Recent Post


[Sinopsis Novel] Putri Huan Zhu/ Huan Zhu Ge Ge II Bagian 12

Do you want to share?

Do you like this story?


Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge II-4: Lang Yi Tian Ya
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan

Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu II-3: Berlari Ke Batas Cakrawala
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tutut Bintoro, Rosi LS
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, April 2000

Cerita Sebelumnya:
Xiao Yanzi dan kawan-kawan mulai tertimpa masalah di pelarian mereka. Dirampok, bertemu hantu jadi-jadian sampai dikejar tentara. Mereka tidak tahu kalau tentara yang mencari mereka ada dua. Satu utusan Kaisar yang akan membawa mereka kembali ke istana. Satunya utusan Permaisuri yang bertugas membinasakan mereka!



XII

Di rumah celah bukit itu, Jinshuo, Liu Qing dan Liu Hong seperti menjadi dewa-dewi gunung.

Tanpa mengetahui nasib yang lainnya, mereka tinggal di sana untuk memulihkan kaki Jinshuo. Liu Qing telah bersepakat kalau penyembuhan Jinshuo masih lama, maka Liu Hong akan berangkat duluan menyusul rombongan.

Hari itu, angin bertiup sepoi. Jinshuo duduk di kursi rotan, berjemur di halaman. Liu Qing ada di sampingnya, sibuk membuat tongkat.

“Berapa lama lagi aku bisa jalan?” tanya Jinshuo cemas.

“Kau mesti bersabar. Tak ada gunanya khawatir. Nih, aku sedang membuatkanmu tongkat untuk berjalan.”

“Aku memang khawatir… Aku mencemaskan Nona dan Xiao Yanzi. Apakah mereka masih menunggu kita?”

“Sementara ini kau tak usah memikirkan Nonamu atau Xiao Yanzi! Mereka punya Erkang Yongqi dan Xiao Jian. Ketiganya pasti bisa melindungi Ziwei dan Xiao Yanzi! Sebaiknya kau rawat saja kakimu dengan baik. Kalau tidak, kau bisa pincang. Kau begitu cantik, aku tak rela melihatmu cacat.”

Jinshuo agak tersipu mendengarnya. “Aku cantik katamu? Mana pantas aku dipuji begitu…”

Liu Qing berhenti mengerat tongkat. Ditatapnya Jinshuo dalam-dalam.

“Ada yang ingin kutanyakan padamu.”

Jantung Jinshuo berdebar-debar. “Apa?”

Kebetulan Liu Hong baru akan bergabung dengan mereka. Mendengar ucapan Liu Qing, dia buru-buru bersembunyi dan menguping pembicaraan mereka.

Jinshuo menunggu. Liu Qing mendadak terbata-bata, “Emmm, mmm, apakah rasa sakitmu sudah berkurang?”

Jinshuo terpana. Tak menyangka pertanyaan seperti itu. dia agak kecewa. “Ya, tidak terlalu sakit lagi…”

“Baguslah…,” Liu Qing menelan ludah. “Lalu, apakah kau ingin makan sesuatu? Aku bisa meminta Liu Hong membuatkan untukmu!”

“Tak perlu. Aku sedang tak ingin makan sesuatu.”

Liu Hong mendengar semuanya dengan gemas. Sebagai saudara, Liu Hong sudah lama mengetahui perasaan kakanya itu pada Jinshuo. Dalam hati dia memaki betapa bodohnya kakaknya itu! Satu pertanyaan sederhana saja tak sangguo ditayakannya.

Akhirnya Liu Hong tidak tahan. Dia terpaksa campur tangan. Liu Hong melesat keluar dan berkata, “Jinshuo! Kakakku sebenarnya ingin bertanya, apakah kau menyukainya? Kalau dia melamarmu, kau mau?”

Liu Qing kaget sekali. Belati yang dipegangnya seketika mengiris jarinya. Dia terlompat. Jinshuo juga ikut berdiri. Lupa pada kakinya yang luka, menghampiri Liu Qing.

“Hati-hati kakimu!” sergah Liu Qing memegangi Jinshuo yang terhuyung. Lupa pada tangannya yang luka.

Keduanya saling berpandangan lalu terkesiap. Liu Hong melihat keduanya yang terdiam lama.

Akhirnya Liu Hong berdehem. “Kurasa, kita semua sudah tahu jawabannya. Aku akan bersiap menyusul yang lain. Kalau bertemu Ziwei, akan kusampaikan hubungan kalian ini padanya. Tempat ini cukup aman. Tak ada tentara yang mengejar sampai di sini. Kalian pulihkan diri dulu baru mencari kami.”

Liu Hong kembali masuk ke dalam rumah. Sementara Liu Qing dan Liu Hong masih berpandangan dengan seulas senyum bahagia. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Jinshuo tidak memikirkan Ziwei.

***

Di Desa Pasir Putih, kondisi Ziwei sudah lebih tenang.

Jika hari sebelumnya dia masih begitu emosional, maka hari itu dia telah bisa menerima kondisinya yang buta dan bersyukur akan kehadiran Erkang.

Xiao Yanzi membantunya berbenah. Setelahnya, mereka berlima naik kereta menuju Luoyang.

Kali ini, Xiao Jian dan Yongqi yang menjadi sais kereta. Erkang, Ziwei dan Xiao Yanzi di dalam.

“Kita belum terlalu lama melarikan diri. Tapi barang-barang kita semakin sedikit. Apalagi sekarang Ziwei sakit. Aku tak yakin kapan kita bisa sampai ke tujuan kita,” keluh Yongqi.

“Rencana sewaktu-waktu bisa berubah,” ujar Xiao Jian santai. “Asal tak ada tentara yang mengejar, kita bisa menetap di mana saja dengan tenang. Soal barang-barang yang semakin menipis, kita bisa membelinya. Kita ada banayk orang, bisa mencari nafkah. Mengenai Liu Qing, Liu Hong dan Jinshuo, kurasa mereka baik-baik saja. Kita teruskan saja perjalanan sambil meninggalkan tanda bagi mereka. Mereka pasti bisa menyusul kita.”

Xiao Jian menatapp Yongqi lalu tiba-tiba mengajukan pertanyaan.

“Yongqi, aku ingin tahu pendapatmu. Setelah semua peristiwa ini, apakah kau masih menganggap ayahmu penguasa yang bijaksana?”

Yongqi sedikit terkejut. “Pendapatku tidak pernah berubah! Dia tetap seorang penguasa yang arif dan bijaksana!”

“Tapi tidakkah kau membencinya? Dia telah memerintahkan eksekusi kedua Putri. Juga mengirim tentara untuk mengejar dan membinasakan kita! Apakah ayah semacam itu masih bisa disebut orang tua welas asih dan penguasa bijaksana?”

“Kurasa Beliau telah mengusahakan yang terbaik,” Yongqi menghela napas. “Tapi selamanya Beliau adalah ayah yang penuh welas asih bagiku. Juga penguasa yang bijaksana. Kamilah yang tidak mematuhinya, berulang kali mengkhianati kepercayaan Beliau. Sebelum mengkritiknya, sebaiknya kami juga harus introspeksi diri dulu. Kami memang bersalah dengan melakukan hal-hal yang tak bisa Beliau terima….”

Xiao Jian tertegun. Dia pun membuat penilaian pribadi tentang Yongqi.

***

Di Kota Terlarang, Kaisar Qianlong menerima laporan dari kedua pejabat yang gagal menangkap Xiao Yanzi dan kawan-kawan di Istana Zhuning.

“Dupa pembius? Mereka memakai barang murahan begini untuk membius para pengawal dan membebaskan Xiao Yanzi? Kalian punya banyak perwira tangguh tapi kenapa masih bisa dikelabui mereka?”

Kedua pejabat itu ketakutan. “Duli Paduka, sekarang rombongan mereka telah berkurang. Juga ada yang terluka. Kuda-kuda mereka pun sudah hilang. Mereka pasti tak bisa berjalan terlalu jauh. Hamba mohon diberi waktu lagi. Begitu jejak mereka ditemukan, kami pasti langsung mengepung mereka!”

Qianlong terkejut. “Rombongan mereka berkurang? Ada yang terluka? Bukankah aku sudah berpesan kalian tak boleh melukai mereka? Siapa yang hilang dari rombongan? Siapa yang terluka? Cepat katakan!”

Kedua pejabat itu pucat pasi. “Salah seorang gadis yang sempat tertangkap jatuh ke jurang. Seorang pria dan wanita temannya juga ikut menjatuhkan diri ke jurang. Lalu ada seorang gadis lagi yang terlempar dari kereta. Entah terluka atau tidak, kami tak tahu!”

Qing’er dan Ibu Suri terkejut. Ibu Suri berserk, “Apakah pria yang ikut menjatuhkan diri ke jurang itu Yongqi?”

“Hamba… hamba tidak tahu!”

Qianlong pun menjadi murka. ”Aku sudah berulang kali berpesan untuk tidak melukai mereka! Mengapa kalian membiarkan mereka jatuh ke jurang? Cepat cari mereka dan bawa tabib untuk memeriksa mereka. Sekarang aku merasa mereka akan menuju kota terbesar di pesisir Liuhe. Coba kalian cari di Luoyang! Kalau sudah ketemu, kalian tidak boleh mengurung, mengikat atau memborgol mereka! Kalian paham?”

“Ya, Yang Mulia!” kedua pejabat itu ketakutan. “Hanya saja, hamba khawatir jika mereka melawan. Hamba tidak tahu bagaimana menjaga mereka agar tidak terluka. Sekalipun nanti kami membawa tabib, hamba tidak tahu apakah mereka sudi menerima bantuan kami atau tidak.”

Mendengar ini Qing’er tak dapat menahan diri lagi. Dia maju dan berkata,

“Yang Mulia, dari sini Qing’er melihat Anda sungguh arif dan penuh welas asih. Anda penuh perhatian dan tak sampai hati pada mereka. Namun Xiao Yanzi dan yang lainnya tidak tahu maksud baik Yang Mulia. Mereka terus saja menganggap, kalau mereka kembali, mereka akan dipancung. Itu sebabnya setiap kali melihat tentara mereka berusaha meloloskan diri. Jika ingin menghindari mereka dari kecelakaan, Baginda harus membuat mereka mengerti maksud hati Anda dulu!”

Kedua pejabat itu buru-buru menyahut, “Kata-kata Outri Qing benar sekali!”

Qianlong tercenung. Qing’er buru-buru menyambung, “Yang Mulia, ampuni saja mereka! Anda bisa membuat pengumuman bahwa kesalahan mereka diampuni dan tidak lagi mempermasalahkan kejadian masa lalu. Dengan begitu, mereka akan sukarela kembali ke Istana.”

“Apa? Mengampuni? Mana bisa begitu!” Qianlong mengibaskan lengan keras kepala.

“Kalau begitu, anggap saja mereka telah dibuang. Hidup dan mati mereka putuskan sendiri. Tak perlu lagi mengutus tentara untuk mencari mereka!”

“Mana bisa dianggap begitu?” Ibu Suri menukas. “Apalagi Yongqi adalah keturunan Kaisar. Sejak ditinggal mati ibunya, dia kudidik dengan susah payah. Kalaupun Kaisar merelakannya mengembara di luar sana, aku tidak! Mereka harus dicari sampai ketemu!”

“Kalau begitu, kita harus memakai siasat!” ujar Qing’er. “Tunggu sampai kita tahu lokasi terbaru mereka baru mengambil tindakan. Cara pengejaran seperti sebelumnya tak bisa digunakan lagi!”

Ibu Suri dan Qianlong tergerak. Kaisar pun menitahkan kepada kedua pejabat,

“Baiklah. Kalian harus mencari jejak mereka diam-diam. Setelah ketemu, cari tahu kondisi mereka. Utus kurir cepat untuk melapor padaku. Lalu aku akan membuat keputusan selanjutnya!”

Kedua pejabat itu membungkuk dan berseru, “Hamba mematuhi perinth!”

Qing’er akhirnya bisa menghembuskan napas lega.

***

Akhirnya rombongan Xiao Yanzi tiba di Luoyang.

Xiao Jian menyewa sebuah rumah bernama Sehe Yuen. Jadi mereka bisa tinggal di sana sampai mata Ziwei pulih.

“Erkang, ini daftar tabib spesialis mata di Luoyang dari salah satu temanku. Alamatnya juga ada. Kau harus segera membawa Ziwei untuk diperiksa. Semakin cepat semakin baik.”

Erkang berterima kasih sekali. “Xiao Jian! Untunglah ada kau!”

Rumah di Sehe Yuen sangat bersih dan dilengkapi perabotan. Seorang lelaki tua penjaga rumah menyerahkan kunci kepada Xiao Jian lalu pergi.

Xiao Yanzi senang sekali melihat Sehe Yuen. “Xiao Jian! Kau sungguh hebat! Dari mana bisa memperoleh rumah sebagus ini? Kenapa kau bisa punya teman dimana-mana?”

Xiao Jian tertawa. “Inilah hasil berkelana dengan berbekal pedang dan suling. Rumah ini cukup untuk kita tinggali. Sewanya pun lebih murah daripada penginapan.”

“Akhirnya kita bisa tinggal di rumah sungguhan!” ujar Yongqi. “Kurasa malam ini kita bakal tidur nyenyak.”

Semuanya, kecuali Ziwei, menurunkan barang-barang. Xiao Yanzi ke dapur menjerang air untuk membuat teh.

Setelah mereka istirahat sejenak, Erkang membawa Ziwei dan Xiao Yanzi berkereta mencari tabib. Mereka pun menemui beberapa tabib. Tapi semuanya tidak yakin kalau mata Ziwei akan sembuh. Ziwei pun semakin pututs asa.

“Jangan khawatir. Tabib yang namanya ada dalam daftar masih ada beberapa yang belum didatangi,” kata Erkang ketika mellihat Ziwei muram. “Kalaupun tak ada di Luoyang, kita masih bisa menuju Xiangyang. Kalau tak bisa menyembuhkanmu di Xiangyang, kita kembali saja ke Beijing.”

Mereka kembali mencari alamat tabib berikutnya yang akan mereka temui. Erkang berkata, “Aku mau menanyakan alamat dulu. Kalian tnggu aku sebentar, ya!”

Xiao Yanzi dan Ziwei yang sudah turun dari kereta menunggu Erkang. ketika menunggu itu, Xiao Yanzi melihat beberapa orang berkerumun menyaksikan permainan catur. Xiao Yanzi tak dapat menahan rasa ingin tahunya.

“Ziwei, yuk ke sana!”

Ditariknya Ziwei untuk menonton. Tampak dua orang tua yang sedang bermain a lot. Para penonton di sekelilingnya sibuk berdiskusi tentang siapa yang kalah dan menang.

Xiao Yanzi menjulurkan kepala melihat. Sesaat kemudian dia bertanya, “Hei, hei, siapa yang punya pion hitam? Ganti langkahnya! Ambil langkah yang ini!”

“Menonton catur tak boleh bersuara!” tegur salah satu pemain.

“Kalau begitu kau sudah pasti kalah. Lihatlah, semua pionmu di sudut itu sudah terkunci.”

“Kalau dia ambil langkah itu, aku akan ambil langkah yang ini…,” ujar lawannya.

“Aku akan membalasnya dengan langkah begini,” sahut Xiao Yanzi.

Xiao Yanzi terus menjalankan pionnya, menyingkirkan salah satu pemain sebelumnya. Dia bermain penuh semangat. Hingga tak menyadari kalau Ziwei sudah terhuyung mundur akibat desakan orang-orang.

Ziwei semakin menjauh dari Xiao Yanzi akibat tabrakan dari anak-anak yang bermain kerjar-kejaran. Dia mulai panik.

“Xiao Yanzi! Xiao Yanzi! Di mana kau? Jangan tinggalkan aku!” panggilnya. Ziwei menajamkan teinga mencari suara Xiao Yanzi. Dia meraba-raba jalan yang semakin menjauhkannya dari Xiao Yanzi.

Ziwei tak tahu, seorang pria sudah memperhatikannya. Pria itu menghampirinya.

“Nona, kau sepertinya tak bisa melihat, ya?” tanya lelaki itu lemah lembut.

“Benar…,” Ziwei mengangguk. “Tuan melihat gadis lain yang bersamaku? Matanya besar, alisnya tebal. Bisa tolong membawaku padanya?”

“Ooh, yang bermatabesar dan alis tebal itu? Dia masih main catur di sana. Mari, kuantar kau ke sana!”

“Terima kasih!”

Tapi ternyata, laki-laki itu membimbing Ziwei ke arah berlawanan. Mereka berbelok ke gang kecil yang jauh dari kerumunan orang. Ziwei memasang telinganya baik-baik. Dia merasa ada yang tidak beres.

“Di mana ini? Kenapa aku tidak mendengar suara-suara?”

“Kau akan kubawa ke tempat yang sangat indah…!” Laki-laki itu tiba-tiba menarik Ziwei dan memanggulnya.

Ziwei sangat terperanjat. “Erkang! Xiao Yanzi!”

Laki-laki itu memukul kepala Ziwei, tepat di bagian yang pernah terbentur itu hingga gadis itu pingsan.

***

Erkang yang sudah selesai menanyakan alamat, panik ketika melihat Ziwei dan Xiao Yanzi tidak berada di tempat mereka semula.

Erkang langsung berteriak-teriak. “Ziwei! Xiao Yanzi!”

Xiao Yanzi yang masih asyik bermain catur mendengar teriakan Erkang. “Kami di sini! Tunggu! Permainanku sudah hampir selesai…”

Erkang menyelinap di antara kerumunan dan menarik Xiao Yanzi. “Mana Ziwei?”

“Ziwei? Dia ada di sampingku!” Xiao Yanzi menoleh kiri kanan. “Lho, Ziwei kemana ya?” Dia langsung melompat berdiri. “Ziwei! Ziwei! Kau di mana?”

Erkang langsung pucat. Dia langsung menanyai orang-orang. “Permisi, apa anda melihat seorang gadis buta? Dia memakai baju merah muda.”

Orang-orang yang ditanyai itu menggeleng-gelengkan kepala.

“Ya Tuhan! Ziwei, dimana kau? Ziwei, lekaslah keluar!”

Wajah Erkang semakin pucat. Dia mencengkeram bahu Xiao Yanzi dan mengguncang-guncangnya. “Lekas cari Ziwei! Kalau tidak ketemu, akan kubunuh kau!”

Air mata Xiao Yanzi mulai berjatuhan. “Akan kucari! Akan kucari!”

Mereka mencari dengan perasaan cemas. Menanyai orang-orang namun tak ada tanda sedikit pun mengenai keberadaan Ziwei.

Erkang merasa ketakutan. Dia kembali ke Sehe Yuen diikuti Xiao Yanzi.

“Xiao Jian! Yongqi! Tolong aku! ZIWEI HILANG!”

Xiao Jian tergopoh-gopoh keluar ke halaman. “Apa? Kenapa bisa hilang?”

Xiao Yanzi berkata sambil menangis, “Semua gara-gara aku! Erkang pergi menanyakan alamat. Aku disuruh menjaga Ziwei. Tapi aku malah pergi melihat orang bermain catur. Ternyata, Ziwei pun lenyap. Kami sudah berteriak dan mencari di sepanjang jalan tadi tapi tak melihatnya. Aku telah membuat Ziwei hilang! Aku malu bertemu Erkang! aku mau mati saja….”

Yongqi sangat terkejut. Dipeluknya Xiao Yanzi. “Kau mau apa? Sekarang Ziwei hilang. Kalau kau jadi gila, semuanya akan tambah kacau!”

“Erkang pasti membenciku… Erkang pasti membenciku!”

Erkang diliputi emosi. Matanya merah dan nanar. “Benar! Aku sangat, sangat, membencimu!” tudingnya. “Dan aku benci diriku sendiri karena tak bisa mencekikmu!”

”Ziwei sekarang tak bisa melihat. Dia sebetulnya tak berdaya. Tapi dia mati-matian menyembunyikan ketakutannya! Kau malah melepaskannya dan asyik main catur! Pernahkah terbayangkan olehmu apa yang terjadi seandainya hal buruk menimpanya? Dengan sifatnya yang seperti itu, menurutmu dia masih mau hidup?”

Xiao Yanzi menutupi mukanya dan menangis meraung-raung. “Aku mau mati saja! Aku mau bunuh diri!”

Yongqi mempererat pelukannya. Dia menegur Erkang, “Apa gunanya memarahi Xiao Yanzi? Yang satu sudah hilang, kau mau satunya lagi mati? Xiao Yanzi sudah merasa amat bersalah karena menghilangkan Ziwei. Tahanlah dirimu sedikit. Gunakan akal sehatmu! Sekarang yang terpenting mencari Ziwei! Bukannya memaksa Xiao Yanzi bunuh diri!”

Erkang mengepalkan tangan. “Aku memang tak punya akal sehat sekarang! Begitu Ziwei hilang, akal sehatku ikut hilang! Pokoknya setelah ini, Ziwei ditemukan atau tidak, kita akan menempuh jalan sendiri-sendiri! Yang mau bunuh diri, silakan bunuh diri!”

Xiao Yanzi meronta-ronta. “Aku tak ingin hidup lagi! Erkang benar! Aku jahat! Erkang! kau boleh mencekikku! Kau boleh memukulku!”

Erkang memelototi Xiao Yanzi. “Kau pikir aku tidak berani memukulmu?”

Yongqi melindungi Xiao Yanzi. “Erkang! jangan gila! Kau sudah tahu sifat Xiao Yanzi demikian ceroboh, kenapa kau masih mau mempercayakan Ziwei padanya? Kenapa bukan kau sendiri yang menggandengnya?”

Kata-kata Yongqi menohok Erkang. Dia merasa sakit hati sekali. “Benar! Aku memang pantas mati! Menyerahkan Ziwei ke pengawasan Xiao Yanzi! Akulah yang bodoh dan brengsek!”

Xiao Jian tak dapat menahan diri lagi. Dia berdiri di tengah-tengah Yongqi dan Erkang.

“Dengarkan aku!” kata Xiao Jian berwibawa. Xiao Yanzi, Yongqi dan Erkang langsung terdiam dan menatap Xiao Jian.

“Aku telah memeriksa, luoyang ini belum disentuh oleh tentara-tentara untusan Tuan Besar. Oleh karena itu, tidak mungkin Ziwei ditangkap tentara. Mengingat kecantikan Ziwei, kemungkinan, dia dibawa oleh preman daerah sini. Untunglah, di Luoyang aku punya beberapa kenalan, baik dari kalangan orang baik maupun orang jahat.”

“Yongqi, kau jaga Xiao Yanzi! Jangan sampai dia nekat. Xiao Yanzi, kalau kau mau membantu, jangan kemana-mana! Erkang, kau ikut denganku!”

***

Ziwei dibawa ke rumah bordil Zhuihong.

Pria itu langsung membawa Ziwei ke mucikari pemilik tempat itu.

“Nyonya Sun! Ada barang baru!”

Ziwei yang sudah sadar terkejut.

“Di mana ini? Xiao Yanzi???”

Mucikari itu menatap Ziwei dengan penuh minat. “Di sini tidak ada yang namanya Xiao Yanzi! Siapa namamu?”

Ziwei sangat ketakutan. “Tolong katakan, tempat apa ini? Mataku tidak bisa melihat, untuk apa dibawa kesini?”

“Ternyata kau buta! Kalau begitu dia barang tak berharga!” mucikari itu berkata menyesal. “Tapi karena dia cantik, aku akan membelinya. Berapa yang kau minta?”

“Sepuluh tael perak!”

“Sepuluh tael? Yang benar saja!”

“Dia itu masih perawan. Kalau tidak percaya, periksa saja!”

Ziwei terus menyimak. “Aku sama sekali tidak mengenal lelaki ini! Aku tidak mau menjual diri! Dia tadi menculikku! Mohon lepaskan aku, Nyonya! Aku janji akan memberimu sepuluh tael perak jika kau sudi melepasku!”

“Setelah masuk kemari, kau takkan bisa keluar lagi!” bentak mucikari.

“Tapi aku sangat merepotkan!” Ziwei berkata panik. lekas lepaskan aku! Jika tidak, kawan-kawanku akan mencariku! Mereka pasti tidak akan mengampuni kalian! Nyonya, mohon kasihanilah aku! Antar aku pulang…”

“Dari logat bicaranya, dia pasti berasal dari luar kota…,” kata si mucikari. Minatnya semakin besar.

“Benar! Dia dari luar daerah. Tak ada sanak keluarga apapun di sini! Jadi dia aman!” kata si pria.

Ziwei semakin ngeri mendengar percakapan mereka.

“Sebenarnya apa yang kalian kerjakan di sini?”

“Pekerjaan kami?” si mucikari tertawa dingin. “Adalah menyambut laki-laki. Para pria datang mencari kesenangan, kami akan memuaskan mereka! kalau kau nanti bergabung bersama kami, manfaatnya akan banyak sekai…”

Ziwei mencoba kabur. Tapi karena tidak bisa melihat, dia menabrak sana-sini lalu terjerembap. Kursi terpelanting, vas bunga pecah berkeping-keping.

“Dasar murahan! Kau mau cari gara-gara, ya?” laki-laki itu menangkap Ziwei lalu menamparnya.

Ziwei meronta-ronta, “Mengapa kalian memperlakukanku seperti ini? Kalau kalian ingin uang, pasti kuberi! Asal kalian mengantarku pulang!”

“Kalau begitu, di mana rumahmu?” tanya mucikari.

Ziwei terpana. “Di Sehe Yuen. Tapi aku tidak tahu alamatnya…”

“Rumahmu sendiri kau tak tahu alamatnya?” Mucikari itu tertawa dingin.

Ziwei memohon-mohon. “Nyonya, aku ini dari keluarga baik-baik. Jika aku sampai dicemari, aku pasti mati karena tak sanggup menanggung malu. Kumohon bebaskanlah aku!”

Mucikari itu menghampiri Ziwei. “Mulai sekarang kau salah satu penghuni tempat ini! Tak perlu menangis lagi! Aku sudah sering melihat banyak wanita yang bilang mau mati, tapi pada akhirnya mereka patuh dan terus hidup. Sadarlah dan dengarkan saja kata-kataku! Jika tidak, kami akan menanganimu dengan cara lain! Tukang pukul! Kemari!”

Beberapa pria berbadan besar masuk.

“Kurung dia! Jika dia berani melawan, beri dia pelajaran agar mengenal kehebatan tempat ini!”

“Baik!” pria-pria itu lalu menyeret Ziwei keluar.

***

Xiao Jian sungguh istimewa. Jika di Beijing dia punya Lao Ou, di Luoyang dia punya teman bernama Gu Zheng.

Gu Zheng adalah kepala sebuah biro pengawalan. Dia seorang pendekar, sangat termasyur di Luoyang. Gu Zheng senang melihat kedatangan Xiao Jian. Mendengar permasalahan Xiao Jian, tanpa banyak bicara, Gu Zheng segera membantu mencari Ziwei.

“Menurutku, Nona Ziwei diculik. Kalian bisa kembali ke Sehe Yuen. Tunggulah kabar dariku!”

“Tidak bisa! Aku tidak bisa menunggu!” sergah Erkang. “Kalau malam ini dia tak ditemukan, aku tak sanggup menghadapinya! Kakak Gu, biarkan kami ikut!”

“Kalau kalian ikut, pencarian ini bisa-bisa terhambat. Bagaimanapun, kalian orang asing di sini. Banyak tempat tak bisa kalian datangi. Soalnya jika kalian bertanya, belum tentu orang-orang akan memberi jawaban.”

Xiao Jian membujuk Erkang untuk kembali ke Sehe Yuen. Sampai di sana, Xiao Yanzi mencoba berbaik hati membuatkan Erkang secangkir the hangat.

Hati Erkang terasa sakit. Kelelahan dan banyak pikiran, tanpa pikir panjang ditepisnya cangkir the hingga jatuh berkeping-keping.

“Pergi kau! Tak usah mengurusi aku!”

Xiao Yanzi terkesiap. Dia menggigit bibir menahan tangis.

Yongqi dan Erkang terkejut melihat reaksi Erkang.

“Erkang, kau kenapa? Kami paham kau cemas. Kami juga sama cemasnya denganmu! Xiao Yanzi sangat menyadari keteledorannya. Kalau kau tidak sudi memaafkannya, kau juga tidak perlu kasar begitu! Kita kan satu keluarga, segala kesulitan harus kita hadapi bersama!” Yongqi mengingatkan.

“Tidak usah omong besar! Satu keluarga apaan?” teriak Erkang. “Apanya yang dihadapi bersama? Arti kehilangan Ziwei bagi kalian dengan diriku, mana bisa dibandingkan? Kalau kalian sama-sama peduli pada Ziwei, mana mungkin dia bisa hilang seperti hari ini? Aku tidak memerlukan permohonan maaf Xiao Yanzi! Aku hanya ingin Ziwei kembali! Masalah-masalah lain tak perlu dibicarakan!”

“Jadi kau tidak lagi memedulikan persahabatan kita?” Yongqi mulai ikut-ikutan marah. “Kau selama ini paling bijak dan berkharisma. Sekarang mengapa kau berubah jadi seperti ini?”

“Sekarang ini aku tidak tertarik memikirkan kebijaksanaan dan charisma! Kalian tak usah mengurusiku! Jauhi aku! Jika tidak, aku bisa bersikap kasar!”

Erkang menahan napas sesaat. Dia lalu berbalik dan keluar. Diambilnya salah satu kuda kereta dan memacunya keluar.

Erkang terus berkuda hingga matahari terbenam. Di suatu padang luas Erkang mengerahkan segenap tenaga lalu berteriak menyayat hati, “ZIWEIIII!!!”

Sayup-sayup, di belakang terdengar suara langkah kuda. Rupanya Yongqi mengejarnya. Dia berseru lantang, “Erkang! pulanglah! Kalau Gu Zheng datang membawa berita dan kau tidak ada, bagaimana?”

Erkang menengadah dan menatap Yongqi dengan getir.

Yongqi menatap Erkang dan berkata tulus, “Ziwei pasti baik-baik saja! Perasaanku sangat kuat. Di hatiku Ziwei seperti langit dan matahari. Tak peduli berapa banyak badai dan awan mendung, awan hitam takkan mampu menutupi langit. Badai tak akan sanggup menutupi matahari selamanya!”

“Bagus sekali kata-katamu itu,” Erkang berkata terharu. “Dulu ketika Ziwei tertusuk pisau, Kaisar pernah mengatakan sebagai Putra Langit dia tak akan membiarkan Ziwei mati dan akhirnya Ziwei sembuh! Sekarang kau mengucapkan kata-kata tadi, kau kan anak dari Putra Langit. Aku ingin sekali kata-katamu itu terwujud!”

Yongqi mengangguk. Rasa persahabatan mereka berbinar kembali. Ditepuknya bahu Erkang. “Mari kembali untuk menunggu kabar!”

Mereka kembali ke Sehe Yuen. Namun semua tampak lesu. Erkang menyendiri. Terus memikirkan Ziwei.

Ketika malam tiba, Gu Zheng tiba-tiba datang. “Xiao Jian! Aku sudah dapat petunjuk tentang Nona Ziwei!’

Semuanya tersentak. “Kau sudah menemukannya? Di mana dia?”

“Aku belum menemukannya. Tapi aku punya teman bernama Juragan Zheng. Semua daerah lampu merah Luoyang ada di bawah kekuasaannya. Kabarnya, Nona Ziwei kemungkinan ada di rumah bordil Zhuihong!”

Erkang tampak pedih. Yongqi segera berseru, “Kalau begitu tunggu apa lagi?”

“Benar! Kita harus cepat pergi…” Xiao Yanzi bersiap-siap.

Xiao Yanzi menahan Yongqi. “Tempat itu tidak pantas didatangi Xiao Yanzi! Kau temani saja dia di sini! Aku saja dan Erkang yang pergi mencari Ziwei!”

Keduanya pun mengikuti Gu Zheng.

***

Ziwei tengah disekap di kamar sempit. Seseorang mengirimkan makanan untuknya, tapi karena tidak mau makan, dua lelaki masuk membawa cemeti.

Kedua lelaki itu mencambuk Ziwei hingga pakaiannya terkoyak-koyak.

“Kau mau kerja, tidak? Berani-beraninya tidak mau makan!”

Ziwei berseru kesakitan, “Aku lebih baik mati… daripada terhina…,” dia meraba-raba hingga menemukan pilar tempat tidur. Lalu dibenturkan kepalanya ke pilar tempat tidur.

Ziwei jatuh ke lantai. Keningnya bengkak. Kedua laki-laki itu menariknya kembali sambil memaki-maki,

“Kau berani membenturkan kepalamu? Cari gara-gara ya?” Ziwei kembali terkena lecutan cemeti.

Sekonyong-konyong pintu kamar digedor. Nyonya mucikari berseru keras, “Tak usah memukul lagi! Ada masalah besar…!”

Erkang dan Xiao Jian mendorong si mucikari dan menyerbu masuk kamar. Melihat Ziwei yang seperti itu, Erkang ingin meledak rasanya. Dia melesat melancarkan pukulan dan tendangan. Kedua tukang pukul itu pun melayang.

Ziwei meringkuk ketakutan.tangannya menutupi tubuhnya yang berpakaian sobek-sobek. Sekujur tubuhnya gemetaran. Erkang menghambur ke arahnya seraya memanggil pilu, “Ziwei!”

Ziwei histeris. “Siapa? Siapa? Jangan sentuh aku!”

“Ini aku! Erkang! Ziwei, apa kau tak mengenali suaraku?”

Ziwei tidak berani mempercayakan telinganya. “Erkang? Tidak! Kau bohong!”

Erkang melepas jaket luarnya lalu menyampirkannya ke bahu Ziwei. Dibisikinya kekasihnya itu,

“Jika gunung tak bertepi, langit dan bumi menyatu, barulah aku berani berpisah darimu!”

Ziwei tersadar. Dia pun memiringkan kepalanya dalam pelukan Erkang.

“Kau.. benar Erkang…”

Meliaht Ziwei telah ditemukan, Xiao Jian berkata pada Gu Zheng, “Kakak Gu! Aku menginginkan orang yang menculik Ziwei ditangkap dan dihukum!”

Gu Zheng langsung menjawab, “Aku paham maksudmu! Serahkan saja padaku!”

***

Erkang dan Xiao Jian membawa Ziwei kembali ke Sehe Yuen. Xiao Yanzi cepat-cepat mendekati. Dia berseru gembira sekaligus penuh penyesalan.

“Ziwei! Oh, terima kasih Langit dan Bumi… Erkang berhasil menemukanmu! Aku memang brengsek! Aku benar-benar bersalah padamu! Kau terluka…, akan kuambilkan obat…”

Erkang masih marah. “Jangan sentuh dia! Tak usah mengurusi kami!”

Xiao Yanzi terhuyung ke belakang. Matanya mulai basah.

Yongqi menengahi. “Erkang, Ziwei sudah ditemukan. Jangan marah lagi. Sekarang mari obati dia dang anti pakaiannya. Ayo Xiao Yanzi, cepat ambilkan pakaian bersih, aku akan memasak air panas buat mandi.”

“Tidak perlu repot! Biar aku sendiri yang mengurusnya!”

Erkang membawa Ziwei ke kamar.

Yongqi terpana. Dia menoleh ke arah Xiao Jian.

“Kami menemukannya di rumah bordil. Dia dicambuk hingga luka-luka. Untunglah dia masih bisa mempertahankan kesuciannya!”

“Rumah bordil? Ya Tuhan…,” Xiao Yanzi membekap mulutnya. “Erkang tak akan pernah memaafkan aku! Ziwei juga! Aku memang bodoh! Hanya bisa berbuat onar!”

Yongqi cemas mendengar perkataan Xiao Yanzi. “Sudah, Ziwei tak bisa melihat! Sekarang dia pasti memerlukan dirimu! Kau jangan terpukul karena sikap Erkang. Dia emosi, jadi bertingkah begitu. Kau dan Ziwei kan telah mengangkat saudara, tak peduli
Erkang menghalangimu, kau tetap saja harus merawat Ziwei!”

“Saudara macam apa aku ini…? Aku sudah terlalu sering mencelakakan Ziwei…”

Xiao Jian menghela napas menyaksikan semua ini. Dia duduk di salah satu sudut lalu meniup seruling.

Suara seruling meliuk, bergema hingga ke langit. Membawa kekuatan dan kedamaian.

Xiao Yanzi pun merasa tenang.

***

Erkang membaringkan Ziwei dengan hati-hati. Tapi ketika dia hendak memeriksa luka-lukanya, gadis itu menolak.

Ziwei membisu sambil mencengkeram pakaiannya erat-erat. Dia tak ingin disentuh siapapun. Melihatnya, Erkang semakin sakit hati.

“Ziwei, kau marah padaku, kan? Aku sudah berjanji akan melindungimu. Tapi aku malah melepaskanmu… aku terus menyalahkan Xiao Yanzi, padahal sebetulnya akulah yang patut disalahkan. Tidak semestinya aku menyerahkanmu pada Xiao Yanzi… aku telah membiarkan jiwa dan tubuhmu terluka…”

Tangisan Ziwei pecah. Keduanya tak saling bicara cukup lama sampai akhirnya Ziwei berkata, “Erkang…, tolong ambilkan aku minum.”

Erkang meletakkan tangan Ziwei tak lama kemudian kembali dengan secawan teh.

Ziwei meminumnya. Setelah agak tenang, dia bersandar di dada Erkang. “Untunglah, aku tidak kehilangan kehormatanku. Aku masih tetap Ziweimu…”

“Aku yang telah menjerumuskanmu ke tempat itu hingga dipermalukan seperti ini. Akulah yang bersalah…”

Ziwei meraba-raba dan menemukan wajah Erkang. “Aku tidak apa-apa… kau jangan sedih dan terus menyalahkan dirimu lagi. Kejadian hari ini musibah. Kita semua sama sekali tidak tahu bagaimana menghadapi masalah yang tiba-tiba menimpa orang buta. Kuakui, aku sangat shock. Namun sekarang aku sudah kembali. Aku sangat bahagia. Kalian begitu mencintaiku. Setiap kali dalam bahaya kalian selalu menolongku. Aku sangat berterima kasih. Mana mungkin aku masih menyalahkanmu?”

Erkang amat terharu mendengar perkataan Ziwei. Perlahan-lahan, terdengar Xiao Yanzi membuka pintu dan masuk. Diam-diam dia meletakkan nampan makanan di meja dan menunjuknya pada Erkang. Setelah itu, dia bersiap keluar lagi.

Ziwei mendengarnya. “Xiao Yanzi? Kaukah itu? kenapa kau tak memedulikan aku?”

Xiao Yanzi terpaku. “Aku.., aku mengantar makanan untukmu. Makanlah sedikit. Aku K ingin mengganggu. Aku pergi dulu…”

“Kau mau ke mana? Aku memerlukan bantuanmu!” seru Ziwei.

Xiao Yanzi berbalik. “Benarkah? Kau memerlukan bantuanku?”

“Tentu saja! Aku tidak bisa melihat. Kalau bukan kau yang membantuku, lantas siapa?”

Xiao Yanzi menghampiri sisi pembaringan. “Ziwei, kau masih menganggapku sebagai saudaramu? Kau masih memerlukan bantuanku?”

“Apa maksudmu? Kenapa baru berpisah sebentar bicaramu sudah berubah seperti ini?”

“Kaewna…, aku tak pantas jadi saudaramu. Erkang mempercayakanmu padaku, tapi sebentar saja kau sudah diculik orang… aku benar-benar jahat! Erkang bilang, setelah ini kita akan berpisah dan menempuh jalan sendiri-sendiri. Tapi aku…, tidak rela berpisah dari kalian…”

“Benar kau bicara begitu?” tanya Ziwei pada Erkang. “Kenapa kau menakut-nakuti Xiao Yanzi? Bukankah kita semua keluarga? Susah senang, mesti dipikul bersama?”

Erkang menatap Ziwei. Hatinya pun mencair. “Kau hilang – akupun jadi kacau…” Dia menoleh pada Xiao Yanzi. “Aku menarik kata-kataku. Aku tak menyalahkanmu lagi. Aku juga tak marah padamu lagi!”

Xiao Yanzi sunguh lega. Dia menangis tersedu-sedu.

“Ziwei!” Xiao Yanzi memeluknya erat. Tenggorokan Erkang pun tercekat.

***

Beberapa hari kemudian, suasana tenang kembali. Erkang benar-benar sudah memaafkan Xiao Yanzi dan dia juga meminta maaf pada semua orang akan perilakunya hari itu.

Xiao Jian merasa gembira. “Aku akan pergi beli arak. Semua orang berbaikan lagi seperti ini harus dirayakan!”

“Kalian tahu apa yang paling ingin kulakukan?” Ziwei bertanya lembut.

“Apa? Apa?”

“Aku rindu bermain kecapi. Sewaktu Xiao Jian meniup seruling tempo hari, aku jadi kepingin memetik kecapiku. Mataku memang tak bisa mellihat, tapi kurasa, itu tak akan mempengaruhi permainanku nantinya.”

“Akan kubuatkan untukmu!” seru Xiao Jian. “Kau biasa main yang bersenar 15 atu 21?”

“Dua pulluh satu.”

“Baiklah. Akan kubuatkan. Aku pernah belajar membuat kecapi. Tahukah kau dawai kecapi terbaik terbuat dari bahan apa?”

Ziwei menggeleng.

“Dari bulu ekor kuda. Bulunya tidak boleh terlalu kasar ataupun terlalu halus. Jadi harus diambil dari tengah-tengah ekor. Nah, sekarang, aku akan mencari kayu untuk membuat kerangkanya!”

Xiao Yanzi diam-diam ingin memberikan sumbangsihnya untuk kecapi Ziwei. Dia menyelinap ke belakang dan menarik seekor kuda keluar kandang.

Xiao Yanzi bermaksud mencabut bulu ekor kuda itu. Tentu saja kudanya memprotes marah. Kuda itu melompat marah nyaris menendang Xiao Yanzi.

Meski tidak ditendang kuda, itupun tetap membuat Xiao Yanzi terkejut dan terjatuh. Xiao Jian yang kebetulan melintas melihatnya bergegas menghampiri.

“Xiao Yanzi! Kau sedang apa?”

Saat itu, Yongqi yang mendengar seruan Xiao Jian bergegas menghampiri. Mellihat Xiao Yanzi yang dipapah Xiao Jian, mimik wajahnya langsung berubah.

“Sebenarnya kau mau apa dengan kuda itu? Kenapa kau mengganggunya?”

“Ah! Kuda ini memang galak!” Xiao Yanzi terengah-engah. “Aku cuma ingin mencabut
Beberapa helai bulunya tapi dia melah membuatku jungkir balik!”

Yongqi melotot. “Mencabut bulunya? Buat apa bersusah-susah begitu?”

“Aku cuma ingin membantu membuat kecapi bagi Ziwei. Kan kata Xiao Jian perlu bulu ekor kuda! Tapi kuda ini tak mau memberiku bulunya! Benar-benar seperti peribahasa: ‘Sehelai bulupun tak boleh dicabut!”

Xiao Jian tertawa sambil menggeleng-geleng. Dia masuk ke dalam rumah dan keluar membawa gunting.

“Kenapa kau bisa sebodoh itu?” Xiao Jian berkata dengan penuh perasaan sayang. “Kan cukup digunting saja! Mana ada orang yang mau mencabut bulu kuda? Syukur kalau tidak mati ditendang!”

Xiao Yanzi menganga. “Wah, ternyata semudah itu! Aku memang benar-benar bodoh! Xiao Jian! Kau sungguh mengagumkan! Pandai sekali dan luar biasa!”

Wajah Xiao Jian memerah dipuji Xiao Yanzi.

Tiba-tiba, Yongqi merasa tersisih menyaksikan keakraban keduanya. Rasanya ada sesuatu menusuk hatinya.

***

Akhirnya, kecapi Ziwei selesai dibuat.

Ziwei melampiaskan kerinduannya dengan bermain musik dan bernyanyi. Suasana jadi lebih meriah.

Suatu hari, ketika usai memainkan kecapi, mereka mendengarketukan pintu disertai suara Liu Hong.

“Apakah ada orang di dalam?”

Ziwei melompat berdiri dengan perasaan senang. “Mereka datang! Jinshuo, Liu Qing dan Liu Hong!”

Xiao Yanzi membuka pintu dan Liu Hong bergegas masuk penuh semangat.

“Akhirnya kutemukan juga kalian! Kalian ini terlalu hati-hati sehingga sedikit saja meninggalkan petunjuk!”

“Kenapa kau cuma sendirian? Mana Liu Qing dan Jinshuo?” tanya Xiao Yanzi.

”Tempo hari, Jinshuo terjatuh di jurang. Sendinya bergeser dan Liu Qing merawatnya!”

“Jinshuo terjatuh? Apakah tulang kakinya sampai patah?” Ziwei terkejut.

“Jangan khawatir. Tulangnya tidak apa-apa. Hanya sendinya bergeser… Ziwei, ada pesan yang dititipkan Liu Qing padamu. Katanya dia melamar Jinshuo darimu!”

Xiao Yanzi terbelalak. “Wah…, belum lama berpisah ternyata sudah ada kabar bahagia! Jinshuo dan Liu Qing, mereka betul-betul lamban sekali! Sudah lama saling kenal tapi baru sekarang jadian? Bagus sekali! Bukankah itu bagus sekali?”

Dengan perasaan kaget bercampur gembira, Ziwei mencengkeram Erkang. “Erkang! jinshuo telah menemukan kebahagiaannya sendiri! Kau benar! Akhirnya dia menemukan belahan jiwanya sendiri! Aku sungguh bahagia!”

“Benar! Jika saja matamu juga telah sembuh, kurasa saat ini semua kebahagiaan ini semakin sempurna!”

Saat itulah Liu Hong baru menyadari kebutaan Ziwei. “Matamu kenapa Ziwei?”

“Hari itu Ziwei terjatuh dari kereta. Sejak itu dia tidak bisa melihat!”

“Tidak bisa melihat? Apa sudah diperiksa tabib?”

“Semua tabib di Luoyang, bahkan yang spesialis sekalipun, sudah didatangi!”

Liu Hong tersentak. Dia tidak percaya.

Ziwei tertawa riang. “Meski tidak bisa melihat, tapi sekarang pendengaranku jauh lebih tajam. Perasaanku jadi lebih peka dan bisa menangkap banyak hal yang dulu tak kuperhatikan. Aku baik-baik saja. Jadi kalian tak perlu sedih memeikirkan aku!”

Erkang menguatkan diri. “Baiklah. Karena Liu Hong sudah kembali dan Liu Qing serta Jinshuo baik-baik saja, kita lanjutkan saja perjalanan kita. Sekarang kita menuju Distrik Chun, lalu dari sana menuju kota Xiangyang. Xiao Jian, kau punya kenalan di kedua tempat itu?”

“Kalaupun tidak ada, teman bisa muncul tiap saat! Mari segera berangkat!”

***

Mereka memulai perjalanan lagi. Kereta menyusuri lembah. Pada sebuah sungai, mereka berhenti untuk istirahat sejenak.

Mereka beristirahat sambil bersenda gurau. Tiba-tiba, kuda keretamereka meringkik panjang. Semuanya terlompat kaget. Dari balik bebatuan muncul belasan orang berpakaian hitam bersenjata.

“Lindungi Xiao Yanzi dan Ziwei!” teriak Xiao Jian.

Segera mereka terlibat pertarungan seru. Erkang fokus melindungi Ziwei.

Orang-orang berpakaian hitam itu sama sekali berbeda dengan yang dulu. Mereka sangat kejam dan tak sungkan-sungkan. Beberapa terus menyerang Erkang dan mencoba mengalihkan perhatiannya. Erkang kewalahan. Dan ketika konsentrasinya terpecah, salah satu dari mereka menebaskan pedang ke kepala Ziwei. Erkang mengulurkan tangan memeluk Ziwei hingga akhirnya pedang itu melukai pergelangan tangannya.

Pedang Erkang terpelanting. Ziwei berteriak, “Erkang! Kau terluka?”

Erkang terus memeluk Ziwei. Dia berteriak ke arah orang-orang berbaju hitam.

“Siapa kalian? Kenapa mau membunuh kami?”

Yongqi juga ikut berteriak, “Sebutkan identitas kalian! Berani-beraninya turun tangan membunuh kami!”

Orang-orang berpakaian hitam itu tak lain adalah utusan Permaisuri. Pemimpinnya bernama Palang.

“Kami menjalankan perintah untuk membunuh kalian langsung di tempat! Dibunuh tanpa ampun!”

“Menjalankan titah? Membunuh tanpa ampun?” hati Yongqi perih bagai tertusuk.

Xiao Jian berseru, “Kita tak perlu sungkan lagi! Mereka semua berkeinginan menghabisi kita. Kalau begitu jangan ragu dan berbelas kasihan lagi!”

Mereka kembali terlibat pertarungan. Tapi Erkang telah terluka. Dia jatuh tersungkur dan Ziwei ikut jatuh di sampingnya.

Xiao Jian maju melindungi Erkang-Ziwei. Pada satu jurus, dia berhasil melumpuhkan Palang dan bersiap mengangkat pedang membunhnya. Melihat situasinya tak menguntungkan, Palang bersiul. Dia dan anak buahnya segera melayang pergi meningglkan lokasi.

“Kalian mau lari ke mana?” teriak Xiao Yanzi.

“Xiao Yanzi! Jangan dikejar!” teriak Liu Hong.

Darah segar menyembur dari balik luka Erkang dan menetes-netes. Ziwei menjerit-jerit. “Erkang! Erkang!”

“Aku di sini…,” Erkang mengatupkan rahang menahan sakit. “Ziwei, tak kusangka Yang Mulia demikian tega terhadap kita! Kau tak perlu khawatir. Lukaku ini, hanya luka kecil…”

“Luka kecil apa? Kau jangan bohong! Kau pasti berdarah! Oh Tuhan! Kembalikanlah penglihatanku! Ijinkan aku melihat dan merawatnya!”

“Ini cuma luka kecil,” Erkang menguatkan diri. “Kau cuma tak bisa melihat jadi mengira lukanya besar. Lukaku yang sebenarnya bukan di tanganku, tapi di hatiku! Tak kusangka sekarang Kaisar telah berubah menjadi musuhku! Dan Kaisar telah menusukku tepat di sini!” Erkang menunjuk dadanya.

Mendengar perkataan Erkang, kepedihan Yongqi muncul ke permukaan.

“Huang Ama tak hanya menusukmu. Dia juga menusukku! Seumur hidupku, dia bukan hanya kuanggap sebagai ayah, tapi juga dewa! Tapi sekarang beliau malah menginginkan nyawa kita sendiri!”

***

Akhirnya, mereka semua kembali ke Sehe Yuen.

Malamnya, Erkang demam. Dalam keadaan setengah sadar, dia terus mengigau nama Ziwei.

Ziwei dan yang lainnya bergantian mengganti kompresnya. “Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Demamnya tinggi sekali!” Ziwei berkata ketakutan.

“Jangan berpikir yang bukan-bukan! Kau sendiri perlu beristirahat,” kata Xiao Jian.

“Mana mungkin aku bisa beristirahat? Walau kalian menarikku, aku tak mau beranjak dari sisinya! Erkang! Betapa aku ingin membantumu! Tapi untuk merawat diriku sendiri aku tak mampu, bagaimana bisa merawatmu? Aku sungguh putus asa! Dan keputus asaan ini mencabik-cabik diriku!”

Ratapan Ziwei menggugah semua orang. Xiao Jian tak bisa berkata apa-apa lagi. Akhirnya dia hanya bisa mengambil kecapi Ziwei dan meletakkannya di meja depan ranjang.

“Mainkan kecapi ini dan bernyanyilah. Mainkan lagu yang paling disukai Erkang.”

Semangat Ziwei bangkit. “Baik. Aku akan memainkannya!”

Ziwei menenangkan diri lalu mulai memetik kecapi dan bernyanyi. Dia terus bernyanyi tanpa putus. Dari satu lagu ke lagu lainnya. Dalam alunan lagu ini, Erkang terlelap dan igauannya berhenti.

Perlahan-lahan, hari beranjak pagi. Sinar matahari menembus jendela. Ziwei telah bernyanyi semalam suntuk. Xiao Yanzi dan yang lainnya tertidur di ruangan itu.

Erkang bermimpi. Dia berdiri di atas kobaran api dan merasa tubuhnya tepanggang. Lalu tampak Ziwei yang bagaikan dewi, mengibaskan tangan hingga kobaran api itu padam. Rasa panas di tubuh Erkang lenyap. Dia memaksakan diri membuka mata. Tampak olehnya Ziwei sedang bernyanyi. Sorot matanya menghanyutkan. Ziwei menyanyi sambil terus memandang ke arah Erkang.

“Ziwei… matamu indah sekali…”

Ziwei menghentikan permainannya. Matanya terus tertuju pada Erkang.

“Air…, air…” erang Erkang.

Ziwei berdiri. “Kau mau minum? Akan kuambilkan!”

Ziwei menuang air ke cangkir dengan ketepatan sempurna. Setelah itu siangsurkannya pada Erkang.

“Kubantu kau!” Ziwei mengangkat cangkir itu ke bibir Erkang. Erkang menahan napas. Saat itu Xiao Jian sudah bangun dan melihat dengan tak percaya.

Erkang minum dengan hati-hati. “Bisakah kau mengambilkan secangkir lagi?”

“Tentu!” Ziwei kembali berlari ke meja dan menuangkan air.

Yang lainnya mulai bangun dan menyaksikan Ziwei menuang air tanpa setetes tambah tumpah.

Ziwei kembali ke ranjang dan melihat bahu Erkang yang terbalut rapat. Tampak noda darah di atas perban.

“Kau berdarah? Bagaimana ini?”

“Mana ada darah?”

“Masih menyangkal juga? Padahal perbanmu sudah berwarna merah…”

Kini Erkang sudah yakin. Dengan kegembiraan meluap, dipeluknya Ziwei sambil berteriak, “Oh Tuhan! Jika darahku sanggup memulihkan penglihatanmu, aku rela walau harus berdarah lagi!”

Ziwei tertegun dan baru menyadari mukjizat yang dialaminya. Dia bisa melihat lagi!

“Erkang! Aku bisa melihatmu! Aku benar-benar bisa melihat!”

Hati Erkang sarat kebahagiaan. “Ah, terima kasih Langit! Terima kasih Bumi!”

Yongqi bergegas menghampiri keduanya sambil berkata, “Selamat! Selamat! Kini aku tahu apa yang disebut bangkit kembali dari kematian!”

Yang lainnya memandang penuh keharuan dan perasaan bahagia.

***

Beberapa hari kemudian, Erkang sudah turun ranjang.

Mata Ziwei juga sudah pulih sepenuhnya. Tabib yang memeriksanya menyimpulkan kalau semua ini benar-benar mukjizat dan kemungkinan tidak mungkin kambuh lagi.

Jadi pada suatu malam, Xiao Yanzi memasak beberaa hidangan enak. Mereka semua berkumpul di ruang makan Sehe Yuen dengan riang.

“Kuberitahu ya,” Liu Hong mengumumkan. “Ikan tumis bumbu kecap dan terong itu masakan Xiao Yanzi! Jadi kalau rasanya aneh, bukan tanggung jawabku! Silakan dicicipi! Siapa yang lebih hebat masak, Xiao Yanzi atau aku, majikan Graha Huipin!”

“HA! Xiao Yanzi bisa masak saja sudah bisa dibilang hebat! Akhir-akhir ini waktu Ziwei buta dan Liu Hong belum datang, kalau bukan makan hidangan gosong, ya hambar. Benar-benar sengsara!” komentar Xiao Jian.

Semua orang tertawa. Yongqi ingin memuji masakan Xiao Yanzi. Dia pun mengambil sumpit dan menyuap hidangan itu. Seketika itu juga matanya melotot dan menjulurkan lidah usai menelannya.

“Benar-benar hidangan istimewa! Sayang kalau dilewatkan! Kalian harus makan!”

Yang lainnya mengambil dan mencicipi. Seketika itu juga ada yang berjingkrak, ada yang batuk, tersedak… pokoknya heboh sekali.

“Xiao Yanzi! Jangan begini caranya kalau ingin menyiksa orang…,” kata Erkang sambil batuk keras.

Ziwei buru-buru mengangsurkan cawan air pada Erkang. “Minum! Minum! Xiao Yanzi bilang semua orang harus minum. Pagi minum air, siang minum air, malam minum air… apalagi setelah makan ikan tumis bumbunya Xiao Yanzi…”

“Kenapa sih, reaksi kalian begitu berlebihan?” tanya Xiao Yanzi tanpa rasa bersalah. Dijumpatnya seiris daging dan dia pun berteriak. “Huaaah! Huaaah! Ini pasti kebanyakan merica! Huaaah!” Reaksinya ternyata lebih heboh dari yang lain.

Yang lainnya tertawa terpingkal-pingkal. Setelah itu, keceriaan surut dari wajah Liu Hong.

“Baik, sekarang aku mau melapor pada kalian! Persediaan uang kita menipis! Pergi ke tabib perlu uang. Makan buat enam orang juga perlu uang. Menebus obat, membayar sewa rumah dan sebagainya… Jadi kupikir, besok aku dan Xiao Yanzi akan keluar mencari uang.”

“Caranya?” tanya Yongqi.

“Seperti dulu, kami akan ke jalan untuk mengamen!” Xiao Yanzi menyahut penuh semangat.

“Tapi bukankah itu bisa menarik perhatian orang?”

“Jangan terlalu banyak khawatir ini-itu! Jadi besok Xiao Jian tetap tinggal melindungi Ziwei dan Erkang. Aku, Liu Hong dan Yongqi akan turun ke jalan mengamen.”

“Kami tak perlu dilindungi,” sanggah Erkang. “Aku hanya terluka, tidak lumpuh. Ziwei juga sudah bisa melihat kembali. Biar Xiao Jian ikut kalian.”

“Baik! Jadi keputusannya begitu saja! Kita atur pertunjukannya! Aku dan Liu Hong akan menyamar jadi kakak adik yang sedang tertimpa kesulitan. Lalu Yongqi dan Xiao Jian menyusup ke tengah penonton dan berpura-pura jadi dermawan. Nanti kalian akan memanas-manasi penonton untuk menyumbang. Mengerti?”

Yongqi langsung kelihatan tidak setuju. “Itu… sepertinya kurang terhormat.”

“Tuan Muda! Kita ini sudah terpojok! Kau masih memedulikan soal kehormatan segala!”

“Tak ada jalan lain..,” Ziwei menimpali. “Nanti kubantu kalian menulis spanduk.”

“Baiklah, aku mengerti,” Xiao Jian tertawa. “Aku belum pernah bersandiwara seperti ini. Tapi aku akan berusaha untuk mengimbangi Tuan Putri!”

***

Keesokan harinya, Xiao Yanzi dan Liu Hong pergi mengamen.

Mereka menabuh-nabuh gong untuk menarik perhatian orang-orang. Lalu mengumumkan kalau mereka kakak-beradik pendatang yang tertimpa musibah sehingga kehabisan uang untuk ongkos pulang kampung.

Setelah itu, kedua gadis itu membuat pertunjukan akrobat. Penonton menyaksikannya dengan puas dan memuji-muji.

Usai pertunjukan, Liu Hong mengedarkan piring untuk mengumpulkan uang dari penonton. Beberapa menyumbang, tapi ada juga yang lansung mundur tanpa memberi uang.

Xiao Yanzi memberi tanda pada Xiao Jian dan Yongqi yang ada di tengah penonton. Xiao Jian dan Yongqi tampak keki. Apalagi Yongqi. Seumur hidup sebagai pangeran, mana sanggup dia bersandiwara seperti ini?

Akhirnya, Xiao Yanzi menatap galak ke arah Xiao Jian. Xiao Jian merasa tidak enak dan menggaruk-garuk kepala. Dia maju dengan enggan dan komat-kamit, “Mana bisa aku ikut sandiwara semacam ini?”

Sesaat kemudian dia berkata di luar skenario, “Saudara-saudara orang Luoyang sekalian! Kalau Anda masih merasa kurang puas dengan pertunjukan kedua Nona ini, aku, Xiao Jian, akan memperlihatkan satu pertunjukan tambahan. Semoga Anda sekalian bersedia menyumbang uang lebih banyak!”

Mendengar Xiao Jian mengatakan sesautu di luar skenario, Xiao Ynazi jadi jengkel. Diambilnya sebilah golok dan ditebaskannya kepada Xiao Jian.

“Apa yang kau bilang barusan? Katanya kau akan berusaha mengimbangi permainan ini! Lantas, mana?”

Xiao Jian terperanjat dan buru-buru menghindar. Xiao Yanzi mengejarnya sambil berteriak, “Rupanya kau seperti banci! Penakut!”

Xiao Jian hendak menampilkan pertunjukan komedi. Dia memasang tampang bloon dan menghindari golok Xiao Yanzi sambil sibuk berteriak, “Golok itu tidak punya mata! Jangan dipakai main-main…” Lalu dia tersungkur jatuh.

Penonton tertawa terpingkal-pingkal. Kedua orang itu masih saja berlarian. Satunya mengejar dan menghindar. Adegannya sungguh menggelikan dan menegangkan.

Liu Hong kembali menyodorkan piring. Kepingan-kepingan uang pun kembali dijatuhkan.

Yongqi menganga menyaksikan smeuanya.

Xiao Jian melompat keluar dari arena. Melihat piring uang sudah penuh, senyum Xiao Yanzi angsung merekah. Dia dan Xiao Jian berdiri berdampingan sambil meyoja penonton,

“Terima kasih! Terima kasih semua…”

Tepuk tangan penonton membahana. Yongqi yang tengah bersembunyi di antara penonton mendengar komentar-komentar mengagumkan.

“Benar-benar adegan yang enak ditonton! Aku berani jamin, kalau keduanya menjadi sepasang kekasih, pasti cocok!”

“Ya! Keduanya kompak. Selain itu, mereka juga cantik dan tampan. Benar-benar serasi…”

Wajah Yongqi langsung berubah. Sesuatu seperti telah menghantam ulu hatinya.

Dia cemburu. Wkwkwkwk.


Bersambung ke buku terakhir: Kembali ke Kota Kenangan.

BACA JUGA SINOPSIS LAINNYA



0 comments:

Post a Comment


Friend Link List