Do you like this story?
Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge II-1: Feng Yu Zhai Chi
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan.
Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu II-1: Badai Kembali Menerjang
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tutut Bintoro
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, April 2000 (Cetakan kedua)
Cerita Sebelumnya:
Kepulangan Ibu Suri ke Istana Terlarang rupanya menjadi ancaman bagi Xiao Yanzi dan Ziwei. Perjodohan mereka dengan Pangeran Kelima dan Erkang perlu ‘ditinjau ulang’. Dihasut Permaisuri, Ibu Suri mengawasi gerak-gerik kedua Putri itu. Saat Xiao Yanzi, Ziwei, Yongqi dan Erkang resah memikirkan nasib mereka, Ayahanda Kaisar yang mereka banggakan justru sedang gembira karena mendapat selir baru dari Uyghur: Putri Hanxiang.
Kira-kira setengah bulan sebelum Hanxiang tiba di Beijing. Di gurun pasir Taklamakan...
Sebuah rombongan karavan sedang dalam perjalanan menuju Beijing. Rombongan itu terdiri dari prajurit-prajurit suku Hui, barisan wanita cantik penyanyi dan penari, onta-onta pengangkut barang serta orang-orang penunggang kuda.
Di tengah-tengah karavan, terdapat sebuah tandu khas suku Hui. Tandu itu terbuka di keempat sisi dan dihias tirai-tirai sutra. Di dalam tandu itulah duduk Hanxiang beserta dua pelayannya: Weina dan Qina. Mata Hanxiang menatap lurus ke depan. Ekspresi wajahnya kosong. Dia bagaikan sebongkah arca yang cantik.
Rombongan itu dipimpin Pangeran Ali Hoja, ayah Hanxiang. Ali Hoja membawa seluruh rombongannya menuju Beijing guna menyerahkan harta paling berharga suku Hui kepada penguasa Dinasti Qing – tak lain adalah putrinya sendiri: Hanxiang.
Sejak lahir, Hanxiang telah diramalkan akan memiliki kehidupan luar biasa. Pada hari kelahirannya, muncul pelangi di langit. Tubuhnya menguarkan aroma yang wangi. Ketika Hanxiang beranjak dewasa, aroma wangi itu semakin kuat. Dia juga tumbuh sebagai gadis yang cantik sehingga membuatnya semakin istimewa.
Ketika senja, rombongan beristirahat di sebuah lembah. Tepat pada saat itulah sekelompok pria bercadar datang menyerang mereka.
Kelompok pria itu berjumlah sekitar lima orang. Satu di antaranya cukup menonjol karena bertubuh jangkung. Si jangkung itu langsung mengarah ke tandu Hanxiang. Sesampainya di tandu itu, ditariknya Hanxiang hingga Weina dan Qina memekik panik.
“Lindungi Putri! Lindungi Putri!” teriak Ali dalam bahasa Hui.
Pria itu berhasil memegang lengan Hanxiang dan berseru, “Ikutlah denganku!” Hanxiang terkejut melihat sorot mata pria itu. Sorot mata itu sudah begitu dikenalnya. Meng Dan!
Para prajurit telah mengepung Meng Dan. Beberapa menghunus pedang dan golok, mengarahkannya langsung ke Meng Dan sehingga dia buru-buru melepaskan Hanxiang. Berlapis-lapis prajurit menyerbu Meng Dan dan pengikut-pengikutnya. Lawan yang tidak sebanding. Terutama prajurit yang maju dekat tandu Hanxiang, jumlahnya berlapis-lapis…
Meng Dan dan pengikutnya bertarung mati-matian. Ali Hoja memberi perintah, “Jangan biarkan dia mendekati Putri! Kepung dia! Tangkap hidup-hidup!”
Para prajurit mengeroyok Meng Dan. Beberapa berhasil melukai tangannya hingga berdarah. Salah satu prajurit juga berhasil memukul kuda Meng Dan dengan gada besi hingga tersungkur. Meng Dan pun terjatuh ke pasir.
Hanxiang menjerit. Terhuyung-huyung, Meng Dan mencoba bangkit dan kembali melawan. Tapi sebilah tombak ditancapkan ke arahnya tanpa mampu dihindarinya lagi.
Hanxiang kembali menjerit. Meng Dan mencabut tombak itu sehingga darah segar mengalir dari lukanya. Saat itu, seorang prajurit lain telah bersiap mengayunkan sebilah golok ke besar ke arah Meng Dan.
“Hentikan! Biarkan dia pergi! Ayah! Kumohon lepaskan dia!” teriak Hanxiang.
Prajurit yang hendak mengayunkan golok itu bertatapan dengan Meng Dan sesaat. Mata Meng Dan berkilat-kilat memancarkan kenekatan. Prajurit itu tiba-tiba memahami sesuatu dan menurunkan goloknya.
Seluruh prajurit juga menghentikan serangan. Saat itulah dipakai Hanxiang untuk cepat-cepat berteriak ke arah Meng Dan,
“Kenapa kau tidak cepat pergi? Pergilah! Anggap saja aku sudah mati!”
Dengan sekujur tubuh berlumuran darah, Meng Dan menatap Hanxiang dalam-dalam. Hanxiang menyilangkan kedua tangan di dada – memberi hormat ala suku Hui. Dengan perasaan terluka da.n pedih, dia kembali menatap Meng Dan.
“Kau adalah angin, aku adalah pasir..,” Hanxiang berbisik lirih. Air matanya menetes.
Hati Meng Dan terasa sakit manakala melihat Hanxiang demikian. Para prajurit kembali memagari tandunya.
Meng Dan menjerit keras untuk melampiaskan frustasinya. Dia lalu melompat pada salah satu kuda dan melesat pergi diikuti para pengikutnya.
Ali Hoja menatap kepergian Meng Dan. Dia sebenarnya memahami kejadian tadi. Ali Hoja pun berujar, “Tak perlu dikejar! Biarkan saja dia pergi!”
Ali Hoja memutuskan untuk tidak bermalam di tempat itu dan memerintahkan rombongan terus berjalan.
***
Di Istana Terlarang, Qianlong menempatkan Hanxiang di Graha Baoyue.
Pengangkatan Selir bagi Hanxiang telah mengguncang sebagian penghuni istana. Terutama istri-istri Qianlong (apalagi Permaisuri!). Diam-diam mereka merasa cemburu, marah dan benci kepada Putri Hanxiang ini.
Tapi yang paling kecewa berat rupanya Xiao Yanzi! (Ha ha ha) Dia sungguh tidak paham, kenapa Qianlong yang sudah punya puluhan istri, masih mau menerima seorang gadis sebaya putrinya sebagai istri lagi. Meski Ziwei telah berusaha menjelaskan kalau ini sebenarnya merupakan bagian dari upaya diplomasi suku Hui, Xiao Yanzi tetap saja marah.
“Huang Ama sekarang benar-benar kegirangan seperti tikus! Kenapa ada laki-laki semacam ini? Setiap kali melihat wanita menarik, dia langsung menyukainya! Yang menjengkelkan, para wanitanya tak boleh selingkuh – hanya boleh setia padanya! Sementara laki-laki itu, bisa punya istri dimana saja!”
Kemarahan Xiao Yanzi memuncak manakala dia dan Ziwei menengok Selir Ling suatu hari. Hari itu, di Istana Yanxi, Selir Ling tergolek lemah di pembaringannya. Wajahnya pucat, sama sekali tidak bercahaya.
Dua dayang Selir Ling, Lamei dan Dongxue melapor, “Beberapa hari ini Paduka Selir tak mau makan apa-apa. Mohon kedua Putri menasihati beliau agar mau makan.”
Ziwei pun bertanya penuh perhatian, “Selir Ling, apa Anda tidak enak badan?” Disentuhnya kening Selir Ling dan berseru kaget, “Anda demam! Apakah Tabib sudah kemari dan memeriksa?”
Selir Ling berujar, “Ini cuma masalah kecil. Aku tidak apa-apa. Aku tahu keadaan tubuhku sendiri. Kalaupun tabib datang, dia hanya akan memberiku tonik. Aku sedang hamil, tak boleh sembarangan minum obat. Dan kalau sampai hal ini terdengar ke seluruh istana, aku nanti dikira sedang cari-cari perhatian.”
Xiao Yanzi sakit hati melihat keadaan Selir Ling. Dengan emosi dia berteriak, “Aku tahu apa yang menyebabkan Selir Ling gundah! Aku juga marah pada Huang Ama! Memangnya kenapa kalau Putri Hanxiang itu tubuhnya harum? Apa hebatnya?!”
Selir Ling tersentak. Ditegurnya Xiao Yanzi, “Kecilkan suaramu! Aku tidak protes apa-apa tapi kenapa malah kau yang mengomel? Kalau sampai didengar orang lain, aku nanti dikira iri…”
Ziwei menggenggam tangan Selir Ling dan berkata tulus, “Selir Ling, janganlah bersedih. Anda seorang wanita yang welas asih dan lapang dada. Langit pasti memberkati Anda. Aku percaya Huang Ama orang yang penuh perasaan. Dia tak akan menyia-nyiakan Anda. Kedudukan Anda di hati Huang Ama tak tergoyahkan.”
Perkataan Ziwei sangat menyentuh Selir Ling. Dia mulai menangis karena terharu.
“Ziwei, kau sangat pengertian. Tapi bagi wanita manapun, menjadi yang ‘tak tergoyahkan’ itu masih belum cukup. Yang dibutuhkannya adalah sebuah tempat ‘tak tergantikan’ dalam hati pria!”
Ziwei menatap Selir Ling dengan pedih. Dia teringat pada ibunya sendiri. Bagaimana ibunya menjalani penantian selama belasan tahun dalam kebisuan? Mengapa pria cerdas seperti Ayahanda Kaisar-nya justru membebani batin beberapa wanita? Sama seperti Xiao Yanzi, Ziwei juga tidak paham.
Xiao Yanzi kembali bertanya dengan emosi, “Apakah Huang Ama sudah tahu kalau Anda sakit? Apakah dia sudah datang menjengukmu?”
Selir Ling menjawab pedih, “Dia pasti sedang sibuk bersama Putri Hanxiang di Graha Baoyue. Mana mungkin dia masih punya waktu kemari.”
“Graha Baoyue!?” Xiao Yanzi semakin geram mendengarnya.
***
Dengan tensi tinggi, Xiao Yanzi mendatangi Graha Baoyue. Ziwei mengikutinya.
Memang benar, Qianlong sedang berada di sana. Tapi dia tidak sedang bermesraan dengan Putri Hanxiang. Sebaliknya, ketika tiba di Graha Baoyue, Ziwei dan Xiao Yanzi melihat Qianlong dan Hanxiang yang duduk berjauhan. Keduanya seperti baru berdebat atau bertengkar. Wajah Qianlong keruh. Sedangkan ekspresi Hanxiang beku dan kosong.
Tapi Xiao Yanzi sama sekali tak memperhatikan kejanggalan itu. Dirinya sudah dikuasai amarah. Dengan meledak-ledak dia berteriak di hadapan Qianlong.
“Huang Ama! apakah setelah kedatangan Putri Hanxiang, Anda lalu melupakan Selir Ling? Kecuali usianya lebih muda dan cantik, mana bisa dia dibandingkan dengan Selir Ling?”
“Huang Ama mengajariku agar harus tulus dan setia! Sekarang apakah Huang Ama tulus dan setia? Aku disuruh menulis bertumpuk ‘Esai Keselarasan Upacara’ – apakah esai itu hanya teori sampah belaka?!”
Mendengar perkataan Xiao Yanzi yang bertubi-tubi membuat Qianlong jadi marah. Dia pun meledak, “Keterlaluan! Kau kira ini tempat yang bisa sembarangan kau datangi? Kau tidak berhak mengucapkan perkataan barusan! Berani-beraninya kau kemari dan mengatakan kesalahanku! Apa kau sudah gila?”
Xiao Yanzi balas berseru, “Ya! Aku memang sudah gila! Huang Ama sudah mengkhianati Selir Ling! Tidak setia pada banyak wanita!”
“Tutup mulutmu!” bentak Qianlong.
“Aku tak mau tutup mulut!” Xiao Yanzi terus saja berteriak. “Mana mungkin aku diam saja melihat kelakuan Huang Ama…”
Qianlong tidak tahan lagi. Tangannya diangkat, melayang menampar Xiao Yanzi.
Xiao Yanzi sama sekali tak menduga Qianlong akan menamparnya. Dia terhuyung-huyung mundur sambil mengusap wajahnya. Ziwei terkejut sekali. Sementara Hanxiang yang menyaksikan semuanya jadi tercengang.
“Huang Ama…?” Xiao Yanzi terbata-bata. Dadanya sesak. Seolah tak percaya. “Huang Ama memukulku? Aku.. aku…” Air matanya menetes-netes. Dia memalingkan tubuh, berlari keluar dari Graha Baoyue.
Ziwei memandang Qianlong dalam-dalam. “Selama ini, aku menganggap Huang Ama orang yang penuh kasih. Aku dan Xiao Yanzi sangat memuja Anda! Tapi sekarang, Putri Hanxiang ini telah menyebabkan sosok ayah yang penuh kasih itu hilang entah kemana…”
Ziwei melempar tatapan marah pada Qianlong dan Hanxiang, lalu berbalik pergi mengejar Xiao Yanzi.
Qianlong melihat kepergian keduanya dengan penuh sesal.
***
Di istana Qingyang, Xiao Yanzi melampiaskan kemarahannya.
“Pangeran Kelima! Aku tak menginginkan gelar Gege atau Chunchu! Hari ini Huang Ama memukulku! Aku tak mau jadi putri atau menantunya lagi! Kau carilah calon istri lain! Aku akan pergi! Selamat tinggal!”
Yongqi kaget. Dia langsung menghadang Xiao Yanzi dan menggamit pinggangnya.
“Kau tak boleh begitu! Kita sudah bertunangan! Kalau kau pergi, lantas aku bagaimana? Apa hanya gara-gara satu tamparan itu kau melupakan hubungan kita? Kau jangan berbuat setega itu!”
Xiao Yanzi meronta. “Aku tidak peduli! Aku tak tahan lagi tinggal di istana ini! Cepat atau lambat aku bisa gila! Atau kalau tidak, kelak aku benar-benar akan dieksekusi Huang Ama!”
Ziwei mencoba menenangkan, “Kakak Kelima benar. Coba ingat waktu kita disiksa di penjara – kita tak gentar menghadapinya. Sekarang, apa kau tak bisa menghadapi satu tamparan saja?”
“Kau tidak mengerti! Pukulan tadi sangat berat bagiku!”
“Aku mengerti, Xiao Yanzi! Dulu Huang Erniang memukuli kita, kita hanya marah tapi tidak sakit hati. Itu karena kita tidak mencintainya seperti Huang Ama. Kini Huang Ama memukulmu, tentu saja kau sangat kecewa. Sebenarnya bukan hanya kau, aku pun ikut merasa terpukul!”
“Kalau begitu, kau ikut pergi saja bersamaku! Biarkan saja Huang Ama jadi menantu Raja ‘Jahe Muda’! Kita tak usah mengakuinya sebagai ayah lagi! Dia tak punya perasaan – bahkan Selir Ling pun dilupakannya! Tak lama lagi dia juga tak akan menyukai kita lagi!”
“Xiao Yanzi! Kau jangan membuat kekacauan lagi!” tegur Erkang. “Kita semua telah berjuang hingga statusmu dan Ziwei bisa seperti sekarang! Mana bisa kau dengan entengnya bilang mau pergi? Kau sungguh keterlaluan!”
Xiao Yanzi masih emosional. Dia berteriak dan menangis. Akhirnya Erkang menarik Ziwei keluar dan membiarkan Yongqi pelan-pelan menenangkannya.
Di luar istana Qingyang, sambil menunggu Yongqi membujuk Xiao Yanzi, Erkang membicarakan soal Jinshuo dengan Ziwei.
Tapi Erkang belum bicara sepenuhnya, Ziwei sudah memotong, “Aku sudah tahu maksud perkataanmu! Kau tidak boleh menolak Jinshuo! Diam-diam dia juga mengagumimu! Kau sudah berjanji padaku untuk menerimanya – kau harus menepati janjimu itu!”
Erkang menyanggah, “Ketika aku menyetujui permintaanmu itu, kau sedang sekarat! Jadi bisa dibilang, itu hanya janji terpaksa! Waktu melihatmu antara hidup dan mati, aku mau tak mau menyanggupi. Tapi sekarang kalau dipikir baik-baik, menerima Jinshuo sebagai selirku kelak bukanlah tindakan terpuji. Hari ini kau lihat sendiri bagaimana Kaisar mengabaikan Selir Ling karena Putri Hanxiang. Bagaimana kalau kelak aku mengabaikanmu karena Jinshuo atau sebaliknya? Kau pasti sedih, bukan? kita jangan sampai mengulang tragedi semacam itu!”
“Dalam hatiku cuma ada dirimu. Tak mungkin ada tempat bagi Jinshuo. Dia telah bersama kita cukup lama – sudah seperti saudari sendiri. Kita semestinya memikirkan kebahagiaannya juga. Sudah semestinya dia mencari cinta sejatinya sendiri.”
Ziwei tersentuh mendengar penjelasan Erkang yang bijak dan logis. Jinshuo selama ini telah begitu tulus pada Ziwei. Sehingga Ziwei selalu berharap yang terbaik baginya. Tapi sepertinya, menjanjikannya sebagai selir Erkang suatu hari nanti bukanlah ide yang baik.
Erkang mendesah lega. Paling tidak, Ziwei telah sedikit paham maksudnya soal Jinshuo. Dia lalu berujar,
“Yang penting kau sudah paham maksudku soal Jinshuo. Satu hal lagi, saat ini kita harus ekstra hati-hati. Ibu Suri sedang mengawasi kita dan Permaisuri sedang mencari-cari kesempatan. Kau harus menasihati Xiao Yanzi agar tidak mencampuri urusan Putri Hanxiang. Karena bagaimanapun, itu adalah urusan pribadi Yang Mulia Kaisar.”
Ziwei mengangguk. Ditatapnya Erkang untuk waktu yang lama.
***
Malamnya, Xiao Yanzi bertengkar dengan Ziwei.
“Besok pagi aku akan menemui Putri Hanxiang. Aku akan menyuruhnya kembali ke negerinya. Akan kuberitahu kalau jadi selir itu tidak enak! Dalam setahun belum tentu bisa selalu bertemu Huang Ama. Kurasa ini adalah jalan keluar yang baik.”
Ziwei dengan tegas mencegah. “Kau tidak boleh ikut campur masalah ini! Kata-kata Erkang benar. Ini sesungguhnya adalah urusan pribadi Huang Ama. Ibu Suri dan Permaisuri saja tidak berani menentang. Posisi kita sendiri sedang goyah – kau jangan memperkeruhnya dengan masalah lain!”
Xiao Yanzi langsung mendebat, “Kalau begitu kau egois sekali! Kau hanya memikirkan keselamatanmu sendiri! Coba kau lihat Selir Ling! Apa kau tak kasihan padanya?”
Ziwei tersinggung. “Keterlaluan kalau kau menuduhku egois! Aku hanya khawatir kalau kita bakal tertimpa masalah besar jika kau turut campur! Aku juga sedih dengan keadaan Selir Ling. Dia sudah seperti ibu kita sendiri. Tapi kita bisa apa?”
Jinshuo membela Ziwei. Ketiga gadis itu terlibat adu mulut tepat saat pengumuman Qianlong datang berkunjung menggema.
Qianlong memasuki Paviliun Shuofang. Begitu melihatnya masuk, Xiao Yanzi langsung memunggunginya.
Ziwei yang juga tengah kesal mengikuti jejak Xiao Yanzi. Dia memunggungi Qianlong. hanya para dayang yang memberi hormat. Sebaliknya kedua putri tetap berdiri tanpa mengucapkan apa-apa.
Seumur hidupnya, Kaisar belum pernah diabaikan seperti ini. Dia sebenarnya menyesal telah menampar Xiao Yanzi siang tadi. Qianlong pun mendesah. Dia lalu berkata, “Kalian kenapa? Kalian berdua masih marah ya?”
Qianlong berjalan mendekat dan menunduk untuk melihat muka Xiao Yanzi. “Xiao Yanzi, apakah tamparanku tadi terlalu keras?” tanyanya lembut.
Xiao Yanzi langsung membuang muka. Dia masih ngambek. Qianlong kembali mendesah.
“Aku mengaku kalau hari ini aku tak bisa menahan amarahku. Tapi kau datang ke Graha Baoyue sambil berteriak-teriak, itu sungguh tidak pantas! Aku tak akan memperpanjang masalah ini lagi.”
Xiao Yanzi tetap bungkam. Qianlong menoleh ke arah Ziwei.
“Ziwei, biasanya kau paling pengertian. Apakah malam ini kau pun tak bersedia memaafkanku? Jangan cemberut seperti itu. Yang paling kusukai dari Paviliun Shuofang ini adalah suara tawa kalian!”
Ziwei berpaling dan menatap Qianlong dengan pedih. Dia menekuk lututnya lalu berkata, “Huang Ama, aku khawatir kalau suara tawa itu akan dihilangkan oleh Huang Ama sendiri.”
Qianlong menukas, “Mana mungkin seserius itu? Kalian anak perempuan memang terlalu banyak pikiran. Sekarang aku telah datang sendiri kemari untuk menengok kalian. Apakah kalian masih belum puas?”
“Kami berdua sangat tersentuh Huang Ama mau datang sendiri kemari. Hanya saja…,” Ziwei mengutip sebait puisi karya penyair Du Fu,
“’Ketika yang tampak di mata hanya senyum kekasih baru, isak tangis kekasih lama – mana mungkin terdengar lagi?’”
Qianlong terkejut mendengar puisi Ziwei. Ziwei kembali menyambung, “Huang Ama berbaik hati menengok kami. Tapi apakah Huang Ama juga menengok Selir Ling yang sedang sakit?”
Qianlong gundah. “O, rupanya begitu. Ternyata Selir Ling sedang tidak enak badan ya? Tak ada yang memberi tahuku. Sekarang juga aku akan pergi menengoknya!”
Qianlong berbalik dan keluar dari Paviliun Shuofang. Ziwei buru-buru mengantarnya sampai gerbang.
Setelah Qianlong pergi, barulah Xiao Yanzi berbalik. Dipeluknya Ziwei dengan sukacita.
”Ziwei! Aku telah salah menuduhmu! Kau memiliki cara tersendiri untuk mengatasi masalah ini. Mantra apa yang kau baca tadi? Ternyata lebih efektif daripada omelanku yang panjang lebar. Kelak aku akan belajar membaca puisi saja!” (iya, Putri Huanzhu! Jangan melawan hati yang keras dengan kekerasan juga dong! Tapi harus dengan kelembutan ;) )
Ziwei menatap Xiao Yanzi. “Jadi, sekarang kau tak marah padaku lagi, kan?”
“Aduh, mana mungkin aku punya hak untuk berlama-lama marah padamu?”
Ziwei tertawa. Xiao Yanzi juga. Seluruh penghuni Paviliun Shuofang ikut tertawa. Akhirnya salah paham Xiao Yanzi-Ziwei terselesaikan saat itu juga.
***
Dua bulan kemudian, Hanxiang resmi diangkat sebagai selir dengan gelar resmi: Selir Xiang (Selir Harum).
Setelah status Hanxiang resmi diumumkan, Ali Hoja dan rombongannya bersiap kembali ke Xinjiang.
Pada hari Ali Hoja berangkat dari Istana Terlarang, Erkang dan Yongqi beserta sejumlah prajurit istana mengawalnya hingga ke gerbang terluar Kota Beijing.
Selir Xiang juga ikut serta. Di gerbang terluar kota Beijing itu dia diijinkan mengucapkan kata-kata perpisahan pada ayahnya.
Ali Hoja berkata dalam bahasa Hui. “Hanxiang, pengorbananmu ini sangat berharga. Rakyat Uyghur akan hidup tentram berkat dirimu. Atas nama rakyat Uyghur, Ayah mengucapkan banyak terima kasih!”
Dengan penuh perasaan, Ali Hoja memberi penghormatan kepada Hanxiang. Penghormatan itu merupakan penghormatan khas suku Hui ketika menghadap Raja.
Ali Hoja berlutut. Hanxiang terkejut dan buru-buru memapah ayahnya sambil berurai air mata.
“Ayah, Anda tak boleh menghormatiku seperti ini! Seluruh maksudmu telah kumengerti.
Kembalilah ke Uyghur dengan tenang. Di sini aku akan melaksanakan amanat Ayah sebaik-baiknya!”
Ayah dan anak itu berpegangan tangan beberapa saat lamanya. Akhirnya, Ali Hoja melepaskan genggamannya. Dia melompat ke atas kuda dan menarik kekangnya.
“Hanxiang! Jagalah dirimu baik-baik! Ayah pergi sekarang!”
Kuda Ali Hoja melesat. Para pengiringnya mengikuti. Panji-panji suku Hui berkibar-kibar – berlalu bersama rombongan Ali Hoja dengan meninggalkan gumpalan debu di belakang mereka.
Hanxiang berdiri tegak memandang kepergian ayahnya. Wajahnya memancarkan kecantikan melankolis. Lengan bajunya yang putih melambai-lambai tertiup angin seperti peri.
Erkang dan Yongqi tersentuh dengan perpisahan itu. Erkang berbisik pelan, “Sekarang aku baru mengerti kata-kata puisi Li Bai: ‘Melambaikan tangan seorang diri. Yang terdengar hanya derap kuda-kuda.’ Keadaan ini benar-benar serupa dalam puisi itu…”
Lalu sekonyong-konyong terdengar siulan nyaring. Dari arah kota, sekelompok orang berpakaian dan bercadar putih melesat ke hadapan Hanxiang. Satu di antaranya malah berhasil mencengkeram Hanxiang.
Rupanya mereka adalah Meng Dan dan keempat pengikutnya. Meng Dan yang mencengkeram Hanxiang berteriak, “Ini kesempatan terakhir kita! Lekas pergi bersamaku!”
Hanxiang sangat terperanjat. Erkang dan Yongqi berteriak, “Lindungi Selir Xiang! Lindungi Selir Xiang!”
Para pengikut Meng Dan mencoba menghalang-halangi Erkang dan Yongqi. Yongqi berseru kepada para prajurit Qing untuk segera mengepung mereka. akhirnya, Erkang pergi menyelamatkan Hanxiang sementara Yongqi dan para prajurit Qing melawan pengikut-pengikut Meng Dan.
Pertarungan berlangsung sengit. Walau kalah jumlah, Meng Dan dan kawan-kawan enggan mengalah sedikit pun. Meng Dan sudah tahu kalau Erkang dan Yongqi adalah orang-orang yang pernah dia temui di Graha Huipin. Pada satu kesempatan, Erkang berhasil melayangkan pedangnya dan mengenai bagian depan pakaian Meng Dan.
Bekas luka lama Meng Dan menyeruak. Darah berceceran. Hanxiang menjerit keras, “Meng Dan! Menyerahlah! Kumohon!”
Erkang dan Yongqi sama-sama terkejut. “Meng Dan???”
Ya. Orang-orang yang mencoba menculik Selir Xiang itu adalah gerombolan Meng Dan dan pengikutnya. Meng Dan sedang tak ingin berbelas kasihan. Dia mengayunkan pedangnya ke arah Erkang. Beruntung Erkang dengan lincah menghindarinya.
“Meng Dan! Cepat serahkan dirimu! Tak ada gunanya kau bertarung melawan kami! Pengikutmu kalah jumlah dari prajurit kami!” teriak Erkang.
Para prajurit Qing sudah berhasil melumpuhkan keempat pengikut Meng Dan. Keempatnya satu-persatu jatuh terkulai dan tak berkutik.
Yongqi membantu Erkang dan berhasil membuat Meng Dan terdesak. Pedang di tangannya terlepas sehingga dia tak punya senjata untuk melawan lagi.
Yongqi mengarahkan pedangnya ke leher Meng Dan.
“Kau masih belum mau menyerah?”
Meng Dan langsung menarik cadarnya dan mendongak. “Bunuh aku! Bunuhlah aku!”
Hanxiang buru-buru mendekat. Dia berlutut di hadapan Yongqi dan Erkang. Memohon,
“Hanxiang memohon pada kalian berdua! Lepaskanlah Meng Dan! Hanxiang bersujud pada kalian…”
Erkang dan Yongqi terperanjat. “Selir Xiang! Kau tidak boleh bersujud pada kami seperti itu!”
“Selir Xiang, cepatlah berdiri!”
Tapi Hanxiang tetap berlutut. Sorot matanya muram. “Aku hanya seorang Hui. Tak tahu tata krama Manchu. Jika kalian tak melepaskan Meng Dan, maka yang kalian akan bawa pulang ke istana adalah jenazah kami berdua! Jadi silakan pilih – kalian mau melepasnya atau tidak?!”
Tiba-tiba Meng Dan melompat, menyambar sebilah pedang untuk menggorok lehernya sendiri.
Erkang lebih sigap. Dia mengulurkan tangan untuk memukul kepala Meng Dan. Yongqi juga maju dan menepiskan pedang itu. Sejurus kemudian, Meng Dan meronta dan jatuh terkulai. Pakaiannya bersimbah darah.
Hanxiang merangkak ke arah Meng Dan dan memeluk kepalanya. Dia menghapus noda darah dari wajah Meng Dan. Setelah itu, Hanxiang menengadahkan kepala menatap Erkang dan Yongqi.
“Kami orang Hui punya pepatah, ‘Kau adalah angin, aku adalah pasir. Kemana angin bertiup, pasir akan ikut melayang bersamanya.’ Aku dan Meng Dan telah bersama-sama sejak kecil. Dia angin sedang aku adalah pasir.”
Erkang dan Yongqi sangat tersentuh. Keduanya pun bertukar pandang sejenak. Setelah itu, Erkang membungkuk. Dia memegang lengan Meng Dan dan berbisik di telinganya,
“Kau pura-pura mati saja! Setelah kami pergi, lekaslah kembali ke Graha Huipin untuk bersembunyi. Kau suka atau tidak, Selir Xiang harus tetap kembali ke istana. Jika tidak, kami berdua yang harus bertanggung jawab. ‘Selama gunung masih hijau, tak perlu khawatir kehabisan kayu bakar.’ Kita akan bertemu lagi!”
Erkang mendorong Meng Dan hingga jatuh ke tanah. Dia lalu berdiri dan berteriak mengumumkan, “Para penyerang ini sudah mati! Syukurlah Selir Xiang tidak terluka! Kita harus segera mengantar Selir Xiang kembali ke istana!”
Para pengawal membawa kereta Selir Xiang mendekat. Salah satu di antaranya bertanya ragu-ragu, ”Apakah mayat-mayat ini akan dibawa ke istana?”
“Mayat-mayat ini tak perlu diurus!” sergah Yongqi. “Paling penting sekarang adalah mengantar Selir Xiang kembali ke istana!”
Hanxiang menatap Meng Dan lekat-lekat. Kedua pelayannya, Weina dan Qina berusaha menghiburnya dan membantunya naik ke atas kereta.
Erkang dan Yongqi duduk di kursi sais kereta Hanxiang. Begitu Erkang menghela kuda dan kereta bergerak, para prajurit segera mengikuti mereka.
Di atas kereta Yongqi bertanya lirih.
“Apa yang akan kita laporkan pada Huang Ama nanti? Kejadian tadi begitu banyak yang menyaksikan. Kita tak mungkin berbohong…”
Erkang berkata tegas, “Biar aku nanti yang bicara!”
***
Sesampainya di istana, Yongqi dan Erkang langsung menghadap Qianlong.
Kaisar Qianlong telah mendengar insiden Selir Xiang. Dengan berwibawa dia meminta kedua pemuda itu menjelaskan perihal sebenarnya.
“Yang Mulia, setelah Ali Hoja dan rombongannya pergi, tiba-tiba sekelompok orang Hui muncul dan bermaksud menculik Selir Xiang. Mereka bertarung sengit dengan kami dan para prajurit istana. Sampai akhirnya - mereka berhasil kami kalahkan,” lapor Erkang.
“Lalu? Mengapa kalian tidak membawa mereka kemari hidup-hidup untuk diinterogasi?” tanya Qianlong marah.
“Hamba sudah menginterogasi mereka,” jawab Erkang tenang.
“Kau sudah menginterogasi mereka?” Qianlong berseru. “Bagaimana caranya? Apa kau bertarung sambil menginterogasi – begitu?!”
Erkang berkata, “Yang Mulia, hamba pikir, Ali Hoja telah bermaksud baik menyerahkan Selir Xiang untuk tinggal di sini. Jika ada orang lain yang terpikat oleh kecantikan Selir Xiang lalu kita bunuh, bukankah, itu akan menimbulkan dendam antara kedua negara dan mengingkari maksud baik Ali Hoja? Karenanya, hamba berinisiatif melepas penculik itu.”
Qianlong marah sekali. Dia sampai menggebrak meja.
“Apa kau sudah tak waras? Kenapa kau sampai melepas orang itu? Aku harus tahu kenapa dia sampai ingin menculik Selir Xiang!”
Yongqi langsung berlutut. “Huang Ama, mohon jangan murka. Erkang pasti punya alasan tersendiri…”
“Huh! Alasan apa yang dia punya?” Qianlong mendengus.
Erkang kembali menjawab tenang, “Yang Mulia, para penculik itu bertarung mati-matian hingga sekujur tubuh luka parah. Selir Xiang sampai berlutut dan memohon pada kami untuk melepasnya. Selir Xiang berkata kalau di kalangan suku Hui ada peribahasa: ‘Kau adalah angin, aku adalah pasir. Kemanapun angin berhembus, pasir akan mengikutinya.’ Selir Xiang dan penculik itu telah berteman sejak masih kecil. Mereka berdua: satunya menjadi angin, satunya lagi adalah pasir.”
Qianlong mendengarnya jadi terperanjat. Erkang melanjutkan lagi, “Yang Mulia, hamba sungguh tak tega melihat Selir Xiang, maka tak membawa penculik itu kemari. Hamba rasa, Yang Mulia tentu tak tak ingin dibenci Selir Xiang jika penculik itu dihukum mati. Lagipula, penculik itu sudah terluka parah. Hamba perkirakan, dia tak akan bertahan lebih lama lagi!”
Qianlong pun terpana…
***
Dengan gusar, Qianlong mrndatangi Graha Baoyue.
Sebagai Kaisar dari negara adikuasa kala itu, Qianlong sungguh tidak bisa menerima kalau wanitanya masih menjalin kasih dengan pria lain setelah menjadi selirnya. Semua istri Kaisar dituntut untuk setia pada Kaisar seorang – meski Kaisar sendiri punya banyak wanita yang bisa dia jadikan istri.
Di Graha Baoyue, Qianlong memandangi Hanxiang lama. Gadis itu tetap terlihat tenang, tidak bergeming sama sekali. Qianlong mencoba mengendalikan amarahnya. Belum pernah seumur hidupnya dia menghadapi selir seperti ini. Yang tidak sudi tunduk, apalagi menyerah menjadi selirnya.
Hanxiang seolah tengah menguji kesabaran Qianlong. Qianlong menggertakkan gigi. Tiba-tiba dia maju dan mencekik leher Hanxiang.
“Kau sungguh nekat ya? Berani memeluk laki-laki lain di hadapan begitu banyak orang! Hari ini aku akan menghabisimu dengan tanganku sendiri agar kau dan aku tidak menjadi bahan tertawaan orang!”
Qianlong mencekik leher Hanxiang dengan sekuat tenaga hingga kepala wanita itu terdongak. Sambil megap-megap, Hanxiang menatap Qianlong dengan bola matanya yang cantik dan kelam. Wajahnya mencerminkan beban yang sangat berat. Sikapnya ini menusuk perasaan Qianlong.
Weina dan Qina langsung memegang lengan Qianlong dan berteriak memohon-mohon. Tapi Qianlong belum juga melepas Hanxiang. Sebaliknya dia mendesis menakutkan,
“Kau pernah bilang bahwa kau sudah tak memedulikan soal hidup dan mati. Kini aku mengerti! Kau memang ingin mati! Maka akan kukabulkan keinginanmu! Mati sajalah kau!”
Qianlong kembali mempererat cekikannya. Wajah Hanxiang merah padam. Kerongkongannya mengeluarkan suara putus-putus. Weina dan Qina benar-benar ketakutan setengah mati!
Tiba-tiba, sebuah jendela di Graha Baoyue terdobrak. Sesosok tubuh melayang masuk sambil berteriak, “Huang Ama hendak membunuh Selir Xiang!”
Xiao Yanzi menabrak pembatas ruangan hingga benda itu terbalik dan berdebum. Para dayang langsung lari tunggang langgang dan menjerit. Mendengar kegaduhan itu, para pengawal segera menghambur masuk ke Graha Baoyue.
Qianlong melepas cekikannya. Hanxiang terkulai. Weina dan Qina buru-buru menyambut tubuhnya.
Xiao Yanzi yang jatuh mengusap-usap kepalanya sambil mengaduh-aduh. Para pengawal yang sudah memasuki Graha Baoyue mengira ada penyusup. Mereka menghunus pedang masing-masing hingga Xiao Yanzi buru-buru melambaikan tangan dan berseru, “Aku bukan pembunuh! Aku bukan pembunuh!”
Qianlong melihat dengan jelas kalau ternyata penyusup itu adalah Xiao Yanzi. Dia berteriak marah,
“Xiao Yanzi! Apa yang kau lakukan? Kenapa mendobrak jendela segala? Kau sebenarnya tahu sopan-santun atau tidak?!”
Xiao Yanzi memasang wajah lugu dan merangkak ke hadapan Qianlong.
“Huang Ama, karena keadaannya mendesak seperti tadi, aku tidak ingat sopan santun lagi! Tadinya aku kemari karena ingin berbincang-bincang dengan Selir Xiang. Tapi sebelum masuk, aku mengintip dulu-siapa tahu Huang Ama ada di sini. Ternyata Hunag Ama memang ada di sini. Dan… aku kaget waktu melihat kejadian tadi – sehingga aku lupa diri dan langsung melompat masuk. Kepalaku sampai terantuk. Duh, sakitnya…”
Para pengawal segera keluar ruangan begitu tahu penyusup itu rupanya Putri Huanzhu. Qianlong sungguh tidak tahu harus marah atau tidak pada Xiao Yanzi.
Pada saat itulah Ziwei melangkah masuk dan berlutut di samping Xiao Yanzi. Dia mengucap salam, “Ziwei menghadap Huang Ama. Semoga Huang Ama panjang umur hingga puluhan ribu tahun.”
Qianlong pusing tujuh keliling. “Kalian ini! Kalian pikir Graha Baoyue sama seperti Paviliun Shuofang ya? Semaunya datang dan pergi! Pakai mendobrak jendela segala!”
Ziwei bersujud, “Kami berdua siap menerima hukuman Huang Ama. Tapi mohon Huang Ama mengampuni Selir Xiang. Dia adalah hadiah dari Ali Hoja. Betapapun marahnya, Huang Ama harus mempertimbangkan – jika sampai membunuh Selir Xiang, hal ini akan memancing amarah rakyat Hui. Dan Ali Hoja tak akan tinggal diam. Wilayah Xinjiang pun akan bergolak.”
Ucapan Ziwei ibarat air yang menyejukkan. Kemurkaan Kaisar akhirnya berkurang. Dihembuskannya napas panjang. Qianlong mulai menyesali tindakannya. Dipandanginya Hanxiang yang tengah bersandar pada kedua dayangnya. Wajahnya pucat dan lemas. Perasaan Qianlong terhadap Hanxiang kini antara cinta dan benci.
Qianlong berkata kepada Hanxiang dengan tegas, “Hari ini, demi kedua putriku, kau akan kuampuni! Kau telah menjadi selirku, itu berarti kau adalah milikku. Kau memang tak takut mati. Tapi aku bisa membuatmu ‘hidup segan, mati juga tak bisa’! Apa kau sanggup menghadapi kondisi seperti itu?”
Hanxiang menggigil mendengar ancaman Qianlong. Melihat Hanxiang sepertinya telah cukup memahami perkataannya, Qianlong pun mengibaskan lengan dan meninggalkan Graha Baoyue.
Sepeninggal Qianlong, Ziwei dan Xiao Yanzi berdiri. Keduanya sibuk menutup pintu dan jendela.
Hanxiang mengusap lehernya. Masih belum pulih dari rasa terkejutnya terhadap peristiwa tadi, kini dia tercengang menyaksikan tingkah kedua putri itu.
“Selir Xiang, aku dan Ziwei hendak menyampaikan sesuatu padamu. Mintalah kedua dayangmu untuk keluar,” kata Xiao Yanzi.
“Weina dan Qina adalah orang-orang kepercayaanku. Tak perlu menyuruh mereka keluar. Sebenarnya, siapa kalian?”
Ziwei menjawab, “Aku Ziwei. Dia Xiao Yanzi. Aku putri Huang Ama, sedang Xiao Yanzi calon menantu Beliau. Di istana ini kami dikenal sebagai Putri Mingzhu dan Putri Huanzhu.”
Hanxiang memberi salam, “Hanxiang berterima kasih atas bantuan Putri berdua hari ini. Mohon maaf pada kesempatan sebelum ini belum sempat berkenalan dengan kalian…”
“Tak usah berbasa-basi!” Xiao Yanzi menyela. “Kita hanya akan membicarakan topic penting. Begini… kami sebetulnya mengenal Meng Dan. Dia guruku.”
Hanxiang terbelalak begitu mendengar nama Meng Dan disebut. Ziwei cepat-cepat ikut bicara,
“Selir Xiang, biar aku yang menjelaskan…”
“Mohon panggil aku Hanxiang saja,” potong Hanxiang.
“Baiklah, Hanxiang. Dengarkan baik-baik, dua pemuda yang mengawalmu tadi adalah Pangeran kelima dan Fu Erkang. mereka berdua adalah ‘Meng Dan’ kami. Kami sudah mengetahui kejadia tadi. Karenanya kami memahami dan bersimpati padamu.”
“Kau pasti ingin tahu kondisi Meng Dan sekarang, kan? Saat ini, Erkang dan Pangeran Kelima sudah pergi mencarinya. Mereka juga membawa obat-obatan terbaik buat menolongnya.”
Air mata Hanxiang mulai mengalir. “Aku rasa…, tak akan ada hari lagi dimana aku bisa menemuinya lagi…”
“Ada! Tentu saja ada!” Xiao Yanzi menyahut tegas. “Kami sengaja kemari untuk memberitahumu kalau kami di pihakmu! Sekarang yang penting, kau harus melindungi dirimu sendiri! Kau jangan takut pada Huang Ama. Dia memang kelihatan galak. Tapi hatinya sesungguhnya baik. Kami akan berusaha untuk memikirkan cara agar Huang Ama mau melepaskanmu.”
“Bisakah itu?” Hanxiang tak percaya. “Aku adalah ‘upeti’ dari ayahku. Dia telah mengangkatku sebagai Selir. Mana mungkin dia masih mau melepasku?”
“Tergantung siapa orangnya… Xiao Yanzi benar. Huang Ama itu orang yang penuh welas asih. Sekarang Beliau belum mengerti persoalan ini. Tapi suatu hari, pasti akan mengerti. Percayalah pada kami! Setiap saat, kami akan mengabarimu kondisi Meng Dan.”
“Nah, bagaimana sekarang? Apa kau punya pesan yang hendak kau sampaikan pada Meng Dan? Kau boleh menulis surat. Nanti kami yang akan menyampaikannya.”
Hanxiang menatap Ziwei dan Xiao Yanzi dengan penuh harap.
“Jika suratku jatuh ke tangan orang lain, aku dan Meng Dan pasti mati! Tapi entah kenapa aku mempercayai kalian. Kalian adalah penyelamatku!”
Hanxiang berjalan menuju jendela. Dibukanya jendela dan menengadah ke langit. Dia pun berdoa ala suku Hui.
***
Malamnya, Erkang dan Yongqi mengunjungi Paviliun Shuofang.Siang tadi usai menghadap Qianlong, kedua pemuda itu mencari Meng Dan. Mereka menemukan Meng Dan tak jauh dari tempat pertempuran. Dua diantara pengikutnya tewas. Sementara yang lainnya luka-luka. Erkang dan Yongqi lalu membawa semuanya ke Graha Huipin. Di sana, sambil mengobati Meng Dan dan pengikutnya, Erkang dan Yongqi pun menjelaskan siapa mereka sebenarnya.
Erkang lalu bertanya, “Bagaimana hasil pertemuan kalian dengan Selir Xiang?”
Ziwei buru-buru mengeluarkan sepucuk surat dari balik bajunya. Dia menjawab, “Ini surat yang dia tulis untuk Meng Dan. Kutitip padamu. Kau harus menjaganya denga baik. Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Surat ini ditulis dengan huruf Arab.”
Erkang mengulurkan tangan hendak mengambil surat itu. sekonyong-konyong terdengar teriakan para kasim,
“Lao Foye datang! Permaisuri datang!”
Ziwei langsung menyelipkan surat itu di balik bajunya. Tapi karena terburu-buru, surat itu jatuh. Jonshuo dengan sigap memungutnya lalu menyembunyikannya di bawah vas bunga.
Xiao Yanzi mendorong Yongqi dan Erkang.
“Kalian berdua harus cepat bersembunyi di kamar!”
“Tidak bisa!” Erkang menolak. “Lao Foye dan Permaisuri pasti sudah tahu kalau kami berdua di sini. Kalau kami sampai kedapatan bersembunyi di kamar kalian, bisa-bisa mereka akan berpikir sembarangan!”
Seluruh penghuni Paviliun Shuofang tegang. Jinshuo membuka pintu dan rombongan Ibu Suri beserta Permaisuri pun masuk.
Semua orang serentak memberi salam. Melihat Erkang dan Yongqi, alis Ibu Suri seketika berkerut.
“Malam-malam pintu dikunci. Sebenarnya apa yang kalian lakukan di sini?”
Xiao Yanzi dan Ziwei saling bertukar pandang. Erkang berusaha memeras otak mencari alasan.
“Duli Lao Foye. Hamba dan Pangeran Kelima kemari untuk mengobrol. Hari ini hamba menerima surat dari Ertai dan Saiya. Di dalamnya juga terdapat surat bagi Putri Huanzhu dan Putri Mingzhu. Jadi kami kemari seklaigus untuk mengantar suratnya.”
Ibu Suri penuh rasa ingin tahu. “Mana suratnya? Perlihatkan padaku!”
Semuanya mulai gelisah. Mata Bibi Rong jelalatan kesana-kemari. Akhirnya dia melihat sebuah kertas yang menyembul di bawah vas. Dia langsung maju mengambilnya.
Xiao Yanzi juga langsung melesat dan mendahului mengambil surat itu. Karena buru-buru, vas tersenggol dan jatuh berkeping-keping. Xiao Yanzi lalu membakar surat itu di lampu minyak. Ibu Suri terbelalak.
Surat itu terbakar separuh. Tapi menjelang ujungnya, Xiao Yanzi tidak tahan memegangnya sehingga surat itu terlepas.
“Cepat ambil surat itu!” perintah Ibu Suri.
“Siap!” para dayang bergegas maju untuk mengambil. Tapi saat itu juga, Ziwei, Xiao Yanzi, Erkang dan Yongqi berebut mengambil surat sehingga mereka semua bertabrakan.
Para dayang ada yang terjerembab. Xiao Yanzi berhasik menyambar surat lalu memasukkannya ke dalam mulut.
Ibu Suri murka. “Muntahkan surat itu!”
Tapi Xiao Yanzi mengunyah surat itu dengan cepat lalu menelannya. Bibi Rong dan Bibi Gui menangkap Xiao Yanzi dan memaksanya membuka mulutnya. Mulut Xiao Yanzi menganga lebar-lebar lalu menggigit tangan Bibi Rong tanpa ampun.
“Aiya! Tanganku putus!”
Xiao Yanzi juga menendang Bibi Gui.
“Aiya! Kakiku patah!”
Yongqi dan Erkang tak menduga kejadiannya akan begini. Permaisuri menatap Ibu Suri dengan pongah.
“Lao Foye, surat tadi itu pasti berisi ‘rencana rahasia’ hingga tak boleh diperlihatkan pada kita.”
Ibu Suri sangat curiga dan menanyai Yongqi dengan serius, “Kalian semua! Sebenarnya sedang merencanakan apa?!”
“Duli Lao Foye…,” jawab Yongqi. “Sebenarnya, itu bukan surat dari Ertai dan Saiya. Itu… surat cinta hamba pada Xiao Yanzi. Isinya berupa puisi cinta. Xiao Yanzi pasti takut Lao Foye akan marah jika membacanya. Karena itu dia memakannya. Maafkanlah kelakuan hamba yang tidak bisa menahan perasaan cinta…”
Ibu Suri menatap Yongqi penuh selidik. Dia sama sekali tidak mempercayai perkataan Yonqi. Dengan penuh amarah, Ibu Suri memerintah,
“Lekas panggil pengawal kemari! Tarik kedua Putri menuju Istana Zhuning!”
Ziwei dan Xiao Yanzi kaget sekali. Wajah Erang dan Yongqi langsung memucat.
***
Ziwei dan Xiao Yanzi dijebloskan ke Kamar Gelap di Istana Zhuning.
Di Kota Terlarang, hampir seluruh istanannya punya kamar rahasia atau kamar hukuman. Gunanya untuk mengisolasi dan menghukum para dayang dan kasim. Keempat sisi Kamar Gelap tertutup rapat dan cahaya yang bisa menembusnya hanya sedikit sekali.
Setelah mendorong Ziwei dan Xiao Yanzi masuk ke Kamar Gelap, Bibi Rong berseru galak, “Lao Foye memerintahkan agar kalian berlutut di hadapan Dewi Guanyin Pusa dan merenungkan kesalahan kalian. Kalian harus berlutut sampai besok pagi! Setelah itu, kalian baru akan ditanya kembali!”
“Kalian jangan bertingkah macam-macam! Seluruh gerak-gerik kalian diawasi Lao Foye!
Di Istana Zhuning, bahkan Kaisar sekalipun tak akan mampu menolong kalian!”
Bibi Rong keluar disertai Bibi Gui. Setelah itu ‘Brak’! pintu ditutup.
Kamar itu gelap sekali. Sumber penerangan satu-satunya hanya berasal dari nyala dupa di altar Dewi Guanyin. Xiao Yanzi dan Ziwei awalnya merangkak dan meraba-raba sebelum bisa menemukan satu sama lain. Keduanya lalu saling menghibur dan mulai berlutut.
Malam semakin larut. Xiao Yanzi berlutut sambil mulai mengelus-elus perutnya.
“Aku lapar sekali! Perutku keroncongan! Aduh…, aku capek sekali…” Xiao Yanzi menjatuhkan diri.
Ziwei yang masih berlutut tegak segera menarik Xiao Yanzi. “Berlututlah yang benar. Kita sedang diawasi!”
Xiao Yanzi menatap sekeliling dengan seksama. Mau tak mau dia harus berusaha keras supaya dapat berlutut dengan benar.
Ziwei berbisik pada Xiao Yanzi, “Dengar aku baik-baik! Besok pagi Lao Foye pasti menginterogasi kita. Kau harus menghapal sebuah puisi cinta! Karena tadi Kakak Kelima telah mengaku kalau surat itu berisi puisi cinta.”
“Apa? Menghapal puisi? Kau tahu aku paling payah menghapal puisi!” Xiao Yanzi panik.
“Pokoknya kau harus menghapalnya!” paksa Ziwei. “Aku akan mengajarimu!” Ziwei berpikir sejenak. Lalu menemukai sebuah puisi yang kira-kira mudah diingat Xiao Yanzi.
“’Kau adalah aku. Aku adalah kau. Begitu kaya akan perasaaan cinta. Cinta menyebar ke segala penjuru. Membara laksana api…'”
Mendengar Ziwei membacakan puisi itu, Xiao Yanzi serta-merta protes. “Kau menyuruhku menghapal puisi sepanjang ini? Air apa – api apa? Kenapa begitu bertele-tele? Aku tak mau menghapalnya!”
“Kalau begitu, hapalkan puisi lain saja!” Ziwei sangat cemas. “’Tidak perlu menulis syair cinta. Tidak usah menulis kisah cinta. Hanya mengirim kerinduan lewat saputangan. Mohon lihatlah dengan seksama. Semuanya terbuat dari sutra.'”
“Dalam metafora puisi klasik China, kata sutra ‘se’ melambangkan kerinduan. Ini mengisahkan seorang wanita yang mengirim saputangan kepada kekasihnya. Begitu kekasihnya melihat saputangan itu, dia langsung mengerti kalau si wanita merindukannya karena seluruh saputangan terbuat dari sutra.”
“Dia paham tapi aku tidak!” protes Xiao Yanzi lagi. “Yang kutahu, kita berdua malang-melintang, semua akan mati juga! Puisi seperti ini juga, mana mungkin bisa kuhapal?”
Tiba-tiba, jendela kecil di Kamar Gelap terbuka. Dan suara Bibi Gui menggelegar ke seluruh ruangan,
“Jangan bersuara! Berlutut yang benar!”
Dan jendela kecil itu ditutup kembali.
***
Sementara itu, Erkang dan Yongqi amat gelisah memikirkan nasib gadis-gadis mereka.
Yongqi tidak mungkin menemui Qianlong untuk minta bantuan. Hari sudah sedemikian larut, Kaisar pasti sudah tidur. Belum lagi siang tadi Qianlong sudah sangat marah karena masalah Selir Xiang. Bisa-bisa, Qianlong bukannya menolong tapi malah lebih memperkeruh suasana.
Atas saran Yongqi, Erkang diminta untuk menemui Qing’er. Bagaimanapun, Qing’er adalah Putri kesayangan Ibu Suri. Dia pasti tahu banyak tentang kondisi Ziwei dan Xiao Yanzi. Tambahan, jika Qing’er yang membujuk, kemungkinan Ibu Suri akan luluh dan memaafkan Ziwei serta Xiao Yanzi.
Erkang menyampaikan pesan lewat seorang dayang agar Qing’er menemuinya di gerbang samping Istana Zhuning. Dan Qing’er benar-benar muncul. Erkang melihatnya dan membungkuk dalam-dalam.
“Qing’er, aku ingin minta tolong padamu!”
“Kau mau minta tolong apa? Mengapa sampai menghormat segala?”
“Aku… aku ingin kau menolong Ziwei dan Xiao Yanzi jika keduanya ditanyai Lao Foye besok.”
Qing’er tercengang. “Astaga! jadi kau datang kemari untuk menemuiku demi kedua Putri itu, ya?”
“Benar!” jawab Erkang. “Semalam keduanya dibawa Lao Foye kemari. Aku dan Pangeran Kelima sungguh tidak tenang.”
“Mengapa aku mesti membela mereka? Mengapa masalah ini aku harus ikut campur? Ini sama sekali tak ada hubungannya denganku, kan?”
“Qing’er, kau begitu baik. Suka menolong orang lain. Kau seperti aku, tak suka melihat pihak lemah disiksa. Seorang bijak sepertimu pasti tak tega melihat keduanya yang tak bersalah mendapat hukuman.”
Sebelah alis Qing’er terangkat. “Benarkah aku punya sifat sebaik itu? Kau tak pernah mengatakannya dulu.”
Lalu mendadak, Qing’er berubah jadi sangat serius.
“Erkang, apa kau benar-benar menyukai Ziwei?”
“Ya!”
“Sejauh mana?”
Erkang berpikir sejenak lalu berkata, “Ziwei membuat kehidupanku kaya dan berwarna. Keberadaannya membuat hidupku lebih bermakna. Pokoknya dia kini telah menjadi sumber kebahagiaanku.”
Qing’er mendengar perkataan Erkang dengan terkesima. Dia pun berujar, “Baiklah. Aku akan membantumu. Pergilah dan katakan pada Pangeran Kelima agar memanggil Kaisar kemari begitu pagi tiba. Walau Lao Foye bersikeras, dengan kehadiran Kaisar, dia juga tak bisa bertindak jauh. Aku akan membantu sebisanya. Mudah-mudahan tak ada masalah. Ziwei dan Xiao Yanzi hanya dihukum berlutut semalam. Kurasa pagi ini kemarahan Lao Foye sudah reda dan melepaskan keduanya.”
Usai berkata demikian, Qing’er kembali ke dalam Istana Zhuning. Erkang pergi menemui Yongqi dan bersama-sama menghadap Qianlong.
Suasana hati Qianlong sudah agak membaik pagi ini. Usai mendengar penjelasan Yongqi dan Erkang, dia langsung menuju Istana Zhuning.
Melihat kedatangan Qianlong, Yongqi dan Erkang di istananya, Ibu Suri langsung mengerti.
“Pagi-pagi begini Yang Mulia kemari, pasti karena kedua Putri itu kan?”
Qianlong mencoba memanis-maniskan wajahnya. “Huang Thaihou. Baru pagi ini aku tahu kalau kedua gadis itu melakukan kesalahan. Aku sungguh menyesal karena tak dapat mendidik mereka dengan benar. Kalau mereka hanya melakukan kesalahan sepele, kumohon ampunilah mereka.”
Ibu Suri berujar datar, “Silakan Kaisar menilai, apakah kesalahan mereka ringan atau berat. Bibi Gui! Bawa keluar kedua Putri itu!”
Bibi Gui segera melaksanakan perintah Ibu Suri. Sambil menunggu kemunculan Ziwei dan Xiao Yanzi, Ibu Suri memandang Yongqi dan Erkang. lalu dia berkata dengan nada tidak ramah,
“Yang Mulia, apakah Paviliun Shuofang itu tempat yang sangat istimewa? Meski malam sudah larut masih terdengar suara laki-laki dan perempuan di dalamnya. Hal ini bisa menimbulkan pergunjingan!”
Qianlong mendesah. “Sebagai orang tua, sebaiknya kita jangan terlalu banyak ikut campur. Yongqi sudah dijodohkan dengan Xiao Yanzi. Begitu pula Erkang dan Ziwei. Cepat atau lambat keduanya pasti menikah.”
“Huh! Mereka kan baru dijodohkan! Belum menikah, kan?”
Qianlong tahu Ibu Suri tidak menyetujui perjodohan kedua pasang sejoli itu. maka, mau tak mau dia mulai merasa cemas.
Akhirnya Ziwei dan Xiao Yanzi muncul. Setelah berlutut semalaman, mereka tampak lemas dan pucat. Xiao Yanzi terpincang-pincang. Dia nyaris terjerembap.
Ziwei dan Xiao Yanzi mengucapkan salam. Qianlong terkejut melihat kondisi keduanya spontan bertanya, “Kalian berdua kenapa? Tak perlu berlutut. Ambilkan kursi bagi mereka!”
Para dayang mengambil kursi bagi Ziwei dan Xiao Yanzi. Melihat kecemasan Qianlong, Ibu Suri justru berkata acuh tak acuh,
“Kedua Putri ternyata memiliki tubuh yang sangat lemah! Aku hanya menyuruh mereka berlutut di depan patung Dewi Guanyin, kok!”
Xiao Yanzi langsung berseru dengan kesal, “Huang Ama! Aku dan Ziwei memang sedang sial! Sekarang lutut dan kaki kami sakit. Di kamar seram itu juga ada angin dingin yang terus-menerus bertiup. Membuat bulu kudukku berdiri!”
“Tak perlu mengoceh panjang lebar!” tukas Ibu Suri. “Xiao Yanzi, kemarin malam kau sudah menelan surat dari Ertai. Maka sekarang kau harus memuntahkannya kembali!”
Xiao Yanzi terperanjat. “Apa? Memuntahkannya kembali? Tapi yang kumuntahkan nanti pasti tidak enak dilihat!”
Qianlong terbelalak. “Apa? Xiao Yanzi, kau memakan surat?”
“Ya!” jawab Ibu Suri. “Ketika aku mau melihat surat itu, ternyata Xiao Yanzi membakarnya lalu dimakannya!”
Yongqi segera menyela, “Huang Ama! Sebenarnya, akul yang salah! Itu bukan surat dari Ertai. Melainkan berisi puisi cinta yang kutulis pada Xiao Yanzi…”
“Kalau begitu, Xiao Yanzi! Bacakan puisi itu agar kami semua mendengarnya!” suara Ibu Suri meninggi.
Sial! Sial! Sial! Umpat Xiao Yanzi dalam hati. Kalau tahu begitu, semalam dia akan belajar mati-matian dari Ziwei. Sekarang otaknya kosong. Dia pun bersiasat, “Aku tak mau membacanya! Aku membakar dan menelan surat itu justru karena tak ingin diketahui orang lain!”
“Kupikir isinya bukan puisi,” Ibu Suri berkata dingin. “Isinya pasti persekongkolan yang sedang kalian rncanakan bersama Ertai di Tibet, kan?”
“Bukan! Bukan itu! isinya memang benar-benar puisi!”
Qianlong ingin lekas-lekas menyelesaikan perselisihan itu. “Kalau begitu, lekaslah kau bacakan puisi itu. Tak usah malu-malu!”
Xiao Yanzi tak mungkin lolos lagi. Dia pun membacakan puisi itu. Qing’er yang berdiri di samping Ibu Suri menyaksikan dengan penuh minat.
“’Kau dan aku bagaikan air dan api. Sama-sama terbakar dalam api yang membara… Malang melintang pun mati… laksana… laksana…’”
Mata Qianlong terbelalak besar sekali. Belum pernah dia mendengar puisi cinta ‘air dan api’ seperti ini. Dalam hati dia geli.
Sementara itu, Ziwei hanya bisa terbengong-bengong. Yongqi memejamkan mata dan Erkang menepuk jidatnya.
Ibu Suri bingung. Sedang Qing’er membekap mulutnya menahan cekikikan.
“Sebenarnya, puisi apa tadi?” Ibu Suri bertanya dengan kebingungan.
Ziwei menjawab cepat-cepat, “Duli Lao Foye, Xiao Yanzi memang begitu. Tidak pernah bisa menghapal kalimat puisi dengan benar. Sebenarnya puisi itu berbunyi, ‘Kau adalah aku. Aku adalah kau. Begitu kaya akan perasaaan cinta. Cinta menyebar ke segala penjuru. Membara laksana api…’”
Qianlong menyambung, “Lalu, apa maksudnya ‘Malang melintang juga mati’?”
“Lapor Huang Ama, sebenarnya kalimat itu berbunyi, “’Hanya mengirim kerinduan lewat saputangan. Mohon lihatlah dengan seksama. Semuanya terbuat dari sutra.’”
Semua orang – kecuali Ibu Suri akhirnya mengangguk-angguk mengerti. Ibu Suri yang tidak puas menggebrak meja. Dia berseru lantang, “Lancang sekali! Sembarang menggubah puisi dengan kata-kata ngawur dan kasar merupakan pelanggaran di istana ini!”
Xiao Yanzi sangat terkejut mendengar teriakan Ibu Suri. Dia juga ketakutan. Ada dua kalimat Ibu Suri yang tidak dipahaminya. Dengan spontan dia menukas,
“Lao Foye, apa maksudnya ‘shoushou’ (secara harfiah berarti kurus) dan ‘yanqi’ (secara harfiah berarti napas penghabisan)? Jika Lao Foye terus-menerus mendesakku, aku benar-benar akan sangat shoushou kemudian yanqi!”
Ibu Suri jadi marah. “Kurang ajar! Kau sengaja mengejekku ya?”
Yongqi langsung maju dan menjelaskan, “Lao Foye, Xiao Yanzi tidak bermaksud kurang ajar. Dia memang sulit memahami peribahasa. Bila bicara dalam kalimat yang mendalam, dia akan bingung lalu salah mengartikannya. Huang Ama pun tahu dengan kebiasaaannya itu.”
Qianlong juga membantu Yongqi bicara. Tapi Ibu Suri masih sangsi. Kemudian, majulah Qing’er menghampiri Ibu Suri.
“Lao Foye, aku akan membuat puisi buat Anda. Anda mau mendengarnya, kan?”
Ibu Suri terpana mendengar suara Qing’er yang manis dan merdu. “Puisi apa? Coba kau bacakan!”
Qing’er lalu mendeklamasikan puisinya,
“’Kemarin malam sebuah puisi telah menimbulkan bencana. Menggubah puisi dengan kata-kata ngawur membuat Ibu Suri marah. Jika Putri kurus kering, Kaisar pun cemas. Malang melintang akhirnya mati. Lebih baik tertawa – agar tak menghembuskan napas penghabisan!'”
Begitu Qing’er usai membacakan puisinya, Ibu Suri pun tertawa. Melihat urat-urat di wajah Ibu Suri mengendur, Qianlong pun ikut tertawa.
“Qing’er benar-benar cerdas!” puji Qianlong.
“Terima kasih atas kemurahan hati Kaisar!” Qing’er menekuk lututnya. Dia lalu memalingkan wajah ke arah Ziwei dan Erkang.
Ziwei membalas tatapan Qing’er dengan perasaan bergeming. Qing’er begitu pintar dan cantik. Dengan lelucon bisa meluluhkan ketegangan yang laksana gelombang. Bakat yang luar biasa! Ziwei terus menatap Qing’er. Samar-samar merasa iri. Dia teringat kata-kata Erkang tentang niat Kaisar yang dulu hendak menjodohkan keduanya. Ziwei bergidik. Dengan canggung dia berkata,
“Ziwei dan Xiao Yanzi berterima kasih pada Putri Qing!”
Qing’er hanya tersenyum.
Ibu Suri akhirnya melepaskan kedua Putri dan mereka pun bisa kembali ke Paviliun Shuofang.
***
Beberapa malam berikutnya, Ziwei dan Xiao Yanzi mengunjungi Graha Baoyue lagi.
Kali ini, keduanya dengan penuh sukacita membawa surat Meng Dan. Begitu melihat Qianlong tidak ada di Graha Baoyue, kedua gadis itu menutup pintu dan jendela lalu menyerahkan surat itu kepada Hanxiang.
“Ah! Surat dari dia! Surat dari dia!” pekik Hanxiang. Dia menerima surat itu lalu ditempelkannya ke dada.
Hanxiang lalu membaca surat itu dengan seksama. Dia merasa terharu sehingga air matanya menetes.
“Dalam surat ini Meng Dan mengatakan kalau cinta kami telah menggetarkan Langit dan Bumi. Sehingga Allah mengirimkan orang-orang seperti kalian sebagai penolong kami. Dia selamanya adalah angin yang selalu berada dekatku. Dia ingin aku menunggu saat yang tepat untuk bertemu lagi. Dia ingin agar aku menjaga diri baik-baik dan mendengar nasihat kalian berdua. Meng Dan, oh… Meng Dan…”
Xiao Yanzi mendengarnya sampai terhenyak. “Wah, indahnya… ‘dia adalah angin yang selalu berada di dekatmu…’ Apakah kau merasakannya? Benar ada atau tidak?”
Hanxiang mengangguk. “Aku dapat merasakannya! Dia seolah ada di sini bersama kita! Aku bahagia sekali! Dia selalu bersamaku!”
Lalu Hanxiang mengacungkan surat itu dan mulai menari-nari. Melihat Hanxiang menari, Wina dan Qina pun mengeluarkan tambur dan rebana. Keduanya memainkan musik mengiringi Hanxiang menari.
Hanxiang terus menari. Pakaian putihnya jadi ikut melambai-lambai. Ziwei dan Xiao Yanzi jadi ikut-ikutan ketularan. Ziwei berkata, “Aku ingin sekali menari bersamanya…”
“Aku juga! Aku ingin menari!” seru Xiao Yanzi.
Hanxiang menarik keduanya sambil memberi semangat. “Ayo kita menari bersama! Di Xinjiang, setiap kali merasa gembira, kami mengekspresikan diri dengan menari!”
Ketiga gadis itu pun menari dengan gembira. Tarian Hanxiang sangat elok. Tarian Ziwei teratur. Sedang Xiao Yanzi?
Dia menari dengan berputar-putar berlebihan. Sesaat kemudian, dia telah melepaskan sepatu bersolnya lalu memukul-mukulnya seperti alat musik perkusi. Tarian Xiao Yanzi semakin lama semakin tak terarah. Ziwei dan Hanxiang yang melihatnya langsung tertawa. Ketiganya menari dan tertawa sekaligus. Saling bertabrakan sehingga suara tawa membahana tanpa henti di Graha Baoyue.
Pada saat itulah Qianlong diam-diam memasuki Graha Baoyue. Mendengar suara rebana dan tetabuhan, Kaisar merasa suatu keanehan. Dia masuk ke aula - merasa terkejut sekaligus heran.
Ketiga gadis itu sama sekali tidak tahu kalau Qianlong sudah berada di dekat mereka. Kaisar membuka pintu dan berdiri tegap.
Xiao Yanzi yang mula-mula melihat kemunculan Qianlong. Dia langsung memekik keras, “Huang Ama!”
Ziwei dan Hanxiang langsung menolehkan kepala bersamaan. Keduanya terkejut. Tangan Hanxiang yang memegang surat Meng Dan mengendur. Surat itu pun perlahan-lahan melayang jatuh, mendarat tepat di bawah kaki Qianlong.
Serta-merta, wajah ketiganya pun berubah pucat!
Bersambung
0 comments:
Post a Comment