah.”

“Oh? Memangnya ada apa dengan ayahmu?” Qianlong semakin ingin tahu.

Xiao Yanzi dan Jinshuo berdebar-debar. Keduanya mengerling ke Ziwei dan Qianlong bergantian. Sang Ayah sudah begitu dekat di depan mata… tapi tak mengenali putrinya sendiri….

“Ayahku…,” suara Ziwei bergetar. “Demi menggapai cita-citanya, dulu sekali pergi meninggalkan ibuku. Hingga sekarang tak ada kabarnya.”

Qianlong terpana sesaat. Mau tidak mau dia merasa iba.

“Rupanya kau anak malang yang patut dikasihani. Ayahmu pria yang beruntung karena memiliki istri seperti ibumu. Jadi sampai sekarang, ayahmu belum pernah kembali pada kalian?”

“Belum,” Ziwei menjawab. “Hingga ajalnya, ibu tidak pernah lagi bertemu ayah.”

Qianlong kembali mendesah. “Sayang sekali! Pantas dulu ada puisi mengatakan, ‘Hanya bertemu sesaat dalam kebahagiaan. Sisanya dipenuhi penyesalan seorang istri menanti sang suami.’”

“Ibuku… dia pernah mengatakan, ‘menanti seumur hidup, membenci, merindukan dan marah seumur hidup…’ Tapi dia tetap berterima kasih. Karena dia telah diberikan seseorang yang patut dinanti, patut dibenci serta dirindukan…”

Qialong benar-benar tersentuh. “Cinta ibumu benar-benar tanpa penyesalan. Sayang ayahmu telah menyia-nyiakan wanita yang begitu baik…” (seandainya Kaisar tahu pria yang dikatainya itu adalah dirinya sendiri….)

Xiao Yanzi yang sejak tadi diam tak dapat menahan diri lagi.

“Huang Ama, menurutku, wanita yang menanti seperti itu terlalu bodoh! Tidak pantas mendapat simpati. Aku mendengar cerita ini langsung marah! Sudah menunggu seumur hidup tapi masih berterima kasih? Kaum wanita macam begini terlalu menyedihkan dan tak berdaya. Bisanya cuma menunggu – tidak bisa meraih sendiri kebahagiaannya!”
(Well, aku sebenarnya setuju dengan kata-kata Xiao Yanzi ini).

Qianlong memandang Xiao Yanzi sekilas. “Aku mengerti. Kau jadi teringat pada ibumu, kan? Kisahmu dan Ziwei ini, mirip kan?”

Xiao Yanzi terkejut. Ziwei juga. Qianlong tidak memperhatikan. Dia sibuk dengan pikirannnya sendiri. Pandangannya tampak menerawang.

“Terkadang, pria seperti aku juga menghadapi kendala. Hati kami amat luas sehingga tak dapat dikekang. Karenanya sulit untuk setia pada satu cinta.”

“Seorang pria terkadang menghadapi kontradiksi saat harus memilih antara pekerjaannya dan wanita cantik. Hal-hal yang mereka inginkan terlalu banyak. Terkadang, hal-hal itu membuat pria mengorbankan kebahagiaan terdekatnya. Mungkin kalian tak akan paham hal ini…”

Qianlong kembali menatap Ziwei dan Xiao Yanzi. “Sungguh tidak mudah membicarakan masalah hati seperti ini. Sudah lama aku tak membicarakannya dengan orang lain. Tapi ternyata justru membicarakannya dengan kalian.”

Qianlong memandang Ziwei lekat-lekat. “Dengan bakat dan kemampuan yang kau miliki, sayang sekali kau cuma menjadi seorang dayang istana, Ziwei!”

Xiao Yanzi langsung mencerocos. “Kalau begitu, Huang Ama angkatlah dia sebagai Putri juga!”

Ziwei terperanjat. Qianlong membelalakkan mata. “Kau kira mengangkat Putri itu gampang ya?”

Ziwei khawatir ketidak sabaran Xiao Yanzi bisa merusak suasana. Dia buru-buru berkata, “Yang Mulia, Putri hanya asal bicara. Ziwei sudah puas bisa menjadi dayang di istana ini.” (lain di mulut, lain di hati kan, Ziwei?)

Xiao Yanzi masih kurang puas. “Bukankah Konfucius pernah berkata: ‘Orang yang tidak menyayangi orang lain – sama artinya tidak menyayangi dirinya sendiri’? Huang Ama begitu berkuasa. Kenapa tidak menerima seluruh gadis piatu masuk istana dan menjadikan mereka Putri sekalian?”

Qianlong terkejut mendengar penuturan Xiao Yanzi. Dia merasa senang.

“Ternyata sekarang kau bisa menjelaskan arti kalimat itu dengan baik, ya?”

“Aku kan sudah menuliskannya seratus kali!” (masih ingat kan waktu Xiao Yanzi dihukum menulis 100x Esai Keselarasan Upacara?)

“Wah, kalau itu bermanfaat, kelak aku akan menyuruhmu menulis esai lainnya lagi!”

“Oh, tidak!” Xiao Yanzi berseru. ”Huang Ama, ampunilah aku!”

Qianlong, Ziwei dan Jinshuo tertawa. Suasana jadi hangat dan menyenangkan.

***

Malam itu, Qianlong akhirnya tinggal di Paviliun Shuofang.

Dia menikmati camilan malam yang disiapkan Ziwei dan Jinshuo. Usai makan camilan, Qianlong berkata pada Ziwei.

“Kata Xiao Yanzi, selain memetik kecapi, bernyanyi, membaca dan menulis, kau juga bisa bermain catur?”

Muka Ziwei memerah. “Putri memang seperti itu, Yang Mulia… Dia suka membesar-besarkan sesuatu.”

Xiao Yanzi langsung membela diri. “Aku tidak membesar-besarkan! Haung Ama sudah pernah melihat tulisan Ziwei, kan? Juga sudah pernah mendengarnya bernyanyi dan bermain kecapi.”

“Tapi aku belum pernah mencoba kemahirannya dalam permainan catur…”

Akhirnya, Qianlong dan Ziwei pun bermain xiangqi – sejenis catur China dengan bidak bulat hitam dan putih. Keduanya begitu asyik bermain. Hingga sewaktu Xiao Luzi, kasim pribadi Kaisar melapor waktu sudah menunjukkan pukul tiga subuh, Qianlong masih enggan meninggalkan Paviliun Shuofang.

Qianlong dan Ziwei bermain catur hingga empat kali. Pada permainan pertama dan kedua, Qianlong merasa Ziwei sengaja mengalah padanya. Baru setelah Qianlong memintanya agar jangan sungkan, Ziwei akhirnya memenangkan bagian terakhir permainan itu.

“Bagus, bagus!” Qianlong tertawa senang. “Akhirnya aku bertemu dengan orang yang tak sungkan melawanku! Dan dia memenangkan permainan itu!”

“Bermain catur dengan teknik menegangkan seperti tadi, bersama kawan sehati, sambil minum arak – sungguh hal yang paling menyenangkan dalam hidup! Ziwei, lain hari kau harus bermain catur lagi denganku!”

Ziwei tersanjung. Pada saat bersamaan, fajar telah menyingsing. Xiao Dengzi, Xiao Cuozi, Mingyue dan Caixia memasuki aula dan terkejut melihat Qianlong.

“Semoga Yang Mulia senantiasa panjang umur!” mereka memberi salam.

Qianlong tersentak. Baru sadar kalau sudah semalaman berada di Paviliun Shuofang.

Ziwei segera berdiri dan mengatur agar Jinshuo menyiapkan air hangat untuk membasuh wajah. Xiao Dengzi dan Xiao Cuozi ke istana Kaisar mengambil jubah kebesaran untuk upacara pagi.

Tapi rupanya Selir Ling sudah duluan datang ke Paviliun Shuofang membawa pakaian itu.

“Yang Mulia, mengapa tidak bilang kalau mau ke Paviliun Shuofang? Hampir saja para pelayan mengobrak-abrik seisi istana untuk mencari Paduka.”

Qianlong menyahut, “Akulah yang ceroboh. Keasyikan main catur dengan Ziwei hingga lupa waktu. Rasanya sebentar sekali…, tahu-tahu sudah pagi…”

Ziwei mengangsurkan saputangan untuk membasuh wajah Qianlong. Dia juga memberikan cangkir berisi air untuk berkumur. Lalu, bersama Selir Ling dan Xiao Yanzi, mereka membantu Qianlong bertukar pakaian.

Sesudah berpakaian kebesaran yang rapi, Qianlong siap berangkat. Xiao Yanzi, Ziwei dan seluruh penghuni Paviliun Shuofang mengantarnya sampai ke gerbang. Qianlong keluar Paviliun Shuofang diikuti Selir Ling. Baru beberapa langkah, dia berhenti sebentar dan berbalik menatap Ziwei.

Setelah itu, dia melanjutkan perjalanannya ke tempat upacara pagi.

***

Penghubung antara Ziwei dan Qianlong akhirnya terbuka. Bahkan, awal hubungan mereka begitu manis.

Xiao Yanzi gembira sekali. Hari itu dia hendak mengunjungi kediaman Pangeran Kelima. Setelah berpikir-pikir, Xiao Yanzi memutuskan untuk pergi ke Istana Qiangyang dengan ‘segenap kemewahan’.

Xiao Yanzi membawa seluruh dayangnya berjalan menuju istana Qingyang. Dia berdandan cantik sekali. Memakai gaun putri berwarna merah menyala, anting serta kalung mutiara menghiasi penampilannya. Topi pianfangnya terangkat tinggi-tinggi. Dengan sepatu bersolnya, Xiao Yanzi melangkah anggun diiringi dayang-dayangnya.

Semua dayangnya, termasuk Ziwei, juga berdandan apik. Penampilan kelima gadis itu begitu memikat.

Xiao Yanzi terang-terangan memperlihatkan ke semua orang kalau sedang menuju Istana Qingyang. Meski demikian, sepanjang perjalanan ada seorang kasim yang diam-diam membuntuti mereka.

Xiao Yanzi pura-pura tidak tahu. Pada sebuah kelokan dekat Istana Qingyang dia berkata pada Ziwei, sengaja dengan suara keras.

“Ziwei, sekarang aku sedang mengajakmu menuju Istana Qingyang. Itu kediaman Pangeran Kelima. Di antara semua saudara-saudaraku, Pangeran Kelima-lah yang paling baik denganku. Anehnya, tiap kali aku ke sana, selalu saja ada orang yang membuntutiku. Contohnya, di seberang sana….”

Tiba-tiba Xiao Yanzi melesat dan menarik kasim itu keluar dari gunung batu buatan. Kasim bertubuh kecil itu terjatuh. Dia segera berlutut ketakutan.

“Siapa yang menyuruhmu mengikutiku?” bentak Xiao Yanzi.

“Tuan Putri, ampuni hamba… Tidak ada seorang pun yang menyuruh hamba mengikuti Anda. Hamba hanya kebetulan lewat. Sebenarnya tujuan hamba ke Istana Kunning mengurus sesuatu…”

Istana Kunning adalah kediaman Permaisuri.

“Oh? Begitukah?” Xiao Yanzi tak percaya. Ditendangnya kasim itu hingga terlentang. Kakinya pun mendarat di dada si kasim.

“Kau mau mengaku atau tidak?” Xiao Yanzi memperkuat injakan kakinya.

Ziwei segera menghampiri Xiao Yanzi. “Putri, jangan marah. Kakimu sangat bertenaga. Jangan bahayakan nyawa orang lain.”

“Aku tidak peduli! Kalau dia tidak mau mengaku, akan kuinjak dia sampai mati!” Xiao Yanzi berkata sambil memasang tampang sadisnya.

Kasim itu gemetar ketakutan. Dia memohon-mohon, “Tuan Putri… Anda salah menuduh hamba… Hamba mohon, angkatlah kaki Anda yang terhormat ini…”

Xiao Yanzi mendengus. “Kakiku yang terhormat ini tidak bisa diangkat! Ayo lekas mengaku! Atau sebentar lagi kau akan muntah darah….”

Xiao Yanzi menginjak kasim itu tanpa ampun. Kasim itu akhirnya berteriak. “Bibi Rong! Bibi Rong-lah yang menyuruh hamba!”

Rupanya, Bibi Rong juga mengikuti rombongan Xiao Yanzi – tak jauh dari tempat si kasim ditemukan. Melihat keadaan berubah tidak menguntungkan, Bibi Rong segera hendak mengambil langkah seribu. Tapi sebuah sosok menghadangnya.

“Bibi Rong! Tetap di situ!” perintah Yongqi.

Bibi Rong terkejut. Dia terpaksa diam di tempat.

Yongqi menggiring Bibi Rong ke hadapan Xiao Yanzi. Dengan berwibawa dia menegur,

“Bibi Rong, siapa yang lebih tinggi kedudukannya? Kau atau Tuan Putri?”

Bibi Rong menjawab angkuh, “Tentu saja Putri kedudukannya lebih tinggi dariku.”

Xiao Yanzi seperti mendapat kesempatan. Dia menyela, “Keterlaluan! Berani-beraninya kau tak menyebut dirimu ‘hamba’! Jinshuo! Lekas beri dia pelajaran!”

“Ha?” Jinshuo tersentak.

“Kau tak tahu caranya ya?” Xiao Yanzi garang. “Caranya persis seperti yang dia lakukan padamu dulu! Beri dia beberapa kali tamparan!”

Jinshuo tergagap. “Putri…, hamba tidak bisa…”

Xiao Yanzi berpaling. “Kalau begitu, Mingyue! Kau yang memukul Bibi Rong!”

Mingyue tersentak. “Hamba… tidak berani…”

Xiao Yanzi menghentakkan kaki. Kesal dengan kealiman dayang-dayangnya. (Bagaimanapun, Bibi Rong itu dayang senior – Tuan Putri!). “Kalian tidak berani memberinya pelajaran? Terpaksa… aku sendiri yang harus turun tangan menghajarnya!”

Xiao Yanzi langsung maju dan menampar Bibi Rong. “Plak!” (Pokoknya soal balas dendam, Xiao Yanzi jagonya deh)

Bibi Rong marah sekali. Sebagai dayang senior dan tangan kanan Permaisuri, dia jelas terhina. Namun menghadapi seorang Pangeran Kelima dan Putri Huanzhu membuatnya tak bisa berkutik. Dia terpaksa menelan kemarahannya dan tak berani membalas.

“Tamparan tadi adalah balasan ketika kau memukulku dulu!” seru Xiao Yanzi. “Aku belum menambahkan ‘bunganya’. Sekarang aku juga akan membalaskan hutang tamparanmu pada Ziwei dan Jinshuo!”

Ketika Xiao Yanzi bersiap-siap mengangkat tangan lagi, entah dari arah mana, Saiwei mendadak muncul dan menghalanginya.

“Tuan Putri, mohon berbelas kasihan! Bibi Rong dayang kepercayaan Permaisuri. Dia juga sudah tua…”

“Saiwei!” seru Xiao Yanzi. “Aku selalu menganggapmu sebagai ksatria. Tapi mengapa kau selalu melawanku?”

“Hamba tidak berani melawan Putri,” jawab Saiwei. “Hanya saja, kami semua adalah bawahan. Seorang bawahan harus menjalankan perintah majikan. Seorang bawahan yang tidak setia pada majikannya bukanlah ksatria!”

Xiao Yanzi tercengang. “Hari ini aku harus menghajar Bibi Rong! Kalau kau bersikeras, silakan kalahkan aku dulu!”

Xiao Yanzi mundur beberapa langkah dan siap-siap menantang Saiwei.

Yongqi menegur Saiwei. “Sedikit saja kau menyentuh Putri, kau telah melakukan kesalahan besar! Sebelum bertindak, pikirkan baik-baik, masih ada berapa kepala di atas lehermu?”

Saiwei tidak berani meladeni Xiao Yanzi. Dia mundur setindak.

Bibi Rong mulai menyadari kalau keadaannya berubah jadi sangat serius. Para dayang serta kasim mulai berkerumun menyaksikan keributan itu. Khawatir lebih dipermalukan lagi, Bibi Rong terpaksa bersujud.

“Tuan Putri…, hamba menyadari kesalahan hamba. Hamba tidak berani melawan lagi…”

Ziwei melihat Bibi Rong yang sudah tua tampak malu. Tidak tega, Ziwei membujuk Xiao Yanzi.

“Putri, pejabat yang baik tak akan mempermasalahkan kesalahan orang kecil. Ampunilah Bibi Rong! Bibi Rong hanya seorang bawahan yang menaati perintah. Dia memiliki keterbatasan. Bukankah baik jika memperlakukan orang lain seperti saudara? Menyelamatkan orang lain itu sama seperti menyelamatkan diri sendiri.”

Xiao Yanzi heran sekali. “Kau malah membelanya? Apa kau lupa bagaimana dia memperlakukanmu dengan keji? Sekaranglah saat yang tepat untuk balas dendam!”

Ziwei menggeleng. “Putri, hamba tidak menginginkan balas dendam!”

Xiao Yanzi sekali lagi menghentakkan kakinya. “Kau memang baik sekali! Terlalu bersimpati!” Xiao Yanzi melihat kea rah Yongqi. “Pangeran Kelima, bagaimana menurutmu?”

Yongqi berdiri di hadapan Bibi Rong dan berkata serius. “Bibi Rong, hari ini kau diampuni – bukan karena dihalangi Saiwei. Aku dan Putri Huanzhu melepasmu karena ingin menyelamatkan harga dirimu. Mengingat kau sudah puluhan tahun berada di istana. Lain kali, pertimbangkan dulu baik-baik, apakah kau cukup sepadan melawanku atau Tuan Putri?”

Bibi Rong menggertakkan rahang. Dia bersujud. “Terima kasih karena Pangeran Kelima dan Putri Huanzhu berbaik hati! Hamba mengetahui kesalahan hamba…”

Xiao Yanzi menyambung penuh wibawa, “Bibi Rong! Kau jangan kira, lolos kali ini tapi tidak mendapat ganjaran! Kau begitu suka mengendap-endap… Suatu hari nanti kau pasti bertemu setan!” (Wkwkwkwk. Setuju! Setuju! Yang suka main sembunyi-sembunyi di belakang itu suatu hari akan ketemu Kuntilanak!)

“Sekarang, kuberitahu kau sejelas-jelasnya! Aku mau pergi ke kediaman Pangeran Kelima. Duduk-duduk di sana dan berbincang-bincang. Pulang dan beritahu majikanmu! Kalau kebetulan Permaisuri sedang tidak ada kerjaan, dia boleh bergabung bersama kami! Tidak perlu diam-diam membuntutiku! Aku paling tidak suka kelakuan penuh rahasia macam tadi!”

Setelah itu, Xiao Yanzi berlalu bersama Yongqi, Ziwei dan rombongannya. Meninggalkan Bibi Rong yang masih berlutut seperti ayam jago yang baru kalah bertanding.

Sesampainya di istana Qingyang, rupanya Erkang dan Ertai telah berada di sana. Xiao Yanzi yang sedang senang karena berhasil menghajar Bibi Rong berkoar-koar ketika masuk.

“Wah! Menyenangkan! Aku baru saja menghajar Bibi Rong! Bisa dibilang separuh kemarahanku padanya telah terlampiaskan. Ha ha!”

Ertai kebingungan. “Apa maksudmu dengan melampiaskan separuh kemarahan?”

“Aku tadi hanya memukulnya sekali… Seharusnya dia kupukul sampai mukanya bonyok! Seperti yang dilakukannya pada Ziwei dan Jinshuo dulu. Itu sebabnya kubilang aku baru membalas separuh kemarahan… Ziwei dan Pangeran Kelima terlalu baik sih! Mereka memintaku mengampuni Bibi Rong. Terpaksa, aku berbelas kasihan…”

Erkang terperanjat. Dimarahinya Xiao Yanzi. “Kenapa kau sampai bertidak se tgegabah itu? Bisa-bisa nanti timbul bencana besar!”

Xiao Yanzi membelalak. “Maksudmu?”

Yongqi menengahi. “Tadi itu tak bisa dicegah. Bagaimanapun, Bibi Rong perlu diperingati keras! Meski berstatus dayang senior, dia tidak bisa semaunya kepada kami – Pangeran dan Putri!”

Erkang cemas sekali. Dia tetap tidak tenang meski mendengar penjelasan Yongqi. Dilihatnya Ziwei. Sejak kejadian Permaisuri memukul Ziwei di Paviliun Shuofang tempo hari, baru sekarang Erkang bertemu Ziwei lagi. Mendadak kecemasannya hilang.

Xiao Yanzi memahami situasi. Jadi, disorongnya Ziwei ke dekat Erkang. “Kalian berdua cepatlah bicara! Kami akan menjaga pintu. Begitu mendengar pertanda batuk-batuk dari kami, itu artinya ada yang datang…”

Wajah Ziwei memerah. “Tidak perlu begitu. Kita semua di sini saja – mengobrol bersama.”

Xiao Yanzi memiringkan kepalanya menatap Ziwei. “Kalau ada pembicaraan mesra di antara kalian, apa kalian tidak keberatan kami mendengar?”

Muka Ziwei semakin merah padam. “Siapa bilang kami punya pembicaraan mesra?”

Xiao Yanzi memandangi Ziwei dan Erkang bergantian. “Oh, jadi kalian tak punya pembicaraan mesra ya? Baiklah, kalau begitu kami tak jadi keluar. Kami di sini saja!”

Erkang membungkukkan badan. Sambil menyeringai memohon, “Putri Huanzhu, mohon berilah hamba dan Ziwei waktu berdua…”

Xiao Yanzi tertawa cekikikan. Ertai menariknya keluar bersama Yongqi. “Ayo, jangan buang-buang waktu mereka! Lekas menyingkir! Menyingkir!”

Ketiganya pun keluar. Menyisakan Ziwei dan Erkang berdua.

***

Keesokan harinya, Erkang pergi ke rumah kumuh.

Pada saat menemui Ziwei di istana Qingyang kemarin, selain membicarakan soal pertemuan gadis itu dengan Qianlong, Ziwei juga meminta Erkang menemui Liu Qing dan Liu Hong.

“Sejak kalian menemukanku di gubuk jerami itu dan masuk istana, aku tak sempat menemui kedua bersaudara Liu lagi. Aku tak sempat mengucapkan terima kasih atau kata perpisahan. Bisakah kau pergi menengok mereka dan menyampaikan titipanku?”

Maka, disanalah Erkang. Sedang berhadapan dengan Liu Qing. Erkang mengeluarkan kantong berisi uang perak bernilai cukup besar. Diberikannya uang itu pada Liu Qing.

Liu Qing menerima kantong berisi perak itu dengan ragu-ragu. “Apakah sampai sekarang kau tidak akan memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ziwei dan Xiao Yanzi?”

Erkang menggeleng. “Tidak! Aku masih tak dapat memberi tahu kalian.”

Liu Qing tersenyum. Dengan tenang dia berkata, “Aku tahu! Mereka itu Putri asli dan Putri palsu. Yang palsu masuk istana, yang asli masuk ke kediamanmu. Sekarang kau mengirimkan yang asli masuk istana agar Kaisar mengakuinya juga.”

Erkang memucat. “Siapa yang mengatakan hal ini padamu?”

Liu Qing mendesah. “Aku sudah mengenal Xiao Yanzi cukup lama. Sejak Ziwei datang kemari ingin mencari ayahnya, setiap hari dia berkasak-kusuk dengan Xiao Yanzi. Keduanya pergi diam-diam ke arena berburu kerajaan. Xiao Yanzi menjadi Putri. Lalu Ziwei yang mengejar arak-arakan Kaisar… Aku bukan orang bodoh! Masa sampai sekarang aku tidak memahaminya juga?”

Erkang mengangguk. Dia berkata, “Ziwei pernah mengatakan, kau seorang yang jujur dan adil. Jika ada orang yang bisa diandalkan dalam mengatasi kesulitan, kau dan Liu Hong-lah orangnya. Xiao Yanzi juga menginginkan kalian masuk istana menjadi pengawal. Mereka begitu mengagumi kalian. Kurasa, penilaian mereka memang tidak salah.”

Liu Qing jadi berbinar-binar. “Benarkah mereka berkata seperti itu?”

“Benar,” jawab Erkang. “Sekarang, aku berharap kau dapat menjaga rahasia tentang Putri asli dan palsu ini baik-baik.”

“Memangnya kau menganggapku dan Liu Hong orang yang suka bergosip?” Liu Qing agak tersinggung.

“Tentu saja tidak! Aku justru sangat berterima kasih padamu. Selama ini kau telah membantu Ziwei.”

Liu Qing tertawa. “Baiklah! Beritahu saja Ziwei dan Xiao Yanzi agar tak perlu cemas. Aku akanmenjaga penghuni rumah kumuh ini. Tidak ada seorangpun yang akan membocorkan rahasia! Kalau kalian memerlukan bantuanku sewaktu-waktu, datanglah kemari dan cari kami!”

Erkang tersenyum. Dia menyoja Liu Qing. Liu Qing membalas soja itu. Di antara kedua lelaki itupun timbul saling pengertian yang tak terucapkan oleh kata-kata.

Bersambung

Cukilan bagian kesepuluh:

“Apa ini puisi yang realistis?” tanya Qianlong.

“Ya,” cicit Xiao Yanzi.

“Sangat susah membuat puisi ya?”

“Ya….”

---------------------------------------------------------

“Kulitmu telah menggodanya. Apakah tulangmu juga akan menelannya?” suara Permaisuri meninggi.

Ziwei terperanjat. Dia berseru, “Permaisuri! Anda salah paham! Sama sekali tidak seperti itu! Sama sekali tidak demikian….”

Dan belasan jarum emas pun menusuk tubuh Ziwei….

BACA JUGA SINOPSIS LAINNYA



0 comments:

Post a Comment


Friend Link List