Recent Post


[Sinopsis Novel] Putri Huan Zhu/ Huan Zhu Ge Ge 1 Bagian 5

Do you want to share?

Do you like this story?

Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge 1: Yin Chuo Yang Cha
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan.

Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu 1: Kesalahan Masa Silam
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tilly Zaman, Wisnu Adi Hartono
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Oktober 1999 (edisi pertama)

Cerita sebelumnya:
Yongqi akhirnya menemui adik kandungnya, Xia Ziwei di Graha Xuexi. Setelah menerima dan membaca surat dari Xiao Yanzi, Ziwei memutuskan membiarkan Xiao Yanzi tetap jadi putri. Dia sendiri bermaksud pergi dan tidak menuntut statusnya lagi. Erkang sangat menyukai Ziwei - mencegah kepergiannya. Akankah perasaan Erkang yang besar mampu menahan Ziwei tetap tinggal?

V

“Kau begitu cerdas dan pintar, apa kau masih belum memahaminya?” kata Erkang berapi-api. “Hari sejak kau merangkak di bawah kakiku, menarik jubahku dan membaca puisi Kaisar… aku seperti kesurupan olehmu. Lalu kau tinggal di rumahku, setiap hari kita bertemu… Segala isi hati serta kelembutanmu telah membuatku terhanyut. Perasaanku padamu jadi tak terbendung lagi!”

Ziwei sangat terperanjat. Dipandangnya Erkang tanpa mampu berkata apa-apa.

Melihat Ziwei diam seribu bahasa, Erkang segera menyadari kelancangannya. Dia mundur selangkah dari Ziwei, dengan panik memukul dahinya.

“Astaga! Tidak semestinya aku bicara begini padamu! Ini sebuah penghinaan – apalagi, kau seorang Gege!”

Ziwei terpana dengan sikap Erkang. Akhirnya dia berujar lirih, “Apakah saat ini, aku masih bisa disebut Gege? Aku hanyalah rakyat jelata yang tidak punya ayah atau ibu. Aku pun dibesarkan bukan di keluarga terpandang.”

“Kaulah yang pantas disebut pria dari keluarga terhormat. Putra seorang pejabat. Orang kepercayaan Kaisar. Kelak kau tentu akan memilih pasangan dengan latar belakang keluarga sepadan. Aku sejak kecil tumbuh di bawah kerendahan status ibuku. Aku tak berani mengharapkan impian demikian tinggi - untuk menikahi seorang pria terpandang.”

Erkang merasakan sebersit peluang. “Kalau harapan itu ada… apakah kau bersedia?”

Ziwei kembali terkejut. Dia mundur lebih jauh lagi dari Erkang.
Erkang terluka melihat Ziwei yang menjauhinya. (Duh, baik jaman kuno atau modern, yang namanya ditolak itu sedih, ya?) “Maafkan aku,” kata Erkang pedih. “Aku bicara tanpa pertimbangan. Kalau kau memang memutuskan untuk pergi, tunggulah sampai aku merundingkannya dengan Ayah dan Ibu. Kalau mereka setuju, barulah kuantar kau hingga ke tempat tujuanmu.”

Selesai bicara, tanpa melihat Ziwei lagi, Erkang berputar hendak keluar kamar.

Hati Ziwei bergolak. (Ya, lekaslah! Sekarang atau tidak selamanya – Nona Xia!). Dia menghambur ke arah pintu. Menghalangi Erkang yang hendak keluar.

“Baiklah! Aku akan tetap tinggal!”

Kali ini Erkang yang terperanjat. “Apa katamu?”

“Demi permintaanmu yang terakhir… Aku akan tinggal!” Ziwei berujar. Jelas, sejelas-jelasnya. Seluruh wajahnya memerah karena mengucapkan dua kalimat itu. Bagaimana pun, Ziwei juga tidak bisa mengingkari perasaannya sendiri. Dia juga mengagumi Erkang. Awalnya Ziwei tidak bisa mendefenisikan perasaan apa itu. Tapi kini dia paham, hatinya telah tersentuh oleh pria gagah ini.

Perasaan itu bernama cinta.

Erkang memandang Ziwei dengan penuh kebahagiaan. Sesaat kemudian dia maju dan menggenggam erat tangan Ziwei.

Barulah saat itu Ziwei sadar maksud perkataan Erkang selama ini: “Langit pasti telah mengatur agar kau diberi kebahagiaan lain!” Ziwei mungkin kehilangan kesempatan menemui ayahnya, tapi dia mendapat Erkang sebagai gantinya. Tiba-tiba saja, dia tidak merasa iri lagi terhadap Xiao Yanzi.

***

Nah, selesai. Apa? Sudah tamat?! Yang benar saja! Mana janjimu menuliskan kisah pengalaman Xiao Yanzi di sekolah istana dan pelajaran tata krama???

Oh ya ya ya… akan kulanjutkan… kalian tenang saja! Tetap duduk manis di situ… :D

***

Sebenarnya, para Putri pada masa Dinasti Qing diperbolehkan ke sekolah istana. Tapi kenyataannya, para Pangeranlah yang diwajibkan giat belajar. Para putri kalau tidak tertarik belajar pun sebenarnya tidak apa-apa.

Namun para Putri punya tuntutan tersendiri. Mereka harus belajar tata-krama keputrian. Karena Qianlong seorang Kaisar yang mencintai musik, catur, kaligrafi, sastra dan lukisan, putri-putrinya pun minimal harus punya tiga dari keahlian itu. Qianlong juga malu kalau putrinya disebut tidak berpendidikan. Maka, untuk Putri yang berbakat, biasanya disediakan guru khusus wanita bagi mereka.

Tapi Xiao Yanzi ini kasusnya berbeda. Dia tidak pernah belajar sebelumnya. Pendidikan dasar seperti membaca dan menulis pun tidak dikuasainya. Qianlong sangat menyesalkan hal itu. Apalagi Qianlong adalah Kaisar yang sangat menjunjung tinggi pendidikan. “Seseorang yang tidak belajar (bersekolah), akan menjadi barbarian!” - merupakan kutipan favorit Kaisar Qianlong.

Karenanya, Xiao Yanzi alias Putri Huanzhu adalah Putri Kaisar yang pertama belajar di sekolah istana.

Pada hari pertama Xiao Yanzi masuk kelas, Qianlong sendiri yang membawanya ke sekolah istana (kyahaha, kayak anak TK!). Bukan hanya mengantar, Kaisar juga ikut masuk ke kelas untuk mengawasi proses belajar-mengajar.

Kehadiran Xiao Yanzi menarik minat para pangeran khususnya yang kecil-kecil. Qi Xiaolan atau Guru Qi, sudah sering mendengar sepak-terjang Xiao Yanzi yang tidak tahu aturan. Dilihatnya sang putri duduk gelisah di mejanya seperti sedang menanti musuh besar. Matanya tak henti melirik ke kiri-kanan, ke arah Ertai dan Pangeran Kelima.

Qi Xiaolan merasa agak gugup. Kalau Kaisar datang sendiri menyaksikan proses belajar-mengajar, tugasnya sebagai guru akan terasa lebih berat. Maka, sebagai awal dia akan menguji dulu kemampuan Xiao Yanzi.

Qi Xiaolan menyalami Kaisar lalu berdehem. Dia menampilkan wajah ramah dan mengumumkan ke seluruh kelas, “Ini hari pertama Putri Huanzhu belajar bersama kita. Karenanya, kita abaikan dulu buku-buku yang tebal dan mari kita lakukan hal-hal menarik yang lebih santai. Bagaimana menurutmu, Tuan Putri?”

Xiao Yanzi langsung senang begitu mendengar hari itu tidak membuka buku. Dia mengangguk-anggukkan kepala.

“Nah, sekarang, kita akan bermain ‘Permainan Kata’. Pertama-tama, kita akan membuat Shu Jiao. Tuan Putri bisa ikut berpartisipasi di baris mana saja.”

Shu Jiao adalah puisi empat baris. Masing-masing baris berisi kata dalam jumlah ganjil. Baris pertama terdiri atas tujuh kata, baris kedua lima kata, baris ketiga tiga kata, dan baris terakhir satu kata. Tapi Xiao Yanzi malah mengartikan Shu Jiao sebagai puisi ‘Langkah Kaki’ – karena secara harfiah, Shu Jiao memang berarti langkah kaki. (Shu = langkah, Jiao = kaki).

“Wah, puisi ‘Langkah Kaki’ macam apa itu? Aku hanya ingin membuat puisi ‘Menggali Lubang’ agar kalau tiba giliranku nanti, aku bisa sembunyi ke situ!” dalam hati Xiao Yanzi sibuk berkomentar.
Saat Xiao Yanzi tengah sibuk berpikir, Yongqi sudah mendeklamasikan baris pertama,

“Kotak-kotak persegi-persegi membentuk sebuah gedung.” (tujuh kata).

“Di atasnya digantung lonceng besar!” Ertai buru-buru menyambung seraya memberi isyarat pada Xiao Yanzi kalau baris puisi sudah pindah dari tujuh ke lima kata.

“Begitu dipukul sedikit…,” Yongqi segera menyambung (tiga kata). Diambilnya kipas lipat lalu dipukulkan ke cawan teh di mejanya – seperti orang yang memukul lonceng.

“Teng!” Xiao Yanzi refleks menyambung.

Para Pangeran tertawa. Ertai dan Yongqi langsung memuji, “Ha ha ha! Benar! Benar! Memang seperti itu! bagus sekali sambunganmu! Cocok sekali!”

Xiao Yanzi meski tidak percaya, dia sangat gembira. Qianlong tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Itu sih namanya disambung secara kebetulan!” kata Qianlong. “Karenanya, Guru Qi harus merubah permainan kata yang lain (baca: yang lebih sulit).”

Qi Xiaolan tersenyum mendengar petunjuk Kaisar. Lalu ujarnya, “Selanjutnya, kita akan membuat puisi dengan kata-kata berikut: ‘Bulat ya bulat. Berkurang separuh. Kacau-balau. Tenang tenteram.’ Pangeran Kelima, kulihat kau sudah tak sabar hendak memberi contoh bagi Tuan Putri. Kalau begitu, silahkan!”

Yongqi berpikir-pikir lalu berdeklamasi, “Bulan purnama tanggal lima belas, bulat ya bulat. Pada tanggal tujuh dan delapan, berkurang separuh. Bintang-bintang berserakan, kacau-balau. Begitu awan gelap menyelimuti, tenang-tenteram.”

“Oh, bagus sekali!” Qi Xiaolan memuji puisi Yongqi yang memakai tema astronomi. Ertai berpikir, syair Yongqi terlalu puitis. Xiao Yanzi pasti belum memahaminya. Jadi dia juga membuat puisi dengan memakai tema sehari-hari.

“Kue bulan (mooncake), bulat ya bulat. Kalau bagian tengahnya dibelah, berkurang separuh. Tikus-tikus berlarian, kacau-balau. Begitu kucing mengeong, tikus-tikus pun tenang-tenteram.”

Puisi Ertai membuat para Pangeran cekikikan. Dalam hati, Qi Xiaolan merasa kurang puas. Terlalu dangkal! Mana bisa disebut puisi? Dia dan Qianlong saling pandang. Mereka tahu, Ertai dan Yongqi tengah membantu Xiao Yanzi.

“Nah, Tuan Putri, sekarang giliranmu,” tunjuk Qi Xiaolan.

Xiao Yanzi mencoba mengelak. “Bolehkah aku tidak membuat puisi?”

“Harus mencoba. Ini tidak sulit, kok,” Qi Xiaolan memberi semangat.

“Kalau… kalau pilihan kata-katanya tidak bagus, bagaimana?”

“Tidak apa-apa. Nanti bisa dibetulkan.”

Xiao Yanzi memelas menatap Ertai dan Yongqi. Kedua pemuda itu menganggukkan kepala memberi semangat. Xiao Yanzi pasrah. Dia tak bisa menghindar lagi.

“Baiklah, akan kucoba… ‘Mata Guru Qi, bulat ya bulat…’,” baru kalimat pertama terlontar suara tawa telah membahana kemana-mana. “Kalau dipukul, akan berkurang separuh….”

Seluruh kelas langsung tertawa terpingkal-pingkal. Mendapat ilham dari sekelilingnya, Xiao Yanzi mendeklamasikan baris berikutnya, “Semua orang tertawa hingga kacau-balau.”

Tawa yang terlontar semakin keras. Qi Xiaolan seperti kebakaran jenggot! Belum pernah dia mengajar kelas yang gaduh seperti ini – apalagi Qianlong juga berada di sana!

Qi Xiaolan tidak dapat mengendalikan kelasnya. Semua muridnya tertawa hingga badan mereka bergoyang-goyang. Qianlong sebenarnya juga geli. Tapi demi menyelamatkan muka Guru Qi, dia pun mendengus ke arah anak-anaknya.

“Hush!”

Para pangeran berhenti tertawa. Xiao Yanzi pun menyelesaikan baris terakhirnya, “Begitu Kaisar mendengus, suasana kembali tenang tenteram.”

Semua orang kembali tertawa. Bahkan Qianlong akhirnya ikut tertawa. (Well, Guru Qi, jangan salahkan Putri Huanzhu. Dari awal kan dia sudah mengisyaratkan kalau tidak menjamin puisinya bagus :P)

***

Demikianlah hari pertama Xiao Yanzi di sekolah Kerajaan. Segera saja perihal Xiao Yanzi membuat puisi amburadul itu menyebar ke seluruh istana. Dia menjadi gosip paling hot di kalangan pejabat dan penghuni istana ketika istirahat minum teh atau saat makan siang. Mereka menggunjingkan Putri Huanzhu yang asal-usulnya tidak jelas serta tak berpendidikan itu mampu membuat Kaisar senang sampai tertawa-tawa. Bahkan, versi tentang asal-usulnya telah begitu banyak beredar sampai-sampai tidak jelas lagi kebenarannya.

Tak peduli apa omongan orang, yang jelas bagi Xiao Yanzi, jadi Gege itu makin lama semakin tidak menarik. Terlebih, Permaisuri entah dengan cara bagaimana berhasil meyakinkan Qianlong agar memperhatikan ‘sopan-santun’nya.

Jadi Qianlong mendatangi Xiao Yanzi dan mengumumkan, “Mulai besok, kau akan selang-seling belajar di sekolah istana dan tata krama dari Bibi Rong. Bibi Rong akan ke Paviliun Shuofang buat mengajarimu.”

Xiao Yanzi langsung pucat. “Huang Ama, kenapa Anda harus menyuruhku belajar tata krama?”

“Agar kau tidak menjadi ‘anak yang terlalu dimanja sehingga menjadi sombong’ dan aku tidak menjadi orang tua yang ‘kasih sayangnya berlebihan sehingga kelak mencelakakan anak sendiri.’ Kau tidak boleh terlalu dimanja lagi!”

Menyuruh Xiao Yanzi belajar tata krama sebetulnya bukan ide yang buruk. Tapi mengutus Bibi Rong sebagai guru pembimbingnya? Oh, No!!!

Xiao Yanzi merasa seperti hewan kurban yang akan disembelih. “Kalau Huang Ama mengirim Bibi Rong padaku, itu sama saja dengan mengorbankanku pada serigala. Kelak kalau Huang Ama datang lagi, barangkali aku sudah hilang ditelannya…”

Qianlong pening mendengar rengekan Xiao Yanzi. Akhirnya dia berkata tegas, “Aku sudah putuskan! Kau tetap harus belajar tata krama! Kau yang tak tahu sopan-santun begini, lama-lama bisa membuat kesabaranku habis. Bibi Rong seorang dayang senior di istana. Jadi kau harus lebih sopan padanya. Kejadian pemukulan dan memanjat pilar macam tempo hari tidak boleh terjadi lagi. Atau aku akan menghukummu! Kali ini aku bersungguh-sungguh. ‘Orang terhormat selalu mewujudkan kata-katanya’!”

Xiao Yanzi cemas. Dan sejak itulah bencana yang akan dialaminya dimulai.

***

Keesokan harinya, Bibi Rong datang ke Paviliun Shuofang sambil membawa dua pengawal berbadan besar dan kekar: Saiwei dan Saiguang. Bibi Rong dengan sopan menyalami Xiao Yanzi dan berkata,

“Kaisar khusus mengirim Saiwei dan Saiguang kemari. Yang Mulia khawatir kalau Tuan Putri terlalu bersemangat sehingga naik ke pilar atau atap sehingga tidak bisa turun lagi – kedua orang ini akan membantu mengatasinya.”

Xiao Yanzi memberenggut begitu tahu gurunya membawa bala bantuan.

“Bibi Rong, kita buat perjanjian dulu…” (kayak perjanjian pra nikah, ya? Tapi ini kusebut perjanjian pra belajar :D)

Bibi Rong berkata dengan tenangnya, “Hamba tidak berani membuat perjanjian dengan Tuan Putri. Hamba tahu, Putri sangat tidak mau belajar tata krama. Hamba hanya pelaksana perintah yang tak bisa ditawar meski Putri suka atau tidak suka. Kaisar telah bertitah, hamba tidak berani membantah. Mohon Putri jangan coba menghalangi.”

Bibi Rong berkata seperti robot yang programnya telah disetel. Xiao Yanzi pun pun kehabisan akal.

“Aih, Putri apaan? Hamba apaan? Yang jelas aku tidak bisa menghindar lagi!” 

Yang pertama dipelajari Xiao Yanzi adalah cara berjalan.

“Saat berjalan langkahmu harus mantap dan berwibawa. Jaga jarak dengan orang di depanmu. Jeda saat melambaikan sapu tangan harus diatur. Tidak boleh terlalu tinggi, juga tidak boleh terlalu rendah. Sekarang, coba Putri berjalan…” Bibi Rong memberi contoh serta instruksi.

Xiao Yanzi berjalan. Baru beberapa langkah, Bibi Rong sudah berkomentar, “Dagu harus diangkat tinggi-tinggi. Badan harus tegap. Punggung jangan bungkuk. Wajah juga harus sedikit tersenyum. Coba Putri ulangi lagi!”

Xiao Yanzi kembali berjalan, berulang-ulang hingga dia tak sabar lagi. Mulutnya sudah monyong.

“Saat berjalan mata tidak boleh melirik-lirik. Wajah tidak boleh membuat ekspresi lucu. Silakan ulangi lagi.”

Xiao Yanzi melempar sapu tangannya. Dengan kepala batu berkata, “Kalau aku tidak mau?”

“Kalau Putri tidak mau mengulang, hamba akan mohon diri dan mengembalikan tanggung jawab ini kepada Kaisar…” Bibi Rong membungkuk memberi hormat lalu berputar hendak pergi.

“Tunggu!” panggil Xiao Yanzi. “Kau hendak mengadukanku pada Huang Ama, kan? Baiklah! Kalau disuruh jalan, ya jalan!”

Xiao Yanzi terpaksa memungut sapu tangannya dan mengibaskannya dengan jengkel.

Pelajaran tata krama Xiao Yanzi menjadi hiburan tersendiri bagi para dayang serta kasim. Bahkan kedua pengawal bertubuh besar itu tak dapat menahan tawa melihat tingkah Xiao Yanzi.

Pelajaran tata krama kedua Xiao Yanzi adalah bersujud (kowtow).

“Bersujud kelihatannya sederhana tapi sebetulnya ada kiat tersendiri. Saat berlutut, badan harus tegak. Kedua kaki harus sejajar dan kedua tangan harus didekap di depan tubuh. Kepala menunduk, cukup sampai mengenai tangan. Tidak perlu sampai keningmu menyentuh lantai – sebab itu cara bersujud para hamba sahaya. Nah, silakan Putri bersujud.”

“Putri, tangan harus saling bertaut. Coba ulangi!”

“Putri salah lagi…!”

Xiao Yanzi menegakkan bahu. “Kau ingin aku bersujud berapa kali baru kau puas, hah?”

Bibi Rong berkata dengan tenang, “Cukup sampai Putri bisa bersujud dengan benar.”

Jadi Xiao Yanzi pun sujud-bangun sujud-bangun, entah berapa kali banyaknya. (wah, kalau kayak begini, hati-hati kepala bisa benjol!)

Pelajaran ketiga Xiao Yanzi adalah cara duduk. Bibi Rong menjelaskan panjang lebar,

“Saat duduk pun ada namanya postur duduk. Harus perlahan-lahan mendekati kursi. Lutut harus rapat sejajar, kedua tangan bertaut di depan badan. Ketika duduk, tangan yang bertaut harus diletakkan di atas pangkuan. Putri silakan mencoba.”

“Putri mohon berdiri. Saat duduk kursi tidak boleh bersuara. Silakan ulangi lagi.”

“Putri mohon berdiri lagi. Saat duduk, kepala tidak boleh tunduk. Kaki juga tidak boleh terlalu bertenaga. Ayo ulangi lagi…”

Jadi Xiao Yanzi berdiri-duduk, berdiri-duduk, berkali-kali banyaknya.

Akhirnya, tibalah waktu makan siang. Xiao Yanzi yang kalorinya terbakar habis sewaktu belajar, langsung makan dengan rakusnya. Matanya jelalatan melihat lauk-pauk ini-itu. Dia menghirup sup dengan berisik, lalu bersendawa dengan keras.

Dengan mulut sibuk mengunyah, Xiao Yanzi juga memanggil para dayang dan kasim-termasuk Bibi Rong untuk makan bersamanya (yah, setidaknya Xiao Yanzi bukan majikan yang kejam kan? Makan masih ngajak-ngajak). “Ayo semuanya! Duduk makan sama-sama! Kalian juga lapar bukan? Ayo makan! Aku tidak mungkin menghabiskan makanan sebanyak ini!”

Tapi komentar Bibi Rong adalah, “Putri, mohon letakkan sumpitmu!”

Xiao Yanzi terpana. “Kenapa? Pelajaran tata krama sudah selesai, kan? Sekarang aku sedang makan. Masa kau juga tak membiarkanku makan dengan enak?”

“Makan pun punya aturan,” kata Bibi Rong. (Huuh, Bibi Rong mulai lagi!) “Tidak boleh bicara saat mulut sedang penuh. Terlebih lagi, tidak boleh mengajak budak makan bersama. Kedudukan Putri sangat tinggi – tidak boleh duduk sejajar dengan para budak. Cara memegang sumpit Putri juga salah. Sumpit tidak boleh bersilang. Tidak boleh bersuara saat menyentuh piring dan mangkuk. Mulut tidak boleh berbunyi saat menghirup sup. Silakan Putri makan dengan benar!”

Xiao Yanzi sungguh frustasi. Plak! Dilemparnya sumpit ke meja. “Aku sudah tidak tahan!” erangnya. “Aku tak mau belajar lagi! Tata krama apaan?! Berdiri salah! Bersujud salah! Duduk salah! Berbicara dan tertawa… bahkan cara makanku pun, katanya salah!!!”

“Putri Huanzhu apa? Aku ini lebih mirip Putri Kaozhu!” sumpah Xiao Yanzi. (Kaozhu adalah sejenis hidangan babi panggang yang dimakan bersama daun seledri).

Sambil berteriak, Xiao Yanzi melompat berdiri. Dicopotnya topi pianfangnya dengan paksa sehingga sanggul rambutnya acak-acakan. Dilemparnya topi itu ke lantai. Tidak berhenti sampai situ, Xiao Yanzi juga menarik putus kalung mutiaranya. Butir-butir mutiara pun berkelotakan jatuh ke lantai.

“Topi aku tak mau! Kalung mutiara aku juga tidak mau!” raung Xiao Yanzi. Dia melesat keluar Paviliun Shuofang. “Emas, perak, permata aku tak mau! Sepatu bersulam ini pun…,” Xiao Yanzi menyentakkan kakinya dengan keras. “AKU TAK MAUUUU!”

Sepasang sepatu itu melayang ke udara. Apes bagi Xiao Yanzi, pada saat bersamaan, rombongan Qianlong tengah memasuki halaman Paviliun Shuofang.

“Apa itu?” tanya Qianlong ketika melihat dua benda terbang ke arahnya. Yongqi dengan sigap melesat meraih sepasang sepatu itu.

Qianlong datang bersama Permaisuri, Selir Ling, Yongqi, dan Ertai beserta serombongan dayang dan kasim. Dia ingin melihat kemajuan pelajaran tata krama Xiao Yanzi. Dia terkejut melihat kedua benda melayang itu rupanya sepatu wanita. Tapi Qianlong lebih terkejut lagi - sewaktu melihat Xiao Yanzi - yang menerobos keluar seperti orang gila. Wajah gadis itu merah padam karena marah. Rambutnya tidak rapi. Kerah bajunya miring dan kakinya tak bersepatu.

“Xiao Yanzi! Apa-apaan ini?!” teriak Qianlong.

Kaget melihat Qianlong, Xiao Yanzi buru-buru berhenti. Ditatapnya Qianlong dengan napas memburu.

Bibi Rong bersama para dayang, kasim dan pengawal mengejar Xiao Yanzi di belakang. Mereka langsung berlutut dan memberi salam sewaktu melihat Kaisar dan rombongannya.

Dalam hati, Permaisuri senang sekali. Dia memang telah mengharapkan peristiwa ini terjadi. Tapi teman-teman, karena dia seorang Permaisuri, tidak mungkinlah dia berjingkrak-jingkrak untuk mengekspresikan kegirangannya. Sebaliknya, dengan sikap tenang dan penuh wibawa, Permaisuri menegur Bibi Rong.

“Bibi Rong! Kau kan sedang mengajari Putri tata krama, tapi kenapa dia justru jadi begini? Topi, sepatu dan kalungnya hilang entah kemana – apa sebenarnya yang telah terjadi?”

Bibi Rong berlagak seperti orang berdosa. “Hamba pantas mati! Hamba tak bisa mengajari Tuan Putri dengan benar!”

Qianlong juga marah besar. Matanya melotot lebar sekali. “Lihat kelakuanmu!” teriaknya pada Xiao Yanzi. “Aku kan menyuruhmu belajar tata krama tapi mengapa kau semakin tak karuan? Coba lihat penampilanmu! Rambut dan pakaian tidak rapi! Mukamu geram karena marah!”

Xiao Yanzi tak peduli apa-apa lagi. Dia balas berteriak, “Huang Ama! Aku mau keluar! Aku tak tahan jadi Gege lagi! Kalaupun Huang Ama mau memenggal kepalaku, penggal saja!”

Leher Qianlong menegang. “Kau kira Gege itu gelar apa? Semau sukanya diterima dan dibuang begitu saja?” Qianlong lalu berseru kepada Saiwei dan Saiguang. “Kalian berdua! Tangkap Putri Huanzhu!”

Xiao Yanzi langsung berseru panik. “Huang Ama! Jadi Huang Ama tak menginginkanku lagi?”

Qianlong berseru penuh wibawa, “Kau begitu sombong! Juga tak tahu aturan! Aku tak tahan lagi menyaksikan kelakuanmu! Aku tidak memenggal kepalamu – tapi akan memberimu pelajaran!”

Saiwei dan Saiguang menyergap Xiao Yanzi. Kemudian Qianlong berteriak kepada para kasim, “Pukul dia dengan tongkat dua puluh kali!”

Para kasim mematuhi perintah dan menyiapkan ‘alat eksekusi’.

Yongqi sangat cemas. Dia segera berlutut dan memohon pada Qianlong. “Huang Ama! Mohon jangan marah! Putri Huanzhu adalah anggota keluarga Kerajaan. Dia juga seorang perempuan! Tubuhnya takkan kuat menerima pukulan semacam itu! Hukumlah dia dengan cara lain!”

Ertai dan Selir Ling juga ikut memohon demi Xiao Yanzi. Para dayang serta kasim Paviliun Shuofang juga ikut bersujud.

“Mohon Baginda bermurah hati! Mohon Baginda bermurah hati!”

Melihat orang-orang yang memohon itu, hati Qianlong melunak. Ditatapnya Xiao Yanzi.

“Apa kau menyadari kesalahanmu?”

Bukannya bertobat, Xiao Yanzi justru menantang Qianlong, “Kesalahan terbesarku… adalah tidak semestinya menjadi seorang Gege!”

Qianlong langsung berteriak, “Pukul! Pukul dia! Tidak seorang pun bisa memohon ampun baginya lagi!”

Para kasim telah menyiapkan sebuah bangku. Saiwei dan Saiguang menyeret Xiao Yanzi kemudian menekan tangannya di bangku itu. Dua kasim datang sambil membawa dua bilah tongkat. Mereka langsung melayangkan pukulan ke bokong Xiao Yanzi.

“Pukul! Pukul sekeras-kerasnya!” seru Qianlong penuh emosi. “Siapa yang memohon ampun baginya maka pukulannya akan kugandakan dua kali lipat!”

Ketika tongkat itu benar-benar mendarat di pantatnya, barulah Xiao Yanzi sadar Qianlong tidak main-main hendak menghukumnya. Tangannya mengibas-ngibas. Dia menjerit – karena marah, malu dan sakit hati, “Huang Ama! Aku menyadari kesalahanku! Tolong ampuni aku!”

Air mata mulai mengalir karena rasa sakit yang mendera. Tapi Qiannlong tidak bergeming. Dia tetap tak memerintahkan para kasim untuk menghentikan pukulan.

Pakaian Xiao Yanzi mulai dirembesi darah. Yongqi dan Ertai cemas setengah mati. Hati Selir Ling terasa amat sakit. Sejak masuk istana dia sangat sayang pada Xiao Yanzi. Diberanikan dirinya mencengkeram tangan Qianlong, berlutut dan memohon.

“Yang Mulia! Anak jika dipukul, hati ibunya akan terasa sakit! Hamba yakin jika Xia Yuhe menyaksikan ini, dia pasti sakit hati! Cobalah maafkan Xiao Yanzi demi ibunya!”

Kata-kata Selir Ling mengingatkan Xiao Yanzi. Dia langsung berteriak memanggil ibunya.

“Ibu…. Mengapa Ibu meninggalkanku?” Xiao Yanzi benar-benar menangis. “Ibu… Ibu sekarang ada dimana? Aku tak akan seperti ini kalau aku punya ibu… Kalau Ibu memang harus meninggalkanku begitu cepat… mengapa Ibu melahirkanku ke dunia ini?”

Begitu mendengar tangisan pilu Xiao Yanzi, Qianlong langsung teringat Xia Yuhe. Hatinya hancur.

“Berhenti! Jangan pukul lagi!” seru Qianlong.

Kedua kasim berhenti memukul. Saiwei dan Saiguang juga melepaskan Xiao Yanzi hingga gadis itu melorot ke lantai. Selir Ling, Mingyue dan Caixia segera menghambur memeluknya.

Qianlong mendekat, menundukkan kepala menatap Xiao Yanzi. Melihat wajah gadis itu pucat pasi, keringat dan air mata memenuhi wajahnya, Qianlong pun merasa tidak tega.
Tapi diabaikannya perasaan itu. Dia malah berkata ketus,

“Kau tahu sekarang artinya ‘Orang Terhormat Selalu Mewujudkan Kata-Katanya’, bukan? Kuperingatkan, kau jangan sekali-kali menguji kesabaranku! Kalau kau berani bilang tidak mau menjadi Gege dan tidak menjaga sopan-santunmu, aku tak akan mengampunimu! Jangan menganggap aku bersedia memaafkanmu lagi dan lagi! Apa kau paham?”

Xiao Yanzi masih sangat ketakutan dan terisak-isak, hanya menganggukkan kepala.

Qianlong melihat Xiao Yanzi yang semula susah diatur kini jadi tak berdaya, hatinya terasa pilu. Dia pun berkata, “Saiwei, Saiguang! Pergilah dan panggil Tabib Hu kemari. Bibi Rong, tolong kau ambilkan pil Zi Qin Huo Xue – pil pembersih luka, dan berikan padanya!”

Para pengawal dan dayang segera menjalankan instruksi Kaisar. Setelah berkata demikian, Qianlong berbalik pergi diikuti Permaisuri dan rombongan dayang-kasim mereka.

Melihat Qianlong dan Permaisuri sudah pergi, Yongqi dan Ertai segera menghambur ke arah Xiao Yanzi. Hati Yongqi sangat pedih melihat kondisi gadis itu. Dia pun berkata, “Huang Ama dan Huang Erniang sudah pergi. Kalau mau menangis, menangislah sepuasnya!”

Xiao Yanzi memejamkan mata, sebutir air mata mengalir dari sudut matanya. Dia bergumam tidak jelas.

“Apa yang dikatakannya?” tanya Ertai.

Yongqi menjawab, “Katanya, untung bukan Ziwei yang dipukuli…”

***

Malamnya perasaan Qianlong sungguh tidak tenteram.

Dia tidak bisa mengerjakan tugas-tugasnya. Juga tak berselera menyaksikan pertunjukan sandiwara, musik, membaca, bermain catur serta menulis kaligrafi. Akhirnya Qianlong mengunjungi istana Yanxi untuk menemui Selir Ling.

Selir Ling sedang tidak di tempat. Dia pasti sedang menjenguk Xiao Yanzi di Paviliun Shuofang. Qianlong tak meminta kasim untuk memanggil Selir Ling pulang. Akhirnya Qianlong hanya berjalan mondar-mandir di aula istana Yanxi.

Begitu Selir Ling kembali, dia tampak terkejut melihat Kaisar yang sepertinya sudah lama menunggu.

Qianlong langsung bertanya, “Bagaimana keadaannya? Kau baru kembali dari Paviliun Shuofang, kan?”

“Benar,” jawab Selir Ling. “Keadaan Putri…, kelihatannya tak terlalu baik.”

“Apa maksudmu tak terlalu baik? Dia kan cuma dipukul beberapa kali dengan tongkat, tentu saja tak separah seperti waktu terkena panah, kan?”

Selir Ling mendesah. “Yang Mulia, saat itu Putri hanya terkena luka luar. Kali ini, dia menderita luka luar dan dalam.”

“Kenapa sampai mengalami luka dalam segala?”

“Yang Mulia, coba Anda pikir. Anda tadi memerintahkan Putri dipukul di hadapan begitu banyak orang. Ada Permaisuri, Pangeran Kelima, Ertai, para pengawal, dayang dan kasim. Mau dikemanakan mukanya sekarang? Belum lagi kata-kata Baginda yang bilang dia memang pantas dipukul! Jadi Putri terluka di badan, hatinya juga ikut terluka.”

(Ada pepatah China yang bilang, ‘Kritik kesalahannya, jangan kritik orangnya’ – ‘Pukul orangnya, bukan pukul mukanya’. Well, Xiao Yanzi memang pantas dihukum, tapi mestinya Kaisar memilih hukuman yangi tidak melukai harga diri Xaio Yanzi).

Mendengar penjelasan Selir Ling, Qianlong sungguh menyesal. Tapi dia tetap tak mau mengaku (Untuk menjaga gengsi ya, Kaisar? He he) “Dia keterlaluan sih! Jadi aku terpaksa memukulnya,” Qianlong membela diri. “Lalu apa kata Tabib Hu? Dia pasti sudah memeriksa kondisinya kan?”

“Putri tidak mau diperiksa Tabib Hu!”

“Apa? Tidak mau diperiksa?”

“Ya, pantaslah Putri tidak mau diperiksa…”

“Kenapa? Kau jangan coba membelanya ya!”

“Aduh, Baginda… Putri itu kan perempuan. Mana enak dia memperlihatkan lukanya pada tabib? Dia tak memperbolehkan siapa pun melihat lukanya. Dia juga menangis dan mengusir Tabib Hu!”

Qianlong berpikir kata-kata Selir Ling ada benarnya juga. Luka Xiao Yanzi kan di bokong.

“Apa dia sudah makan pil Zi Qin Huo Xue? Lukanya juga sudah diolesi obat?”

“Putri tidak mau makan obat apapun. Lukanya juga tidak mau diolesi obat. Seluruh obat yang diberikan padanya, dilemparnya ke lantai.”

“Apa? Tabiatnya masih seburuk itu?”

Selir Ling mendesah. “Putri begitu kesal hingga tak sadar akan perbuatannya. Demamnya juga tinggi.”

“Kenapa bisa demam tinggi?”

“Kata Tabib, itu karena infeksi lukanya ditambah ‘kemarahan terpendam yang tidak bisa dilontarkan keluar’. Tabib bilang demamnya akan turun kalau Putri minum obat. Tapi dia dengan tegas menolak dan mengatakan lebih baik mati saja…”

Qianlong tidak dapat menahan diri lagi. “Berani-beraninya dia tidak memakan obatnya! Aku akan ke Paviliun Shuofang untuk melihatnya sendiri!”

***

Di Paviliun Shuofang, Xiao Yanzi tengah menelungkup di ranjang. Kepalanya pusing dan demam. Matanya sembap karena kebanyakan menangis.

Mingyue dan Caixia mendampinginya terus. Kedua dayang itu tak hentinya membujuk Xiao Yanzi untuk makan dan mengurus lukanya. Tapi dasar Xiao Yanzi lagi ngambek, dia tak memedulikan apapun.

Tiba-tiba terdengar seruan, “Kaisar datang!”

Dalam sekejap Qianlong telah masuk ke dalam kamar. Xiao Yanzi terperanjat. Dia ketakutan. Dengan terhuyung-huyung, Xiao Yanzi bangkit dari ranjang untuk bersujud kepada Qianlong. Kepalanya berkunang-kunang. Dia terjatuh tepat dengan pantat menyentuh lantai sehingga berteriak, “Aiya!”

Qianlong langsung membungkuk merangkul Xiao Yanzi. Digendongnya gadis itu lalu dibaringkannya dengan hati-hati ke ranjang.

Xiao Yanzi malu sekali dan tak berani menatap Qianlong. Wajahnya disembunyikan di balik lengan bajunya.

Begitu sampai di ranjang, Xiao Yanzi segera menarik selimut sampai menutupi kepala. Sambil merintih-rintih, dia berkata, “Huang Ama, meski sudah belajar bersujud berkali-kali, aku tetap belum bisa bersujud dengan baik. Huang Ama jangan marah… karena aku bersujud dari balik selimut.” Kepalanya lalu bergerak naik turun di dalam selimut.

Qianlong merasa gundah sekaligus geli. “Kalau kau menutupi kepalamu seperti itu, mana bisa kau bernapas? Ayo lekas buka selimutnya!”

“Tidak mau!” Xiao Yanzi justru semakin merapatkan selimutnya. “Biarkan aku terus menutupi diriku!”

Qianlong tak bisa menahan diri lagi. Ditariknya selimut Xiao Yanzi.

“Kau ini sebenarnya mau membuat keributan apa lagi sih?” tanya Qianlong. “Kau sudah tak mau menemui Huang Ama lagi, ya?”

Xiao Yanzi segera membenamkan mukanya ke dalam bantal. Sambil terisak-isak dia bergumam, “Aku tidak punya muka bertemu Huang Ama lagi…Aku malu bertemu siapa pun!”

Qianlong memelototi Xiao Yanzi, “Baru dipukul begini kenapa harus malu bertemu orang?” Diulurkannya tangan menyentuh kening Xiao Yanzi yang panas. “Astaga! Demammu setinggi ini! Kenapa tak mau minum obat?”

Xiao Yanzi melirik Qianlong dari bawah bantal. Air matanya mengalir deras. “Tidak mau… Lagi pula… cepat atau lambat kepalaku akan dipenggal. Jadi percuma saja minum obat. Lebih baik cepat mati sekarang lalu bereinkarnasi kembali…”

Xiao Yanzi meski kesakitan tapi masih bisa menantang. Qianlong merasa kasihan sekaligus kehabisan akal. Selama ini, semua orang selalu mematuhi dan mendengarkan perintahnya. Belum pernah dia menghadapi Putri seperti ini. Dia tak bisa lama-lama menahan perselisihan ini lagi.

“Hanya memukulmu beberapa kali, kau sudah ngambek seperti ini ya?” Qianlong berdehem. “Aku minta kau minum obat! Ini perintah Kaisar, kau dengar tidak?”

Qianlong memelototi Mingyue dan Caixia, “Kenapa belum meyiapkan obat buat Putri?”

Mingyue dan Caixia amat terkejut. Buru-buru mereka menyanggupi, “Hamba patut mati! Hamba akan mematuhi perintah!”

Melihat di kamar tinggal mereka berdua, Qianlong langsung meninggalkan sikap Kaisarnya. Dia berkata lembut pada Xiao Yanzi, “Tadi saat memukulmu, Selir Ling bilang anak kalau dipukuli, hati ibu akan terasa sakit. Sebetulnya, ayah dan ibu sama saja. Jika anak dipukuli, hati ayah pun terasa sakit. Tadi itu kau benar-benar sudah keterlaluan sampai memaksaku untuk memukulmu.”

“Sifatmu ini kelak bisa merugikan dirimu sendiri. Sekarang sudah dipukul, ya sudahlah. Jangan sedih lagi. Minum obat dan rawatlah lukamu, ya?”

Mendengar Qianlong yang begitu memperhatikannya, Xiao Yanzi tak dapat menahan diri lagi. Dia menangis pilu, “Huwaaaaa….”

Qianlong langsung cemas. “Kenapa? Apa sakit sekali?”

“Kusangka… kusangaka Huang Ama tidak sayang lagi padaku…” Xiao Yanzi bicara putus-putus sambil terisak.

Qianlong tersentuh. “Gadis bodoh, perasaan sayang antara orang tua dan anak itu tidak mungkin hilang begitu saja.”

Xiao Yanzi mendengar perkataan Qianlong hingga menggigil. Qianlong kembali cemas. “Kau menggigil? Apakah kau kedinginan?”

Xiao Yanzi sangat terharu, sekaligus juga takut. Kini dia benar-benar segan pada Qianlong.

“Aku mau minum obat. Aku tak berani melawan kata-kata Huang Ama lagi. Tapi… tapi suatu hari nanti aku benar-benar akan mengecewakan Huang Ama hingga memotong kepalaku…” Semakin mengingat kesalahannya soal Ziwei, semakin takut Xiao Yanzi.

Qianlong berkata, “Kali ini aku benar-benar membuatmu bertekuk lutut ya? Tenanglah, aku kan bukan tiran yang sembarangan memenggal kepala orang. Kepalamu pasti masih melekat di lehermu.”

“Tapi… tapi…, pelajaran tata krama itu… aku tidak bisa mempelajarinya. Dua hari lagi, aku pasti dipukuli lagi…”

Qialong melihat sorot mata Xiao Yanzi yang sangat sedih. Seluruh sifatnya yang periang, emosional dan blak-blakan lenyap sama sekali. “Aih,” Qianlong mendesah. “Tampaknya kau tak bisa menuntut terlalu banyak darimu. Ya, sudahlah. Aku tak akan memintamu mempelajari tata krama lagi. Cepatlah sembuh. Itu yang terpenting.”

Mata Xiao Yanzi berbinar-binar. Dia bersujud di atas bantal. “Terima kasih atas kemurahan hati Huang Ama!”

Qianlong melihat usaha keras Xiao Yanzi yang terpaksa menahan sakit setiap kali bergerak. Hatinya semakin melunak. Dia juga makin menyesali keputusan yang diambilnya siang tadi – telah membuat putri kesayangannya tersiksa.

***

Berita dipukulnya Xiao Yanzi juga sampai di Graha Xuexi. Ziwei merasa cemas sewaktu mendengarnya.

“Kenapa Kaisar bisa memukul Xiao Yanzi? Bukannya Baginda sangat sayang padanya?”

Erkang menjawab, “Kaisar itu sebenarnya sama seperti orang tua lainnya yang ingin hal terbaik bagi putra-putrinya. Kalau beliau memberi pelajaran pada Xiao Yanzi, itu sebenarnya dilandasi perasaan sayang, bukan benci.”

Yongqi, yang kebetulan mengunjungi Graha Xuexi, menggelengkan kepala. “Pendapatmu tidak sepenuhnya benar. Huang Ama adalah ayahku, aku sangat paham sifatnya. Seumur hidupnya tak pernah dibantah siapapun dan sudah terbiasa begitu. Maka ketika awalnya Xiao Yanzi membangkang, Huang Ama masih bisa menahan diri. Tapi ketika hal itu sudah berulang-ulang, dia tak mungkin menolerirnya lagi.”

Ziwei masih cemas. “Kalau begitu, Xiao Yanzi benar-benar dalam masalah besar. Dia memang tidak tahu tata krama. Sifatnya pun sangat keras serta tidak mau mengalah. Kakak Kelima, Ertai, kalian berdua harus lebih sering mencari jalan melindungi Xiao Yanzi!”

“Kami selalu ingin melindunginya,” kata Ertai. “Tapi bagaimanapun, Xiao Yanzi perempuan sedang aku dan Pangeran Kelima adalah lelaki. Kalau kami terlalu sering keluar-masuk Paviliun Shuofang, akan memancing pergunjingan.”

Yongqi menatap Ziwei dan berkomentar, “Kalian berdua sangat aneh. Waktu Xiao Yanzi usai dipukul, dia bergumam, ‘untung bukan Ziwei yang dipukul’. Sementara kau, meski status dan ayahmu telah diambil olehnya, kau tetap mengkhawatirkan keselamatannya. Di istana, tidak ada persaudaraan semacam itu. Yang ada, kami bersaing – kalau perlu saling bunuh - untuk merebut kedudukan lebih tinggi. Aku selalu merasa, bila terlahir sebagai rakyat jelata baru bisa merasakan kasih sayang yang sejati.”

Sejak mendengar berita pemukulan Xiao Yanzi, Ziwei jadi gundah. Dia senantiasa murung. Melihat Ziwei begitu sedih, suatu hari Erkang membawa Ziwei keluar Graha Xuexi untuk jalan-jalan.

Erkang membawa Ziwei mengunjungi rumah kumuh. Ziwei mengobrol sebentar dengan Liu Qing dan Liu Hong. Tapi tidak leluasa sebab Erkang mengawasi mereka. Erkang amat melindungi Ziwei. Liu Qing dan Liu Hong pun bicara dengan amat hati-hati.

Erkang juga membawa Ziwei ke sebuah lembah yang sangat indah. Namanya Lembah Ketenangan. Ziwei senang bisa kesana. Melihat gunung, air terjun dan sungai, sesaat melupakan kegundahan hatinya.

Tapi di tempat itu, Erkang mendadak memberitahu Ziwei satu hal.

“Aku ingin menikahimu!”

Ziwei terkejut. Erkang melanjutkan, “Tapi bagaimana caranya aku belum tahu. Kau tahu kebiasaan pernikahan pejabat Kerajaan bukan? Pernikahan mereka diatur oleh istana. Ini sebenarnya pernikahan politik untuk mengukuhkan kekuasaan dinasti. Satu-satunya alasan kenapa aku belum menikah sampai sekarang karena Kaisar belum memilihkan calon istriku.”

Ziwei terbelalak. Dia baru tahu aturan itu.

“Jadi, urusan pernikahanku dan Ertai tidak terletak pada kedua orang tuaku, melainkan berada di tangan Kaisar. Aku tahu Kaisar amat menyukaiku. Bertahun-tahun lalu dia bermaksud menjodohkanku dengan Putri Keenam. Tapi Putri Keenam jatuh sakit dan meninggal muda. Sejak itu, Kaisar belum menyinggung masalah perjodohanku lagi.”

“Aku paham,” kata Ziwei pada akhirnya. Sesungguhnya, Erkang bisa saja menikahi Ziwei secara resmi asal posisinya adalah putri Qianlong. Tapi dengan status saat ini, kemungkinan besar Ziwei hanya bisa menjadi gundik Erkang.

Meski kedengarannya pahit, Erkang tetap melanjutkan, “Kaisar tidak mungkin menjodohkanmu denganku kalau posisimu dan Xiao Yanzi masih seperti sekarang. Di satu pihak, Kaisar menginginkanku sebagai menantunya. Di lain pihak, seorang Gege sudah ada di hadapanku. Tapi aku tak bisa meminta Kaisar melamarnya sebagai istriku.”

Semangat Ziwei seolah pergi. “Aku bisa memahaminya. Kau begitu terjepit dengan dilema ini. Kalau begitu, sebaiknya kau biarkan aku pergi dan kita akhiri hubungan kita sampai di sini.”

Erkang kaget. “Kenapa? Kau seolah merasa hubungan kita tak ada masa depannya. Yang kumaksud adalah sekalipun resiko yang kuhadapi akan berakibat buruk, aku tak akan mundur!”

“Kalaupun posisimu dengan Xiao Yanzi belum kembali seperti semula sebelum perjodohanku ditentukan, aku akan berterus terang pada Kaisar. Kalau aku mencintai gadis jelata dan meminta restunya.”

“Bagaimana kalau Kaisar tidak mau kau menikahi seorang gadis biasa?”

“Kalau Kaisar tidak mau, aku akan mengingatkan dia pada wanita jelata yang pernah dicintainya bernama Xia Yuhe!”

Ziwei terkejut mendengar Erkang menyebut nama ibunya. Perlahan, Ziwei bergumam, “Itu tidak akan berhasil… Kau lupa… Kaisar tidak pernah memperistri Xia Yuhe…”

Kata-kata Ziwei seperti palu yang menghantam Erkang. Dia baru sadar kalau Ziwei bisa tersinggung dengan ucapannya barusan. Memang benar, hubungan Kaisar dengan Xia Yuhe hanya cinta sesaat. One Night Stands. Selepas kejadian dan Kaisar kembali ke Beijing, dia pun melupakan semuanya.

“Maafkan aku! Kata-kataku tadi salah. Tapi kumohon kau harus mempercayaiku dan membiarkanku mengatur segalanya…”

Dulu Ayahnya juga berkata sama pada ibunya, pikir Ziwei. Dia akan mengatur segalanya setiba di Beijing. Dia akan bertanggung jawab dan memberi Xia Yuhe posisi yang pantas. Tapi janji tinggal janji. Ayahnya tidak pernah datang. Janji itu pun sirna begitu saja.

Kini di hadapan Ziwei ada Erkang. Yang juga berjanji akan memperjuangkan hubungan mereka. Ziwei sudah pernah melihat janji serupa telah membuat ibunya merana. Apakah janji Erkang pun akan membuatnya sengsara?”

Tanpa sadar pelupuk mata Ziwei basah. “Sebelum meninggal ibuku berpesan… ‘Ziwei, bersumpahlah padaku. Kau jangan pernah menjadi Xia Yuhe kedua….’”

Erkang kembali terpukul mendengar perkataan Ziwei. Kini dia memahami perasaan gadis itu. Jika Erkang gegabah bertindak, bisa-bisa sejarah terulang dan Ziwei akan bernasib seperti ibunya. Lalu, apa bedanya dia dengan Qianlong – yang cuma bisa melontarkan janji-janji kosong?

Erkang memandang Ziwei yang berdiri menantang angin. Sangat cantik. Sungguh keanggunan yang tiada cacatnya. Semua inilah yang menawan dirinya. Dalam hatinya Erkang bersumpah, walau sekarang dia diijinkan begitu dekat dan tinggal serumah dengan Ziwei, dia tak akan pernah menyentuhnya sebelum mereka terikat pernikahan.

Erkang tak akan membiarkan Ziwei menjadi Xia Yuhe kedua. Takkan pernah!

Well Erkang, salute for you. You’re so gentlemen.

***

Dear Temans,

Terima kasih sudah mengikuti dan membaca sinopsis buku pertama ini. Meski sangat minim gambar seperti yang Ari dan saya resahkan, kami tetap senang mengetahui para pembaca cukup mengerti. Novel dan serial Putri Huanzhu dibuat sepuluh tahun lalu saat internet belum terlalu eksis. Sehingga ‘piku-piku’ scenenya – begitu istilah Ari, masih sulit ditemukan oleh mbah Google.

Kembali ke Huanzhu Gege, sampai sini kita tahu kalau ada tiga orang yang paling bersemangat mengembalikan posisi Xiao Yanzi dan Ziwei seperti semula. Mereka adalah Xiao Yanzi, Erkang dan Yongqi.

Xiao Yanzi tahu sejak awal kalau dia bersalah pada Ziwei. Selain itu, kungkungan istana tidak sesuai dengan jiwanya yang bebas. Motif Erkang cukup jelas, kalau ingin resmi memperistri Ziwei, maka status Ziwei harus sebagai Gege. Sedang Yongqi, kita samar-samar tahu dia menyukai Xiao Yanzi. Kalau Xiao Yanzi masih dalam posisinya yang sekarang, bagaimana Pangeran Kelima bisa bicara pada Kaisar kalau gadis yang disukainya adalah adik tirinya sendiri?

Bagian kelima ini merupakan bagian terfavorit saya selama merecaps novel ini. Ini merupakan bagian ter-funny Xiao Yanzi – sekaligus paling mengharukan. Deskripsi hubungan Qianlong dan Xiao Yanzi begitu intens. Sepuluh tahun lalu, saat menyaksikan adegan Qianlong memukul Xiao Yanzi, saya sangat sebal dengan Kaisar. Kini, setelah saya bertambah tua, saya jadi paham tindakan yang diambil Qianlong itu selaku orang tua. Meski saya tetap tidak setuju pemukulan anak di depan umum.

Quote favoritku di bagian kelima ini adalah kata-kata Qianlong, “Sebenarnya ayah dan ibu sama saja! Ketika anak dipukul, hatinya pun terasa sakit.”

Yah, kurasa memang begitulah kalau jadi orang tua – walau saya sendiri belum mengemban tanggung jawab itu ;)

Oke teman-teman, saya akan rehat sebentar. Tapi kita akan segera bertemu lagi di sinopsis novel Putri Huanzhu kedua: Rahasia Yang Belum Terungkap. Sampai jumpa! :D

Bersambung

Written by: http://merlinschinesestories.blogspot.com/

BACA JUGA SINOPSIS LAINNYA



0 comments:

Post a Comment


Friend Link List