Do you like this story?
Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge 1: Yin Chuo Yang Cha
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan.
Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu 1: Kesalahan Masa Silam
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tilly Zaman, Wisnu Adi Hartono
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Oktober 1999 (edisi pertama)
Cerita sebelumnya:
Xia Ziwei, seorang gadis asal Jinan, pergi ke Beijing bersama pembantunya, Jinshuo, guna mencari ayahnya. Di Beijing Ziwei berkenalan dengan Xiao Yanzi, gadis gelandangan penghuni rumah kumuh. Keduanya lalu mengangkat saudara. Xiao Yanzi membantu Ziwei menemukan ayahnya yang ternyata adalah Kaisar Qianlong. Namun pada hari berburu kerajaan, Xiao Yanzi justru terkena panah Pangeran Kelima hingga tak sadarkan diri.
Kesadaran Xiao Yanzi timbul-tenggelam. Lukanya mulai meradang sehingga membuatnya demam. Dalam tidurnya pun, Xiao Yanzi mengigau.
Pada suatu kesempatan, saat Xiao Yanzi sadar dan tidak, dilihatnya sosok agung mendekat. Sosok itu menepuk pipinya dengan lembut.
“Kau dengar suaraku? Katakan siapa namamu dan berapa umurmu?”
“Umurku… delapan belas. Aku lahir tahun renxu… namaku, Xiao Yanzi….”
“Kau lahir bulan berapa? Apa margamu?”
“Delapan… Aku lahir tanggal satu bulan delapan. Margaku... Kata Ziwei, margaku Xia...”
Sosok itu kembali menepuk pipi Xiao Yanzi lalu berkata, ”Xiao Yanzi, burung walet kecilku... Lekaslah sembuh! Aku pasti akan merawatmu!”
Beberapa hari kemudian, kesadaran Xiao Yanzi perlahan-lahan kembali.
Dia membuka mata, mengerjap-ngerjap dan menatap ruangan yang berisi bidadari tak terhitung jumlahnya. Bidadari-bidadari itu ada yang mengipasinya, memijit tangan dan kakinya serta mengganti kompresnya. Dia melihat ke bagian lain dalam ruangan. Asap tipis keluar dari pembakaran dupa. Beberapa dewa rambut putih sedang berembuk.
Xiao Yanzi serasa melayang. Alangkah nyaman ranjangnya. Kasurnya empuk. Kamarnya mewah. Begitu banyak bidadari cantik serta dewa berambut putih. Ini pasti surga. Rupanya surga itu tempat yang menyenangkan sekali...
Seorang bidadari paling cantik dengan penampilan paling mewah menghampiri Xiao Yanzi. Dia tersenyum. ”Kau sudah sadar? Aku Selir Ling...”
Tiba-tiba terdengar seruan, ”Permaisuri tiba!”
Seisi ruangan segera berlutut dan memberi hormat. Bahkan bidadari paling cantik pun menghaturkan salam, “Selir Ling menghadap Yang Mulia Permaisuri!”
Xiao Yanzi terkejut. Ada permaisuri di sini? Kalau begitu ini bukan surga? Dipejamkan matanya pura-pura tidur. Tapi Xiao Yanzi masih mencuri-curi lihat ke sosok wanita yang berpungung tegak dengan aneka perhiasan melingkari kepalanya.
Permaisuri menghampiri ranjang Xiao Yanzi. Ketika Xiao Yanzi tidak waspada, pandangannya bersirobok dengan Permaisuri. Serta merta dia merasa merinding. Sorot mata Permaisuri kejam, setajam pisau. Di belakangnya berdiri seorang dayang senior. Matanya sedingin Permaisuri.
“Inikah gadis dari tempat berburu itu? Apakah lukanya sudah membaik?”
”Benar,” jawab Selir Ling. Seorang dewa berambut putih, yang sebetulnya adalah tabib menjelaskan, ”Dia telah terselamatkan.”
”Ah, Tabib kerajaan memang berilmu tinggi,” Permaisuri memuji dingin. Dia mengibaskan tangannya. ”Kalian di ruangan ini boleh undur. Selir Ling dan Bibi Rong, kalian tetap disini!”
Para bidadari dan dewa berambut putih keluar ruangan. Selir Ling mendekati pembaringan. Mata Permaisuri seperti laser scan memindai wajah Xiao Yanzi.
”Di istana sudah tersiar kabar kalau gadis ini mirip Kaisar. Bagaimana pendapatmu, Selir Ling?”
(Istana? Pikir Xiao Yanzi. Jadi ternyata ini bukan surga. Dia sekarang tengah berada di istana Kaisar!)
Selir Ling menjawab takut-takut, ”Kaisar sendiri yang mengatakan, semakin dilihat, gadis ini semakin mirip dengannya.”
”Bibi Rong, bagaimana menurutmu?”
Dayang senior di belakang memajukan tubuhnya. Seperti Permaisuri, mata lasernya memindai wajah Xiao Yanzi. Hasil tesnya adalah: ”Para pangeran dan putri mirip satu sama lain sekalipun lahir dari ibu berbeda. Tapi gadis ini, sama sekali tidak mirip dengan mereka!”
Permaisuri tertawa dingin. ”Tapi ada yang bilang mata dan alisnya mirip sekali dengan Kaisar,” sindirnya ke arah Selir Ling. ”Jangan karena mau mencari muka, lantas bicara sembarangan. Kalau ternyata setelah diselidiki dia bukan keturunan Kaisar melainkan buronan eksekusi mati, apakah kau mau ikut dikubur bersamanya?”
”Hamba..., hamba tidak berani bicara sembarangan,” ujar Selir Ling ketakutan.
”Baguslah kalau kau menyadarinya. Hal ini harus diselidiki dengan benar. Kau juga harus mengingatkan Kaisar agar Yang Mulia memakai akal sehatnya. Jangan hanya karena sebuah kipas dan segulung lukisan, dia diakui sebagai Putri. Hubungan darah di kekaisaran tidak boleh tercampur. Jika sampai terjadi kesalahan, kepalamu bisa melayang. Apa kau mengerti?”
”Hamba mengerti,” jawab Selir Ling.
Permaisuri dan Bibi Rong pun meninggalkan ruangan. Dengan cemas Xiao Yanzi melihat kepergian permaisuri. Celaka! Mereka mengiranya keturunan Kaisar. Aduh Ziwei, bagaimana ini?
Setelah Permaisuri pergi, Xiao Yanzi tertidur kembali. Dia baru terbangun ketika sebuah aroma menggelitik hidungnya.
Qianlong sedang menjenguknya. Dia menyeka keringat di hidung Xiao Yanzi dengan saputangannya yang beraroma mawar. Selir Ling memperhatikan tindak tanduk Qianlong dengan hati-hati. Belum pernah dilihatnya Kaisar seperhatian itu pada putra-putrinya.
”Permaisuri kemari tadi,” bisik Selir Ling.
“Lalu? Apa dia mengatakan sesuatu?” tanya Qianlong.
”Beliau bilang... Ada penipuan di balik kemunculan gadis ini. Jika itu terbukti benar, beliau akan memancung kepala hamba dan Xiao Yanzi...”
”Siapa yang berani bilang kalau gadis ini bukan putriku, dialah yang kupancung!” Suara Qianlong mengeras sehingga Xiao Yanzi sadar dari tidurnya.
Pandangan Xiao Yanzi bertemu dengan pandangan Qianlong. Mendadak dia merasa tergetar.
”Kau... Kau siapa?”
Selir Ling menepuk-nepuk bahu Xiao Yanzi, ”Kalau bicara dengan Kaisar, jangan menyebut kau!”
Xiao Yanzi langsung bangun saking terkejutnya. ”Kaisar! Kau benar-benar Kaisar Qianlong? Ya Tuhan... Akhirnya aku bisa bertemu dengan Kaisar...”
”Ya, kau sudah bertemu denganku,” Qianlong berkata lembut. ” Sekarang berbaringlah kembali. Jangan terlalu banyak bergerak. Lukamu mengeluarkan banyak darah kemarin. Atau, kau ingin makan dan minum sesuatu? Akan kuperintahkan orang untuk menyiapkannya...”
Xiao Yanzi terkesima memandang Qianlong. Ya Tuhan! Inilah Sang Putra Langit! Orang yang kedudukannya cuma setingkat di bawah dewa. Seseorang yang tidak mungkin didekati oleh rakyat jelata. Pemimpin seantero China....
”Kau... seorang Kaisar. Dan kau... begitu perhatian padaku. Aku bisa mati saking bahagia...”
Qianlong tersentuh. ”Kau telah kuselamatkan, karena itu jangan mati. Mulai sekarang aku akan memenuhi hidupmu dengan kebahagiaan. Aku tak akan membiarkan kau menderita lagi.”
Qianlong mengeluarkan kipas lipat Ziwei. ”Aku sudah tahu kalau namamu Xiao Yanzi. Kipas dan lukisan gulung itu ada padamu. Benarkah kau masuk ke arena berburu demi menunjukkan kedua benda ini padaku?”
Xiao Yanzi mengangguk.
Qianlong mendesah. ”Aku mengerti. Ibumu bernama Xia Yuhe. Bagaimana keadaannya sekarang?”
Xiao Yanzi sedikit termangu lalu menjawab, ”Dia... sudah meninggal. Enam bulan lalu...”
”Oh, ”Qianlong tampak menyesal. ”Sungguh sayang. Kalian ibu dan anak pasti sudah sangat menderita.”
Xiao Yanzi kaget mendengarnya. Dia hendak meluruskan persoalannya. ”Kaisar... Aku bukan... uhuk! Uhuk! Uhuk!”
Karena terburu-buru bicara, Xiao Yanzi tersedak. Qianlong segera menepuk-nepuk bahunya dan meminta dayang menyiapkan air.
Dayang Selir Ling, Lamei, datang membawa cangkir berisi air. Diangsurkannya baki sambil berkata, ”Nona, silakan diminum airnya.”
Selir Ling memarahi Lamei, ”Kau bilang apa? Nona katamu? Apa kau tidak menyimak? Panggil dia Tuan Putri!”
”Hamba pantas mati!” Lamei langsung berlutut dan nyaris menciut. Dia mengangkat baki dan berseru, ”Silakan diminum airnya, Tuan Putri!”
Seluruh dayang di ruangan itu juga berlutut. Mereka berseru takzim, ”Panjang umur Tuan Putri!”
Xiao Yanzi terpengarah. Dalam kebingungannya, dia melihat Qianlong mengangsurkan cawan. Seorang Kaisar memberinya minum dengan tangannya sendiri!
Qianlong berujar, ”Anak yang malang. Sekian tahun baru bertemu Ayahanda sampai harus terluka...”
Xiao Yanzi terpesona. Dia seolah terhipnotis hingga naik ke awang-awang. Dia tak mampu menjelaskan persoalan yang sebenarnya.
Selir Ling berkata, ”Selamat Paduka. Ayah dan putri akhirnya bisa bertemu kembali.”
Selir Ling mendorong Xiao Yanzi. ”Kenapa kau masih diam saja? Ayo lekas panggil Huang Ama – Ayahanda Kaisar!”
Xiao Yanzi membelalak. Tidak boleh! Dia akan mengkhianati Ziwei! Tidak boleh!
Qianlong mengira Xiao Yanzi menolaknya. ”Kenapa? Kau tidak mau menerimaku jadi ayahmu?”
”Mau! Tentu saja aku mau!” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Xiao Yanzi. ”Tapi aku khawatir tidak bisa.”
Qianlong makin sedih mendengarnya. Dia telah salah menafsirkan perkataan Xiao Yanzi. ”Seandainya kau tak mau menerimaku sebagai ayahmu pun, aku tetap akan menerimamu sebagai putriku.”
Selir Ling membujuk Xiao Yanzi. ”Jadilah anak patuh. Ayo, cepat panggil Huang Ama!”
Mata Qianlong penuh kasih dan permohonan. Xiao Yanzi tidak tega melihatnya. Maka, meluncurlah ketiga kata itu dari mulutnya,
”Huang... A.. ma...”
Begitu Xiao Yanzi mengatakannya, Qianlong gembira luar biasa.
”Bagus! Bagus sekali! Putriku dari rakyat jelata telah kembali! Ha ha! Sungguh Langit maha adil!”
Sekumpulan besar dayang dan kasim yang ada di ruangan itu berlutut dan berseru, ”Selamat kepada Kaisar! Selamat kepada Tuan Putri! Semoga Kaisar dan Tuan Putri panjang umur hingga puluhan ribu tahun! Wan Shui!”
Sorak-sorai ini kembali melambungkan Xiao Yanzi ke awang-awang. Dia merasa telah menjadi peri.
”Ziwei, maafkan aku,” katanya dalam hati. ”Seumur hidup menggelandang dan tak punya orang tua, membuatku tak sanggup melawan godaan ini. Memiliki ayah seorang Kaisar yang penuh cinta dan sayang ternyata sangat menyenangkan. Jadi putri itu enak sekali. Ijinkan aku meminjam ayahmu. Aku bersumpah, kelak akan mengembalikannya lagi padamu...”
Ah, seandainya bisa segampang itu. Xiao Yanzi tidak tahu, bahaya apa yang akan dihadapinya.
Setelah Xiao Yanzi pulih dan diperbolehkan turun ranjang, dia pun diajak berkeliling di seputar kediaman Selir Ling di Istana Yanxi.
Selir Ling menganggap Xiao Yanzi seperti putrinya sendiri. Dia memakaikan Xiao Yanzi sebuah gaun yang sangat indah. Menyisir rambutnya lalu diberi topi bunga dan jepitan cantik. Selir Ling juga mendandaninya dengan bedak dan pemerah pipi.
Xiao Yanzi, yang seumur hidupnya belum pernah mengalami make over, kaget sewaktu melihat hasilnya di cermin.
”Astaga! Kalian mendandaniku hingga terlihat aneh. Pipiku terlalu merah-seperti pantat monyet!”
Xiao Yanzi menyambar saputangan dan mencoba menghapus pemerah pipinya. Selir Ling tersenyum geli. Dia menahan tangan Xiao Yanzi.
”Coba lihat putri yang satu ini. Padahal putri lainnya juga didandani begini. Satu hal lagi, di dalam istana kata pantat tidak boleh diucapkan oleh seorang putri. Bisa sial!”
Xiao Yanzi mengangkat alisnya. ”Apa semua penghuni istana tidak punya pantat sehingga tidak boleh mengucapkannya? Bahkan Kaisar pun duduk di atas pantatnya kan?”
Para dayang yang membantu Xiao Yanzi berhias tertawa tertahan. Selir Ling pun terpaksa tertawa.
Xiao Yanzi mengeluh, ”Kenapa peraturan di istana begitu banyak? Benar-benar merepotkan! Seorang Putri tidak boleh menyebut kata-kata yang mengandung makna sial. Tapi para pelayan istana terbiasa mengatakan ’hamba pantas mati’! bukankah itu aneh?”
Ketika Xiao Yanzi berkeliling istana Yanxi, dia terkagum-kagum dengan luasnya istana itu. (Itu baru istana Selir Ling, lho! Belum istana kediaman Kaisar, Permaisuri dan lain-lainnya! Kota Terlarang memang merupakan kompleks istana yang amat besar).
”Astaga! Ini istana atau kota? Banyak sekali bangunan di sana-sini!” Xiao Yanzi melihat ada papan-papan nama digantung pada pintu setiap gerbang, paviliun dan gedung. Xiao Yanzi tidak terlalu banyak mengenal huruf. Dia memandangi papan-papan nama itu, yang merupakan nama yang indah, salah membacanya sehingga memplesetkan makna sebenarnya.
Selir Ling menatap heran Xiao Yanzi. Mengapa gadis ini tidak mengenal banyak huruf? Apakah Ibunya, Xia Yuhe, tidak mengajarinya membaca?
Xiao Yanzi begitu terpana dengan pemandangan istana. Banguna serta taman-tamannya. ”Aku seperti berada di kahyangan. Kelak kalau aku kembali ke tempatku yang dulu dan menceritakannya kepada kawan-kawanku, mereka pasti tak percaya.”
Selir Ling sedikit terkejut dengan perkataan Xiao Yanzi. ”Tuan Putri, aku akan memberitahumu hal penting.”
”Sekarang Tuan Putri adalah anak yang diakui Kaisar, jadi tidak sama dengan Xiao Yanzi yang dulu lagi. Kaisar memiliki banyak putra dan putri. Tapi aku belum pernah melihat Beliau menyayangi mereka sepertimu. Disayangi Kaisar adalah suatu kemuliaan yang tiada bandingnya. Sekaligus berbahaya. Karena di istana ini ada begitu banyak orang yang iri dan mendambakannya. Kalau Tuan Putri tidak berhati-hati, Tuan Putri bisa jadi sasaran yang memungkinkan nyawa menjadi taruhannya.”
Xiao Yanzi membelalak menatap Selir Ling. ”Sebegitu seriusnyakah?”
Selir Ling mengangguk. Xiao Yanzi lalu teringat tatapan kejam Permaisuri beserta kata-kata ancamannya tempo hari. Bulu kuduknya berdiri.
”Tapi, cepat atau lambat aku harus keluar dari istana dan kembali ke tempat asalku...”
Selir Ling cemas. Dia menoleh ke segala arah seolah takut kalau ada mata-mata yang mendengar. ”Kau tidak boleh berkata seperti itu! Sekarang rumahmu adalah istana ini! Kaisar telah mengakuimu sebagai Putri, maka kau pun harus bersikap sebagai Putri sungguhan!”
Xiao Yanzi gelisah. ”Tapi, seandainya kalau aku bukan Putri, bagaimana?”
Selir Ling terkejut. Dia mencengkeram tangan Xiao Yanzi erat-erat. ”Kalau kau ternyata bukan Putri, kau akan mencelakai banyak orang! Bukan hanya kepalamu yang akan dipancung, tapi juga aku, Fulun, seluruh orang yang hadir di arena berburu itu...semuanya akan ikut terseret!”
Xiao Yanzi gentar mendengarnya. Dia tahu Selir Ling tidak main-main. Duh, Ziwei, bagaimana ini? Aku takut mati...., batin Xiao Yanzi.
Tepat saat itu, Yongqi dan Ertai sedang berjalan ke arahnya.
”Inikah Putri yang terpanah olehku?” Yongqi terpana melihat penampilan Xiao Yanzi. ”Kau benar-benar tampak berbeda dari arena berburu hari itu. Aku sungguh tak menyangka punya adik perempuan yang begini cantik.” (Tunggu sampai kau tahu dia bukan adikmu, Pangeran Kelima.... Kekekeke)
Selir Ling mengenalkan Yongqi. ”Jadi, kau Pangeran Kellima?” Xiao Yanzi teringat pada pemuda yang mengangkat tubuhnya dan membawanya ke hadapan Kaisar. Hatinya terasa hangat.
Selir Ling juga mengenalkan Ertai dan bercerita sedikit tentang Erkang, kakak Ertai yang menjadi pengawal elit Kaisar.
Xiao Yanzi cepat akrab dengan Yongqi dan Ertai. Mungkin karena mereka sebaya. Sementara bagi Yongqi dan Ertai, putri semacam Xiao Yanzi belum pernah mereka temui.
Dia betul-betul seorang Putri yang naif.
Setelah mengakui Xiao Yanzi sebagai putrinya, Qianlong mengundang beberapa petinggi terdekatnya untuk membahas gelar yang akan diberikan kepada Xiao Yanzi.
Qi Xiaolan, seorang pejabat yang juga bertugas sebagai Guru Kerajaan yang mengajar para pangeran, berpendapat kalau Xiao Yanzi diumumkan sebagai putri angkat Kaisar. Ini demi menjaga nama baik Kaisar dan Xiao Yanzi (maksudnya menyelamatkan muka Kaisar karena sudah melupakan seorang wanita yang memberinya anak. Serta tidak mempermalukan Xiao Yanzi yang bisa dibilang anak haram Kaisar).
Qianlong akhirnya memilih gelar Huanzhu kepada Xiao Yanzi. (Huan = kembali, Zhu = mutiara. Jadi Huanzhu = Mutiara yang telah kembali. Jadi ingat tembang lawas: ’Mutiara yang hilang dulu... Jumpa lagi....’ ;D)
Oke, kembali ke laptop... maksudku sang Putri Huanzhu. Untuk menguji kelayakan Xiao Yanzi menerima gelar Putri, dia lalu dipanggil menghadap Kaisar dan Permaisuri. Sebenarnya, Qianlong sudah cukup yakin kalau Xiao Yanzi adalah putrinya dengan Xia Yuhe. Akan tetapi Permaisuri terus mendesak agar mereka tetap mengajukan beberapa pertanyaan bagi Xiao Yanzi (baca: interogasi) - supaya yakin akan statusnya.
Permaisuri dari klan Wulanala ini, sebenarnya merupakan Permaisuri Kedua Kaisar Qianlong. Permaisuri pertama Qianlong bernama Xiao Xian. Dia terkenal berwatak bajik, cantik dan pengertian. Sayang Permaisuri Xiao Xian meninggal di tahun ke-13 pemerintahan Qianlong, membuat sang Kaisar begitu berduka karena kematiannya.
Karena sebelumnya sudah ada Permaisuri Xiao Xian, orang-orang suka membandingkan kedua Permaisuri ini. Jelas Permaisuri Wulanala kalah. Rasa cinta Qianlong terhadapnya pun tidak sebesar rasa cintanya terhadap Permaisuri Xiao Xian dan Selir Ling. Akibatnya, Permaisuri Wulanala merasa kecewa dan tersisih. Untuk membuktikan kemampuannya, dia suka memaksakan kehendak. Demi menjaga martabatnya, dia sering menampilkan wajah dan suara kejam. Permaisuri Wulanala merasa telah mendapat banyak perlakuan tidak adil sehingga menjelma menjadi seorang Permaisuri yang bermulut tajam.
Hari itu, Xiao Yanzi menghadap Kaisar dan Permaisuri didampingi Selir Ling. Melihat Xiao Yanzi belum terlalu menguasai tata krama istana dan keputren, Permaisuri langsung ’menyerang’ Selir Ling.
”Sampai sekarang kau belum mengajarnya bagaimana memberi salam dan bicara yang sopan jika menghadap Kaisar serta Permaisuri?”
Selir Ling merasa malu. Qianlong menengahi dengan berkata, ”Tidak apa-apa. Belajarlah pelan-pelan... ”
Qianlong lalu mengutarakan maksud dari pertemuan ini. Xiao Yanzi tampak bingung. Dia menatap Permaisuri yang sedang memandang tajam ke arahnya. Tatapan jahat itu seolah berkata, ”Awas sampai aku menangkap ekor serigalamu. Kita lihat apakah saat itu, kepalamu masih melengket di lehermu?”
Ziao Yanzi menelan ludah. ”Jika ada pertanyaan yang hendak Huang Ama dan Huang Erniang-Ibunda Permaisuri, tanyakan, silakan. Jangan ragu.”
Pertanyaan pertama dari Qianlong. ”Apakah ibumu pernah menyebut bagaimana kami bertemu?”
”Pernah!” jawab Xiao Yanzi. ”Katanya Huang Ama mampir ke rumahnya untuk berteduh dari hujan. Tapi setelah hujan reda, Huang Ama tetap tidak pergi. Dari duduk sebentar menjadi tinggal, dan dari tinggal itu kemudian...”
”Ya, ya!” potong Qianlong, merasa malu karena masa lalunya diungkit di hadapan Permaisuri dan Selir Ling. ”Memang begitu... Berteduh dari hujan...”
Pertanyaan kedua dari Permaisuri. ”Kapan kau berangkat meninggalkan Jinan? Dan kapan kau sampai di Beijing?”
Xiao Yanzi mencoba mengingat cerita Ziwei. ”Aku berangkat dari Jinan bulan satu lalu dan tiba di Beijing bulan dua.”
”Oh ya? Kalau begitu, sebentar sekali ya, kau bisa bicara dalam dialek Beijing? Bahasamu sama sekali tak berdialek Shandong lagi.”
Xiao Yanzi berhati-hati dengan jebakan Permaisuri. ”Sebenarnya, sejak kecil Ibu telah mencarikan guru untuk mengajariku dialek Beijing. Kini aku tahu gunanya apa. Ibu telah memperkirakan kalau suatu hari nanti aku akan ke Beijing.”
”Jadi begitu? Coba perdengarkan beberapa kata dalam dialek Shandong kepada kami!”
Xiao Yanzi langsung teringat masa-masanya mengamen bersama Liu Qing dan Liu Hong. Kedua bersaudara Liu kan orang Shandong. Dia pun menirukan dialek Shandong yang beritonasi panjang. ”Bakpaooo... Mantouuu... Bakpao Kacang Hijauuuu... Masih hangattt.. Masih hangattt... Bakpaoo... Mantouu... Bakpao Kacang Hijauuu....” (kacang hijau = taosa kalau di Indonesia).
”Cukup! Katakan yang lain lagi!”
Xiao Yanzi berpikir sejenak. Lalu, kalimat ini mengalir lancar dari mulutnya, ”Aku, Xiao Yanzi, orang Shandong. Aku datang ke kota Beijing untuk mencari orang tuaku. Tapi sebelum menemukan orang tuaku, aku jatuh sakit dan kehabisan uang. Karena itu aku memberanikan diri mempertontonkan keahlian silatku yang tidak seberapa. Semoga Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya, Paman dan Bibi sekalian berbelas kasihan. Jika ada uang, kumohon sudilah diberikan untukku – sebagai bekal pulang kampung!”
Alis Permaisuri berkerut. ”Kau mengucapkan kalimat itu dengan fasih sekali ya?”
”Tentu saja!” kata Xiao Yanzi tanpa pikir panjang. ”Aku kan sudah sering melatihnya.”
”Berlatih? Untuk apa?” jelas-jelas Permaisuri curiga.
Xiao Yanzi terkejut. Terbata-bata dia menjawab, ”Sebab kalau aku tidak bisa menemukan ayahku dan benar-benar kehabisan uang, aku harus mengamen di jalanan...”
Qianlong sedih mendengarnya. Tapi Permaisuri semakin curiga. Dia mengajukan pertanyaan lain. ”Kau mahir bersilat? Ibumu yang mengajarkannya?”
Xiao Yanzi pandai berpura-pura. Dia menjawab, ”Benar! Ibuku bilang kalau anak perempuan tidak punya keahlian akan mudah ditipu. Dia juga memanggilkan seorang guru silat untukku. Sayang aku tidak rajin berlatih sehingga tak semua jurus benar-benar kukuasai.”
Permaisuri menyiapkan perangkap lebih mematikan lagi. ”Kalau Ibumu mendidikmu dengan cara seperti itu, dia pasti seorang wanita yang berpengetahuan luas. Huang Ama-mu sangat mahir di bidang sastra. Dia juga berbakat menggubah puisi dan lagu. Kau pasti sudah pernah belajar membaca sajak. Coba perdengarkan pada kami satu-dua kutipan puisi!”
Waduh! Kalau yang ini, Xiao Yanzi benar-benar mati kutu. ”Puisi? Kalau yang itu, Ibuku tidak pernah mengajarkannya.”
”Aneh sekali!” suara Permaisuri meninggi. ”Ibumu memintamu belajar dialek Beijing dan silat. Tapi tidak mengajarkan cara membaca dan membuat puisi? Kalau begitu, apakah kau pernah mempelajari Empat Analek Konfucius dan Lima Klasika Mencius?”
”Analek apa? Klasika apa?” Xiao Yanzi berpikir-pikir. ”Aku bisa mengutip beberapa kata dari Klasika San Zi Jing – Klasika Tiga Huruf.”
”Lalu? Apa lagi? Masa cuma Klasika San Zi Jing? Itu kan kitab moral untuk kanak-kanak.”
Xiao Yanzi cemas melihat Permaisuri yang berbelit-belit. Dia pun mengeluarkan jurus andalannya: memanfaatkan simpati orang lain. Dengan nekat dia merajuk.
”Aku memang tidak mempunyai pengetahuan apa-apa serta tidak mempelajari banyak buku. Huang Erniang mengujiku seperti ini supaya Huang Ama tak perlu mengakuiku, bukan? Kalau memang tak mau diakui, ya sudah!”
Permaisuri marah. Dia berpaling ke Qianlong. ”Yang Mulia! Lihat kelakuannya! Masa aku tidak boleh menanyainya?”
Qianlong tak tega melihat Xiao Yanzi yang terpojok. Apalagi Xiao Yanzi menyambung, ”Mungkin Ibuku memang aneh. Dia memintaku belajar dialek Beijing dan silat tapi tidak mengajari menulis dan membaca puisi. Sekarang dia sudah wafat. Jadi aku tidak bisa menanyainya kenapa aku dulu tidak diajari hal itu. Walau Huang Erniang terus bertanya, aku tetap tak mengerti.”
Mendengar cerita Xiao Yanzi, Qianlong jadi mengira-ngira perasaan Xia Yuhe dalam mendidik putri mereka.
”Aku mengerti,” kata Qianlong. ”Ibumu adalah wanita berbakat. Bakat inilah yang membuatku terkesan. Menulis puisi dan lagu, bermain kecapi serta catur, membaca dan menulis puisi... Tapi semua bakat itulah yang menghancurkan hidupnya. Sehingga dia tak ingin kau menjadi seperti dia. Mungkin perempuan tidak berbakat pun tidak apa-apa, dia akan lebih berbudi.”
Permaisuri masih belum puas karena tidak berhasil menciduk Xiao Yanzi. Dia menyerang Xiao Yanzi dengan jurus pertanyaan terakhir.
”Apa yang dikatakan Ibumu saat dia hampir meninggal? Selain kedua barang bukti yang diberikan padamu, masih ada perkataan rahasia yang disampaikan kepadamu?”
”Perkataan rahasia?” Xiao Yanzi pening. Ditatapnya Qianlong dengan pandangan sedih. ”Huang Ama, bisakah aku... tidak menceritakan saat-saat ketika Ibu hampir meninggal? Aku... aku tak sanggup...”
Sebenarnya, Xiao Yanzi sedang ketakutan dan tak berdaya. Tapi Qianlong mengira hati Xiao Yanzi pedih jika mengingat kematian Xia Yuhe. Maka dengan lantang Qianlong berkata,
”Kau tak perlu mengatakan apa-apa lagi! Kau adalah Putri Huanzhu-ku yang hilang dan kini telah kutemukan kembali. Aku sungguh percaya dan yakin padamu. Mulai sekarang, siapa pun tidak diperkenankan menanyaimu macam-macam!”
Permaisuri sangat kesal. Dia jelas-jelas mencurigai Xiao Yanzi yang asal-usulnya tidak jelas. Tapi sekarang gadis itu telah berada di bawah lindungan Qianlong sehingga Permaisuri tak punya pilihan lain untuk menjatuhkannya.
Setelah ’interogasi’ itu, Qianlong memberi Xiao Yanzi Paviliun Shuofang untuk ditempati. Xiao Yanzi juga diberi dua dayang: Mingyue dan Caixia. Serta dua kasim: Xiao Dengzi dan Xiao Cuozi.
Kini, Xiao Yanzi harus berpenampilan benar-benar seperti seorang Gege-putri. Rambutnya senantiasa tersisir rapi dan memakai topi pianfang yang berhiaskan bunga serta perhiasan. Sepasang anting-anting dipasang di kedua telinganya. Dia juga wajib mengenakan kalung mutiara dan sepatu bersol. (Wanita China Han jaman dulu memiliki kebiasaan membebat kaki agar berhenti tumbuh dan kaki itu mengecil. Sementara kebiasaan wanita Manchu tidak. Mereka hanya memakai sepatu bersol/ berhak agarkelihatan lebih tinggi dan anggun)
Dengan penampilan barunya, Xiao Yanzi kepayahan sewaktu mencoba berdiri dan melangkah. Dia mengomel, ”Terlalu banyak benda digantung di tubuhku. Di atas kepalaku saja beratnya sudah beberapa kilo. Ini benar-benar menyiksa. Kepala memakai topi tinggi, kaki memakai sepatu tinggi.... Aiya!”
Xiao Yanzi kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh tengkurap :p
Sementara itu, di luar istana, Ziwei gundah gulana memikirkan Xiao Yanzi yang tak ada kabarnya.
Liu Qing dan Liu Hong pun mencemaskan Xiao Yanzi. Mereka mencari Xiao Yanzi kemana-mana tapi tidak menemukannya. Yang membuat kedua bersaudara Liu tambah cemas, Ziwei dan Jinshuo sepertinya menyimpan suatu rahasia bersama Xiao Yanzi. Dan ketika ditanya, baik Ziwei maupun Jinshuo tak bisa menjelaskannya.
Liu Qing gusar saat ditahunya Xiao Yanzi pergi ke arena berburu Kaisar. Ziwei pun jadi sasaran kemarahannya. ”Buat apa Xiao Yanzi kesana? Kalian kan tahu, meski baik hati, dia tak punya hal-hal lain yang bisa dibanggakan selain nyalinya. Dia suka melebih-lebihkan. Pemberani tapi ceroboh. Juga tidak punya strategi. Ilmu silatnya pun tidak terlalu bagus. Kalau dia tertangkap sebagai penyusup dan dituduh pengacau bagaimana?”
Ziwei benar-benar pedih memikirkan Xiao Yanzi yang hilang. Begitu pula dengan kedua barang buktinya. Peluang menemukan Xiao Yanzi semakin kecil, begitu pula dengan peluang Ziwei bertemu dengan ayahnya.
Lalu suatu hari, Ziwei, Jinshuo, Liu Qing dan Liu Hong melihat Xiao Yanzi pada sebuah arak-arakan kerajaan.
Hari itu, Kaisar Qianlong membawa Xiao Yanzi mengunjungi Kuil Langit untuk memberi persembahan. Ini juga sebagai pengumuman Kaisar kepada rakyat kalau dia telah mengangkat seorang putri baru.
Barisan prajurit mengawal parade itu. Kaisar duduk di tandunya yang mewah sambil melambaikan tangan ke rakyat yang mengelu-elukannya. Xiao Yanzi juga duduk di tandunya yang diangkat belasan orang. Dia memakai pakaian upacara yang sangat mewah. Xiao Yanzi sangat antusias. Dilambai-lambaikan tangannya kepada orang-orang yang berteriak memujanya. ”Hidup Tuan Putri! Semoga Tuan Putri panjang umur sampai puluhan ribu tahun! Wan Shui! Wan Shui!”
Xiao Yanzi berpikir, inilah dia sekarang. Sang Putri Huanzhu! Dia yang dulu hanya seorang gelandangan yang berkeliaran di jalanan. Yang dulu sering dihina dan diremehkan. Sekarang dia dielu-elukan. Betapa semua ini membuatnya terpesona. Ingin rasanya dia melompat keluar tandu dan bersorak-sorai bersama mereka.
Jinshuo yang pertama kali melihat Xiao Yanzi. Dia langsung menggamit Ziwei.
”Nona, bukankah itu Xiao Yanzi? Kenapa dia bisa duduk di dalam tandu itu? Kenapa dia bisa jadi putri?!?”
Untuk sesaat, Ziwei tampak linglung. Liu Qing dan Liu Hong tak kalah herannya. Liu Qing menghampiri kerumunan orang-orang, menanyai salah satu diantara mereka. Sebenarnya ini parade dalam rangka apa?
Orang itu menjawab Liu Qing. ”Kamu tak tahu ya? Kaisar baru saja mengangkat putri dari kalangan rakyat jelata. Kabarnya putri ini sangat memikat hati Kaisar sehingga Kaisar sangat menyayanginya. Hari ini Kaisar membawa Tuan Putri pergi mempersembahkan sesaji kepada para dewa. Kaisar sangat bajik. Dia suka menyamar ketika berpergian. Dan tahu-tahu, menemukan seorang putri angkat...”
Ziwei langsung sadar kalau kedua barang buktinya ada pada Xiao Yanzi. Mendadak dia berteriak. ”Xiao Yanzi! Kembali! Kau harus jelaskan padaku! Kenapa kau bisa jadi putri?”
Ziwei menerobos kerumunan orang mencoba mengejar tandu Xiao Yanzi. Jinshuo, Liu Qing dan Liu Hong menyusulnya. Tandu semakin menjauh. Ziwei semakin histeris.
”Kau sudah jadi putri. Aku... aku lantas bagaimana?”
Pasukan pagar betis menyergap Ziwei. ”Kaisar!” Ziwei kembali berteriak. ”Xiao Yanzi itu bukan putri! Dia putri palsu! Akulah putri yang sesungguhnya! Xiao Yanzi! Kau sungguh kejam! Teganya kau berkhianat seperti ini!”
Melihat Ziwei yang memberontak, para prajurit yang menyergapnya mulai memukul dan menendangnya.
Liu Qing dan Liu Hong segera maju demi melindungi Ziwei. Mereka pun terlibat perkelahian dengan pasukan pengawal.
Erkang, yang berkuda di barisan belakang, melihat kericuhan itu. Dia mendekat ke arah para prajurit sambil berteriak, ”Siapa yang berani berbuat onar?”
Ziwei terus saja berseru. ”Aku mau bertemu Kaisar! Aku mau bertemu Kaisar!”
Erkang terkejut ketika dilihatnya seorang wanita yang membuat kericuhan. Massa mulai saling dorong. Khawatir insiden ini akan mengejutkan Kaisar, Erkang kembali berteriak kepada pasukan pengawal.
”Suruh dia untuk diam! Lalu tangkap semuanya!”
Salah seorang pasukan maju dan menampar Ziwei hingga tersungkur. Beberapa diantaranya lalu menginjak dan menendang gadis itu.
Erkang turun dari kuda. ”Berhenti!” perintahnya. Dan para pasukan pengawal itu berhenti memukuli Ziwei.
Ziwei mengangkat kepala melihat sosok Erkang. Dia merangkak ke arahnya lalu mencengkeram bagian bawah tepi jubah Erkang. Keringat, air mata, bercampur dengan darah yang mengalir dari sudut mulutnya.
”Tolong beritahu Kaisar... Puisi ini... ’Selepas hujan bunga teratai mendapat anugerah embun’. Ini puisi Kaisar bagi Xia Yuhe. Bunga teratai dalam puisi itu... adalah Xia Yuhe... Dia... dia ibuku...”
Habis berkata demikian, Ziwei tak sadarkan diri. Erkang terkejut. Bagaimana gadis ini bisa tahu soal puisi di kipas lipat Xiao Yanzi dan menyebut nama Xia Yuhe?
Jinshuo menghambur dan memeluk Ziwei. ”Nona! Jangan mati! Kalau kau mati, bagaimana aku menghadapi mendiang Nyonya?”
Erkang semakin curiga. Pada saat bersamaan, Fulun muncul dan bertanya,
”Erkang, ada insiden apa?”
Erkang berbisik pada Fulun, ”Ayah, ada masalah mencurigakan. Bisakah kedua gadis ini kubawa pulang untuk diperiksa?”
Fulun tak berkata banyak. Dia hanya mengangguk.
Sementara itu jauh di barisan depan, Kaisar duduk bahagia di atas tandunya. Tanpa tahu sedikit pun soal insiden di barisan belakang. Dan kemungkinan Putri Huanzhu-nya yang asli telah begitu dekat dengannya.
Bersambung....
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan.
Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu 1: Kesalahan Masa Silam
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tilly Zaman, Wisnu Adi Hartono
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Oktober 1999 (edisi pertama)
Cerita sebelumnya:
Xia Ziwei, seorang gadis asal Jinan, pergi ke Beijing bersama pembantunya, Jinshuo, guna mencari ayahnya. Di Beijing Ziwei berkenalan dengan Xiao Yanzi, gadis gelandangan penghuni rumah kumuh. Keduanya lalu mengangkat saudara. Xiao Yanzi membantu Ziwei menemukan ayahnya yang ternyata adalah Kaisar Qianlong. Namun pada hari berburu kerajaan, Xiao Yanzi justru terkena panah Pangeran Kelima hingga tak sadarkan diri.
II
Kesadaran Xiao Yanzi timbul-tenggelam. Lukanya mulai meradang sehingga membuatnya demam. Dalam tidurnya pun, Xiao Yanzi mengigau.
Pada suatu kesempatan, saat Xiao Yanzi sadar dan tidak, dilihatnya sosok agung mendekat. Sosok itu menepuk pipinya dengan lembut.
“Kau dengar suaraku? Katakan siapa namamu dan berapa umurmu?”
“Umurku… delapan belas. Aku lahir tahun renxu… namaku, Xiao Yanzi….”
“Kau lahir bulan berapa? Apa margamu?”
“Delapan… Aku lahir tanggal satu bulan delapan. Margaku... Kata Ziwei, margaku Xia...”
Sosok itu kembali menepuk pipi Xiao Yanzi lalu berkata, ”Xiao Yanzi, burung walet kecilku... Lekaslah sembuh! Aku pasti akan merawatmu!”
Beberapa hari kemudian, kesadaran Xiao Yanzi perlahan-lahan kembali.
Dia membuka mata, mengerjap-ngerjap dan menatap ruangan yang berisi bidadari tak terhitung jumlahnya. Bidadari-bidadari itu ada yang mengipasinya, memijit tangan dan kakinya serta mengganti kompresnya. Dia melihat ke bagian lain dalam ruangan. Asap tipis keluar dari pembakaran dupa. Beberapa dewa rambut putih sedang berembuk.
Xiao Yanzi serasa melayang. Alangkah nyaman ranjangnya. Kasurnya empuk. Kamarnya mewah. Begitu banyak bidadari cantik serta dewa berambut putih. Ini pasti surga. Rupanya surga itu tempat yang menyenangkan sekali...
Seorang bidadari paling cantik dengan penampilan paling mewah menghampiri Xiao Yanzi. Dia tersenyum. ”Kau sudah sadar? Aku Selir Ling...”
Tiba-tiba terdengar seruan, ”Permaisuri tiba!”
Seisi ruangan segera berlutut dan memberi hormat. Bahkan bidadari paling cantik pun menghaturkan salam, “Selir Ling menghadap Yang Mulia Permaisuri!”
Xiao Yanzi terkejut. Ada permaisuri di sini? Kalau begitu ini bukan surga? Dipejamkan matanya pura-pura tidur. Tapi Xiao Yanzi masih mencuri-curi lihat ke sosok wanita yang berpungung tegak dengan aneka perhiasan melingkari kepalanya.
Permaisuri menghampiri ranjang Xiao Yanzi. Ketika Xiao Yanzi tidak waspada, pandangannya bersirobok dengan Permaisuri. Serta merta dia merasa merinding. Sorot mata Permaisuri kejam, setajam pisau. Di belakangnya berdiri seorang dayang senior. Matanya sedingin Permaisuri.
“Inikah gadis dari tempat berburu itu? Apakah lukanya sudah membaik?”
”Benar,” jawab Selir Ling. Seorang dewa berambut putih, yang sebetulnya adalah tabib menjelaskan, ”Dia telah terselamatkan.”
”Ah, Tabib kerajaan memang berilmu tinggi,” Permaisuri memuji dingin. Dia mengibaskan tangannya. ”Kalian di ruangan ini boleh undur. Selir Ling dan Bibi Rong, kalian tetap disini!”
Para bidadari dan dewa berambut putih keluar ruangan. Selir Ling mendekati pembaringan. Mata Permaisuri seperti laser scan memindai wajah Xiao Yanzi.
”Di istana sudah tersiar kabar kalau gadis ini mirip Kaisar. Bagaimana pendapatmu, Selir Ling?”
(Istana? Pikir Xiao Yanzi. Jadi ternyata ini bukan surga. Dia sekarang tengah berada di istana Kaisar!)
Selir Ling menjawab takut-takut, ”Kaisar sendiri yang mengatakan, semakin dilihat, gadis ini semakin mirip dengannya.”
”Bibi Rong, bagaimana menurutmu?”
Dayang senior di belakang memajukan tubuhnya. Seperti Permaisuri, mata lasernya memindai wajah Xiao Yanzi. Hasil tesnya adalah: ”Para pangeran dan putri mirip satu sama lain sekalipun lahir dari ibu berbeda. Tapi gadis ini, sama sekali tidak mirip dengan mereka!”
Permaisuri tertawa dingin. ”Tapi ada yang bilang mata dan alisnya mirip sekali dengan Kaisar,” sindirnya ke arah Selir Ling. ”Jangan karena mau mencari muka, lantas bicara sembarangan. Kalau ternyata setelah diselidiki dia bukan keturunan Kaisar melainkan buronan eksekusi mati, apakah kau mau ikut dikubur bersamanya?”
”Hamba..., hamba tidak berani bicara sembarangan,” ujar Selir Ling ketakutan.
”Baguslah kalau kau menyadarinya. Hal ini harus diselidiki dengan benar. Kau juga harus mengingatkan Kaisar agar Yang Mulia memakai akal sehatnya. Jangan hanya karena sebuah kipas dan segulung lukisan, dia diakui sebagai Putri. Hubungan darah di kekaisaran tidak boleh tercampur. Jika sampai terjadi kesalahan, kepalamu bisa melayang. Apa kau mengerti?”
”Hamba mengerti,” jawab Selir Ling.
Permaisuri dan Bibi Rong pun meninggalkan ruangan. Dengan cemas Xiao Yanzi melihat kepergian permaisuri. Celaka! Mereka mengiranya keturunan Kaisar. Aduh Ziwei, bagaimana ini?
***
Setelah Permaisuri pergi, Xiao Yanzi tertidur kembali. Dia baru terbangun ketika sebuah aroma menggelitik hidungnya.
Qianlong sedang menjenguknya. Dia menyeka keringat di hidung Xiao Yanzi dengan saputangannya yang beraroma mawar. Selir Ling memperhatikan tindak tanduk Qianlong dengan hati-hati. Belum pernah dilihatnya Kaisar seperhatian itu pada putra-putrinya.
”Permaisuri kemari tadi,” bisik Selir Ling.
“Lalu? Apa dia mengatakan sesuatu?” tanya Qianlong.
”Beliau bilang... Ada penipuan di balik kemunculan gadis ini. Jika itu terbukti benar, beliau akan memancung kepala hamba dan Xiao Yanzi...”
”Siapa yang berani bilang kalau gadis ini bukan putriku, dialah yang kupancung!” Suara Qianlong mengeras sehingga Xiao Yanzi sadar dari tidurnya.
Pandangan Xiao Yanzi bertemu dengan pandangan Qianlong. Mendadak dia merasa tergetar.
”Kau... Kau siapa?”
Selir Ling menepuk-nepuk bahu Xiao Yanzi, ”Kalau bicara dengan Kaisar, jangan menyebut kau!”
Xiao Yanzi langsung bangun saking terkejutnya. ”Kaisar! Kau benar-benar Kaisar Qianlong? Ya Tuhan... Akhirnya aku bisa bertemu dengan Kaisar...”
”Ya, kau sudah bertemu denganku,” Qianlong berkata lembut. ” Sekarang berbaringlah kembali. Jangan terlalu banyak bergerak. Lukamu mengeluarkan banyak darah kemarin. Atau, kau ingin makan dan minum sesuatu? Akan kuperintahkan orang untuk menyiapkannya...”
Xiao Yanzi terkesima memandang Qianlong. Ya Tuhan! Inilah Sang Putra Langit! Orang yang kedudukannya cuma setingkat di bawah dewa. Seseorang yang tidak mungkin didekati oleh rakyat jelata. Pemimpin seantero China....
”Kau... seorang Kaisar. Dan kau... begitu perhatian padaku. Aku bisa mati saking bahagia...”
Qianlong tersentuh. ”Kau telah kuselamatkan, karena itu jangan mati. Mulai sekarang aku akan memenuhi hidupmu dengan kebahagiaan. Aku tak akan membiarkan kau menderita lagi.”
Qianlong mengeluarkan kipas lipat Ziwei. ”Aku sudah tahu kalau namamu Xiao Yanzi. Kipas dan lukisan gulung itu ada padamu. Benarkah kau masuk ke arena berburu demi menunjukkan kedua benda ini padaku?”
Xiao Yanzi mengangguk.
Qianlong mendesah. ”Aku mengerti. Ibumu bernama Xia Yuhe. Bagaimana keadaannya sekarang?”
Xiao Yanzi sedikit termangu lalu menjawab, ”Dia... sudah meninggal. Enam bulan lalu...”
”Oh, ”Qianlong tampak menyesal. ”Sungguh sayang. Kalian ibu dan anak pasti sudah sangat menderita.”
Xiao Yanzi kaget mendengarnya. Dia hendak meluruskan persoalannya. ”Kaisar... Aku bukan... uhuk! Uhuk! Uhuk!”
Karena terburu-buru bicara, Xiao Yanzi tersedak. Qianlong segera menepuk-nepuk bahunya dan meminta dayang menyiapkan air.
Dayang Selir Ling, Lamei, datang membawa cangkir berisi air. Diangsurkannya baki sambil berkata, ”Nona, silakan diminum airnya.”
Selir Ling memarahi Lamei, ”Kau bilang apa? Nona katamu? Apa kau tidak menyimak? Panggil dia Tuan Putri!”
”Hamba pantas mati!” Lamei langsung berlutut dan nyaris menciut. Dia mengangkat baki dan berseru, ”Silakan diminum airnya, Tuan Putri!”
Seluruh dayang di ruangan itu juga berlutut. Mereka berseru takzim, ”Panjang umur Tuan Putri!”
Xiao Yanzi terpengarah. Dalam kebingungannya, dia melihat Qianlong mengangsurkan cawan. Seorang Kaisar memberinya minum dengan tangannya sendiri!
Qianlong berujar, ”Anak yang malang. Sekian tahun baru bertemu Ayahanda sampai harus terluka...”
Xiao Yanzi terpesona. Dia seolah terhipnotis hingga naik ke awang-awang. Dia tak mampu menjelaskan persoalan yang sebenarnya.
Selir Ling berkata, ”Selamat Paduka. Ayah dan putri akhirnya bisa bertemu kembali.”
Selir Ling mendorong Xiao Yanzi. ”Kenapa kau masih diam saja? Ayo lekas panggil Huang Ama – Ayahanda Kaisar!”
Xiao Yanzi membelalak. Tidak boleh! Dia akan mengkhianati Ziwei! Tidak boleh!
Qianlong mengira Xiao Yanzi menolaknya. ”Kenapa? Kau tidak mau menerimaku jadi ayahmu?”
”Mau! Tentu saja aku mau!” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Xiao Yanzi. ”Tapi aku khawatir tidak bisa.”
Qianlong makin sedih mendengarnya. Dia telah salah menafsirkan perkataan Xiao Yanzi. ”Seandainya kau tak mau menerimaku sebagai ayahmu pun, aku tetap akan menerimamu sebagai putriku.”
Selir Ling membujuk Xiao Yanzi. ”Jadilah anak patuh. Ayo, cepat panggil Huang Ama!”
Mata Qianlong penuh kasih dan permohonan. Xiao Yanzi tidak tega melihatnya. Maka, meluncurlah ketiga kata itu dari mulutnya,
”Huang... A.. ma...”
Begitu Xiao Yanzi mengatakannya, Qianlong gembira luar biasa.
”Bagus! Bagus sekali! Putriku dari rakyat jelata telah kembali! Ha ha! Sungguh Langit maha adil!”
Sekumpulan besar dayang dan kasim yang ada di ruangan itu berlutut dan berseru, ”Selamat kepada Kaisar! Selamat kepada Tuan Putri! Semoga Kaisar dan Tuan Putri panjang umur hingga puluhan ribu tahun! Wan Shui!”
Sorak-sorai ini kembali melambungkan Xiao Yanzi ke awang-awang. Dia merasa telah menjadi peri.
”Ziwei, maafkan aku,” katanya dalam hati. ”Seumur hidup menggelandang dan tak punya orang tua, membuatku tak sanggup melawan godaan ini. Memiliki ayah seorang Kaisar yang penuh cinta dan sayang ternyata sangat menyenangkan. Jadi putri itu enak sekali. Ijinkan aku meminjam ayahmu. Aku bersumpah, kelak akan mengembalikannya lagi padamu...”
Ah, seandainya bisa segampang itu. Xiao Yanzi tidak tahu, bahaya apa yang akan dihadapinya.
***
Setelah Xiao Yanzi pulih dan diperbolehkan turun ranjang, dia pun diajak berkeliling di seputar kediaman Selir Ling di Istana Yanxi.
Selir Ling menganggap Xiao Yanzi seperti putrinya sendiri. Dia memakaikan Xiao Yanzi sebuah gaun yang sangat indah. Menyisir rambutnya lalu diberi topi bunga dan jepitan cantik. Selir Ling juga mendandaninya dengan bedak dan pemerah pipi.
Xiao Yanzi, yang seumur hidupnya belum pernah mengalami make over, kaget sewaktu melihat hasilnya di cermin.
”Astaga! Kalian mendandaniku hingga terlihat aneh. Pipiku terlalu merah-seperti pantat monyet!”
Xiao Yanzi menyambar saputangan dan mencoba menghapus pemerah pipinya. Selir Ling tersenyum geli. Dia menahan tangan Xiao Yanzi.
”Coba lihat putri yang satu ini. Padahal putri lainnya juga didandani begini. Satu hal lagi, di dalam istana kata pantat tidak boleh diucapkan oleh seorang putri. Bisa sial!”
Xiao Yanzi mengangkat alisnya. ”Apa semua penghuni istana tidak punya pantat sehingga tidak boleh mengucapkannya? Bahkan Kaisar pun duduk di atas pantatnya kan?”
Para dayang yang membantu Xiao Yanzi berhias tertawa tertahan. Selir Ling pun terpaksa tertawa.
Xiao Yanzi mengeluh, ”Kenapa peraturan di istana begitu banyak? Benar-benar merepotkan! Seorang Putri tidak boleh menyebut kata-kata yang mengandung makna sial. Tapi para pelayan istana terbiasa mengatakan ’hamba pantas mati’! bukankah itu aneh?”
Ketika Xiao Yanzi berkeliling istana Yanxi, dia terkagum-kagum dengan luasnya istana itu. (Itu baru istana Selir Ling, lho! Belum istana kediaman Kaisar, Permaisuri dan lain-lainnya! Kota Terlarang memang merupakan kompleks istana yang amat besar).
”Astaga! Ini istana atau kota? Banyak sekali bangunan di sana-sini!” Xiao Yanzi melihat ada papan-papan nama digantung pada pintu setiap gerbang, paviliun dan gedung. Xiao Yanzi tidak terlalu banyak mengenal huruf. Dia memandangi papan-papan nama itu, yang merupakan nama yang indah, salah membacanya sehingga memplesetkan makna sebenarnya.
Selir Ling menatap heran Xiao Yanzi. Mengapa gadis ini tidak mengenal banyak huruf? Apakah Ibunya, Xia Yuhe, tidak mengajarinya membaca?
Xiao Yanzi begitu terpana dengan pemandangan istana. Banguna serta taman-tamannya. ”Aku seperti berada di kahyangan. Kelak kalau aku kembali ke tempatku yang dulu dan menceritakannya kepada kawan-kawanku, mereka pasti tak percaya.”
Selir Ling sedikit terkejut dengan perkataan Xiao Yanzi. ”Tuan Putri, aku akan memberitahumu hal penting.”
”Sekarang Tuan Putri adalah anak yang diakui Kaisar, jadi tidak sama dengan Xiao Yanzi yang dulu lagi. Kaisar memiliki banyak putra dan putri. Tapi aku belum pernah melihat Beliau menyayangi mereka sepertimu. Disayangi Kaisar adalah suatu kemuliaan yang tiada bandingnya. Sekaligus berbahaya. Karena di istana ini ada begitu banyak orang yang iri dan mendambakannya. Kalau Tuan Putri tidak berhati-hati, Tuan Putri bisa jadi sasaran yang memungkinkan nyawa menjadi taruhannya.”
Xiao Yanzi membelalak menatap Selir Ling. ”Sebegitu seriusnyakah?”
Selir Ling mengangguk. Xiao Yanzi lalu teringat tatapan kejam Permaisuri beserta kata-kata ancamannya tempo hari. Bulu kuduknya berdiri.
”Tapi, cepat atau lambat aku harus keluar dari istana dan kembali ke tempat asalku...”
Selir Ling cemas. Dia menoleh ke segala arah seolah takut kalau ada mata-mata yang mendengar. ”Kau tidak boleh berkata seperti itu! Sekarang rumahmu adalah istana ini! Kaisar telah mengakuimu sebagai Putri, maka kau pun harus bersikap sebagai Putri sungguhan!”
Xiao Yanzi gelisah. ”Tapi, seandainya kalau aku bukan Putri, bagaimana?”
Selir Ling terkejut. Dia mencengkeram tangan Xiao Yanzi erat-erat. ”Kalau kau ternyata bukan Putri, kau akan mencelakai banyak orang! Bukan hanya kepalamu yang akan dipancung, tapi juga aku, Fulun, seluruh orang yang hadir di arena berburu itu...semuanya akan ikut terseret!”
Xiao Yanzi gentar mendengarnya. Dia tahu Selir Ling tidak main-main. Duh, Ziwei, bagaimana ini? Aku takut mati...., batin Xiao Yanzi.
Tepat saat itu, Yongqi dan Ertai sedang berjalan ke arahnya.
”Inikah Putri yang terpanah olehku?” Yongqi terpana melihat penampilan Xiao Yanzi. ”Kau benar-benar tampak berbeda dari arena berburu hari itu. Aku sungguh tak menyangka punya adik perempuan yang begini cantik.” (Tunggu sampai kau tahu dia bukan adikmu, Pangeran Kelima.... Kekekeke)
Selir Ling mengenalkan Yongqi. ”Jadi, kau Pangeran Kellima?” Xiao Yanzi teringat pada pemuda yang mengangkat tubuhnya dan membawanya ke hadapan Kaisar. Hatinya terasa hangat.
Selir Ling juga mengenalkan Ertai dan bercerita sedikit tentang Erkang, kakak Ertai yang menjadi pengawal elit Kaisar.
Xiao Yanzi cepat akrab dengan Yongqi dan Ertai. Mungkin karena mereka sebaya. Sementara bagi Yongqi dan Ertai, putri semacam Xiao Yanzi belum pernah mereka temui.
Dia betul-betul seorang Putri yang naif.
***
Setelah mengakui Xiao Yanzi sebagai putrinya, Qianlong mengundang beberapa petinggi terdekatnya untuk membahas gelar yang akan diberikan kepada Xiao Yanzi.
Qi Xiaolan, seorang pejabat yang juga bertugas sebagai Guru Kerajaan yang mengajar para pangeran, berpendapat kalau Xiao Yanzi diumumkan sebagai putri angkat Kaisar. Ini demi menjaga nama baik Kaisar dan Xiao Yanzi (maksudnya menyelamatkan muka Kaisar karena sudah melupakan seorang wanita yang memberinya anak. Serta tidak mempermalukan Xiao Yanzi yang bisa dibilang anak haram Kaisar).
Qianlong akhirnya memilih gelar Huanzhu kepada Xiao Yanzi. (Huan = kembali, Zhu = mutiara. Jadi Huanzhu = Mutiara yang telah kembali. Jadi ingat tembang lawas: ’Mutiara yang hilang dulu... Jumpa lagi....’ ;D)
Oke, kembali ke laptop... maksudku sang Putri Huanzhu. Untuk menguji kelayakan Xiao Yanzi menerima gelar Putri, dia lalu dipanggil menghadap Kaisar dan Permaisuri. Sebenarnya, Qianlong sudah cukup yakin kalau Xiao Yanzi adalah putrinya dengan Xia Yuhe. Akan tetapi Permaisuri terus mendesak agar mereka tetap mengajukan beberapa pertanyaan bagi Xiao Yanzi (baca: interogasi) - supaya yakin akan statusnya.
Permaisuri dari klan Wulanala ini, sebenarnya merupakan Permaisuri Kedua Kaisar Qianlong. Permaisuri pertama Qianlong bernama Xiao Xian. Dia terkenal berwatak bajik, cantik dan pengertian. Sayang Permaisuri Xiao Xian meninggal di tahun ke-13 pemerintahan Qianlong, membuat sang Kaisar begitu berduka karena kematiannya.
Karena sebelumnya sudah ada Permaisuri Xiao Xian, orang-orang suka membandingkan kedua Permaisuri ini. Jelas Permaisuri Wulanala kalah. Rasa cinta Qianlong terhadapnya pun tidak sebesar rasa cintanya terhadap Permaisuri Xiao Xian dan Selir Ling. Akibatnya, Permaisuri Wulanala merasa kecewa dan tersisih. Untuk membuktikan kemampuannya, dia suka memaksakan kehendak. Demi menjaga martabatnya, dia sering menampilkan wajah dan suara kejam. Permaisuri Wulanala merasa telah mendapat banyak perlakuan tidak adil sehingga menjelma menjadi seorang Permaisuri yang bermulut tajam.
Hari itu, Xiao Yanzi menghadap Kaisar dan Permaisuri didampingi Selir Ling. Melihat Xiao Yanzi belum terlalu menguasai tata krama istana dan keputren, Permaisuri langsung ’menyerang’ Selir Ling.
”Sampai sekarang kau belum mengajarnya bagaimana memberi salam dan bicara yang sopan jika menghadap Kaisar serta Permaisuri?”
Selir Ling merasa malu. Qianlong menengahi dengan berkata, ”Tidak apa-apa. Belajarlah pelan-pelan... ”
Qianlong lalu mengutarakan maksud dari pertemuan ini. Xiao Yanzi tampak bingung. Dia menatap Permaisuri yang sedang memandang tajam ke arahnya. Tatapan jahat itu seolah berkata, ”Awas sampai aku menangkap ekor serigalamu. Kita lihat apakah saat itu, kepalamu masih melengket di lehermu?”
Ziao Yanzi menelan ludah. ”Jika ada pertanyaan yang hendak Huang Ama dan Huang Erniang-Ibunda Permaisuri, tanyakan, silakan. Jangan ragu.”
Pertanyaan pertama dari Qianlong. ”Apakah ibumu pernah menyebut bagaimana kami bertemu?”
”Pernah!” jawab Xiao Yanzi. ”Katanya Huang Ama mampir ke rumahnya untuk berteduh dari hujan. Tapi setelah hujan reda, Huang Ama tetap tidak pergi. Dari duduk sebentar menjadi tinggal, dan dari tinggal itu kemudian...”
”Ya, ya!” potong Qianlong, merasa malu karena masa lalunya diungkit di hadapan Permaisuri dan Selir Ling. ”Memang begitu... Berteduh dari hujan...”
Pertanyaan kedua dari Permaisuri. ”Kapan kau berangkat meninggalkan Jinan? Dan kapan kau sampai di Beijing?”
Xiao Yanzi mencoba mengingat cerita Ziwei. ”Aku berangkat dari Jinan bulan satu lalu dan tiba di Beijing bulan dua.”
”Oh ya? Kalau begitu, sebentar sekali ya, kau bisa bicara dalam dialek Beijing? Bahasamu sama sekali tak berdialek Shandong lagi.”
Xiao Yanzi berhati-hati dengan jebakan Permaisuri. ”Sebenarnya, sejak kecil Ibu telah mencarikan guru untuk mengajariku dialek Beijing. Kini aku tahu gunanya apa. Ibu telah memperkirakan kalau suatu hari nanti aku akan ke Beijing.”
”Jadi begitu? Coba perdengarkan beberapa kata dalam dialek Shandong kepada kami!”
Xiao Yanzi langsung teringat masa-masanya mengamen bersama Liu Qing dan Liu Hong. Kedua bersaudara Liu kan orang Shandong. Dia pun menirukan dialek Shandong yang beritonasi panjang. ”Bakpaooo... Mantouuu... Bakpao Kacang Hijauuuu... Masih hangattt.. Masih hangattt... Bakpaoo... Mantouu... Bakpao Kacang Hijauuu....” (kacang hijau = taosa kalau di Indonesia).
”Cukup! Katakan yang lain lagi!”
Xiao Yanzi berpikir sejenak. Lalu, kalimat ini mengalir lancar dari mulutnya, ”Aku, Xiao Yanzi, orang Shandong. Aku datang ke kota Beijing untuk mencari orang tuaku. Tapi sebelum menemukan orang tuaku, aku jatuh sakit dan kehabisan uang. Karena itu aku memberanikan diri mempertontonkan keahlian silatku yang tidak seberapa. Semoga Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya, Paman dan Bibi sekalian berbelas kasihan. Jika ada uang, kumohon sudilah diberikan untukku – sebagai bekal pulang kampung!”
Alis Permaisuri berkerut. ”Kau mengucapkan kalimat itu dengan fasih sekali ya?”
”Tentu saja!” kata Xiao Yanzi tanpa pikir panjang. ”Aku kan sudah sering melatihnya.”
”Berlatih? Untuk apa?” jelas-jelas Permaisuri curiga.
Xiao Yanzi terkejut. Terbata-bata dia menjawab, ”Sebab kalau aku tidak bisa menemukan ayahku dan benar-benar kehabisan uang, aku harus mengamen di jalanan...”
Qianlong sedih mendengarnya. Tapi Permaisuri semakin curiga. Dia mengajukan pertanyaan lain. ”Kau mahir bersilat? Ibumu yang mengajarkannya?”
Xiao Yanzi pandai berpura-pura. Dia menjawab, ”Benar! Ibuku bilang kalau anak perempuan tidak punya keahlian akan mudah ditipu. Dia juga memanggilkan seorang guru silat untukku. Sayang aku tidak rajin berlatih sehingga tak semua jurus benar-benar kukuasai.”
Permaisuri menyiapkan perangkap lebih mematikan lagi. ”Kalau Ibumu mendidikmu dengan cara seperti itu, dia pasti seorang wanita yang berpengetahuan luas. Huang Ama-mu sangat mahir di bidang sastra. Dia juga berbakat menggubah puisi dan lagu. Kau pasti sudah pernah belajar membaca sajak. Coba perdengarkan pada kami satu-dua kutipan puisi!”
Waduh! Kalau yang ini, Xiao Yanzi benar-benar mati kutu. ”Puisi? Kalau yang itu, Ibuku tidak pernah mengajarkannya.”
”Aneh sekali!” suara Permaisuri meninggi. ”Ibumu memintamu belajar dialek Beijing dan silat. Tapi tidak mengajarkan cara membaca dan membuat puisi? Kalau begitu, apakah kau pernah mempelajari Empat Analek Konfucius dan Lima Klasika Mencius?”
”Analek apa? Klasika apa?” Xiao Yanzi berpikir-pikir. ”Aku bisa mengutip beberapa kata dari Klasika San Zi Jing – Klasika Tiga Huruf.”
”Lalu? Apa lagi? Masa cuma Klasika San Zi Jing? Itu kan kitab moral untuk kanak-kanak.”
Xiao Yanzi cemas melihat Permaisuri yang berbelit-belit. Dia pun mengeluarkan jurus andalannya: memanfaatkan simpati orang lain. Dengan nekat dia merajuk.
”Aku memang tidak mempunyai pengetahuan apa-apa serta tidak mempelajari banyak buku. Huang Erniang mengujiku seperti ini supaya Huang Ama tak perlu mengakuiku, bukan? Kalau memang tak mau diakui, ya sudah!”
Permaisuri marah. Dia berpaling ke Qianlong. ”Yang Mulia! Lihat kelakuannya! Masa aku tidak boleh menanyainya?”
Qianlong tak tega melihat Xiao Yanzi yang terpojok. Apalagi Xiao Yanzi menyambung, ”Mungkin Ibuku memang aneh. Dia memintaku belajar dialek Beijing dan silat tapi tidak mengajari menulis dan membaca puisi. Sekarang dia sudah wafat. Jadi aku tidak bisa menanyainya kenapa aku dulu tidak diajari hal itu. Walau Huang Erniang terus bertanya, aku tetap tak mengerti.”
Mendengar cerita Xiao Yanzi, Qianlong jadi mengira-ngira perasaan Xia Yuhe dalam mendidik putri mereka.
”Aku mengerti,” kata Qianlong. ”Ibumu adalah wanita berbakat. Bakat inilah yang membuatku terkesan. Menulis puisi dan lagu, bermain kecapi serta catur, membaca dan menulis puisi... Tapi semua bakat itulah yang menghancurkan hidupnya. Sehingga dia tak ingin kau menjadi seperti dia. Mungkin perempuan tidak berbakat pun tidak apa-apa, dia akan lebih berbudi.”
Permaisuri masih belum puas karena tidak berhasil menciduk Xiao Yanzi. Dia menyerang Xiao Yanzi dengan jurus pertanyaan terakhir.
”Apa yang dikatakan Ibumu saat dia hampir meninggal? Selain kedua barang bukti yang diberikan padamu, masih ada perkataan rahasia yang disampaikan kepadamu?”
”Perkataan rahasia?” Xiao Yanzi pening. Ditatapnya Qianlong dengan pandangan sedih. ”Huang Ama, bisakah aku... tidak menceritakan saat-saat ketika Ibu hampir meninggal? Aku... aku tak sanggup...”
Sebenarnya, Xiao Yanzi sedang ketakutan dan tak berdaya. Tapi Qianlong mengira hati Xiao Yanzi pedih jika mengingat kematian Xia Yuhe. Maka dengan lantang Qianlong berkata,
”Kau tak perlu mengatakan apa-apa lagi! Kau adalah Putri Huanzhu-ku yang hilang dan kini telah kutemukan kembali. Aku sungguh percaya dan yakin padamu. Mulai sekarang, siapa pun tidak diperkenankan menanyaimu macam-macam!”
Permaisuri sangat kesal. Dia jelas-jelas mencurigai Xiao Yanzi yang asal-usulnya tidak jelas. Tapi sekarang gadis itu telah berada di bawah lindungan Qianlong sehingga Permaisuri tak punya pilihan lain untuk menjatuhkannya.
Setelah ’interogasi’ itu, Qianlong memberi Xiao Yanzi Paviliun Shuofang untuk ditempati. Xiao Yanzi juga diberi dua dayang: Mingyue dan Caixia. Serta dua kasim: Xiao Dengzi dan Xiao Cuozi.
Kini, Xiao Yanzi harus berpenampilan benar-benar seperti seorang Gege-putri. Rambutnya senantiasa tersisir rapi dan memakai topi pianfang yang berhiaskan bunga serta perhiasan. Sepasang anting-anting dipasang di kedua telinganya. Dia juga wajib mengenakan kalung mutiara dan sepatu bersol. (Wanita China Han jaman dulu memiliki kebiasaan membebat kaki agar berhenti tumbuh dan kaki itu mengecil. Sementara kebiasaan wanita Manchu tidak. Mereka hanya memakai sepatu bersol/ berhak agarkelihatan lebih tinggi dan anggun)
Dengan penampilan barunya, Xiao Yanzi kepayahan sewaktu mencoba berdiri dan melangkah. Dia mengomel, ”Terlalu banyak benda digantung di tubuhku. Di atas kepalaku saja beratnya sudah beberapa kilo. Ini benar-benar menyiksa. Kepala memakai topi tinggi, kaki memakai sepatu tinggi.... Aiya!”
Xiao Yanzi kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh tengkurap :p
***
Sementara itu, di luar istana, Ziwei gundah gulana memikirkan Xiao Yanzi yang tak ada kabarnya.
Liu Qing dan Liu Hong pun mencemaskan Xiao Yanzi. Mereka mencari Xiao Yanzi kemana-mana tapi tidak menemukannya. Yang membuat kedua bersaudara Liu tambah cemas, Ziwei dan Jinshuo sepertinya menyimpan suatu rahasia bersama Xiao Yanzi. Dan ketika ditanya, baik Ziwei maupun Jinshuo tak bisa menjelaskannya.
Liu Qing gusar saat ditahunya Xiao Yanzi pergi ke arena berburu Kaisar. Ziwei pun jadi sasaran kemarahannya. ”Buat apa Xiao Yanzi kesana? Kalian kan tahu, meski baik hati, dia tak punya hal-hal lain yang bisa dibanggakan selain nyalinya. Dia suka melebih-lebihkan. Pemberani tapi ceroboh. Juga tidak punya strategi. Ilmu silatnya pun tidak terlalu bagus. Kalau dia tertangkap sebagai penyusup dan dituduh pengacau bagaimana?”
Ziwei benar-benar pedih memikirkan Xiao Yanzi yang hilang. Begitu pula dengan kedua barang buktinya. Peluang menemukan Xiao Yanzi semakin kecil, begitu pula dengan peluang Ziwei bertemu dengan ayahnya.
Lalu suatu hari, Ziwei, Jinshuo, Liu Qing dan Liu Hong melihat Xiao Yanzi pada sebuah arak-arakan kerajaan.
Hari itu, Kaisar Qianlong membawa Xiao Yanzi mengunjungi Kuil Langit untuk memberi persembahan. Ini juga sebagai pengumuman Kaisar kepada rakyat kalau dia telah mengangkat seorang putri baru.
Barisan prajurit mengawal parade itu. Kaisar duduk di tandunya yang mewah sambil melambaikan tangan ke rakyat yang mengelu-elukannya. Xiao Yanzi juga duduk di tandunya yang diangkat belasan orang. Dia memakai pakaian upacara yang sangat mewah. Xiao Yanzi sangat antusias. Dilambai-lambaikan tangannya kepada orang-orang yang berteriak memujanya. ”Hidup Tuan Putri! Semoga Tuan Putri panjang umur sampai puluhan ribu tahun! Wan Shui! Wan Shui!”
Xiao Yanzi berpikir, inilah dia sekarang. Sang Putri Huanzhu! Dia yang dulu hanya seorang gelandangan yang berkeliaran di jalanan. Yang dulu sering dihina dan diremehkan. Sekarang dia dielu-elukan. Betapa semua ini membuatnya terpesona. Ingin rasanya dia melompat keluar tandu dan bersorak-sorai bersama mereka.
Jinshuo yang pertama kali melihat Xiao Yanzi. Dia langsung menggamit Ziwei.
”Nona, bukankah itu Xiao Yanzi? Kenapa dia bisa duduk di dalam tandu itu? Kenapa dia bisa jadi putri?!?”
Untuk sesaat, Ziwei tampak linglung. Liu Qing dan Liu Hong tak kalah herannya. Liu Qing menghampiri kerumunan orang-orang, menanyai salah satu diantara mereka. Sebenarnya ini parade dalam rangka apa?
Orang itu menjawab Liu Qing. ”Kamu tak tahu ya? Kaisar baru saja mengangkat putri dari kalangan rakyat jelata. Kabarnya putri ini sangat memikat hati Kaisar sehingga Kaisar sangat menyayanginya. Hari ini Kaisar membawa Tuan Putri pergi mempersembahkan sesaji kepada para dewa. Kaisar sangat bajik. Dia suka menyamar ketika berpergian. Dan tahu-tahu, menemukan seorang putri angkat...”
Ziwei langsung sadar kalau kedua barang buktinya ada pada Xiao Yanzi. Mendadak dia berteriak. ”Xiao Yanzi! Kembali! Kau harus jelaskan padaku! Kenapa kau bisa jadi putri?”
Ziwei menerobos kerumunan orang mencoba mengejar tandu Xiao Yanzi. Jinshuo, Liu Qing dan Liu Hong menyusulnya. Tandu semakin menjauh. Ziwei semakin histeris.
”Kau sudah jadi putri. Aku... aku lantas bagaimana?”
Pasukan pagar betis menyergap Ziwei. ”Kaisar!” Ziwei kembali berteriak. ”Xiao Yanzi itu bukan putri! Dia putri palsu! Akulah putri yang sesungguhnya! Xiao Yanzi! Kau sungguh kejam! Teganya kau berkhianat seperti ini!”
Melihat Ziwei yang memberontak, para prajurit yang menyergapnya mulai memukul dan menendangnya.
Liu Qing dan Liu Hong segera maju demi melindungi Ziwei. Mereka pun terlibat perkelahian dengan pasukan pengawal.
Erkang, yang berkuda di barisan belakang, melihat kericuhan itu. Dia mendekat ke arah para prajurit sambil berteriak, ”Siapa yang berani berbuat onar?”
Ziwei terus saja berseru. ”Aku mau bertemu Kaisar! Aku mau bertemu Kaisar!”
Erkang terkejut ketika dilihatnya seorang wanita yang membuat kericuhan. Massa mulai saling dorong. Khawatir insiden ini akan mengejutkan Kaisar, Erkang kembali berteriak kepada pasukan pengawal.
”Suruh dia untuk diam! Lalu tangkap semuanya!”
Salah seorang pasukan maju dan menampar Ziwei hingga tersungkur. Beberapa diantaranya lalu menginjak dan menendang gadis itu.
Erkang turun dari kuda. ”Berhenti!” perintahnya. Dan para pasukan pengawal itu berhenti memukuli Ziwei.
Ziwei mengangkat kepala melihat sosok Erkang. Dia merangkak ke arahnya lalu mencengkeram bagian bawah tepi jubah Erkang. Keringat, air mata, bercampur dengan darah yang mengalir dari sudut mulutnya.
”Tolong beritahu Kaisar... Puisi ini... ’Selepas hujan bunga teratai mendapat anugerah embun’. Ini puisi Kaisar bagi Xia Yuhe. Bunga teratai dalam puisi itu... adalah Xia Yuhe... Dia... dia ibuku...”
Habis berkata demikian, Ziwei tak sadarkan diri. Erkang terkejut. Bagaimana gadis ini bisa tahu soal puisi di kipas lipat Xiao Yanzi dan menyebut nama Xia Yuhe?
Jinshuo menghambur dan memeluk Ziwei. ”Nona! Jangan mati! Kalau kau mati, bagaimana aku menghadapi mendiang Nyonya?”
Erkang semakin curiga. Pada saat bersamaan, Fulun muncul dan bertanya,
”Erkang, ada insiden apa?”
Erkang berbisik pada Fulun, ”Ayah, ada masalah mencurigakan. Bisakah kedua gadis ini kubawa pulang untuk diperiksa?”
Fulun tak berkata banyak. Dia hanya mengangguk.
Sementara itu jauh di barisan depan, Kaisar duduk bahagia di atas tandunya. Tanpa tahu sedikit pun soal insiden di barisan belakang. Dan kemungkinan Putri Huanzhu-nya yang asli telah begitu dekat dengannya.
Bersambung....
0 comments:
Post a Comment