Recent Post


[Sinopsis Novel] Putri Huan Zhu/ Huan Zhu Ge Ge 1 Bagian 6

Do you want to share?

Do you like this story?



Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge 2: Shui Shen Huo Re
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan.

Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu 1: Rahasia Yang Belum Terungkap
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tilly Zaman, Wisnu Adi Hartono
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Desember 1999 (edisi pertama)

Cerita sebelumnya:
Qianlong mulai memperhatikan pendidikan serta sopan santun Xiao Yanzi. Putri Huanzhu pun dimasukkan ke sekolah istana serta belajar tata krama. Sayang, Xiao Yanzi tidak cukup sabar mempelajari tata krama sehingga dipukul Qianlong. Di tempat lain, pasangan kekasih baru: Erkang dan Ziwei tengah diuji. Keduanya baru menyadari, jika ingin mencapai kebahagia bersama, akan banyak hambatan serta pengorbanan yang harus ditempuh.

VI

Xiao Yanzi paling tidak betah berbaring lama di tempat tidur. Baru dua hari dipukul, dia sudah turun ranjang. Untuk sementara dia tidak pergi ke sekolah istana dan berlajar tata krama. Tapi bukan berarti dia bisa santai. Pikirannya justru sibuk memikirkan ini-itu. Lukanya juga belum sembuh. Membuatnya tidak nyaman jika duduk. Akhirnya, yang dilakukan Xiao Yanzi adalah jalan mondar-mandir di Paviliun Shuofang.

Hari itu Yongqi dan Ertai bersama-sama datang menjenguk Xiao Yanzi. Melihat Xiao Yanzi masih tertatih-tatih, Yongqi bertanya,

“Lukamu sudah membaik? Salep memar yang kuberikan waktu itu sudah kau pakai? Salep itu sangat mujarab mengobati luka luar. Ia dibawa jauh-jauh dari wilayah suku Miao di barat daya…”

Xiao Yanzi memotong perkataan Yongqi sambil mengangguk bimbang, “Ya! Sudah kupakai!”

Ertai menyambung, “Salep itu terkenal langka dan amat berharga. Jangan kau buang sembarangan. Waktu Pangeran Tertua memintanya tempo hari saja, Pangeran Kelima keberatan memberikannya…”

“Aku kan bilang sudah kupakai! Mana mungkin kubuang?” sahut Xiao Yanzi kesal.

Yongqi tetap mendesak, “Kurasa kau masih belum memakainya. Kalau sudah, masa kau masih belum bisa berjalan dengan gesit? Sayang sekali kau bukan laki-laki! Kalau ya, kau sudah pasti kubaringkan dan kuolesi salep itu!” (O-Ow, jaga ucapanmu Pangeran Kelima!)

Xiao Yanzi kaget mendengar perkataan itu. Dia membayangkan dirinya ‘ditelungkupkan lalu diolesi salep’ oleh Yongqi. Mendadak, pipinya jadi merah.

Yongqi juga sadar barusan asal bicara. Dia jadi salah tingkah.

Xiao Yanzi yang biasa tomboy seperti laki-laki kini tersipu malu-malu karena ucapan Yongqi. Melihatnya, Ertai jadi cemburu. Dia segera berdiri tepat di tengah-tengah kedua orang yang saling curi-curi pandang itu.

“Hei! Berhentilah saling memandang! Pangeran Kelima, bukankah kau membawa surat Ziwei untuk Xiao Yanzi?”

Pikiran Yongqi langsung teralihkan. Dia mengeluarkan sebuah amplop dari lipatan bajunya.

“Surat apa?” Xiao Yanzi penasaran. Direbutnya surat itu dari Yongqi. Tergesa-gesa amplop disobeknya. Di dalamnya ada empat kertas bergambar.

Xiao Yanzi melihat kertas-kertas bergambar itu dengan cepat lalu berseru, “Tidak! Tidak mungkin! Kalian pasti telah membohongiku!” tuduhnya pada Yongqi dan Ertai. “Ziwei tidak memaafkanku kan? Dia masih marah padaku! Dia mau aku jadi Gege selamanya! Bagaimana bisa? Aku bisa mati depresi karenanya!”

Xiao Yanzi lupa kalau pantatnya luka – menjatuhkan diri duduk di kursi – dan langsung terloncat kembali sambil berteriak, “Aduh! Aduh!”

Yongqi dan Ertai langsung menarik tangannya. “Tenanglah… Apa kau lupa jika kau sedang luka? Kalau mau duduk, kursinya dialasi dulu lalu duduklah pelan-pelan.”

Kedua pemuda itu menasehati. Xiao Yanzi mendorong keduanya sambil menggertakkan gigi menahan nyeri. “Kalian berdua jangan mengatur cara dudukku!”

“Baiklah, kami tak akan mengaturmu!” Ertai tersenyum memandang Yongqi. Keduanya pasrah dimarahi Xiao Yanzi. “Sebenarnya, apa isi surat itu? Kenapa kau begitu terpukul usai membacanya?”

Xiao Yanzi memperlihatkan kertas-kertas bergambar itu pada Yongqi dan Ertai.

Pada gambar pertama, seekor burung kecil terkurung dalam sangkar sementara dari luar, sekuncup bunga memandangnya prihatin.

Gambar kedua memuat si burung kecil dipukul dan sekuncup bunga meneteskan air mata.

Gambar ketiga si burung kecil terbang keluar sangkar. Dia mengajak sekuntum bunga menari.

Pada gambar keempat, si burung kecil memakai mahkota topi pianfang. Sekuntum bunga bersembunyi di balik awan, bersiap untuk pergi.

Dan inilah isi surat itu versi Xiao Yanzi: “Di sini jelas-jelas Ziwei bilang: ‘Xiao Yanzi! Kau pembohong dan bajingan! Sekarang rasakan! Kini kau ibarat terkurung dalam sangkar! Tak bisa kemana-mana!’”

“Kau telah menyakiti perasaanku. Kau dipukul? Syukurin! Itu memang pantas kau terima sebagai karmamu! Jangan harap kau bisa keluar istana dan menemuiku! Kau akan jadi Putri seumur hidup! Aku tak peduli!”

Yongqi dan Ertai mendesah. “Bagaimana bisa kau memplesetkan semua yang hendak diutarakan Ziwei di surat itu? Ziwei tidak mungkin bermaksud demikian.”

Yongqi mengamati gambar-gambar itu sejenak lalu berkata, “Sini! Biar aku yang menerjemahkannya untukmu. Kata Ziwei, ‘Xiao Yanzi, aku tahu kau sangat tersiksa sekarang. Terkurung di istana seperti dipenjara. Aku sangan mencemaskanmu – tapi tak bisa menemuimu. Kabarnya kau baru dipukuli? Aku menangis sewaktu mendengarnya.’”

“Xiao Yanzi, kau harus lebih sabar. Jangan mencari gara-gara. Jadilah Putri yang baik. Dimana pun aku berada, aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu.”

Xiao Yanzi terpana. “Benarkah begitu maksudnya?”

“Tentu saja! Sejak kapan kau jadi begini pesimis?” Yongqi gemas.

Xiao Yanzi mencelos, “Sejak dipukul Huang Ama, aku sulit percaya pada apa pun…” (Duuh, kasihan…)

Xiao Yanzi mondar-mandir dengan murung. Tiba-tiba, dia berhenti di hadapan Yongqi dan Ertai, lalu jatuh berlutut dan menyembah keduanya seperti dewa.

“Pangeran Kelima! Tuan Muda Fu! Bawalah aku keluar untuk menemui Ziwei! Aku mohon….”

Yongqi dan Ertai buru-buru menarik Xiao Yanzi.

“Jangan menyembah kami!” Ertai berkata kalut. “Kau seorang Gege! Kalau Kaisar melihatmu berlutut dan menyembah kami, kau pasti dipukulnya lagi!”

Yongqi tak tega melihat Xiao Yanzi yang putus asa. Dibimbingnya Xiao Yanzi berdiri lalu berkata, “Baiklah… aku akan mengambil resiko… aku akan membawamu keluar istana menemui Ziwei!”

Mata Xiao Yanzi langsung bersinar mendengar perkataan Yongqi. “Kapan? Malam ini saja, bagaimana? Tidak usah memberitahu Fulun dan istrinya – kita langsung saja ke Graha Xuexi. Kalau menunggu lagi, kalian pasti berunding sana-sini lalu tertunda lagi entah sampai kapan…”

Yongqi mengangguk. “Baiklah, kita tetapkan malam ini. Apa yang terjadi, terjadilah!” (Permisi Pangeran Kelima, saya mampir nyanyi: “Que sera, sera… whatever will be, will be…” :D )

“Mingyue akan diatur menyamar sebagai dirimu. Kalau ada yang datang hendak menjengukmu, katakan saja kau habis minum obat dan langsung tertidur. Kau akan menyamar jadi kasim kecil. Tapi kau harus ingat, kita hanya punya waktu dua jam. Kau harus memanfaatkannya dengan baik. Setelah itu, kita harus kembali lagi ke istana. Mengerti?”

Xiao Yanzi begitu gembira sampai rasanya ingin memeluk Yongqi. Melihat kedua orang itu, Ertai jadi tegang.

“Apa kalian sudah gila? Bagaimana kalau ketahuan?”

Xiao Yanzi sudah sangat antusias, ditantangnya Ertai. “Ayo beranikan dirimu! Ambillah resiko ini!”

Ertai menghentakkan kaki sambil beseru, “Pangeran Kelima, bagaimana kau bisa ikut tidak waras seperti Xiao Yanzi? Kuberitahu ya… lebih baik aku…” Ertai menelan ludah. “Lebih baik aku…”

“Lebih baik apa?!” Xiao Yanzi menghardik.

Ertai menyelesaikan kalimatnya. “Lebih baik aku ikut gila bersama kalian! Kalaupun harus pergi ke neraka, akan kutemani!”

“Aha!” Xiao Yanzi benar-benar kegirangan. Dia menggamit lengan Yongqi dan Ertai bersebelahan sambil berkata, “Kita bertiga memang pantas disebut kawan senasib sepenanggungan!”

Lalu ketiganya memanggil para dayang dan kasim untuk menyusun rencana…

***

Malamnya, sesuai rencana, Xiao Yanzi menyelinap keluar istana bersama Yongqi dan Ertai. Dia menyamar sebagai kasim kecil, naik kereta mewah Yongqi yang dikemudikan oleh Xiao Xunzi dan Xiao Guizi (keduanya kasim Yongqi).

Setibanya di Graha Xuexi, Fulun begitu terkejut melihatnya. Dia tidak berani menegur Yongqi dan Xiao Yanzi. Hanya bisa memarahi Ertai. “Besar sekali nyalimu ya! Kenapa begitu tiba-tiba membawa Tuan Putri kemari tanpa memberi tahu? Kita tak punya persiapan, kalau sampai ketahuan, bagaimana?”

Ertai menunduk dimarahi ayahnya. “Mau bagaimana lagi? Pangeran Kelima dan Putri Huanzhu saja berani mengambil resiko. Masa aku tidak?”

Fuqin juga panik. “Apa di istana sudah diatur dengan baik? Bagaimana kalau Kaisar tahu Tuan Putri menyelinap pergi?”

Xiao Yanzi menjawab, “Yang Mulia Fulun dan Fuqin tak perlu khawatir. Di istana segalanya sudah diatur. Sekarang Mingyue tengah berbaring di tempat tidur menyamar jadi aku. Aku ini Putri palsu, Mingyue itu putri palsunya putri palsu…” (Kekekeke)

Tak lama, muncullah Ziwei dan Jinshuo. Di belakang mereka tampak Erkang. Kaki Ziwei lemas begitu melihat Xiao Yanzi. Dia nyaris jatuh kalau bukan Jinshuo dan Erkang memegangnya.

Xiao Yanzi menahan tangis. Dia lalu berlutut di hadapan Ziwei dan memeluk kakinya. “Ziwei! Makilah aku! Pukullah aku! Kau mau membunuhku pun tidak apa-apa!”

Air mata Ziwei sudah mengalir. Dia membimbing Xiao Yanzi berdiri. “Aku sudah tahu semuanya. Waktu kau masuk ke arena berburu itu kau terkena panah hingga tak sadarkan diri. Karena kecelakaan itulah nasibmu jadi begini. Aku maklum. Aku sudah tidak marah. Kau jangan menyalahkan dirimu lagi.”

Xiao Yanzi menggeleng, menangis mengaku dosa. “Kau tidak mengerti. Sebenarnya aku punya kesempatan untuk menjelaskannya. Tapi tidak kulakukan. Aku takut mereka akan memancung kepalaku. Huang Ama juga sangat baik padaku… dia menyuapkan obat dan memberiku minum dari tangannya sendiri… Aku belum pernah merasakan kasih sayang seperti itu. Huang Ama memperlakukanku dengan begitu istimewa sampai-sampai aku lupa diri!”

Ziwei pedih mendengar cerita Xiao Yanzi. Xiao Yanzi memandangnya was-was. “Ziwei, aku memang pantas mati! Aku telah merebut ayahmu dan posisimu sebagai Gege!”

Ziwei menata perasaannya. Dengan tegar berkata, “Kaisar pastilah pribadi penyayang. Dia tidak ingkar karena masih mengingat ibuku dan mengakui putri mereka. Xiao Yanzi, kini kau mewakiliku di hadapan Kaisar dan mendapat kasih sayangnya. Artinya, aku juga merasakan hal yang sama.”

“Kita telah bersumpah jadi saudara. Saling berbagi kebahagiaan dan penderitaan. Persaudaraan kita tidak palsu. Kau menyandang marga yang sama denganku. Maka ayahku juga adalah ayahmu. Jika dia mencintaimu, itu sama artinya dia mencintaiku juga.”

Xiao Yanzi tidak bisa menahan diri. Dipeluknya Ziwei erat-erat. Dia berkata sambil menangis, “Ziwei! Apalah artinya diriku? Aku hanya seperti setan kecil di hadapan Raja Neraka sedang kau adalah bidadari di samping Kaisar Langit! Ayahmu akan tetap jadi ayahmu. Aku pasti akan mengembalikannya padamu!”

Ziwei tersenyum di sela-sela tangisannya. Dia menatap Xiao Yanzi. “Jangan menangis lagi. Waktumu sangat berharga. Jangan disia-siakan. Kau mau bicara hal-hal rahasia denganku kan?”

Xiao Yanzi berbinar. “Bolehkah?”

Fulun yang sudah terkesima oleh kedua Putri, langsung mengijinkan. “Tentu saja boleh!”

Erkang lalu membawa Xiao Yanzi dan Ziwei ke sebuah kamar. Jinshuo mengikuti. Sesampainya di sana, Erkang meninggalkan ketiganya lalu menutup pintu.

Xiao Yanzi segera mengeluarkan ‘harta’ yang dibawanya keluar istana untuk Ziwei. Dari lipatan bajunya ada beruntai-untai kalung, juga uang perak serta beberapa anting-anting.

“Semua ini adalah milikmu juga. Sebenarnya aku masih mau membawa banyak. Huang Ama memberiku banyak sekali perhiasan. Tapi aku tidak tahu akan memakainya ke mana.”

“Masih ada ini,” kata Xiao Yanzi – kali ini kepada Jinshuo. Diperlihatkannya seuntai kalung emas berhiaskan jade di sekelilingnya. “Ini rantai emas – Jinshuo. Sesuai dengan namamu. Makanya kusisihkan untukmu. Ambillah!”

Jinshuo mencueki Xiao Yanzi. Dia menaruh selimut di kursi yang akan diduduki XiaoYanzi seraya menghindari gadis itu.

Xiao Yanzi merasakan penolakan Jinshuo. “Jinshuo, apa yang harus kulakukan agar kau sudi memaafkanku?”

Jinshuo menjawab, “Aku hanya seorang pembantu. Kalau Nona sudah memaafkanmu, aku bisa apa? Seumur hidupnya dia belum pernah sesedih ini. Dia tidak berhasil menemui ayahnya dan malah kamu yang diakui sebagai Putri. Bagaimana aku tidak sakit hati?”

“Jinshuo, sungguh tidak mudah bertemu Xiao Yanzi. Masa kau malah marah-marah?” tegur Ziwei.

Jinshuo tertunduk ditegur Ziwei. Akhirnya dia mendekati Xiao Yanzi, membimbingnya dan mendudukkannya dengan perlahan di kursi yang dialasi tadi.

“Bukalah pakaianmu. Biar kuperiksa lukamu. Di sini cuma ada kita bertiga. Jadi kau tak perlu malu. Aku masih punya salep memar dari Liu Qing. Biar kubantu oleskan di lukamu,” kata Jinshuo.

Mata Xiao Yanzi mengerjap tak percaya. Dirangkulnya Jinshuo. “Jinshuo! Mulutmu memakiku tapi hatimu masih baik padaku!”

Akhirnya Jinshuo ikut menangis. Dia mendorong Xiao Yanzi perlahan. “Baiklah, aku tak akan mengganggu kalian. Lukamu tak usah diperiksa. Kau tinggallah mengobrol dengan Nona. Aku akan keluar membuatkan sepoci teh bagi kalian.”

Setelah Jinshuo pergi, Ziwei segera bicara serius dengan Xiao Yanzi. “Xiao Yanzi, dengarkan aku baik-baik. Karena semuanya sudah terlanjur, kau jangan menyesalinya lagi. Kaisar memang adalah ayahku. Dari penuturanmu aku pun mengagumi dan menyayangi dia. Kalau kau menceritakan hal sebenarnya pada Kaisar, dia tentu jadi sedih. Kau merasa telah menyakitiku, maka jangan pula menyakiti ayahku. Kalau kau sampai menceritakan hal ini…. Aku pasti akan membencimu!”

Xiao Yanzi terbelalak. “Apakah kau yakin? Kalau begitu kau tak akan pernah jadi Gege dan mengenal ayahmu!”

“Aku yakin!” Ziwei mengangguk. “Aku ingin kau terus menjalani peran Gege dan menyenangkan hati ayahku. Itulah yang membuatku bahagia.”

“Tapi.., tapi…”

“Tidak ada tapi-tapian!” sela Ziwei. “Aku tahu, peran ini membuatmu menderita. Tapi aku juga tak mau kau dan yang lain-lainnya celaka jika kebenaran terungkap. Pokoknya kau tak boleh sampai kehilangan kepala!”

Demikianlah Xiao Yanzi diyakinkan oleh ketulusan Ziwei. Dia belum bisa berkata apa-apa untuk membawa Ziwei kembali ke posisi mereka semula.

***

Sementara itu, tanpa sepengetahuan Xiao Yanzi dan kawan-kawan, perubahan besar telah terjadi di Paviliun Shuofang.

Malam itu Qianlong berbaik hati hendak menjenguk Xiao Yanzi bersama Selir Ling dan serombongan dayang-kasim. Mereka memasuki Paviliun Shuofang dan disambut gugup oleh Xiao Dengzi dan Xiao Cuozi.

“Mana junjungan kalian?” tanya Qianlong.

Xiao Dengzi gemetaran menjawab, “Tuan… Putri… Tuan Putri… sudah tidur.”

Selir Ling keheranan. “Malam belum terlalu larut, Putri sudah tidur? Apakah dia tidak enak badan lagi?”

Qianlong merasa janggal. “Aku akan memeriksanya.” Dia berjalan ke kamar Xiao Yanzi.

Di dalam kamar, Mingyue dan Caixia sudah ketakutan setengah mati. Mingyue lekas-lekas menarik selimut hingga menutupi kepala. Sekujur tubuhnya gemetar ketakutan.

Wajah Caixia sangat pucat. Dia menyalami Kaisar dan Selir Ling dengan gemetaran.

Selir Ling khawatir. Dia bertanya, “Ada apa? Kenapa kalian semua ketakutan? Apakah Putri sakit lagi? Kenapa tidak melapor?”

Qianlong lebih cemas. Dia segera mendekati pembaringan dan melihat selimut yang bergetar hebat. “Xiao Yanzi! Kau kenapa? Tidak enak badan ya? Kenapa gemetar sampai seperti ini?”

Caixia segera meloncat dan menekan selimut Mingyue. “Putri… tidak boleh dilihat…”

Qianlong jadi tambah curiga. “Kebiasaan jeleknya mucul lagi ya?” Ditepuk-tepuknya selimut itu. “Kali ini siapa yang membuatmu marah sampai harus sembunyi? Ayo keluar!”

Mingyue menggenggam selimut kuat-kuat. “Tidak… aku tidak mau keluar…”

Qianlong mulai gusar. “Aku memerintahkanmu untuk keluar sekarang!” Ditariknya selimut sekuat tenaga.

Selimut tersingkap dan Mingyue merosot dari tempat tidur.

“Hamba…, hamba pantas mati!”

Qianlong dan Selir Ling terkejut. Mata keduanya membelalak besar sekali.

***

Pertemuan Ziwei dan Xiao Yanzi di Graha Xuexi pun usai.

Xiao Yanzi kembali ke istana dengan menaiki kereta Yongqi. Hanya saja, di dalam kereta kini selain Yongqi dan Ertai, Erkang dan Ziwei juga turut serta.

Di dalam kereta, Erkang, Ertai dan Ziwei tak henti-hentinya mengajari Xiao Yanzi jawaban yang harus dikatakan seandainya dia tertangkap basah. Tapi karena Xiao Yanzi lagi girang, dia tidak memperhatikan dengan seksama.

“Pokoknya kalau tertangkap, kita akan menyangkal mati-matian!” Xiao Yanzi berpaling ke arah Yongqi. “Pangeran Kelima, katakan saja kalau besok Guru Qi akan mengadakan ujian membuat puisi, dan kau sedang mengajariku.”

“Ide bagus! Huang Ama paling suka puisi karya Li Bai (penyair terkenal pada masa Dinasti Tang). Li Bai pernah menciptakan puisi minum arak bunyinya begini: ‘Minum arak di tengah kebun bunga. Menuang arak sendirian tanpa kawan. Mengangkat gelas tingi-tinggi. Supaya dapat mengundangmu ikut minum di bawah cahaya rembulan…’”

Xiao Yanzi mengikuti, “Minum arak di tengah kebun bunga… Duduk sendiri tanpa kawan…”

Ertai segera mengoreksi, “Bukan ‘duduk sendiri tanpa kawan’, tapi ‘menuang arak sendirian tanpa kawan…’

“Ya ya! ‘Menuang arak sendirian tanpa kawan. Mengangkat gelas tinggi-tinggi… Supaya dapat mengundangmu ikut minum di bawah Mingyue-cahaya rembulan…’ – Ah, ini aku sudah hapal. Tapi kenapa ya, tidak ada kalimat ‘Mengundangmu ikut minum di bawah Caixia-warna-warni pelangi?’” (Kedua dayang Xiao Yanzi: Mingyue dan Caixia, namanya masing-masing berarti ‘cahaya rembulan’ dan ‘warna-warni pelangi’)

Melihat Xiao Yanzi yang kepayahan menghapal puisi, Erkang jadi pesimis. “Dengarkan aku! Kalau kalian tertangkap pengawal, kalian bisa memakai kekuasaan sebagai pangeran dan putri untuk menggertak mereka. Besok pagi aku dan Ertai akan masuk istana untuk melihat keadaan. Seandainya kalian kesulitan, kami akan menemui Selir Ling untuk minta bantuan.”

Yongqi dan Xiao Yanzi mengangguk. Ziwei menasihati Xiao Yanzi lagi. “Kehidupan dalam istana itu tidak sama dengan di luar. Kau harus ekstra hati-hati. ‘Hidup bersama keluarga Kaisar seperti hidup bersama harimau’. Camkan itu baik-baik!”

“Aku mengerti,” kata Xiao Yanzi. “Tolong sampaikan ke Liu Qing dan Liu Hong, lain kali kalau keluar istana lagi, aku akan mengunjungi mereka.”

“Pasti akan kusampaikan.”

Yongqi kemudian berkata, “Nah kita sudah hampir sampai. Erkang, Ertai, Ziwei, kalian harus turun di sini. Oya, bagaimana kalian kembali ke Graha Xuexi?”

Erkang menjawab, “Bulan sedang bersinar terang. Kami akan jalan-jalan dulu sebelum pulang.”

Xiao Yanzi langsung merengek. “Aku juga mau jalan-jalan bersama kalian!”

“Jangan bawel!” tegur Erkang. (di kemudian hari, Erkang-lah yang paling berani memarahi Xiao Yanzi tanpa sungkan-sungkan :P). “Kalau kau terlalu lama menghilang, kami semua bisa celaka! Sekarang lekas pindah tempat duduk!”

Kereta kuda berhenti. Erkang, Ertai dan Ziwei turun. Xiao Yanzi pindah duduk ke bagian kusir bersama Xiao Xunzi dan Xiao Guizi.

Kereta lalu bergerak hingga ke gerbang istana. Para pengawal langsung mengijinkan kereta masuk sewaktu melihat Pangeran Kelima. Erkang, Ertai dan Ziwei yang menyaksikan semua itu dari kejauhan, baru pergi setelah gerbang tertutup kembali.

***

Xiao Yanzi berhasil masuk kembali ke istana tanpa dicurigai para pengawal.

Dia sangat senang. Tak henti-hentinya berterima kasih pada Yongqi.

“Terima kasih ya! Aku tak akan melupakan kebaikan budimu malam ini. Aku akan selalu mengingatnya.”

Melihat Xiao Yanzi begitu gembira, hati Yongqi terasa hangat. “Mengingatnya dalam hati saja itu sudah cukup bagiku…”

Xiao Yanzi tersipu saat melihat Yongqi memandangnya penuh arti. Yongqi pun jadi kikuk. Untuk mencairkan suasana, dia berujar, “Aku akan mengawasimu sampai masuk Paviliun Shuofang. Ngomong-ngomong mana Xiao Dengzi dan Xiao Cuozi? Bukankah mereka seharusnya berjaga-jaga di pintu?”

Xiao Yanzi dan Yongqi mendorong pintu balairung. “Aku begitu bersemangat sampai tidak rasa mengantuk sedikit pun! Ayo kita masuk dulu untuk minum segelas teh. Atau… bagaimana kalau kita minum arak untuk merayakannya?”

Yongqi tercengang. Dia seorang pangeran-minum arak berdua saja bersama seorang putri malam-malam begini apa tidak melanggar tata krama?

Tapi karena sangat tertarik dengan undangan Xiao Yanzi, Yongqi pun menjawab, “Boleh! Kita harus menikmati hidup yang singkat ini. ‘Mari kita minum arak di tengah kebun bunga…’ Ha ha!”

Yongqi mengutip sebaris puisi Li Bai. Dia dan Xiao Yanzi bersuka cita memasuki aula. Tiba-tiba, terdengar suara Qianlong yang berwibawa menggelegar…

“Xiao Yanzi! Yongqi! Kalian sudah pulang ya?”

Xiao Yanzi dan Yongqi kaget bukan main. Roh mereka seolah terbang sewaktu melihat Qianlong dan Selir Ling duduk di tengah-tengah aula dikelilingi dayang dan kasim.

“Sepertinya kalian tampak senang,” lanjut Qianlong. “Mari hangatkan sepoci arak dan makanan kecil. Lalu kita minum-minum di tengah kebun bunga!”

Xiao Yanzi dan Yongqi segera jatuh berlutut. “Huang Ama! Selir Ling!”

Keduanya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Dan terlihatlah Xiao Dengzi, Xiao Cuozi serta Mingyue dan Caixia sedang berlutut.

“Kalian dari mana?” Qianlong memandang keruh keduanya. “Xiao Yanzi, jawab!”

Takut Xiao Yanzi salah bicara, Yongqi segera menyahut, “Huang Ama, saya dan Putri Huanzhu…”

“Aku tidak menanyaimu! Xiao Yanzi yang harus menjawab!” potong Qianlong.

Xiao Yanzi betul-betul bingung dan ketakutan. “Kami tidak kemana-mana… besok Guru Qi akan membuat ujian puisi. Jadi Pangeran Kelima mengajari saya membuat puisi…”

“Oh, Yongqi mengajarimu puisi? Puisi apa? Coba bacakan!” Qianlong tertarik.

Xiao Yanzi melirik Yongqi minta bantuan. Yongqi tak tahan untuk tidak bersuara, “Huang Ama…”

“Yongqi! Diam kau! Xiao Yanzi, kau harus membaca puisi itu!” bentak Qianlong.

Yongqi tidak berani bicara lagi. Xiao Yanzi akhirnya pasrah dan memberanikan diri.

“Puisinya… berhubungan dengan minum arak… ‘mengangkat gelas tinggi-tinggi dan mengundangmu ikut minum di bawah sinar rembulan… sinar rembulan…’”

“Lalu? Apa lagi setelah ‘di bawah sinar rembulan’?”

“Mengangkat gelas tinggi-tinggi… Di bawah sinar rembulan… lalu…,” Xiao Yanzi menelan ludah. “Lalu… tongkat melayang memukul badan!”

“Apa?!”

Xiao Yanzi tidak tahan lagi. Dia akhirnya berterus terang, “Huang Ama! Pukullah aku! Aku yang memaksa Pangeran Kelima – mohon Huang Ama jangan memarahinya! Aku hanya minta kali ini dipukul pada bagian lain – sebab luka tempo hari belum sembuh…”

Qianlong sakit kepala mendengar pengakuan Xiao Yanzi. “Sudah tahu akan dipukul, tapi kenapa masih berani berbuat juga? Dipukul tidak mempan, diajari baik-baik juga tidak bisa! Sebenarnya aku harus bagaimana menghadapimu?”

Xiao Yanzi melirik ke arah para pelayannya yang sedang berlutut. Qianlong memergokinya. “Para pelayanmu juga tidak berguna! Mereka ketakutan sewaktu melihatku datang. Bahkan Mingyue berani menyamar sebagai dirimu. Tunggu sampai kau selesai dihukum, mereka juga akan dipukul satu-persatu lalu semuanya dikirim ke dapur sebagai budak!”

Xiao Yanzi terkejut dan langsung bersujud menyembah Qianlong. “Huang Ama! Aku tahu kali ini kesalahanku amat besar! Huang Ama boleh menghukumku! Tapi jangan menghukum mereka! Mereka hanya menjalankan perintahku. Selama ini aku sudah menganggap mereka seperti keluarga. Mereka sangat baik terhadapku…” (Xiao Yanzi ini sungguh majikan yang bertanggung jawab dan bertenggang rasa)

“Tapi Putri, mereka hanya pelayan!” tegur Selir Ling. “Hamba sahaya tetaplah hamba sahaya…”

“Aku tahu. Kini aku adalah seorang Putri, tidak pantas berteman dengan para pelayan. Tapi sebelum masuk istana, aku hanyalah orang biasa. Pernah menghadapi kesulitan hidup. Aku pernah menjadi pelayan di rumah makan dan mengamen. Jadi aku pun pernah jadi hamba sahaya. Kalau semua majikanku yang dulu kejam, pastilah sekarang aku tidak berjumpa dengan Huang Ama…”

Qianlong sangat tersentuh mendengarnya. “Kau pernah jadi pelayan dan mengamen? Kenapa kau belum pernah menceritakannya? Kapan kejadiannya?”

“Kejadiannya… waktu aku dalam perjalanan dari Jinan ke Beijing. Aku tidak bilang karena Huang Ama tidak bertanya. Sekarang…” Xiao Yanzi melanjutkan. “Siapa yang berbuat dialah yang harus bertanggung jawab. Jadi kalau mau menghukum, hukumlah saya seorang. Mohon Huang Ama sudi melepaskan mereka yang tak bersalah. Aku, Xiao Yanzi akan sangat berterima kasih…”

Xiao Yanzi bersujud berkali-kali di hadapan Qianlong. Qianlong pun melunak.

“Katakan kau pergi ke mana malam ini?”

“Aku dan Pangeran Kelima pergi ke Graha Xuexi!”

Qianlong terkejut. Selir Ling juga. Yongqi samar-samar mengangguk membenarkan.

“Aku sungguh bosan tinggal di istana. Di sini aku memang bisa makan makanan paling enak, memakai pakaian paling bagus. Tapi rasanya seperti dipenjara. Waktu lalu, aku sangat ingin keluar sampai memanjat tembok. Kali ini aku tak berani memanjat tembok, hanya memohon pada Pangeran Kelima dan Ertai untuk membawaku keluar.”

Qianlong menanyai Yongqi. “Benarkah yang dikatakannya? Kalian hanya pergi ke kediaman Fulun?”

Yongqi akhirnya ikut mengaku. “Benar. Aku tidak berani membawa Putri Huanzhu ke sembarang tempat. Kami hanya pergi ke Graha Xuexi, duduk-duduk sebentar lalu pulang.”

Selir Ling menghembuskan napas lega. “Oh, kalau kalian pergi ke kediaman Fulun, itu masih lebih baik daripada ke sembarang tempat. Hitung-hitung, Fulun itu masih kerabat sendiri…”

Qianlong mengamati Yongqi dan Xiao Yanzi dengan seksama. Dia tak menemukan celah kesalahan sedikit pun. Keduanya begitu meyakinkan. Dia akhirnya berkata, “Yongqi, kau kan kakak Xiao Yanzi. Masa Xiao Yanzi tidak paham aturan, kau pun ikut-ikutan? Jangan kira karena kau seorang Pangeran aku akan bermurah hati padamu!”

Xiao Yanzi sudah tahu kalau Qianlong bisa memukul putrinya, maka dia pasti tak segan memukul putranya juga. Xiao Yanzi kembali bersujud memohon, “Huang Ama, aku sudah mengaku salah. Cukuplah Huang Ama menghukumku saja.”

Yongqi cemas memikirkan Xiao Yanzi yang akan dipukul lagi, ikut bersujud. “Huang Ama, mohon Putri Huanzhu tidak dipukul lagi! Sebagai saudara lebih tua, aku bersalah karena tidak membimbingnya. Akulah yang pantas dihukum!”

Qianlong terharu melihat kesediaan kakak-beradik ini menerima hukuman. Setelah menunggui Xiao Yanzi selama beberapa jam, Qianlong jadi lelah. Dia pun berkata, “Malam sudah larut. Aku tak akan menanyai kalian lagi. Tapi besok pagi kalian harus menemuiku di perpustakaan pribadiku. Aku akan membuat perhitungan dengan kalian!”

Yongqi dan Xiao Yanzi bersujud, berterima kasih pada Qianlong.

Qianlong bangkit. Selir Ling mengikuti. Dia berkata pada Yongqi lagi, “Soal minum arak tadi, jangan kalian lakukan. Tidak pantas. Sekarang kembalilah ke kediamanmu.”

Yongqi tidak berani lagi berlama-lama di Paviliun Shuofang. “Aku akan mengantar Huang Ama dan Selir Ling!”

Akhirnya, romobongan Kaisar, Selir Ling dan Yongqi berlalu. Xiao Dengzi, Xiao Cuozi, Mingyue dan Caixia segera menghambur ke arah Xiao Yanzi.

“Oh, Tuan Putri! Junjungan hamba yang terhormat…. Kaisar yang panjang umur sewaktu-waktu bisa datang kemari tanpa pemberitahuan. Jadi lain kali hamba mohon Putri jangan keluar sembunyi-sembunyi lagi!”

Xiao Yanzi terkulai di lantai. Dia cemas menghadap Qianlong besok pagi. Ya Tuhan… Bagaimana ini?

***

Ketika fajar mulai menyingsing, Xiao Yanzi mengendap-endap pergi ke istana Qingyang yang merupakan kediaman Yongqi

Dia masih berpakaian kasim. Xiao Xunzi begitu terkejut sewaktu melihatnya. Tapi dia tidak berani berkata apa-apa, hanya membawa XiaoYanzi menemui Pangeran Kelima. Ternyata, di dalam istana Qingyang sudah ada orang lain. Erkang dan Ertai sudah berada di sana untuk membicarakan strategi menghadap Kaisar nanti.

Melihat Xiao Yanzi masuk, ketiga pemuda itu terkejut. “Kau berani sekali kemari! Apa tidak ada orang yang mengikutimu?” tanya Erkang.

“Tidak! Tidak ada!” Xiao Yanzi buru-buru menyahut. “Sekarang cepat katakan, kalau nanti aku ditanyai Huang Ama, apa yang harus kukatakan?”

Yongqi menarik Xiao Yanzi mendekat, “Kemari! Kita berembuk sebentar…”

Keempat orang itu berkumpul dan merancang strategi. (Bukan berpelukan seperti Teletubbies ya, teman-teman…:D) Tiba-tiba, dari luar terdengar seruan, “Permaisuri tiba!”

Keempat muda-mudi itu terperanjat dan ketakutan. Xiao Yanzi mengumpat. “Sial! Kenapa pula Nenek Sihir itu kemari pada saat begini?”

Dia pun mencari tempat untuk bersembunyi….

Bersambung

Written by: http://merlinschinesestories.blogspot.com/

BACA JUGA SINOPSIS LAINNYA



0 comments:

Post a Comment


Friend Link List