Recent Post


[Sinopsis Novel] Putri Huan Zhu/ Huan Zhu Ge Ge II Bagian 15 (ENDING)

Do you want to share?

Do you like this story?


Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge II-5: Hung Chen Chuo Pan
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan

Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu II-5: Kembali Ke Kota Kenangan
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tutut Bintoro
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Mei 2000

Cerita Sebelumnya:
Di balik pengakuannya terhadap status Xiao Yanzi, Xiao Jian punya satu rahasia penting mengenai dendam kesumat keluarganya. Kebahagiaan demi kebahagiaan menghampiri kelompok Xiao Yanzi. Puncaknya, ketika Kaisar sendiri datang ke Nanyang menjemput mereka. Namun kebahagiaan ini nyaris berantakan karena kemarahan Xiao Jian. Dia nyaris melontarkan rahasia yang ditutupinya rapat-rapat di hadapan semua orang.



XV

Akhirnya, Xiao Yanzi dan Ziwei tiba di istana.

Mereka langsung menuju Paviliun Shuofang. Di sana, selain Mingyue, Caixia, Xiao Dengzi dan Xiao Cuozi, juga telah menunggu Selir Ling dan Qing’er.

Qianlong mengajak kedua gadis masuk ke kediaman mereka. “Kami sudah pulang! Kami sudah pulang!”

Seluruh dayang dan kasim Paviliun Shuofang berlutut dan berseru penuh haru, “Putri! Hamba menghadap Putri! Semoga kedua Putri panjang umur hingga seribu tahun!”

Xiao Yanzi maju seraya berseru, “Bukankah sudah berulang kali kubilang jangan berlutut padaku? Cepat berdiri! Biar kulihat apakah kalian baik-baik saja?”

“Kami rindu pada Putri!”

“Setiap hari kami berdoa untuk Putri!”

“Kami menunggu kepulangan Putri!”

“Akhirnya doa kami terkabul dan Putri pulang!”

Xiao Yanzi dan Ziwei amat tersentuh. Selir Ling menyambut mereka dan menarik keduanya dengan tatapan haru. “Akhirnya kita bisa berkumpul lagi! Kalian tampak kurus… kali ini kalian sungguh menderita. Ziwei, bagaimana matamu? Biar kulihat!”

Ziwei menghambur ke pelukan Selir Ling. “Selir Ling! Karena ada orang yang begitu menyayangi dan merindukanku seperti Anda, semua penyakitku sudah sembuh!”

Xiao Yanzi melepas pelukan Selir Ling dan menghambur memeluk Qing’er. “Qing’er! Aku mau memberitahumu kabar besar! Aku tidak sebatang kara! Aku punya kakak! Kakakku namanya Xiao Jian! Dia orang luar biasa!”

“Bicaralah pelan-pelan,” Qing’er tampak terharu. “Kalian sepertinya telah mengalami banyak peristiwa menghebohkan. Aku iri sekali! Inginnya aku ambil bagian di dalamnya!”

Selir Ling tiba-tiba tersadar, “Mana Jinshuo? Kenapa aku tak melihatnya?”

Qianlong buru-buru menjawab, “Dia sudah menikah! Sekarang dia menjadi Nyonya Juragan Graha Huipin! Cepat siapkan seperangkat bekal pernikahan untuk gadis itu!”

“Jinshuo telah menikah?”

“Benar! Anak-anak ini, selain melarikan diri mereka juga mengurus banyak urusan! Menyelamatkan gadis yang akan dihukum bakar, menolong gadis yatim-piatu dan ikut festival sastra. Ada yang bertemu kakaknya, ada yang bertemu adiknya, juga masih bisa mengadakan pernikahan. Sepanjang jalan semua rakyat membicarakan mereka. Kurasa, lain kali bila aku sampai memenggal mereka lagi, satu China akan heboh!”

“Betulkah?” Selir Ling tampak terkejut. “Kalian harus menceritakan semuanya padaku!”

“Tentu saja!” sahut Ziwei.

Qianlong mengajak Selir Ling pergi, “Mari kita pergi dan biarkan kedua Putri ini istirahat. Kalau sudah, kalian harus pergi mengunjungi Istana Zhuning untuk memberi salam pada Ibu Suri.”

Hati Ziwei dan Xiao Yanzi langsung gentar mendengarnya. Qing’er mengetahui keresahan mereka. dia tertawa sambil berbisik pada keduanya.

“Jangan takut, Lao Foye sudah tidak segalak dulu. Hati Beliau telah melunak. Apalagi ketika kalian pergi, istana ini begitu sepi. Beliau telah pasrah menerima kehadiran kalian! Aku bahkan diijinkannya menemui kalian di sini sekarang!”

Setelah semuanya pergi, para dayang dan kasim serempak mengangkat Xiao Yanzi dan Ziwei. Mereka mengelu-elukannya, “Putri Pulang! Putri Pulang!”

***

Selesai membersihkan diri dan beristirahat sejenak, Ziwei dan Xioa Yanzi berdandan. Ditemani Erkang dan Yongqi keempatnya pergi ke Istana Zhuning menghadap Ibu Suri.

Khawatir Ibu Suri akan menyulitkan mereka, Qianlong sejak tadi sudah menunggu di Istana Zhuning. Begitu keempat muda-mudi itu tiba, mereka langsung berlutut.

Ziwei menghaturkan salam dengan tulus, “Salam sejahtera, Lao Foye! Kami telah melakukan banyak kesalahan sampai menyeret Pangeran Kelima dan Erkang. Kami menyadari kesalahan kami, berharap Lao Foye sudi menerima dan memaafkan kami!”

Ibu Suri menatap mereka. hatinya amat tersentuh. Dia menghembuskan napas. “Sudahlah! Tak perlu berulang kali minta maaf. Sebenarnya setiap kali bertemu, aku ingin kalian duduk di sekelilingku dan menceritakan rahasia-rahasia kalian. Dengan begitu, barulah aku menjadi nenek sejati! Bukan hanya kalian yang sering tidak berdaya hidup di kalangan keluarga Kaisar. Aku pun begitu. Barangkali mulai sekarang kita mesti mengganti suasana istana yang kaku ini dengan kehangatan.”

Kata-kata Ibu Suri membuat mereka sangat senang. Qianlong menoleh ke arah Ibu Suri melontarkan senyuman. “Huang Thaihou, Anda adalah sesepuh dalam keluarga ini. Kebahagiaan seseorang seringkali berada di tangan Anda. Bila Anda dapat membuat kehidupan istana ini seperti keluarga penuh kehangatan, kurasa tidak akan ada kekuatan lagi yang dapat membuat anak-anak ini pergi meninggalkan istana!”

Ibu Suri sungguh terharu mendengar penuturan Qianlong. “Kelihatannya kita perlu beradaptasi dengan orang-orang muda ini! Tidak perlu lagi mengungkit segala hal di masa silam!”

Melihat reaksi Ibu Suri yang positif, Qing’er gitang sekali. Dia memaafkan kesempatan ini berkata, “Lao Foye! Malam ini aku boleh ke Paviliun Shuofang kan? Aku sangat penasaran mendengar cerita petualangan mereka!”

Ibu Suri menatap Qing;er sekilas. “Pergilah! Nanti ceritakan juga padaku, ya!”

***

Malam itu di Paviliun Shuofang ramai sekali. Para dayang dan kasim berkumpul. Qing’er dan Ziwei duduk dekat perapian, mendengar Xiao Yanzi bercerita sambil makan kuaci.

Sementara di Paviliun Shuofang hangat dan penuh keceriaan, sebaliknya di Istana Kunning sunyi dan dingin. Permaisuri sangat marah mengetahui kepulangan mereka. Dia dan Bibi Rong menyusun rencana untuk mengukuhkan gengsinya sebagai Permaisuri.

Keesokan harinya, atas usul Ziwei, mereka memutuskan untuk mengunjungi Permaisuri. Meski awalnya Xiao Yanzi menolak, tapi Ziwei berhasil meyakinkannya untuk memulai hubungan yang baik dengan Permaisuri sejak kepulangan mereka sekarang.

Qianlong kebetulan datang berkunjung ke Paviliun Shuofang untuk menjenguk mereka. Mengetahui keinginan mengunjungi Permaisuri, Qianlong tanpa pikir panjang langsung menemani mereka pergi bersama.

Sesampainya di halaman Istana Kunning, Erkang melihat seorang kasim yang mengamati mereka. Tindak tanduknya mencurigakan dan kelihatannya familier sekali. Ketika dilihatnya lagi dengan seksama, dia terkejut.

“Yongqi! Lihat orang kasim itu! Sepertinya dia pimpinan orang berpakaian hitam yang menyerang kita di Luoyang!”

Yongqi juga mengamati. “Sepertinya memang dia!”

Kasim itu memang Palang. Ketika melihat rombongan Qianlong mendekat, Palang buru-buru menundukkan kepala dan diam-diam hendak pergi.

“Berhenti! Mau lari ke mana kau?” teriak Erkang.

Erkang dan Yongqi langsung melayang mengejar orang itu. “Mereka mengejar siapa?” Qianlong bertanya gusar.

Xiao Yanzi langsung menjelaskan, “Huang Ama! Orang itu yang hendak membunuh kami di Luoyang! Dia bilang sendiri kalau Huang Ama yang memerintahkannya membunuh kami! Akibatnya Erkang terluka parah! Yongqi juga terluka! Mereka menghajar kami habis-habisan!”

Qianlong langsung berteriak lantang, “Pengawal! Lekas kemari! Ada pembunuh!”

Pengawal berbondong-bondong datang dengan senjata terhunus. Mereka langsung mengepung arah yang ditunjuk Qianlong.

Palang berhasil dikepung dan ditangkap. Dia dibawa ke hadapan Qianlong.

“Siapa kau? Siapa yang memerintahkan membunuh kedua Putri dan Pangeran Kelima?”

“Hamba Palang! Sebelum mengetahui siapa yang memberi hamba perintah, Yang Mulia harus berjanji untuk menyelidiki hal ini dengan seksama dan tidak menimpakan semua kesalahan pada hamba!”

“Siapa yang memberimu perintah?” seru Qianlong.

“Permaisuri! Beliau yang memerintahkan hamba untuk membunuh Pangeran Kelima dan kedua Putri!”

“Kurang ajar! Seret dia! Akan kucari Permaisuri untuk membuat perhitungan!”

***

Permaisuri sedang tidak berada di Istana Kunning. Dia bersama Bibi Rong pergi ke Istana Zhuning untuk mengadukan kegalauan hatinya.

Qianlong bersama yang lainnya menuju Istana Zhuning. Palang juga ikut diseret ke sana.

Ibu Suri, Qing’er dan Permaisuri keluar menemui rombongan Qianlong. Melihat Palang yang diseret-seret, Ibu Suri bertanya, “Ada apa ini?”

Permaisuri dan Bibi Rong pucat pasi. Qianlong melotot kepada Permaisuri, “Benarkah orang ini suruhanmu? Kau menyuruhnya membunuh Yongqi dan yang lainnya sewaktu dalam pelarian. Benarkah begitu?”

Permaisuri langsung menyangkal. “Aku tidak kenal dia! Aku tidak tahu siapa dia!”

Melihat Permaisuri bermaksud mangkir, Palang langsung berseru, “Permaisuri! Hamba hanya melaksanakan perintah Anda! Mengapa sekarang Anda bilang tidak mengenal hamba?”

“Siapa kau?”

“Yang Mulia Permaisuri! Hamba Palang!”

“Palang? Nama ini belum pernah kudengar!”

“Permaisuri! Hamba yang membantu melaksanakan keinginan Anda! Hari ini Permaisuri justru tidak mengakuiku! Selama ini, ternyata hamba telah salah memilih majikan! Apakah Anda lupa dulu hamba berhasil menyuap Gao Yuen dan Gao Da untuk meletakkan boneka kain di Paviliun Shuofang? Juga mengutus hamba ke Jinan untuk menyuap kerabat Putri Ziwei dan dukun beranak itu?”

Permaisuri gemetar sekujur tubuh. “Fitnah! Ini semua fitnah!”

Ibu Suri tidak pernah menduga ada kejadian begini. Permaisuri yang begitu dipercayainya…

“Permaisuri! Ternyata kau memasang begitu banyak perangkap untuk menjebak Xiao Yanzi dan Ziwei! Kau gunakan kepercayaanku untuk perbuatan-perbuatan tak berperikemanusiaan! Kau sungguh keterlaluan!”

Permaisuri sungguh terpukul mendengar kata-kata Ibu Suri. Qianlong berseru kepada pengawal, “Kurung orang bernama Palang ini! Lalu interogasi Gao Yuen dan Gao Da!”

Pengawal menyeret Palang pergi. Palang meronta-ronta, “Permaisuri! Anda harus menolong hamba! Selama ini hamba sangat setia pada Anda! Tolong ingatlah hal itu!”

Semakin dipikir, Qianlong semakin marah. Ditudingnya Permaisuri, “Kau Permaisuriku! Tapi tega melakukan hal sekejam ini! Kau tak hentinya mencelakai Ziwei dan Xiao Yanzi! Membuatku menuduh Xia Yuhe! Dan fitnah boneka kain itu… nyaris membuat Ziwei nyaris kehilangan nyawa! Sekarang semua kebenaran terbuka, kau masih tak sudi mengaku! Kalau aku tidak menghukummu, akan sulit bagiku menghapus kebencian ini dari hatiku! Pengawal! Bawa Permaisuri dan penggal kepalanya!”

Sekonyong-konyong, Yongji muncul dan memeluk kaki Qianlong sambil menangis. “Huang Ama! Mohon belas kasihan! Jangan bunuh Huang Erniang! Kumohon jangan bunuh ibuku…”

Ibu Suri menarik Yongji. Tapi anak itu tak mau pergi. Dia menghambur ke pelukan Permaisuri, “Huang Erniang! Huang Erniang!”

Saat itulah Permaisuri sadar sudah tidak ada jalan keluar lagi. Sambil memeluk Yongji, dia jatuh merosot ke lantai dan menangis.

Melihat Permaisuri dan Pangeran Kedua Belas menangis pilu, Ibu Suri yang wajahnya kaku, dan kemarahan Qianlong begitu hebat, tahulah Bibi Rong kalau pertahanan terakhir Permaisuri telah runtuh. Dia maju dan berlutut di hadapan Qianlong, “Yang Mulia, semua masalah ini hambalah yang mengaturnya! Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Permaisuri! Semua perbuatan busuk ini hambalah yang bertanggung jawab. Mohon Baginda membunuh hamba saja dan mengampuni Permaisuri!”

Qianlong memelototi Bibi Rong. “Bibi Rong! Pikirmu kali ini aku mau melepasmu? Sekarang aku akan mengabulkan permintaanmu! Aku akan membunuhmu lebih dulu setelah itu baru Permaisuri! Pengawal! Seret Bibi Rong keluar dan penggal kepalanya!”

“Siap!”

Wajah Bibi Rong telah basah oleh air mata. Dia berlutut kepada Permaisuri sambil terisak, “Permaisuri, maafkan hamba! Hamba tidak bisa melayani Anda lagi!”

Permaisuri sungguh shock. Dia mencengkeram Bibi Rong dan berkata pada Qianlong, “Mohon Yang Mulia berbelas kasihan! Mohon Yang Mulia berbelas kasihan!”

Melihat ibunya, Yongqi ikut berlutut. “Huang Ama, kenapa Anda suka memenggal kepala orang? Kumohon ampunilah Bibi Rong!”

Bibi Rong memeluk Permaisuri dan Yongji. “Permaisuri, jaga dirimu… Pangeran Kedua Belas, jaga dirimu…”

Pengawal menarik Bibi Rong. Sementara Permaisuri mengejarnya, “Bibi Rong! Kembali…”

Ziwei yang seperti biasa baik hati, air matanya mulai mengalir menyaksikan peristiwa itu. Dia maju dan berseru, “Tunggu! Huang Ama! Mohon berbelas kasihan! Meski Bibi Rong telah banyak melakukan kesalahan, tapi kesetiaannya kepada majikannya sangat teguh! Mohon ampuni Bibi Rong demi Pangeran Kedua Belas! Atau demi diriku!”

“Tidak bisa! Kesalahannya sangat besar! Sepuluh kepalanya pun tak akan sanggup menebusnya! Aku juga tidak hanya memenggal kepala Bibi Rong! Tapi juga akan memenggal kepala Permaisuri! Siapa pun tak bisa meminta maaf bagi mereka!”

“Huang Ama! Kalau begitu, aku akan menggunakan lempengan emasku untuk mencabut hukuman mati Bibi Rong!’

Qianlong terkesiap. “Ziwei! Lempengan itu hanya bisa digunakan tiga kali!”

“Aku bukan hanya menggunakannya sekali. Selain Bibi Rong, aku juga memohon untuk mengampuni Permaisuri dari hukuman mati! Huang Ama tentu tak akan mencabut kembali hak khususku ini, kan?”

Xiao Yanzi terdorong kekagumannya pada Ziwei. Dia ikut berdiri di sisinya.

“Huang Ama, Anda tahu kalau aku pendendam. Tapi melihat sikap Ziwei, aku pun goyah. Bibi Rong memang musuhku di istana ini. Tapi aku juga ingin memiliki sedikit budi baik. Jika lempengan emas Ziwei belum cukup untuk mengampuni Bibi Rong dan Permaisuri, aku masih punya lempengan emasku…”

“Sudah! Jangan memakai lempengan emas itu lagi!” Qianlong mengibas kesal.

Melihat Ziwei dan Xiao Yanzi bicara, Yongqi dan Erkang ikut membujuk Qianlong. Ibu Suri melihat kegigihan keempatnya langsung tersentuh.

“Yang Mulia, jarang sekali ada anak-anak yang memiliki hati sebaik mereka. juga bijaksana seperti ini… Amitabha! Ini merupakan berkah dari leluhur kita!”

Ibu Suri lalu mendelik ke arah Bibi Rong. “Bibi Rong! Kau sudah tahu bagaimana harus menyesali perbuatanmu?”

Bibi Rong sungguh tak menyangka, pada detik ini justru Ziwei dan kawan-kawanlah yang memohon pengampunan untuknya. Semua rasa sesal, terharu, juga tersentuh berkumpul jadi satu. Dia tahu kesalahannya sangat besar. Namun semua ini dilakukannya demi Permaisuri. Bibi Rong pun menangis dan bersujud di hadapan Ziwei berempat.

“Hamba berterima kasih pada Putri Ziwei, Putri Huan Zhu, Pangeran Kelima dan Tuan Muda Fu…”

Ibu Suri berkata lembut pada Qianlong, “Yang Mulia, ampunilah mereka yang patut diampuni!”

Qianlong mengambil keputusan. “Bibi Rong! Hari ini anak-anak telah membantumu meminta pengampunan dariku! Namun meski kau lolos dari hukuman mati, kau tetap harus dihukum fisik. Pengawal! Seret dia ke halaman lalu pukul dengan tongkat seratus kali!”

Para pengawal menyeret Bibi Rong keluar. Permaisuri segera mengejar. Dia berhasil mendapatkan Bibi Rong yang sudah direbahkan pada sebuah bangku. Lalu, dengan tubuhnya sendiri, Permaisuri melindungi Bibi Rong.

“Paduka! Mohon belas kasihan lagi! Bibi Rong sudah tua! Jangankan seratus kali, lima puluh kali pukulan saja dia tak sanggup menanggungnya! Tolong berikan lagi pengampunan baginya!”

Qianlong menatap Permaisuri dengan dingin. Dia tak berkata apa-apa.

Yongji ikut berseru, “Huang Ama! Ampunilah Bibi Rong! Huang Ama…”

Qianlong berpaling melihat Yongji yang ditahan inang pengasuhnya. Dia berseru memerintahkan, “Pengasuh! Antar Pangeran Kedua Belas ke Istana Yanxi! Mulai sekarang, dia dalam pengasuhan Selir Ling!”

Permaisuri amat terkejut mendengarnya. Dia melihat Yongji yang ditarik pergi dan menyerukan namanya, “Huang Erniang! Huang Erniang!’

Permaisuri melepaskan Bibi Rong dan mengejar Yongji. “Yongji! Yongji!”

Qianlong segera menginstruksikan para pengawal memukul Bibi Rong.

“Satu! Dua! Tiga…,” para kasim menghitung sementara tongkat mereka berayun. Bibi Rong melolong-lolong kesakitan.

Ziwei sungguh tidak tega. Dia menarik Qianlong dan mengiba, “Karena Huang Ama melarangku memakai lempengan emasku, kumohon dengarkanlah puisiku!”

“Membaca puisi? Pada saat-saat begini kau mau membaca puisi?”

“Benar! Setelah puisiku selesai, Huang Ama boleh menuntaskan hukuman Bibi Rong.”

“Baik! Cepat bacakan puisimu itu!”

Ziwei membaca puisinya dengan suara jernih mendayu-dayu.

“Bulan pindah ke Graha Barat tanpa suara. Nelayan pulang ke rumah menggulung jala. Tak perlu payung setelah langit cerah sehabis hujan. Pandai besi beristirahat sambil minum teh. Penebang kayu turun gunung. Pemburu memanggil anjingnya untuk kembali. Wanita cantik turun dari papan jungkat-jungkit. Penjual minyak berganti profesi berkelana mengelilingi dunia!”

Alis Qianlong bertaut. Dia tidak mengerti sama sekali maksud puisi itu.

Namun Erkang langsung paham. Dia berkata dengan penuh hormat pada Qianlong, “Yang Mulia, dalam puisinya tadi, Ziwei telah menyebut kata ‘Bu Da’ – tidak memukul, sebanyak delapan kali!”

“Delapan kata ‘tidak memukul’?”

“Benar!” Erkang menjelaskan. “Bulan pindah ke Graha Barat ranpa suara berarti ‘Bu Da Geng’ – tidak bersuara. Nelayan pulang menggulung jala berarti ‘Bu Da Yu’ – tidak melaut. Tidak perlu paying setelah langit cerah sehabis hukan berarti ‘Bu Da San’ – tidak membawa paying. Pandai besi istirahat minum teh berarti ‘Bu Da Tie’ – tidak menempa besi. Penebang kayu turun gunung berarti ‘Bu Da Cai’ – tidak memotong kayu. Pemburu memanggil anjingnya kembali berarti ‘Bu Da Lie’ – tidak berburu. Wanita cantik turin dari papan jungkat-jungkit berarti ‘Bu Da Qiuqian’ – tidak main jungkat-jungkit. Penjual minyal berganti profesi berkelana keliling dunia berarti ‘Bu Da You’ – tidak menjual minyak!”

Qianlong akhirnya memahami maksudnya. Dia terpana.

Qing’er ikut meyakinkan Qianlong. “Yang Mulia, kalau lempengan emas dan puisi tidak memukul tak membuat Kaisar goyah, setidaknya Anda tetap tersentuh pada bakat dan kepandaian Ziwei yang digunakannya untuk menolong Bibi Rong. Mohon Yang Mulia jadilah seperti yang dikatakan dalam puisi itu: ‘bulan berpindah ke Graha Barat tanpa suara’, dan ‘langit yang cerah sehabis hujan’. Setuju, bukan?”

Xiao Yanzi tak mau ketinggalan. Dia ikut buka mulut. “Huang Ama! semua orang sudah memohon. Jadi, sudahi sajalah…”

Qianlong menghembuskan napas keras-keras. “Sudahlah! Aku tak akan melawan anak-anak ini lagi! Pengawal! Hentikan pukulannya!”

Tubuh Bibi Rong merosot dari bangku. “Bibi Rong!” Qianlong sepertinya masih perlu mengeluarkan kata-kata ancaman. “Lain kali kalau kau melakukan kesalahan lagi, aku pasti akan memotong-motong tubuhmu! Waktu itu, meski ada sepuluh lempengan emas ditambah sepuluh puisi tidak memukul, semuanya tak akan bisa menyelamatkanmu!”

Air mata Bibi Rong bercucuran. Dia merangkak dan bersujud di hadapan Qianlong, “Hamba menyadari kesalahan hamba! Mulai saat ini hamba akan membersihkan hati dan menjadi orang yang baru!” Setelah itu, Bibi Rong juga bersujud di hadapan Ziwei dan kawan-kawan.

“Sekarang kau dan Permaisuri kembalilah ke Istana Kunning untuk mengurung diri dan merenungkan kesalahan kalian!”

Permaisuri dan Bibi Rong mematuhi perintah. Tersaruk-saruk, keduanya bergandengan menuju Istana Kunning.

***

Meski Qianlong telah mengampuni Permaisuri dan Bibi Rong, malamnya di Istana Yanxi, emosinya naik lagi ketika melihat Yongji menangis.

“Kau jangan merengek terus seperti anak kecil! Mulai sekarang masa anak-anakmu sudah usai! Kau sudah harus belajar jadi orang dewasa!” bentak Qianlong. “Siapa suruh ibumu begitu brengsek! Tanggunglah hal ini maka kau bisa menjadi lelaki sejati yang sanggup menanggung beban berat! Kalau tidak, selamanya kau akan jadi seperti bayi! Tak boleh menangis lagi! Aku paling tidak suka melihat anak laki-laki menangis!”

Yongji menatap Qianlong ketakutan. “Tapi…, aku ingin melihat Ibuku di Istana Kunning…”

“Jangan sebut-sebut ibumu lagi! Anggap saja dia sudah mati! Mulai sekarang, Selir Ling adalah ibumu!”

Qianlong membentak sambil memukul meja. Membuat Yongji kaget sekali. Selir Ling bergegas menengahi. “Pangeran Kedua Belas, kalau Huang Ama bicara, harus disimak baik-baik, ya! Di tempatku ini enak, kok! Ada Putri Ketujuh dan Kesembilan, juga ada Pangeran Kecil. Di sini jauh lebih ramai daripada Istana Kunning!”

“Tapi….”

“Tidak ada tapi-tapian!” hardik Qianlong.

Yongqi tersentak. Dia pun menangis keras, “Huaaaa….!!!”

Tiba-tiba dari luar terdengar seruan kasim mengumumkan kedatangan Ziwei dan Qing’er.

Begitu kedua gadis itu masuk, Selir Ling seolah bertemu dengan penolongnya. “Ah, kebetulan sekali kalian datang! Ziwei, cepat kau nasihati Huang Amamu. Sejak tadi dia terus memarani Pangeran Kedua Belas. Pangeran Kedua Belas terus ingin menemui ibunya, aku sungguh tidak tahu harus bagaimana…”

Qianlong tahu kedatangan Ziwei dan Qing’er pasti ada sangkut pautnya dengan Yongji.

“Ziwei! Kau sudah membacakan puisi tidak memukul. Lalu sekarang apakah kau akan membacakan puisi lagi untuk Pangeran Kedua Belas?”

“Benar! Aku akan membaca puisi. Singkat saja: ‘Ibu berpisah dari putra, putra terpisah dari ibu. Siang hari tak lagi bercahaya, yang terdengar hanya tangisan’!”

“Ini puisi yang tidak cocok dengan keadaan sekarang!” tukas Qianlong. “Aku memisahkan mereka demi masa depan Yongji! Mengikuti ibu semacam itu hanya akan membuat telinga dan matanya tercemar. Kalau sudah dewasa, akan jadi apa dia?”

“Yang Mulia,” kata Qing’er. “Lao Foye sengaja mengutus kami kemari untuk memohon bagi Permaisuri dan Pangeran KeduaBelas. Lao Foye berkata kalau dia akan bertanggung jawab langsung mengawasi Pangeran Kedua Belas hingga dia tumbuh dewasa! Mohon Baginda bersedia mengembalikan Pangeran Kedua Belas kepada Permaisuri!”

Ziwei menyambung dengan senyun tipis. “Selain itu, Huang Ama tidak boleh membuat Selir Ling menanggung tanggung jawab berat. Itu sangat tidak adil.”

“Kenapa bisa tidak adil?”

“Karena Anda akan membuat posisi Selir Ling serba susah! Pangeran Kedua Belas putra kandung Permaisuri, akan banyak mata yang akan mengawasinya. Selir Ling tidak mungkin bisa memukul, memarahi ataupun mengaturnya meski semua itu demi alasan kebaikannya. Orang-orang pasti akan menggunjingkannya! Apalagi, Selir Ling sudah sibuk sekali oleh ketiga anaknya. Bagaimana dia harus membesarkan mereka semua?”

Qianlong terpana. Selir Ling menghembuskan napas lega. “Kata-kata Ziwei cocok sekali dengan pemikiraku. Aku pun mengemban banyak tanggung jawab. Bagaimanapun, hamba tidak akan bisa mengganti posisi ibu kandungnya sendiri!”

Ziwei meneruskan, “Huang Ama, aku kembali demi ketentraman keluarga. Aku ingin sekali berdamai dengan Permaisuri. Kumohon Huang Ama membantuku. Ijinkan aku melakukan perbuatan baik pada Permaisuri. Kembalikan saja Pangeran Kedua Belas ke istana Kunning. Setuju, kan?”

Qianlong akhirnya berkata pada Yongji. “Kakak Ziweimu ini sangat pandai membujuk. Kelak kau harus ingat baik-baik kebaikan hatinya! Jangan melupakannya! Pulanglah ke Istana Kunning bersamanya!”

Ziwei menekuk lutut. “Terima kasih, Huang Ama! mengenai masa depan Pangeran Kedua Belas, Anda jangan khawatir. Seorang ayah harimau, mana mungkin memiliki putra kelinci?”

Qianlong tertawa mendengar perumpamaan Ziwei.

***

Di Istana Kunning yang berselimut kabut duka, Permaisuri dan Bibi Rong menangis bersama.

Teringat Yongji, isak tangis Permaisuri kian menjadi. Bibi Rong melupakan rasa sakit di tubuhnya akibat pukulan siang tadi dan sibuk mengusap air mata Permaisuri.
Tiba-tiba terdengar seruan kasim yang mengumumkan kedatangan Ziwei, Qing’er dan Yongji.

“Pangeran Kedua Belas? Benarkah itu Pangeran Kedua Belas?” seru Permaisuri.

“Benar! Itu Pangeran Kedua Belas!” sahut Bibi Rong.

Terhuyung-huyung mereka sampai ke pintu dan melihat Ziwei serta Qing’er menggandeng tangan Yongji.

“Permaisuri, aku telah meminta kembali Pangeran Kedua Belas untukmu,” kata Ziwei.

Qing’er ikut menyambung, “Permaisuri, Lao Foye berpesan bahwa Anda harus menghargai semua yang Anda miliki sekarang. Jangan sampai kehilangan semuanya lagi!”

Air mata Permaisuri mengalir deras. Dipeluknya Yongji erat-erat. Pada saat bersamaan, seluruh kebenciannya pada Ziwei berubah menjadi rasa terima kasih dan penyesalan yang dalam.

***

Setelah semua masalah Permaisuri berakhir dan keadaan kembali tenang, Ibu Suri kembali memikirkan masalah perjodohan Qing’er.

Hal itu amat membebani hatinya sehingga dia memanggil Erkang secara pribadi ke Istana Zhuning.

“Aku akan berterus terang mengapa memanggilmu kemari,” kata Ibu Suri. “Aki sengaja menyuruh Qing’er pergi agar dapat membucarakan masalah ini leluasa denganmu. Aku sudah mengerti cintamu pada Ziwei. Ziwei itum mau tidak mau harus kuakui sangat berbakat. Jadi, aku memutuskan untuk merestui kalian. Tapi dengan satu syarat: kau juga harus menikahi Qing’er!”

Erkang terkesiap. “Lao Foye! Hamba tidak bisa melakukan itu!”

“Mengapa? Qing;er gadis yang baik hati. Dia hanya memiliki perasaan khusus padamu! Jika kau menikahi mereka berdua sekaligus, kau tak akan rugi!”

“Lao Foye, baik Ziwei maupun Qing’er, keduanya bukanlah dewi! Mereka hanya wanita, yang punya kelembutan, kepekaan, rasa cemburu dan egoisme khas wanita. Jangan memandang hamba terlalu tinggi! Sebenarnya hamba tidak sanggup mencintai dua wanita pada saat bersamaan! Pada akhirnya jika ini dipaksakan, hati kami bertiga akan hancur! Semuanya akan tamat!”

Begitu kata-kata Erkang selesai, Qing’er sudah keluar sambil bertepuk tangan. “Erkang! Kata-katamu bagus sekali! Aku sangat kagum padamu!”

Erkang dan Ibu Suri sama-sama terperanjat. Erkang menatap Qing’er dengan pandangan menyesal. “Qing’er, maafkan aku…”

“Tak ada yang perlu dimaafkan! Kata-katamu tadi sangat masuk akal!” Qing’er lalu berkata pada Ibu Suri. “Lao Foye, Anda selalu saja menyingkirkanku untuk pembicaraan yang melibatkan diriku. Apakah itu Anda lakukan untuk memaksa Erkang? Hamba tidak menginginkan Erkang! Karena di hatinya sudah ada Ziwei. Kalaupun hari ini Erkang terpaksa setuju, akulah yang akan menolaknya! Erkang benar, kalau hal ini dipaksakan, yang terluka adalah kami bertiga. Tapi aku paling menderita. Karena cinya mereka berdua mereka saling memiliki, sementara cintaku hanya bertepuk sebelah tangan!”

Ibu Suri terpengarah mendengar penuturan Qing’er. “Aku tahu kau mempertahankan harga dirimu....”

Qing’er memohon pada Ibu Suri, “Bolehkah aku dan Erkang bicara empat mata?”

Dengan enggan, Ibu Suri mengiyakan. Qing’er dan Erkang pun keluar ke taman bunga.

“Tadi itu Lao Foye mengambil inisiatif sendiri. Kau jangan menyangka aku yang menginginkannya ya!” Qing’er berkata sesampainya di lluar.

Perasaan Erkang terhadap Qing’er begitu rumit. “Kuharap kau tadi tidak tersinggung. Kau telah berulang kali menolongku, Ziwei, Xiao Yanzi dan Pangeran kelima. Aku ingin sekali membalas budimu…”

“Tak perlu mengatakannya lagi!” potong Qing’er. “Orang sepintar aku, mana mau menyelinap masuk di antara kalian hanya untuk menjadi kambing congek? Itu menghina diriku sendiri. Memangnya aku kelak tidak bisa punya pujaan hati lagi?”

Mata Erkang berbinar. “Qing’er, kau sudah berubah!”

“Apa?”

“Kau bukan lagi gadis kecil kekanakan yang selalu berdiri di sampaing lao Foye. Kau sudah berubah menjadi wanita sejati. Ziwei pernah mengatakan kau seperti api yang terkubur dalam gunung es. Di luar tampak alim dan dingin, tapi di dalam begitu membara dan bergejolak!”

Qing’er terpana. “Ziwei bilang begitu? Ternyata Ziwei sangat memahami diriku!”

Qing’er kembali melanjutkan. “Kurasa, kita akan terus bersahabat sampai tua. Aku tidak ingin menghancurkan hubungan seindah ini!”

“Aku juga! Kita akan bersahabat selamanya dan itu tak akan berubah!” kata Erkang tulus.

***

Selesai bicara dengan Erkang, Qing’er kembali ke Istana Zhuning dan bicara kepada Ibu Suri.

“Lao Foye, mohon jangan menjodohkanku lagi dengan Erkang. sekarang dia sudah seperti saudara saja bagiku.”

“Tapi, bukankah dulu hanya dia yang kau sukai?”

“Sekarang rasa suka itu masih ada. Tapi bukan lagi untuk Erkang. melainkan untuk seseorang dalam imajinasiku. Aku berharap bisa seperti Ziwei, memiliki pasangan yang hanya mencintai dirinya seorang.”

“Mana ada pria semacam itu di lingkungan kita? Jika kau tidak menikahi Erkang sekarang, bagaimana nasibmu nanti?”

“Aku tahu Lao Foye sangat menyayangiku. Anda memikirkan masa depanku. Begini saja, berikan saja aku hak untuk menentukan perjodohanku. Kalau suatu hari aku telah bertemu pria yang tepat, aku pasti akan mengatakannya pada Lao Foye dan waktu itu, bantulah aku untuk ‘membereskannya’!”

Ibu Suri menyerah. “Baiklah kalau begitu. Bila kau telah bertemu pria itu, jangan tidak memberitahuku, ya!”

Qing’er seperti baru terbebas dari beban berat. Dia tertawa lepas.

***
Hari itu bersama dengan Qing’er, Ibu Suri mendatangi Paviliun Shuofang.

“Ziwei! Xiao Yanzi! Aku sengaja datang menengok kalian! Apa ada yang kurang di Paviliun Shuofang ini?” Ibu Suri bertanya penuh perhatian. “Apa selimutnya cukup? Apa masih perlu membuat beberapa pakaian musim dingin lagi?”

Ziwei dan Xiao Yanzi terkejut. Ini pertama kalinya Ibu Suri bicara lemah lembut begini terhadap mereka. Erkang dan Yongqi yang juga berada di sana juga tidak kalah heran. Mereka bersama memberi salam hormat sambil mengucapkan terima kasih.

“Duli, Lao Foye! Kami tak kekurangan apa pun! Terima kasih atas perhatiannya!”

Ibu Suri menatap Erkang yang tampak gelisah. Erkang khawatir Ibu Suri akan membahas soal Qing’er lagi dengannya. Tapi rupanya Ibu Suri membicarakan soal lain.

“Erkang, bagaimana kabar ibumu? Kurasa kali ini dia amat menderita karena kepergianmu!”

Erkang terkejut sekaligus senang ditanyai seperti itu. Dia menjawab, “Duli Lao Foye, sejak hamba pulang, ayah dan ibu gembira sekali. Semuanya baik-baik saja!”

“Lalu, kapan adikmu, Ertai akan pulang?’

“Ertai sebenarnya sudah akan berangkat ke Beijing. Tapi rupanya Saiya mengandung, jadi mereka menunda keberangkatan mereka.”

“Wah, bagus sekali! Tampaknya adikmu selangkah lebih maju darimu! Kurasa, pernikahan kalian pun tak boleh dirunda lagi! Besok aku akan menemui Kaisar untuk membicarakan hal ini!”

Yongqi tak dapat menahan diri berkata, “Jadi, Lao Foye tidak menentang pernikahan kami?”

Ibu Suri menatap Yongqi serta Xiao Yanzi. Dia menarik keduanya dengan masing-masing tangan.

“Yongqi, calon istrimu ini bukan aku yang memilih, jadi awalnya aku kurang puas. Tapi kalian telah memakai kenyataan untuk membujukku. Aku pun tersentuh. Aku tak menentang kalian lagi! Aku telah menerima kalian, dan berharap kalian juga menerimaku!”

Yongqi dan Xiao Yanzi sungguh terharu. Mereka berujar, “Terima kasih banyak, Lao Foye!”

Ibu Suri melepas tangannya dan beralih ke Erkang-Ziwei. “Ziwei, Erkang, kalian berdua telah menghadapi begitu banyak cobaan. Tapi sangat berkeyakinan satu sama lain. Mau tak mau, aku memberikan restuku! Aku tidak akan menghalangi kalian lagi!”

Ziwei merasa amat bahagia. “Lao Foye, aku tak menginginkan hal lain selain restu dari Anda!”

Xiao Yanzi merasa gembira. “Jadi, lain kali kalau aku salah bicara, apa Lao Foye akan marah padaku?”

“Tidak!” Ibu Suri berujar sambil tersenyum tipis. “Aku hanya akan menganggapnya sebagai keajaiban Kota Kenangan!”

“Kota Kenangan?” Xiao Yanzi berseru kaget. “Bagaimana Lao Foye bisa tahu kata-kata itu?”

“Aku yang memberitahunya,” timpal Qing’er. “Semua kisah kalian sewaktu di luar istana, kuceritakan pada Lao Foye. Dan Lao Foye sangat berminat mendengarkan!”

Ibu Suri menggandeng Ziwei dan Xiao Yanzi dan berkata lembut, “Cucu-cucuku, dulu di antara kita ada begitu banyak kesalah pahaman. Apakah kalian tidak lagi menyalahkan Nenek?”

“Nenek?!” Xiao Yanzi membelalakkan mata.

“Ya, Nenek! Bukankah di keluarga biasa, panggilan seperti itu lumrah? Aku ingat, ada yang pernah bilang kalau panggilan Lao Foye itu terdengar aneh. Jadi sekarang aku inginnya menjadi nenek yang biasa-biasa saja!”

Xiao Yanzi sungguh terharu dan senang. “Nenek! Aku bahagia sekali! Aku sudah punya ayah, kakak dan sekarang juga punya Nenek!”

“Lao Foye! Anda membuat kami mensyukuri keputusan kami untuk kembali ke sini!” seru Ziwei.

Ibu Suri pun mendekap kedua gadis itu erat-erat.

***

Akhirnya, Graha Huipin dibuka kembali.

Upacara pembukaannya berlangsung meriah. Xiao Yanzi, Ziwei, Erkang dan Yongqi ikut hadir di sana.

Wajah Liu Qing, Liu Hong dan Jinshuo tampak sumringah. Jinshuo berkesempatan bicara pada Ziwei dan Erkang,

“Nona, Tuan Muda Erkang, aku tak hentinya berterima kasih pada kalian! Dulu aku begitu bodoh, nyaris menyalah artikan maksud baik kalian! Sekarang aku sangat bahagia dan puas.”

Xiao Yanzi langsung memotong perkataan Jinshuo. “Kalian semua mestinya berterima kasih padaku! Kalau bukan karena aku yang bisa jadi Putri Huanzhu, mana mungkin kalian semua bisa bertemu seperti ini?”

“Kata-kata Xiao Yanzi benar sekali!” timpal Yongqi. “Kalau dia tidak jadi Putri, entah kisahku akan seperti apa?”

“Juga kisahku! Entah akan diceritakan bagaimana?” nimbrung Xiao Jian.

“O, kalau begitu, tetap Xiao Yanzi yang paling hebat, ya?” seru Liu Hong.

“Memang benar!” kata Xiao Yanzi berbangga diri.

Suara tambur dan gong bersahut-sahutan. Orang-orang berparade menyerukan yel-yel kesuksesan bagi Graha Huipin.

Saat prosesi pembukaan selesai, tamu-tamu dipersilakan memasuki Graha Huipin. Ketika Xiao Yanzi dan kawan-kawan tengah sibuk mengurus para tamu, Qianlong dan Fulun mendadak muncul.

“Ha ha! Akhirnya aku juga bisa menyaksikan pembukaan Graha Huipin!” seru Qianlong sambil tertawa-tawa.

Semuanya terkejut. Erkang berseru, “Ayah! Tuan Besar! Mengapa kalian datang ke sini?”

“Tuan Besar ingin memberi selamat langsung pada teman-teman kalian! Aku pun menemani Beliau ke sini!” kata Fulun.

“Mari duduk! Silakan duduk!”

“Huang Ama! mengapa tidak bilang jika hendak kemari? Benar-benar mengejutkan!” Yongqi kegirangan.

Ziwei, Xiao Yanzi dan Yongqi buru-buru menyiapkan kursi di sebuah meja bundar dan menambahkan beberapa pasang sumpit. Semua sibuk melayani Qianlong. hanya Xiao Jian yang agak menjauh dan mengawasi semua orang.

Dilihatnya Qianlong yang tidak berbasa-basi. Lalu ganti melihat Xiao Yanzi yang usil, ceroboh, lugu… tiba-tiba dia merasa ragu. Sungguhkah Xiao Yanzi ini adik kandungnya?

Semula Xiao Jian hendak mengajak Xiao Yanzi menemui Qinghui Shetai sekembalinya ke Beijing. Tapi sampai sekarang hal itu belum terlaksana. Xiao Yanzi tidak pernah minta penjelasan lebih soal masa lalunya. Hanya Xiao Jian yang merasa was-was. Dulu Qinghui Shetai bilang pernah merawat beberapa anak di klentengnya. Sungguhkah yang dimaksud Qinghui Shetai sebagai adik kandungnya adalah anak yang mirip dengan Putri Huanzhu ini?

Sementara Xiao Jian tengah melamun, Qianlong telah duduk dan lain-lainnya mengelilinginya. Cawan-cawan arak disiapkan. Mereka hendak bersulang.

Qianlong mengangkat cawannya. “Kebahagiaan kalian adalah kebahagiaanku juga! Liu Qing, Liu Hong, Xiao Jian! kalian telah banyak membantu anak-anakku! Aku mengucapkan banyak terima kasih paling tulus dari hatiku! Mari, kita semua bersulang!”

Mendengar Qianlong menyebut namanya, Xiao Jian tamapk terkejut. Secara refleks, dia mengangkat cawannya dan mereguk isinya sampai habis.

Cawa-cawan diisi kembali. Qianlong tiba-tiba berkata pada Xiao Jian, “Xiao Jian! kisah mengenai dirimu dan Xiao Yanzi masih tidak terlalu kupahami. Bisakah kau menjelaskannya padaku?”

Xiao Jian tidak menyangka Qianlong akan bertanya seperti itu. Jantungnya berdebar. Melihat Qianlong yang tulus, sadarlah Xiao Jian kalau dendam dan kebencian masa lalunya mungkin telah mereda. Hatinya terasa lapang ketika dia berkata,

"Anda tak perlu memahaminya. Karena aku pun tidak terlalu tahu dengan jelas. di dalam kehidupan manusia, ada banyak hal yang tidak jelas. hidup penuh kebahagiaan serta ketenangan jauh lebih berharga dari apapun. Pribadi Anda yang sangat welas asih sangat jauh dari perkiraanku semula!”

“Bagus sekali pujianmu! Kata-kata tadi, artinya sangat besar bagiku!” ucap Qianlong.

“Juga bagiku!”

Erkang menatap Xiao Jian. dengan penuh kekaguman, ditepuk-tepuknya bahu Xiao Jian dan berkata lantang, “Mari! Kita bersulang sekali lagi demi persatuan kita kembali! Demi… sesuatu peristwa yang merubah dendam dan kebencian menjadi kebahagiaan! Mari bersulang!”

Xiao Jian menatap Erkang penuh makna.

“Ganbei!” seru Qianlong.

“Ganbei!” seruan sukacita menggelegar. “Ganbei!”

Xiao Jian langsung menenggak habis cawannya. Dilihatnya Xiao Yanzi terus-menerus. Seandainya dia pun telah salah mengakui Xiao Yanzi selaku adiknya, peristiwa ini tetap merupakan hadiah dari Tuhan untuk mengenyahkan beban dan kepedihan dalam hidupnya!

***

Dalam sekejap mata, musim dingin telah tiba. Hujan salju telah turun beberapa kali dan udara menjadi sangat dingin. Namun di Paviliun Shuofang, suasana tetap hangat dengan api perapian yang senantiasa menyala.

Hari itu, Qianlong mengunjungi Paviliun Shuofang. Dengan penuh semangat dia berseru, “Aku membawa kabar gembira! Pernikahan kalian akan segera dilaksanakan!”

Mereka semua terpana. Erkang langsung bertanya, “Yang Mulia! Apakah Anda sudah menetapkan harinya?”

“Tentu saja! Kalau tidak, kalian pasti sudah gelisah setengah mati!”

Wajah Xiao Yanzi dan Ziwei merah padam. Mereka menggeliat gelisah. “Mana mungkin?”

Qianlong memelototi kedua gadis itu. “O, jadi tidak mungkin? Baiklah, kalau begitu tidak usah buru-buru! Kalian tinggal saja di sini dua tahun lagi!”

Erkang dan Yongqi langsung cemas mendengarnya. Yongqi tersipu sambil berkata, “Huang Ama, Tuan Putri mungkin tak ingin buru-buru, tapi Pangeran maunya cepat-cepat…” (Xixixixi)

“Ha ha!” Qianlong terbahak. “Pokoknya pernikahan kalian tak boleh ditunda lagi! Aku sengaja kemari untuk mendiskusikannya dengan kalian. Begini, setelah tahun baru, pada tanggal dua bulan dua, itu adalah hari baik. Kupikir aku bisa menikahkan kalian di hari yang sama. Kalau tidak, berarti Yongqi yang terlebih dahulu menikahi Xiao Yanzi, baru tiga bulan kemudian Ziwei menikah. Bagaimana?”

Erkang mana mungkin bisa menunggu tiga bulan lagi? Dia buru-buru berkata, “Hamba rasa, bagus sekali jika kami bisa menikah pada hari yang sama. Ziwei dan Xiao Yanzi dekat seperti saudara kandung. Apalagi, istana cukup menyelenggarakan satu kali pesta pernikahan saja! Pada hari yang sama, Kaisar menikahkan putri dan memperoleh menantu perempuan. Dua kebahagiaan ganda berlangsung, ini merupakan keberuntungan!”

“Baiklah! Kalau begitu, kita laksanakan di hari itu saja! Tapi Paviliun Shuofang ini selamanya akan menjadi kediaman bagi kedua Putri. Para kasim dan dayang tetap tinggal di sini dan kedua Putri boleh kapan saja kembali untuk tinggal!”

Mata Erkang berbinar. Dia berseru gembira, “Terima kasih, Yang Mulia! Hamba pasti akan mematuhi perintah!”

Yongqi juga ikut berseru, “Terima kasih, Huang Ama!”

Sementara Ziwei dan Xiao Yanzi tampak malu-malu kucing.

***

Hari-hari berikutnya sibuk dengan persiapan pernikahan.

Beberapa hari sebelum pernikahan, Permaisuri dan Bibi Rong datang ke Paviliun Shuofang membawa dua helai pakaian pengantin. Kedua pakaian itu bermotif burung phoenix dan disulam dengan benang emas.

Permaisuri menyerahkan pakaian yang dibawanya seraya berkata tulus, “Ziwei, Xiao Yanzi, aku tidak tahu bagaimana cara menyampaikan penghargaan serta terima kasihku. Hanya ini yang bisa kulakukan, membuat pakaian pengantin kalian! Aku dan Bibi Rong bekerja keras mengerjakannya. Pakaian ini terbuat dari kain terbaik dari seluruh negeri. Sulamannya kami kerjakan sendiri! Kami harap kalian sudi menerimanya.”

Ziwei dan Xiao Yanzi terpana. Tidak pernah membayangkan Permaisuri akan melakukan hal seperti itu.

Bibi Rong menatap keduanya seraya berkata penuh hormat, “Setiap sulaman pada pakaian ini, mengandung ucapan maaf. Pakaian ini merupakan kumpulan dari permintaan maaf yang tak terhitung jumlahnya! Mohon Putri berdua sudi menerimanya!”

Ziwei mengulurkan tangan menerima pakaian dari Permaisuri dan Bibi Rong. Lalu tanpa menahan diri, dipeluknya Permaisuri erat-erat.

“Inilah saat yang paling kurindukan! Tuhan akhirnya mengabulkan doaku!”

Permaisuri balas memeluk gadis itu erat. Air matanya mengalir. Sementara Xiao Yanzi menyaksikan semuanya dengan pelupuk mata basah.

Beberapa saat kemudian, Permaisuri melepaskan pelukan Ziwei dan bertanya pada Xiao Yanzi, “Xiao Yanzi, bagaimana dengan kau?”

Xiao Yanzi juga menerima pakaian pengantinnya dan menghembuskan napas, “Aku sungguh tidak tega pada orang yang bersikap baik padaku. Kedatangan kalian seperti ini membuatku kehabisan kata-kata!”

Bibi Rong berlutut dan bersujud tiga kali. “Putri berdua, mohon maafkan semua kesalahan hamba!”

Setelah itu, Bibi Rong menggandeng tangan Permaisuri berlalu di tengah udara dingin.

***

Akhirnya tanggal dua bulan dua pun tiba.

Sesuai adat Dinasti Qing, pernikahan Kerajaan berlangsung pada malam hari. Di halaman Paviliun Shuofang menyala lampion aneka warna. Rombongan pemain musik memainkan musik pernikahan dengan gembira.

Dayang istana berpakaian bagus hilir mudik membawa nampan berisi camilan yang akan dihidangkan kepada para tamu. Liu Qing, Liu Hong, Jinshuo dan Xiao Jian juga hadir.

Suasana di aula sangat ramai karena kedua Putri tengah berdandan di sana. Ziwei dan Xiao Yanzi mengenakan pakaian yang dibuatkan Permaisuri dan Bibi Rong. Mingyue, Caixia, Selir Ling, Qing’er juga Jinshuo, sibuk mendandani mereka.

“Kalian jangan memerahi pipiku seperti pantat monyet!” komentar Xiao Yanzi.

“Aduh! Hari ini kau sudah jadi pengantin! Kenapa masih bilang kata ‘pantat’ segala?” sergah Selir Ling.

“Lho? Pengantin kan juga punya pantat!” Xiao Yanzi kembali menyebut kata itu.

“Ya ampun! Kau sebaiknya berhenti mengoceh! Pengantin wanita itu mestinya pendiam!”

“Aku tegang sekali! Sebentar lagi pasti banyak ritual yang harus dilakukan! Kalau tegang, aku jadi suka bicara. Bagaimana kalau nanti aku melakukan kesalahan?”

“Kau tenang saja! Nanti kau akan didampingin pendamping yang akan memberimu instruksi. Kau tak mungkin melakukan kesalahan!” tukas Selir Ling.

“Xiao Yanzi, begitu cadar pengantin menutup wajahmu, kau jangan bicara lagi! Kalau pengantin wanita bicara, orang-orang akan menertawakanmu!” Qing'er ikut memberi petunjuk.

Xiao Yanzi terus menelan ludah. Dia mengangguk dengan tegang.

Selir Ling tiba-tiba teringat sesuatu. “Apelnya! Cepat ambil apel kemari!”

Pada pernikahan adat Manchu, mempelai wanita mesti membawa buah apel dalam genggamannya. Selir Ling meletakkan kedua apel masing-masing ke tangan Ziwei dan Xiao Yanzi. “Pegang yang erat! Jangan sampai jatuh, ya!”

Ziwei memegang erat apelnya, sementara Xiao Yanzi langsung menggigit dan mengunyahnya.

“Astaga! Kenapa apelnya kau makan?”

Xiao Yanzi terpana, “Aku lapar sekali! Kenapa ketika mendapat sebutir apel tak boleh dimakan?”

“Karena apel itu salah satu benda keberuntungan dalam pernikahan. Ia mewakili kedamaian seperti yang diinginkan!”

“Kalau begitu, bukankah lebih aman jika menelan ‘kedamaian’ itu dan menyimpannya di perutku?”

“Tidak boleh begitu!” Selir Ling nyaris pingsan. “Cepat ambil apel pengganti! Cepat!”

Para dayang mengambil apel pengganti bagi Xiao Yanzi. Belum sekejap, Selir Ling histeris lagi. “Astaga! Di mana kunci kebahagiaan? Kita melupakan benda itu!”

“Sepertinya masih di Istana Zhuning. Lao Foye menyimpannya. Biar aku ke sana untuk ambil!” kata Qing’er.

“Baik! Lekaslah kau ke sana!”

Qing’er buru-buru keluar. Tanpa sengaja dia bertabrakan dengan Xiao Jian di pintu.

Xiao Jian dengan sigap mengulurkan tangan menangkap Qing’er agar tidak terjatuh. Qing’er menengadahkan kepala dengan kaget. Melihat raut wajah pria asing yang tampan itu, Qing’er tanpa sadar bergumam, “Kau Xiao Jian kah?”

Xiao Jian juga terpana. Dia spontan berkata, “Kau Qing’er?”

“Benar…, aku Qing’er!”

“Qing’er…, sudah lama aku mendengar namamu…”

“Aku juga…”

Keduanya saling menatap beberapa saat sampai terdengar suara Selir Ling dari aula, “Qing’er! Kunci kebahagiaannya sudah ketemu! Rupanya terselip di sini!”

Qing’er hendak kembali lagi ke dalam tapi baru beberapa langkah dia berbalik lagi menatap Xiao Jian yang ternyata masih terus melihatnya.

“Qing’er! Qing’er! Di mana kau???” teriak Selir Ling.

Qing’er tersadar dan buru-buru menyahut, “Ya! Ya! Aku datang!” Barulah dia benar-benar masuk ke aula.

Xiao Jian masih terpaku di tempatnya. Gadis tadi seperti dewi yang ditemuinya dalam mimpi.

Liu Qing menghampiri dan menepuk bahunya, “Kau sedang lihat apa?”

Xiao Jian bergumam sepeti orang mabuk, “Berkali-kali mencarinya di kerumuman, ternyata dia ada di bawah cahaya lentera!”

Liu Qing bengong melihat Xiao Jian.

Akhirnya, kedua mempelai selesai berias. Cadar mereka telah dikenakan dan dengan lemah gemulai berjalan keluar menuju tandu pengantin.

Liu Qing, Liu Hong dan Xiao Jian seretak berseru, “Ziwei! Xiao Yanzi! Selamat ya!”

Para tamu bertepuk tangan dan petasan diledakkan berkali-kali. Ketika tandu diangkat, rombongan musik, pembawa lampion dan arak-arakan bergerak bersamaan.

Erkang dan Yongqi telah menunggu di depan gerbang Paviliun Shuofang. Mereka menunggang kuda, tampak gagah dan diliputi sukacita.

Namun keempatnya tidak pernah menyangka kejutan apa yang akan mereka peroleh nanti…

***

Upacara yang panjang akhirnya usai. Erkang menatap pengantinnya yang bercadar merah duduk tenang di tepi ranjang. Para pengiring pengantin berdiri di sisi-sisinya, membawa nampan berisi aneka perlengkapan pengantin.

Erkang menatap pengantinnya dengan penuh perasaan. Jantungnya berdegup kencang. “Ziwei,” katanya dalam hati. “Akhirnya aku berhasil menyuntingmu. Aku bersumpah, mulai hari ini, dalam kehidupan kita akan selalu diliputi kebahagiaan!”

Pengiring pengantin mempersilakan Erkang membuka cadar. Karena grogi, tangan Erkang sampai gemetaran. Cadar terbuka dan perlahan-lahan meluncur jatuh. Erkang menatap mempelainya dan sejurus kemudian dia melompat kaget.

“Haaaah???”

Xiao Yanzi menengadah dan tampak kaget sekali. Dia ikut berteriak, “Haaaah???”

Menyaksikan kejadian ini, para pengiring pengantin juga berteriak, “Haaaah???”

Dan dalam sekejap kamar pengantin pun heboh. Xiao Yanzi mengomel panjang lebar, “Aku disuruh tidak boleh bicara, eh tahu-tahunya malah orang lain yang melakukan kesalahan! Sebenarnya kenapa bisa sampai salah begini?!!”

Para pengiring pengantin segera berteriak nyaring, “Cepat tutup lagi cadarnya! Beritahu pemimpin upacaranya! Mempelai wanitanya salah antar! Mempelai wanitanya salah antar!!!”

***

Di tempat Yongqi, suasana juga sama kacaunya. Para pengiring pengantin lekas-lekas menutup kembali cadar Ziwei dan membawanya ke tempat Erkang. Ini sungguh kejadian pernikahan langka pada masa Dinasti Qing!

Akhirnya, Ziwei sampai juga di kamar pengantinnya. Ketika Erkang membuka cadarnya, keduanya bertatapan penuh perasaan.

Para pengiring pengantin mempersilakan keduanya bersulang dan mengikat bagian bawah jubah mereka sesuai adat.

“Ziwei, akhirnya kau menjadi mempelaiku! Sudah susah payah aku menanti, ketika harinya tiba, aku malah dikejutkan sampai sekujur tubuhku berkeringat dingin! Ziwei, sekarang, kita akan bersama-sama selamanya!”

Ziwei tersenyum bahagia. Namun pada saat bersamaan dia menyadari kalau pernikahan bukanlah akhir dari semua kisah mereka. Melainkan awal lain dari kehidupan mereka…

***

Bagaimana dengan Xiao Yanzi dan Yongqi?

Setelah mempersilakan pasangan pengantin minum arak dan mengikat tepi bawah jubah mereka, para pengiring pengantin pun undur diri dari kamar.

Xiao Yanzi menhembuskan napas. “Apa sekarang aku sudah boleh bicara?”

“Tentu saja! Sekarang kau sudah boleh bicara,” ujar Yongqi penuh perasaan.

Xiao Yanzi serta merta merasa rileks. “Sudah tersiksa seharian, aku malah dikirim ke tempat Erkang! Muka Erkang sampai biru saking kagetnya…”

“Kau tidak lihat aku sih…, mukaku juga sudah berubah jadi hijau tadi…,” Yongqi menatap mata bulat bening serta wajah cantik mempelainya. Perasaan cinta menyusup dan memenuhi seluruh hatinya.

“Oh Tuhan, kau cantik sekali! Jangan bergerak! Aku mau melakukan sesuatu!”

Yongqi menunduk hendak mencium Xiao Yanzi.

Di luar jendela, Liu Qing, Liu Hong, Jinshuo, Xiao Jian dan beberapa tamu lain berusaha mengintip. Ada yang tertawa, ada juga yang menabrak kusen jendela dengan berisik.

Xiao Yanzi serta merta terperanjat. Dia langsung mendorong Yongqi menjauh dan berteriak keras, “Di sana ada maling!” Xiao Yanzi melompat menuju jendela. “Maling sialan! Kau mau lari ke mana???”

Xiao Yanzi lupa kalau tepi bawah jubahnya diikat bersama jubah Yongqi. Sehingga Yongqi ikut terhempas olehnya. Mereka melayang dan jatuh bersama seraya berseru, “Huaaaaa….!!!”

SELESAI

Akhirnya, selesai juga sinopsis novel Putri Huanzhu Bagian kedua ini.

Setelah bersama cerita ini selama enam bulan, saya sangat lega akhirnya bisa kelar. Mohon maaf jika ada kalanya penulisan tersendat sehingga jeda antara satu episode ke episode lainnya cukup lama baru diposting.

Terima kasih atas antusiasme pembaca PD terhadap sinopsis ini. Terus terang, saya beberapa kali nyaris berhenti dan tak mau melanjutkan. Tapi membaca komentar-komentar sinopsis selalu bisa memberi semangat baru. Paling tidak, saya harus menyelesaikan sesuatu yang sudah saya mulai. Dan syukurlah, saya berhasil melakukannya.

Saya tidak akan menulis sinopsis Putri Huanzhu bagian III. Alasan pertama karena saya sudah tidak punya novelnya. Alasan kedua karena menurut saya, kisahnya sudah tidak relevan. Mestinya, Qiong Yao menulis kisah sambungan tentang Xiao Jian dan Qing’er saja. Xiao Yanzi serta yang lainnya hanya ditempatkan sebagai tokoh-tokoh pendukung. Terus-terusan menjadikan Xiao Yanzi sebagai sorotan utama dengan karakter yang tidak berkembang tentu saja membosankan.

Putri Huanzhu remake mulai tayang di China 1 Agustus ini. Mudah-mudahan untuk cerita usai kedua pasangan ini menikah, lebih bagus dari yang pernah dibuat dulu. Kita berharap saja ia juga diputar di Indonesia kelak.

Usai proyek Putri Huanzhu, saya belum tahu mau menulis apalagi di blog PD. Kemungkinan saya mengundurkan diri sebagai penulis dan hanya menjadi pembaca blog keren ini. Bagi sesiapa yang ingin membaca tulisan saya yang lain, boleh mengunjungi web: Merlinschinesestories@blogspot.com – yang memuat tulisan-tulisan fiksi saya mengenai sejarah China. Atau yang sudah berteman dengan saya di facebook boleh mampir membaca beberapa catatan saya di sana.

Sekarang saya bisa kembali ke aktivitas lama yang sudah sangat dirindukan. Membaca majalah National Gaeographic tiap minggu dan menonton saluran televisi satelit. Novel-novel saya juga sudah berjejer menggoda minta dibaca. Ada Si Cantik dari Notre Dame, Tetralogi Bumi-Manusianya Pramoedya Ananta Toer serta The Pilgrimage karya Paulo Coelho dan masih ada beberapa lagi...

Saya juga mau mengucapkan terima kasih banyak pada keluarga besar Rainbow Family yang telah memberi kesempatan memosting tulisan di blog ini. Spesial buat Ari, thanks, thanks a lot! Kaulah penncetusnya!

Dan untuk semua pembaca, komentator, para pendukung, mohon maaf jika ada kata-kata atau alinea yang disensor dalam sinopsis ini. Namanya juga sinop, pasti ada cut sana -cut sini. He he…

Untuk semuanya: terima kasih dan terima kasih beribu kali! Panjang Umur Putri Huanzhu! Wanshui!

***

Catatan Penutup dari Tante Qiong Yao:

Ada alasan mengapa saya menulis bagian kedua Putri Huanzhu. Pertama karena besarnya sambutan edisi pertama dan yang kedua, karena bagian pertama hanya berakhir pada pengakuan Qianlong terhadap Ziwei.

Ini novel terpanjang yang pernah saya tulis. Saya begitu sibuk sehingga tidak mengira, untuk membuat buku kedua ini saya telah menulis sekitar satu juta lima ratus kata!

Bagian yang ingin saya singgung di sini adalah mengenai Selir Xiang. Sebenarnya wanita seperti apakah Selir Xiang itu? Apa yang membuatnya jauh-jauh meninggalkan tempat asalnya di Xinjiang dan masuk istana menjadi Selir? Berbagai misteri yang belum dapat dijelaskan masih melingkupinya.

Imajinasi saya sangat tinggi. Berbagai legenda ditambah teori dari arkeolog membuat saya terbius untuk memecahkan teka-teki Selir Xiang. Saya memberanikan diri merekayasa cerita lain mengenai dirinya.

Mengenai Xiao Jian yang meragukan hubungannya dengan Xiao Yanzi, saya menyediakan tempat bagi pembaca untuk memikirkannya sendiri. Qianlong saja bisa salah mengakui Putri, bagaimana Xiao Jian tidak bisa salah mengakui adiknya? Lalu tentang Qing’er dan Xiao Jian, adakah kemungkinan keduanya bisa bersatu? Meski Ibu Suri telah memberi Qing’er hak khusus untuk menentukan perjodohannya sendiri, akankah dia merestui Qing’er bersama pria semisterius Xiao Jian?

Dalam sejarah resmi, Pangeran Kelima Yongqi hanya hidup sampai berumur 25 tahun. Dalam kisah ini saya telah samar-samar menulisnya sebagai ‘Pangeran yang mati muda’. Silakan pembaca berimajinasi sendiri.

Oleh karena itu, pertahankanlah sikap santai waktu menikmati kisah ini. Isinya memang agak absurd, aneh, romantis sekaligus dramatis… Namun saya telah menulisnya dengan segenap kemampuan yang saya miliki.


Qiong Yao,
Taipei, Keyuan,
8 Maret 1999.

BACA JUGA SINOPSIS LAINNYA



0 comments:

Post a Comment


Friend Link List