Do you like this story?
Judul Asli : Huan Zhu Ge Ge II-3: Pei Xi Chong Chong
Pengarang : Chiung Yao (Qiong Yao)
Penerbit : Crown Publishing Co., Taipei – Thaiwan.
Judul Bahasa Indonesia: Putri Huan Zhu II-3: Di Ujung Nestapa
Alih bahasa : Pangesti A. Bernardus (koordinator), Yasmin Kania Dewi, Tutut Bintoro
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Maret 2000 (Cetakan Pertama)
Cerita Sebelumnya:
Xiao Yanzi yang marah melarikan diri keluar istana dan terperangkap di rumah judi gelap. Dia disiksa serta dibuat kelaparan. Untung nasib baik masih menghampirinya. Xiao Yanzi berhasil meloloskan diri. Bahkan sempat membalas dendam kepada para penyiksanya dengan bantuan Yongqi dan kawan-kawan. Apa semua masalah sudah selesai sampai di sini? Tidak. Justru Xiao Yanzi dan kawan-kawan akan menghadapi problematika yang lebih rumit lagi….
VII
Mendengar kepulangan Xiao Yanzi, Qianlong sengaja mendatangi Paviliun Shuofang bersama Selir Ling.
“Ternyata di dunia ini ada pasangan manusia yang begitu jahat! Sudah mencuri barangmu! Mengurungmu! Melukaimu serta membuatmu kelaparan! Xiao Yanzi, kau tenang saja! Aku pasti akan membantumu balas dendam!”
Melihat kedatangan Qianlong, Xiao Yanzi was-was. Dia sudah siap menerima hardikan. Tapi perkataan Qianlong barusan sungguh tak disangka olehnya.
“Kukira… setelah membuat masalah sebesar ini, Huang Ama akan marah besar! Begitu muncul langsung memarahi dan menghukumku! Tapi bukannya marah, Huang Ama malah hendak membantuku balas dendam. Aku sungguh tak percaya…”
“Hei! Jangan kira aku tak marah, ya! Kau pergi meninggalkan istana tanpa ijin – tentu saja aku marah! Tapi ternyata aku juga mengkhawatirkanmu! Dan rasa khawatirku lebih besar daripada kemarahanku!”
Qianlong menatap Xiao Yanzi dengan seksama. Lalu katanya lemah lembut, “Lihatlah tubuhmu penuh luka karena ulah kedua bajingan itu! Kali ini kau pasti mendapat banyak pelajaran. Cobalah pahami, walau kadang-kadang orang di sekitarmu membuatmu sebal, didikan kami semua bertujuan baik. Tapi orang-orang yang kau temui di luar sana sama sekali berbeda!”
Xiao Yanzi menundukkan kepala sambil berkata pasrah, “Aku tahu. Aku mengerti.”
“Kalau kau sudah mengerti ya, sudah!” tukas Selir Ling. “Kepergianmu sampai menggegerkan seisi istana. Segenap pasukan dikerahkan untuk mencarimu!”
“Lain kali aku tak berani lagi melakukannya…”
Selanjutnya Xiao Yanzi dibawa ke Istana Zhuning untuk ‘mengaku dosa’ di hadapan Lao Foye. Dia datang ditemani Qianlong, Yongqi, Erkang dan Ziwei.
“Kulihat kau ditemani banyak orang, mereka pasti bala bantuanmu, kan?” sindir Ibu Suri.
Qianlong yang menjawab Ibu Suri, “Kali ini Xiao Yanzi kabur dari istana tapi juga mengalami banyak penderitaan. Ada dua penjahat yang menyekap dan menyiksanya. Itu sebabnya dia tidak bisa langsung segera pulang. Padahal sebetulnya begitu kabur dia telah menyadari kesalahannya… Betul, kan, Xiao Yanzi?”
Xiao Yanzi menangkap isyarat mata Qianlong. Dia menyahut grogi, “Ya… ya…”
“Benarkah dia insyaf?” Ibu Suri tak percaya. “Kenapa sewaktu keluar istana kau menghajar penjaga gerbang?”
“Apa? Para pengawal itu patah tangan?” Xiao Yanzi kembali salah mendengar ungkapan Ibu Suri. “Masa sih? Aku kan memukul mereka dengan jurus yang ringan saja!”
Ibu Suri tampak kaget. “Kau sedang melantur apa? Siapa bilang pengawal-pengawal itu patah tangan?”
“Lho, tadi Anda sendiri yang bilang!”
Ibu Suri melotot, “Kelihatannya aku dan kau selamanya tak bisa berkomunikasi dengan baik, ya?” Dia lalu menatap Qianlong dengan penuh ketegasan. “Yang Mulia, kau dan aku punya kesepakatan. Bagaimana dengan pelanggaran Putri Huanzhu kali ini?”
Qianlong tersentak mendengarnya. Tiba-tiba Yongqi berlutut dan berkata, “Lao Foye, ijinkan Yongqi menyampaikan sesuatu!”
“Silakan!”
Yongqi mengangkat wajahnya dan berkata tegas. “Selama kepergian Xiao Yanzi kali ini, hamba sudah mempertimbangkan masak-masak. Xiao Yanzi pada dasarnya bukan seorang Putri. Jadi dia tak akan mampu memenuhi persyaratan seorang Putri! Tapi bagi hamba, Xiao Yanzi adalah gadis tak bercela! Hamba mantap menyuntingnya sebagai istri.”
“Jika Lao Foye tetap memaksakan tuntutan untuk merubah Xiao Yanzi, hamba minta agar gelar Putrinya dicabut saja. Biarkan dia menjadi rakyat biasa – agar dia tak lagi merasa tertekan. Lalu hamba juga akan mengikutinya sebagai rakyat biasa – tak mau jadi Pangeran lagi!”
Qianlong sangat terkejut. Lebih-lebih Ibusuri – dia amat terguncang.
Erkang dan Ziwei tersentuh dengan perkataan Yongqi. Erkang tak menyangka kalau Yongqi telah mendahuluinya mengatakan isi hatinya yang sebenarnya. Erkang menarik Ziwei untuk ikut berlutut di samping Yongqi dan Xiao Yanzi.
Erkang berkata – tak kalah bersemangatnya dari Yongqi. “Duli Lao Foye, hamba dan Pangeran Kelima punya pemikiran yang sama. Kami sadar, di lingkungan istana kami telah melanggar banyak pantangan. Perasaan cinta kami terlarang untuk diekspresikan.”
“Tapi di kehidupan ini, banyak hal terlarang justru terjadi. Kami saling mencintai. Sehingga bagi kami, pasangan kami adalah yang paling sempurna. Jika bagi Lao Foye kami kelihatan tidak serasi, kami mohon agar perasaan kami sudi dipertimbangkan. Tapi jika kami tak diberi kelonggaran, lebih baik bebaskanlah kami pergi meninggalkan istana untuk mewujudkan impian kami sendiri!”
Ibu Suri terhenyak mendengar penuturan Erkang. Dia dan Qianlong tak tahu harus mengatakan apa.
Qing’er tak dapat menahan perasaan harunya. Dia menghampiri Lao Foye dan berkata,
“Lao Foye, meski negari China memiliki banyak adat-istiadat serta tata krama yang ketat, tapi para pujangga juga banyak menghasilkan puisi tentang cinta, kan? Contohnya: ‘Burung yang diciptakan berpasangan di surga, tereinkernasi sebagai pasangan yang saling setia di dunia’! Atau, ‘Dua perasaan yang terpupuk sejak lama – selalu akan terbit-tenggelam bersama dengan serasi’! Betapa indahnya! Semua sajak indah itu, tak mampu mengalahkan keempat muda-mudi ini. Lao Foye apa tidak menyadari kalau kisah cinta mereka begitu berharga?
”Benarkah?” Ibu Suri menatap Qing’er bimbang.
“Tentu saja!” Qing’er mengangguk antusias. “Lao Foye, di istana ini memang apapun tersedia. Tapi hamba rasa, istana ini kekurangan unsur kasih sayang dan kemanusiaan. Untunglah semenjak kita kembali hamba telah menemukan kedua unsur itu. Dan unsur itu berasal dari mereka berempat…”
Ziwei terpana mendengar penuturan Qing’er. Segala prasangka buruknya selama ini lenyap seketika. Sekarang Ziwei jadi amat mengagumi Qing’er!
Qing’er berkata lagi dengan suara jernih, “Lao Foye, seorang pemimpin harus membantu orang lain dalam mewujudkan impiannya. Jika Anda tak memberi mereka kelonggaran, bahkan Qing’er pun akan ikut merasa patah hati…”
Ibu Suri menatap Qing’er dengan terpana. Melihat pendirian Ibu Suri mulai goyah, Qianlong memanfaatkan kesempatan ini untuk menyudahi semuanya.
“Ha! Ha! Ha! Huang Thaihou, kita mengaku kalah sajalah pada anak-anak ini! Kita ini sekarang sudah menjadi kuno dan antik – sebaiknya kesampingkan dulu segala peraturan untuk sementara, agar tak dicap membosankan!”
Ibu Suri terdiam. Ditatapnya mereka semua tanpa berkata apapun.
Erkang, Yongqi, Ziwei dan Xiao Yanzi pun bersujud dan serempak menghaturkan terima kasih.
***
Malamnya ada pesta di Paviliun Shuofang.
Semua penghuninya bersuka cita. Erkang, Yongqi dan Hanxiang juga hadir. Mereka merayakan ‘kebebasan’ Xiao Yanzi.
Saat semuanya tengah asyik makan dan minum, Paviliun Shuofang kedatangan tamu istimewa: Qing’er!
Xiao Yanzi dan Ziwei merasa amat berutang budi pada kata-kata Qing’er di Istana Zhuning tadi. Xiao Yanzi berseru girang, “Qing’er! Ayo bergabung! Kau adalah dewi penolong kami!”
Qing’er tertawa sambil menolak halus, “Aku sungguh iri – di sini kalian makan-minum dengan meriah. Aku ingin sekali bergabung, tapi tak bisa. Aku kemari hanya untuk menyampaikan kalau Lao Foye telah menarik batas waktu tiga bulan. Jadi kalian tak perlu khawatir lagi. Nikmatilah pesta kalian dengan gembira!”
Mata Yongqi bersinar-sinar. Ia menghormat dalam-dalam. “Qing’er, kebaikanmu rasanya tak cukup hanya dengan kata ‘terima kasih’!”
Erkang juga menyoja Qing’er. Perasaannya campur aduk. “Aku tak tahu harus berkata apa…”
Qing’er menatap keduanya dengan tulus. “Tak perlu bilang apapun. Jaga saja kedua gadis kalian. Hidup kalian begitu berwarna. Dibanging hidupku yang membosankan… Aku sungguh iri pada kalian!”
Ziwei menuang arak ke cawan dan mengangsurkannya pada Qing’er.
“Qing’er, sejujurnya kukatakan padamu, anggapanku tentang dirimu amatlah rumit. Aku berharap ada kesempatan bisa ngobrol dari hati ke hati denganmu. Akulah yang sepantasnya iri padamu. Pada bakat dan keanggunan yang kau miliki… Pada kehalusan budi pekertimu…”
Qing’er balas menatap Ziwei. Keduanya saling menilai dan membandingkan diri masing-masing. Menyaksikannya, Erkang jadi merasa aneh.
Ziwei lalu meneruskan perkataannya, “Aku bersulang secawan arak untukmu. Untuk berbagai kekaguman yang tak dapat terungkapkan lewat kata-kata!”
Ziwei menyodorkan cawan arak ke depan Qing’er. Qing’er mengambilnya dan meneguk isinya hingga tandas. Dia lalu menarik Ziwei ke sebuah sudut untuk menjauh dari yang lain.
“Ada yang hendak kusampaikan padamu,” katanya. Dia lalu berbisik di telinga Ziwei, “Aku sama sekali tidak pernah berkeinginan untuk merebut Erkang. Aku punya harga diri. Tak mungkin aku menyelinap di tengah-tengah kalian. Tolong kau pahami itu, ya?”
Mendengar perkataan itu, beban Ziwei selama ini jadi sirna. Dia betul-betul lega. Wajahnya merona dengan senyum lebar.
Yang lainnya bingung melihat Qing’er bisik-bisik. Apalagi Erkang. Dia merasa gelisah.
Qing’er lalu melangkah ke meja dan menuang secawan arak lagi. “Aku akan bersulang buat kalian semua!” serunya sambil mengangkat cawannya tinggi-tinggi. “Kanpei!”
“Kanpei!” yang lainnya berseru menanggapi dan meneguk isi cawan masing-masing.
Kunjungan Qing’er benar-benar menggembirakan. Hanya Hanxiang yang merasa sedih.
Dia memandangi orang-orang yang bergembira – terutama kepada dua pasang sejoli Paviliun Shuofang. Hanxiang memikirkan Meng Dan. Kesedihannya pun berbuah jadi kerinduan.
***
Hanxiang minum hingga mabuk di Paviliun Shuofang. Dia terpaksa harus dipapah Weina dan Qina kembali ke Graha Baoyue karena langkahnya sempoyongan.
Ternyata Qianlong telah menunggunya di Graha Baoyue. Melihat Hanxiang, Kaisar bertanya lembut, “Kau habis minum ya? Kau mabuk…” Kemudian Qianlong berujar memaklumi, “Kau dari Paviliun Shuofang, kan? Anak-anak itu pasti lupa diri lagi. Mungkin kita pun harus lupa diri sejenak…”
Qianlong meraih Hanxiang. Hanxiang mencoba berkelit, tapi karena kakinya lemas, dia malah nyaris jatuh. Qianlong langsung menangkap dan memeluknya. Kedua pelayan Hui disuruhnya keluar.
Hanxiang bersandar di pelukan Qianlong. Wajahnya merona. Qianlong jadi bergairah.
“Selir Xiang, akhir-akhir ini aku tertular anak-anak itu. Di hatiku timbul suatu gelora yang hanya bisa tersalurkan pada seorang wanita. Dan wanita itu adalah kau! Entah kenapa aku bisa begitu terpesona dan selalu memikirkanmu. Sudah lama aku tidak pernah tergila-gila pada wanita manapun. Kaulah yang membangkitkan perasaan asmara yang selama ini terkubur itu.”
Hanxiang berontak dan mencoba bangkit. “Yang Mulia! Jangan! Aku sungguh tidak patut menerimanya!”
“Patut! Kau sangat patut!” Qianlong bersikukuh. “Kecantikan, kebeliaan, sikapmu yang dingin dan acuh tak acuh serta keharumanmu… telah berpadu dan menjadi daya tarik yang amat dahsyat. Aku harus mengakui, kau telah menaklukkanku! Seandainya saja aku bisa berubah sedikit muda untuk mengimbangimu…”
Perasaan Hanxiang sangat perih. Dia beringsut ketakutan.
“Jangan mempertahankan diri lagi di hadapanku! Lepaskanlah keteganganmu dan terimalah aku…,” bujuk Qianlong seraya menarik Hanxiang dan berusaha menciumnya. Hanxiang tersentak dan berusaha keras meloloskan diri.
“Lepaskan aku! Baginda telah berjanji tak akan memaksaku!”
Qianlong tak menjawab, dia malah semakin mempererat pelukannya.
Hanxiang ketakutan setengah mati. Dia tak sempat memedulikan hal lain.
Hanxiang tejatuh di kasur sewaktu menghindari pelukan Qianlong. Secepat kilat dia mengulurkan tangan meraba tepian kasur dan menemukan sebilah belati. Diambilnya belati itu lalu dihunjamkannya ke arah Qianlong!
Qianlong terkejut dan menepis belati itu dengan sekuat tenaga. Terdengar bunyi pakaian sobek. Rupanya, belati itu menembus lengan baju Qianlong dan melukai pergelangan tangannnya.
Qianlong kaget bukan kepalang. Dia melompat bangkit dan menatap Hanxiang tak percaya.
“Kau menyembunyikan senjata di ranjangmu! Kau ingin membunuhku, ya?!”
Hanxiang gemetaran. “Aku…, aku tak punya pilihan lain…” – tanpa pikir panjang, diarahkannya belati itu ke dadanya sendiri.
Qianlong menerjang maju. Menyebabkan belati di tangan Hanxiang terlempar. Darah dari luka Qianlong mulai menetes. Qianlong menekan lukanya dan berkata dengan tak percaya, “Kau menyiapkan belati… kalau bukan untuk membunuhku, tentu untuk persiapan bunuh diri! Sudah sekian lama kau tinggal di sini, tapi perasaanmu tak berubah juga!”
Mendengar suara belati terpelanting, para pengawal segera menerobos masuk Graha Baoyue. Qianlong segera menyembunyikan tangannya yang luka di belakan punggung dan menyuruh semua pengawal itu pergi.
Lalu Qianlong berkata pada Hanxiang, “Tutup pintunya rapat-rapat!”
Hanxiang yang masih ketakutan segera mematuhinya. Qianlong lalu menggulung lengan bajunya untuk memeriksa lukanya.
“Kau masih belum mengobatku? Lekas ikat pergelangan tanganku dengan kain sutra untuk menghentikan pendarahannya!”
Hanxiang seperti baru sadar dari mimpi. Dia segera bertindak. Mula-mula dia membebat pergelangan tangan Qianlong lalu mengambil obat dan membubuhkannya ke atas luka.
Pergelangan tangan Qianlong pun selesai diperban. Wajah Hanxiang pucat sekali. Dia hanya bisa berkata, “Maafkan aku, Yang Mulia!”
Qianlong menatapnya lekat-lekat. “Katakan sejujurnya! Apa kau benar-benar menginginkan kematianku?”
Hanxiang menggeleng. “Tidak! Aku tak menginginkannya! Sungguh tak menginginkannya!”
Qianlong mengulurkan tangan dan mendekap Hanxiang. “Baiklah kalau begitu…,” katanya lembut. “Lain kali kau tak boleh menyimpan senjata apapun lagi di sini! Kalau sampai peristiwa ini tersebar, bahkan aku sendiri tak dapat melindungimu! Berjanjilah padaku untuk tak menceritakan peristiwa ini pada siapapun! Bahkan kepada Ziwei dan Xiao Yanzi!”
Hanxiang mengangguk kuat-kuat.
“Kalau sampai Ibu Suri atau para pejabat Qing mengetahui hal ini, kau harus menerima hukuman mati karena dianggap mencoba membunuh Kaisar! Meski kau tak takut mati, tapi seluruh keluarga dan sukumu bisa ikut terseret dalam masalah ini! Kau paham seberapa gawatnya, kan?”
“Tapi…, tangan Anda yang terluka ini, bagaimana bisa disembunyikan?”
“Itu urusanku! Jangan khawatir, luka kecil ini dua hari lagi pasti sembuh. Hanya saja sedikit merepotkanmu – karena kau yang harus mengganti perbannya nanti.”
Selesai berkata demikian, Qianlong keluar seolah tak terjadi apa-apa.
Tinggallah Hanxiang yang masih merasa terguncang dan gemetaran.
***
Xiao Yanzi tengah senang-senangnya seperti tikus. Kedua orang penyiksanya telah dihukum kerja paksa di perbatasan yang sangat jauh. Kepercayaannya terhadap Ayahanda Kaisar semakin dalam. Tinggal masalah Hanxiang-Meng Dan saja yang selalu mengusiknya.
Hari itu, Xiao Yanzi dan kawan-kawan mengunjungi Graha Huipin. Graha Huipin sedang ramai pengunjung. Mereka duduk berkelompok di satu sudut.
Meng Dan seperti biasa pasti bertanya soal Hanxiang. Mengetahui kalau beberapa hari belakangan wajah Hanxiang tampak murung, Meng Dan mendesak mereka untuk diperbolehkan masuk istana.
“Jangan! Kalau kita sering masuk istana, nanti kita akan sulit keluar!” timpal Liu Qing. “Sekarang yang harus kita pikirkan adalah mengeluarkan orang dari istana – bukan memasukkan orang!”
“Benar kata Liu Qing! Waktunya mepet begini… Lagi pula masalah utama Selir Xiang belum terpecahkan. Bagaimana menghilangkan aroma di tubuhnya?” sahut Erkang.
“Aku akan memetik bunga-bunga dan mandi kembang lagi!” seru Xiao Yanzi.
“Ya ampun, kau belum kapok juga?” seru Jinshuo. “Kau masih berani mencoba? Bagaimana kalau yang datang nanti ulat bulu?”
Semuanya tertawa. Tepat pada saat itu mesuklah sesosok pemuda bertubuh jangkung. Matanya lebar dan alisnya tebal. Dia menggenggam pedang dan seruling bambu. Sebuah buntalan tersampir di bahunya. Pakaiannya sederhana. Tapi gerak-geriknya sangat mengesankan sehingga mereka semua melihat ke arahnya.
Pemuda itu duduk di meja dekat jendela. Tak jauh dari meja Xiao Yanzi dan kawan-kawan. Liu Hong menghampirinya.
“Anda ingin pesan apa?”
“Bawakan aku dua macam hidangan apa saja. Juga sepoci arak.”
“Anda ingin makan dan menginap sekalian?”
“Ya. Aku perlu sebuah kamar. Tolong pilihkan yang nyaman dan tenang.”
“Baiklah!” Liu Hong pun pergi menyiapkan hidangan.
Xiao Yanzi terus-menerus melirik ke pemuda itu. Terutama pada pedangnya.
“Sarung pedang itu terukir motif aneh. Sepertinya itu pedang kuno!”
“Itu adalah tanda sebuah marga,” ujar Yongqi. “Kelihatannya dia dari keluarga terpandang. Aku jadi penasaran…”
“Aku juga…,” sahut Erkang dan Liu Qing.
“Dia membawa pedang – pasti seorang pendekar!” kata Xiao Yanzi yang sudah gemas ini melakukan sesuatu.
Tamu itu menduga dirinya pasti sedang diperbincangkan di meja sebelah. Tapi dia tampak cuek. Hidangan dan arak telah tersaji di mejanya. Dalam sekejap, tamu asing itu telah menyikat habis santapannya.
Setelah kenyang, agak mabuk si orang asing itu mengetuk-ngetuk poci dengan sumpit. Dia mendeklamasikan puisi,
“Membaca, melukis, memetik kecapi, bermain catur, merangkai bunga – semua dilakukannya tahun lalu. Tapi sekarang ada lima hal berubah: menjadi Xiao Jian (seruling bambu dan pedang), berkelana, menulis puisi, menikmati arak serta teh!”
Ziwei sedikit terkejut dan saling berpandangna dengan Erkang. “Pintar sekali kata-katanya! Bagus sekali puisinya!”
“Dia membawa seruling bambu dan pedang. Pasti tidak sedang menempuh perjalanan biasa. Dia seorang yang nyentrik!”
“Aku tidak tertarik pada puisinya! Aku lebih tertarik pada pedangnya!” tukas Xiao Yanzi.
Mereka terus memperhatikan orang asing itu sambil berbisik-bisik tentangnya. Pemuda itu kembali meneguk araknya dan mendeklamasikan puisi lain.
“Membawa seruling bambu dan pedang, berjalan menyusuri sungai dan danau. Segala duka masa lalu, hilang dalam sepoci arak. Kakinya terus melangkah hingga berselimut debu. Rumahnya di bumi dan atapnya adalah langit.”
“Puisi yang indah. Aku ingin berkenalan dengannya!” kata Erkang tak bisa menahan diri lagi.
“Aku juga!” Xiao Yanzi melompat dari kursinya.
“Aku ikut!” Yongqi tak mau ketinggalan.
Akhirnya mereka semua menghampiri orang itu. Erkang yang pertama memberi hormat, “Aku Fu Erkang. Mendengar puisi Anda, aku jadi tertarik ingin berkenalan. Sudilah kiranya memberitahu nama Anda!”
Pemuda itu balas menyoja. Tingkah lakunya amat mengesankan.
“Aku Xiao Jian! Marga Xiao-ku berarti seruling bambu. Sedang Jian berarti pedang,” katanya seraya menepuk-nepuk seruling dan pedang yang dibawanya.
Erkang terkesima. “Xiao Jian? Apakah ini nama samaran? Dari manakah Anda berasal?”
Xiao Jian tertawa. “Kalau nama palsu lantas kenapa? Palsu atau asli – yang penting kan ada nama! Xiao Jian telah lama berkelana. Tidak jelas darimana asalnya. Di mana kampung halamannya, dia sudah lupa sejak lama.”
Xiao Yanzi tak sabaran lagi. Dia meraih pedang Xiao Jian sambil berkata, “Pinjam pedangmu sebentar, ya. Aku mau lihat!”
Xiao Jian serta merta menghardik, “Jangan sentuh pedangku!”
Xiao Yanzi secepat kilat melarikan pedang itu ke halaman. “Xiao Jian! Ayo ambil kembali pedangmu kalau kau bisa!”
Xiao Jian terkejut. Dia segera melesat keluar menyusul Xiao Yanzi. Yang lainnya pun menyusul.
Xiao Yanzi ke halaman belakang Graha Huipin – tempat dia biasa berlatih kungfu bersama Meng Dan. Dikaguminya pedang Xiao Jian dengan seksama. Dia terkesima. Pedang itu benar-benar barang bagus!
Xiao Jian menghampirinya sambil berseru, “Nona, kumohon kembalikan pedang itu! itu bukan mainan. Pedang itu sangat tajam. Jangan sampai kau terluka karenanya!”
“Melihat penampilanmu, kau pasti seorang pendekar! Aku Xiao Yanzi ingin sekali melihat kungfumu!” Tiba-tiba Xiao Yanzi menggeram, “Awas seranganku! Hiyaaa!”
Xiao Yanzi menerjang Xiao Jian dengan pedangnya. Pemuda itu buru-buru mengelak sambil berteriak, “Jangan bercanda! Kalau kau sampai melukaiku, itu tidak baik!” Xiao Jian lari terbirit-birit meloloskan diri.
“Xiao Jian! Ayo balas! Jangan lari!” teriak Xiao Yanzi. Dia sangat berharap bisa beradu kungfu dengan Xiao Jian ini.
“Aku tidak bisa!” Xiao Jian menghindar sampai jatuh terjengkang. Erkang dan Liu Hong kasihan pada pemuda korban penasaran Xiao Yanzi itu. Mereka membantunya berdiri.
“Nona! Aku dan kau tak punya dendam. Kenapa kau rebut pedangku dan mengejar-ngejarku?”
“Karena kau membawa-bawa seruling bambu dan pedang! Bahkan namamu Xiao Jian segala! Kenapa kau tak mau menunjukkan sedikit kelihaian kungfumu?”
Xiao Yanzi terus saja menebaskan pedangnya ke arah Xiao Jian. Dia mengejar pemuda itu hingga mengelilingi seluruh halaman Graha Huipin. Xiao Jian melindungi mukanya sambil memekik, “Nona! Kasihanilah aku!”
“Kalau kau tak mau memperlihatkan kelihaian kungfumu, aku akan terus mengejarmu!” jerit Xiao Yanzi bersemangat.
Erkang dan yang lainnya menyaksikan adegan ini dengan bingung. Dia berkata lirih, “Bagaimana menurut kalian? Apakah dia ini pendekar yang sedang menyamar?”
Yongqi tampak curiga. “Sulit diduga apakah dia sungguh-sungguh tak tahu kungfu atau cuma berlagak. Kalau tak tahu kungfu, mana berani dia berkelana seorang diri? Tentunya sejak dulu dia sudah tewas terbunuh!”
“Kalau dia cuma pura-pura bodoh, artinya kemahirannya bersandiwara labih bagus daripada ilmu bela dirinya!” sambung Meng Dan.
Ziwei bersimpati pada Xiao Jian. Dia berkata pada Erkang, “Lekaslah tolong Xiao Jian ini! Nasibnya bisa sial kalau diuber terus oleh Xiao Yanzi!”
“Ah, itu sih hal biasa,” ujar Erkang sambil tersenyum. “Dulu kita berkenalan dengan Meng Dan pun setelah Xiao Yanzi membuat keributan, kan? Tak peduli Xiao Jian ini sungguhan atau pura-pura, aku sudah sangat tertarik padanya karena beberapa bait puisinya.”
Erkang lalu maju menahan Xiao Yanzi dan melindungi Xiao Jian.
“Xiao Yanzi, dia tak bisa bertarung, jadi sudahlah. Kalau tidak, dia akan menganggapmu gadis jahat. Kembalikan pedang itu padanya!”
Xiao Yanzi merasa kurang puas. Dia memonyongkan mulut. Erkang menyoja Xiao Jian sambil berkata minta maaf, “Tadi itu Xiao Yanzi. Dia memang begitu – suka bergurau dan main-main. Tuan Xiao….”
“Panggil aku Xiao Jian saja…,” kata pemuda itu. Tampaknya dia belum pulih dari rasa terkejutnya diuber Xiao Yanzi.
“Baiklah, Xiao Jian! Kalau kau tak keberatan, mari kita kembali ke Graha Huipin dan duduk-duduk dengan tenang. Kami akan memperkenalkan diri baik-baik padamu.”
Xiao Jian balas menghormat. “Kulihat kalian semua pandai-pandai dan sopan. Bisa mengenal kalian adalah kehormatan bagi Xiao Jian!”
***
Di Graha Huipin, mereka semua duduk mengelilingi meja. Xiao Jian tak henti-hentinya memandang Xiao Yanzi. Dia lalu bertanya,
“Nona sangat pandai! Xiao Jian amat mengagumimu! Bolehkah Xiao Jian tahu, siapa nama Nona yang terhormat?”
Wah, mendengar dia punya fans baru, Xiao Yanzi langsung besar kepala.
“Kau mengagumiku? Luar biasa! Hanya sedikit orang yang mengagumiku! Kau tadi menanyakan namaku? Margaku sudah kulupa! Sebut sajalah margaku Xiao dan namaku Yanzi!”
Xiao Jian tertawa. “Kalau begitu, margaku dan margamu hampir sama meski tulisan dan artinya berbeda. Barangkali, kita ini sebenarnya berasal dari marga yang sama…”
Tak seorangpun curiga dengan makna di balik kata-kata Xiao Jian. Sikapnya sangat simpatik sehingga Xiao Yanzi dan kawan-kawan mulai menyukainya.
“Xiao Jian, sebenarnya dari mana asalmu dan kemana tujuanmu?” tanya Erkang.
”Aku mengembara ke empat penjuru mata angin. Semua tempat adalah rumahku. Aku sudah tak tahu tempat-tempat apa saja yang sudah kusinggahi. Kemana tujuanku pun, aku tak tahu. Kalau sedang ingin pergi, ya langsung pergi begitu saja!”
“Dari penampilanmu, kau ini pendekar yang sedang menyamar ya?” tanya Yongqi penasaran.
Xiao Jian mengelak. “Ah, mana pantas aku disebut pendekar? Kalian inilah para pendekar yang sedang menyamar. Kalian semua pasti berasal dari keluarga terhormat tapi tengah menyamar jadi orang biasa…”
“Dari mana kau tahu?” Yongqi terkejut.
“Dari gaya bicara, penampilan serta tingkah laku. Semua itu menjelaskan posisi kalian – pasti orang-orang istimewa! Xiao Jian tidak punya banyak keahlian. Tapi kalau membaca gelagat orang jarang meleset. Kalian tak ingin identitas kalian diketahui kan? Begitu pula aku. Aku tak akan bertanya siapa kalian sesungguhnya – maka kalian pun jangan menanyaiku! Setuju bukan?”
Semua berpikir-pikir dan sependapat dengna Xiao Jian. Erkang tersenyum sambil berkata jujur, “Baiklah! Ada kalanya kita memang tak perlu bertanya detail tentang seseorang…”
***
Sekembalinya di Paviliun Shuofang, Xiao Jian masih jadi topik hangat yang diperbincangkan.
Xiao Yanzi penasaran sekali. Dia berkata, “Xiao Jian itu misterius sekali, ya? Bawa-bawa pedang tapi tak bisa kungfu! Mengalahkanku saja tak mampu masih berani menyebut dirinya Xiao Jian – Seruling bambu dan Pedang! Lebih baik namanya dirubah saja menjadi ‘Seruling Payah’!
“Jangan suka meremehkan orang lain,” sergah Yongqi. “Kemungkinan justru ilmu bela dirinya sangat tinggi. Cuma dia tak mau meladenimu. Dia pura-pura bodoh untuk mengelabuimu!”
“Benarkah?”
“Di dunia persilatan, banyak orang seperti itu,” ujar Erkang. “Dia tak ingin identitas aslinya ketahuan. Bisa jadi dia punya banyak rahasia. Tadi saja dia selalu mengelak dari pertanyaan-pertanyaan kita.”
“Dia ingin menyembunyikan identitas sebenarnya? Sepertinya tidak sepenuhnya benar,” Ziwei menimbang-nimbang. “Waktu dia mendeklamasikan puisi sehabis makan, sepertinya dia sengaja menarik perhatian orang. Atau barangkali, menarik perhatian dari orang-orang yang diincarnya. Puisi tadi sepertinya samar-samar bermaksud mencari seseorang…”
“Betul sekali!” Erkang menatap Ziwei. “Analisamu sangat tajam. Kurasa pun begitu. Dia memang sengaja mencari perhatian lewat puisi itu!”
“Jadi Xioa Jian ini pasti bukan orang biasa,” timpal Yongqi. “Namanya pasti cuma samaran. Orang yang menyembunyikan nama dan marga aslinya biasa karena dua hal.
Ada dendam yang hendak dia balaskan, atau karena nama aslinya sudah saking terkenalnya sehingga dia tak ingin orang lain tahu. Entah Xiao Jian ini termasuk golongan yang mana?”
Xiao Yanzi langsung berseru kegirangan, “Wah! Aku paling suka orang yang punya rahasia! Harusnya tadi kita menyainya lebih gencar. Kalau dia memang ingin balas dendam, kita bisa saja membantunya!”
Jinshuo mendengar perkataan Xiao Yanzi dengan ngeri. “Kau jangan ikut campur masalah orang lain lagi!” katanya tak sabar. “Masalah kita saja sudah cukup memusingkan! Soal Meng Dan dan Selir Xiang belum selesai, kau tambah lagi dengan urusan Xiao Jian! Nantinya kesulitan kita tak akan ada habisnya!”
Xiao Yanzi memandang Jinshuo dengan gusar dan gemas, “Huuuh! Jinshuo! Kau ini penakut dan cerewet sekali! Suka melarang ini-itu! Bagaimana setelah kau jadi selir Erkang? Dia bisa mati karena kebawelanmu!”
Begitu kalimat ini meluncur dari mulut Xiao Yanzi, ada tiga orang yang mukanya berubah merah. Erkang, Ziwei dan Jinshuo! Jinshuo melihat Erkang dengan salah tingkah. Mukanya merah padam. Dia pun segera berbalik dan meninggalkan mereka.
Erkang dan Ziwei saling berpandangan. Erkang waswas sedang Ziwei shock. Erkang lalu menarik Ziwei ke balik bukit buatan untuk bicara berdua.
“Ziwei, soal Jinshuo ini harus segera diselesaikan! Kalau kau tak tega, biar aku yang bicara padanya. Kedengarannya memang pahit, tapi kalau bukan sekarang nanti dia pasti akan lebih sakit hati lagi!”
“Aku tahu maksudmu. Tapi Jinshuo belum tentu! Dia akan menganggapmu menolaknya! Jinshuo itu yatim-piatu. Sejak dulu melayaniku dengan baik. Aku tidak tega menyakitinya!”
Pada saat itulah Jinshuo telah kembali dan melalui bukit buatan. Mendengar Erkang dan Ziwei menyebut-nyebut namanya, diam-diam Jinshuo bersembunyi untuk menyimak.
“Kau bisa saja memikirkan masa depan Jinshuo, tapi ini bukan alasan tepat untuk berbagi suami denganmu!” Erkang menegaskan. “Aku bersedia menjadi keluarga dan pelindung Jinshuo – tapi jangan minta aku menikahinya! Ziwei, aku hanya menyukaimu. Jangan paksa aku untuk poligami. Aku benar-benar tidak bisa!”
Jinshuo langsung merasa bumi yang dipijaknya berputar. Erkang yang diam-diam dicintainya terang-terangan menolaknya. Jinshuo seperti akan limbung. Dia lekas-lekas bersandar pada bukit buatan hingga gerakannya mengejutkan Ziwei dan Erkang.
Ziwei dan Erkang refleks melihat ke arahnya. Dan mereka mendapati wajah Jinshuo yang pucat.
Jinshuo memandang keduanya seperti orang asing. Hatinya terasa nyeri. Dia lalu buru-buru berbalik dan pergi.
Ziwei termangu. Erkang tak dapat menunda lagi. Dia berkata tegas, “Aku akan bicara padanya. Semua ini harus dijelaskan sekarang dan tak boleh ditunda-tunda lagi!”
***
Erkang menyusul Jinshuo ke biliknya di Paviliun Shuofang.
Jinshuo masih menangis. Dan dia buru-buru menyeka air matanya begitu melihat Erkang.
Jinshuo patah hati. Dunianya serasa runtuh. Meski tak pernah mengekspresikan perasaannya dengan jelas, Jinshuo diam-diam senang dengan permintaan Ziwei pada Erkang untuk ‘menjaganya’.
Jinshuo sangat sadar kalau dia cuma pelayan. Jadi istri keberapa pun tak masalah baginya. Sebaliknya dia amat bersyukur mengetahui bahwa calon suaminya kelak adalah pria sebaik Erkang.
Erkang melihat Jinshuo. Tiba-tiba dalam dirinya pun muncul perasaan tidak tega seperti Ziwei. Erkang berusaha menguatkan diri. Dia menarik napas dalam-dalam lalu berkata,
“Jinshuo, kau jangan salah paham. Aku melakukan ini demi kebaikanmu. Kau begitu cantik dan baik, sangat akrab dengan kami seperti keluarga sendiri… bagaimana aku bisa menjadikanmu selir? Waktu itu Ziwei sekarat – jadi dia membuat keputusan begitu. Tapi sebetulnya tidak patut. Kau lebih berhak menentukan hidupmu sendiri – bukan orang lain!”
Jinshuo menatap Erkang dengan mata berair. “Tuan Muda Erkang, Anda tak perlu mengatakannya lagi… aku tidak tahan mendengarnya. Tak kusangka Anda rupanya berat hati menerimaku. Kalau begitu, aku harus tahu diri, aku tak akan menyusahkan dirimu dan Nona lagi!”
Erkang tampak gelisah, “Maksudku bukan begitu… Kau belum memahami maksud perkataanku. Begini Jinshuo, aku amat menghormatimu. Kau patut memiliki kehidupan cinta sendiri. Kalau aku menjadikanmu selir, itu semacam penghinaan bagimu. Apa kau mengerti?”
Jinshuo mengangguk-angguk bingung. “Aku mengerti. Aku pasrah saja menerima nasibku. Anda tak perlu berkata apa-apa lagi!”
Erkang khawatir sekali. “Waduh, kau jangan pasrah begitu saja, Jinshuo! Hidupmu itu sangat berharga! Kau, Ziwei, Xiao Yanzi dan Qing’er itu sama-sama manusia! Jangan anggap dirimu lebih rendah dari mereka. Aku yakin suatu hari nanti kau akan bertemu dengan pemuda yang mencintaimu setulus hati.”
Jinshuo masih bimbang. Dia berkata pilu, “Aku memang tidak paham… Aku ini agak bodoh…Jadi sebanyak apapun Anda bicara, aku tetap belum bisa mengerti. Tapi aku pasti menuruti kata-kata Anda. Aku tak akan berani membenci siapapun – Nona maupun Anda!”
Selesai berkata begitu, Jinshuo sungguh tak berani melihat muka Erkang lagi sehingga menangis sembari menelungkupkan wajahnya.
Erkang keluar dari bilik Jinshuo, putus asa dan tertekan. Ziwei segera menghampirinya.
“Bagaimana? Dia pasti kecewa, kan? Aku sudah tahu akan begini jadinya!”
“Biarkan dia sendirian dulu untuk berpikir…,” Erkang mendesah. “Aku memang agak kejam. Tapi lebih baik terus terang sekarang daripada terkatung-katung nanti…”
***
Malamnya, Jinshuo sudah tak bersedih lagi. Tapi dia membawa kain lap dan membersihkan seluruh Paviliun Shuofang seperti orang kesurupan.
Ziwei jengah melihatnya. Dia bertanya tak sabar, “Jinshuo! Sedang apa kau? Kalau ada yang mengganjal perasaanmu lebih kau cerita padaku! Mari kita duduk bersama dan bicara baik-baik!”
Jinshuo menundukkan kepala. “Mana berani aku punya ‘ganjalan’ perasaan? Aku hanya ingin menyibukkan diri!”
“Kenapa mau menyibukkan diri?”
“Tidak apa-apa… Aku kan cuma budak! Jadi akau Cuma mengerjakan tugasku sebagai pembantu!”
“Jinshuo! Kalau kau bicara begitu lagi aku akan marah sekali! Aku tidak pernah menganggapmu sebagai budak! Kau adalah temanku, sahabatku dan sudah seperti saudariku sendiri! Kalau kau ada masalah, kau harus katakana padaku. Terus teranglah, kau menyukainya juga, kan?”
Jinshuo membelalak menatap Ziwei. Napasnya memburu. Dia berkata terbata-bata, “Baiklah, Nona… kukatakan saja sejujurnya padamu! Semua ini terlalu mendadak… Dulu waktu kau memintanya ‘menjagaku’, kau sama sekali tak minta pendapatku. Sekarang kalian membatalkan kesepakatan itu, kalian juga tak minta persetujuanku! Aku ini seperti…” Jinshuo menunjuk kain lap yang dipegangnya – “Kain lap ini! Kalian melemparku kemana, aku menurut saja! Tuan Muda Erkang telah menjelaskan alasan ini-itu. Tapi aku tak tahu apakah semuanya benar demi kebaikanku atau tidak… yang kutahu bahwa kalian sudah tak membutuhkan si ‘kain lap’ ini dan ingin menyingkirkannya segera!”
Hati Ziwei bagai tersayat. Digenggamnya tangan Jinshuo erat-erat. “Bukan begitu! Sungguh maksudnya bukan begitu!”
“Aku akan menghormati keputusan kalian. Aku sudah memikirkannya. Nona, ijinkanlah aku pergi! Aku akan ke Graha Huipin membantu Liu Qing dan Liu Hong!”
Ziwei terkejut. Dia tak bisa berkata apa-apa untuk membujuk Jinshuo. Hanya rasa sesal saja yang memenuhi hatinya.
***
Malam itu Ziwei tak bisa tidur nyenyak. Dia hanya bisa tergolek gelisah di atas ranjangnya.
Memang benar kata-kata Jinshuo tadi. Sejak awal dia tak pernah meminta pendapat atau persetujuan gadis itu mengenai Erkang. Kesannya, Ziwei memang memperhatikan Jinshuo tapi justru mengabaikan perasaannya…
Malam semakin larut. Menjelang subuh, pintu kamar Ziwei terbuka dan Jinshuo masuk membawa lampu minyak kecil.
“Nona…, apa kau sudah tidur?” tanyanya lirih.
Melihat Jinshuo, Ziwei merasa senang. Dia segera duduk di pembaringan. “Belum! Aku tak bisa tidur!”
Jinshuo menaruh lampu di meja lalu mendekati ranjang Ziwei. Dia mengenggenggam tangna Ziwei seraya berkata pedih, “Nona, maafkan perkataanku tadi! Aku telah mengatakan hal-hal tidak pantas dan menyakitkan!”
Ziwei merasa nyeri. “Akulah yang sebetulnya menyakitimu! Kau sama sekali tidak salah. Selain padaku, kepada siapa lagi kau mencurahkan isi hatimu? Akulah yang seharusnya minta maaf.”
Jinshuo memandang Ziwei. “Aku sudah mengerti. Waktu itu keadaanmu sangat kritis hingga Tuan Muda Erkang langsung menyetujui keputusanmu. Tapi kalau dipikir-pikir, dalam hatinya Tuan Muda Erkang hanya ada Nona dan tak ada tempat buatku. Ini akan menjadi jerat bagiku dan membuat hidupku merana karenanya.”
Ziwei menggenggam tangan Jinshuo erat-erat. “Jadi kau benar-benar sudah paham sekarang?”
“YA, aku sudah paham. Aku sudah mengikutimu sejak kecil. sekian lama kita bersama, aku jadi ketularan beberapa sifatmu. Aku tak bisa menunggu esok pagi untuk berbaikan dengan Nona. Nona adalah sahabatku, satu-satunya keluarga yang kupunya… sementara mengenai masa depanku…,” Jinshuo tampak tersenyum. “Kau punya Tuan Muda Erkang. Xiao Yanzi punya Pangeran Kelima dan Hanxiang memiliki Meng Dan… Mungkin…, aku juga punya seseorang yang tengah menungguku…”
“Wah!” Ziwei tak dapat menahan diri memeluk Jinshuo. “Jadi sekarang apakah kau masih akan meninggalkanku?”
Jinshuo membalas pelukan Ziwei sambil berkata bahagia, “Mungkin suatu hari nanti… saat aku telah menemukan kebahagiaanku sendiri. Tapi sekarang belum. Aku masih belum sanggup berpisah darimu!”
“Wah! Kau memang pantas disebut Jinshuoku! Aku berdoa agar pria yang tengah menunggumu itu adalah seseorang yang juga akrab dengan kami semua. Agar kita masih bisa terus bersama-sama seterusnya…”
Jinshuo masih terus memeluk Ziwei. Sebenarnya, perasaannya sendiri masih pedih. Walau kini dia telah memahami seluruh permasalahannya, luka hatinya masih belum bisa langsung terobati. Saat ini dia masih enggan berpisah dari Ziwei. Selama bertahun-tahun Ziwei telah menjadi pusat hidupnya. Tapi Erkang telah menolaknya. Dan jika dia tetap memaksa masuk ke dalam cinta segitiga ini, dia hanya akan mendapat malu.
Jinshuo menekan kepedihannya sambil berpura-pura tegar. “Pokoknya Nona dan Tuan Muda Erkang tak usah cemas memikirkanku lagi. Baguslah hal ini dijelaskan sekarang sehingga hubungan kalian tak terganggu lagi. Ini benar-benar melegakan!”
Ziwei amat tersentuh mendengarnya.sebutir air mata bergulir di pipinya dan dipeluknya Jinshuo erat-erat.
***
Sementara itu, lewat mata-matanya, Bibi Rong mengetahui kalau Kaisar terluka di Graha Baoyue.
Tentu saja dia langsung melapor kepada Permaisuri dan Permaisuri segera melaporkan temuannya ini kepada Ibu Suri.
Ibu Suri pun mengadakan kunjungan dadakan ke Graha Baoyue. Dan benar saja, dilihatnya Qianlong di sana – lukanya tengah diobati Hanxiang.
Hanxiang terkesiap dengan kedatangan Ibu Suri yang tiba-tiba. Peralatan obatnya langsung berserakan karena kekagetannya. Qianlong juga tak kalah kagetnya. Dia buru-buru menghaturkan salam hormat. Begitu pula dengan Hanxiang – yang dalam kepanikannya langsung berlutut memberi salam.
“Wah? Kenapa tiba-tiba Selir Xiang memberi salam ala Manchu, ya?” Ibu Suri melotot.
Qianlong mencoba mengalihkan topik. Dia berkata, “Selir Xiang, kenapa tidak menyuruh Weina dan Qina menyiapkan teh Xianjiang? Lao Foye jarang-jarang mengunjungi Garaha Baoyue, mesti dilayani dengan baik!”
“Aku tak mau minum teh Xinjiang! Aku khawatir ketagihan!” tukas Ibu Suri ketus. Sekonyong-konyong Ibu Suri maju dan menyingkap lengan baju Qianlong. “Biarkan aku melihat pergelangan tanganmu!”
Qianlong tersentak dan buru-buru mundur. “Untuk apa?”
Menyaksikan sikap Qianlong dan obat-obatan yang berserakan, makin kuatlah dugaan Ibu Suri.
“Yang Mulia! Kenapa kau bisa terluka begini? Apa kau lupa kalau dirimu adalah penguasa negeri? Tubuhmu yang berharga bukan hanya milikmu sendiri – tapi juga milik rakyatmu! Kalau kau tak mau merawat tubuhmu sendiri, kau tetap harus melakukannya demi negara! Kau terluka tapi diam saja. Apakah sekarang kau masih ingin menyembunyikannya dariku?”
Melihat gelagat ini, tahulah Qianlong kalau Ibu Suri telah curiga. Akhirnya Qianlong menyingsingkan lengan bajunya dan berkata, “Hanya luka kecil. Tak perlu dicemaskan. Aku tak memberitahukan karena khawatir Huang Thaihou akan risau. Entah siapa orang yang banyak mulut itu hingga memberitahukannya pada Anda…”
“Jangan sembarangan menyalahkan orang yang banyak mulut!” Ibu Suri menatap garang Hanxiang. “Bagaimana ceritanya sampai Kaisar terluka? Lekas katakan!”
Hanxiang gemetaran. Qianlong yang menjawab sambil tertawa-tawa. “Sebenarnya, kejadiannya tak disengaja. Malam itu aku menonton Selir Xiang menari. Sesaat aku pun ikut menari bersama Selir Xiang dan tidak sengaja memecahkan vas bunga hingga melukai tanganku. Sungguh hanya persoalan sepele. Mohon Huang Thaihou tidak mempermasalahkannya lagi.”
Ibu Suri tetap memandangi Hanxiang. “Luka separah ini – mana bisa membiarkan Selir Xiang yang membalutnya? Lekas ikut aku ke Istana Zhuning! Akan kupanggil kelompok tabib istana untuk memeriksamu!”
“Aih, ini terlalu berlebihan,” ujar Qianlong enggan.
“Menurutku, Graha Baoyue ini hong shuinya kurang bagus. Sebaiknya Yang Mulia tak usah sering ke sini!”
Qianlong tak ingin sikap Ibu Suri menyulitkan Hanxiang. Akhirnya dia terpaksa mengikuti Ibu Suri sambil melempar tatapan menenangkan pada Hanxiang,
***
Sementara itu, pada hari yang sama di Paviliun Shuofang, Yongqi memberi Xiao Yanzi hadiah seekor nuri berbulu hijau.
Xiao Yanzi kegirangan mendapat hadiah. Erkang berkata, “Nuri itu bisa bicara. Makanya Pangeran Kelima membelinya seharga sekeping emas.”
“Benar bisa bicara? Bicara apa?” tanya Ziwei.
Yang lain-lainnya mulai mengelilingi nuri dalam sangkar itu. Tiba-tiba tatapan Erkang bersirobok dengan Jinshuo. Jinshuo memberi isyarat pada Erkang lalu keluar halaman. Erkang mengerti. Dia mengikuti Jinshuo.
Di halaman Jinshuo berkata pada Erkang, “Tuan Muda Erkang, Anda sekarang tak perlu khawatir lag. Aku dan Nona sudah bicara semalam suntuk. Sekarang aku benar-benar sudah paham maksud kalian. Aku harap hubungan kita bertiga tetap baik seperti semula dan aku tidak malu karena masalah ini.”
“Benarkah? Jadi kau sudah mengerti semuanya? Jinshuo! Aku sangat berterima kasih padamu!”
Ziwei akhirnya ikut mendatangi keduanya. Dia menggenggam tangan Jinshuo. “Tak ada lagi sakit hati di antara kita kan? Hubungan kita akan terus langgeng seperti dulu, kan?”
“Ya!” jawab Jinshuo dengan yakin. Ziwei dan Erkang langsung lega. Ketiganya seolah merasa terbebas dari beban berat.
Ketiganya kembali ke dalam Paviliun Shuofang dan melihat yang lain-lainnya masih menggoda burung nuri itu untuk bicara.
“Dari mana kalian membeli burung nuri ini? Apakah dari pasar burung?” tanya Ziwei.
“Bukan. Nuri ini peliharaan kasim di perpustakaan istana. Kasim itu sudah lama melatihnya menghaturkan beberapa salam dan pujian. Tapi aneh, di sini kok tak mau bicara, ya?” ujar Erkang.
“Aih, daritadi tak mau bicara sepatah katapun!” Xiao Yanzi agak kecewa. “Seumur hidupku hanya ada satu burung yang paling pintar bicara!”
“Oya? Burung apa? Di mana? Dia bisa bicara apa saja?”
“Oo, bicara apapun bisa! Akulah burungnya! Aku kan si walet kecil!”
Ha ha! Semua orang terbahak-bahak. Mereka kembali memancing nuri itu agar bicara. Sampai memancingnya dengan kuaci segala – tapi tetap saja burung itu tak mau bicara.
Tiba-tiba terdengar perkataan, “Salam sejahtera, Putri!”
Mereka semua terpana. “Ia benar-benar bilang ‘Salam Sejahtera, Putri’?” tuding Xiao Yanzi. “Wah! Burung yang pintar! Aku akan mengajarinya peribahasa dan puisi!”
Tiba-tiba burung itu mengumpat, “Brengsek! Kau brengsek!”
“Wah! Ada burung yang memaki manusia!” pekik Xiao Yanzi.
Semuanya tertawa.
“Apakah dia punya nama?” tanya Ziwei.
“Belum. Kalian pilihkan saja nama untuknya.”
“Biar aku yang pilih!” seru Xiao Yanzi antusias. “Ha ha! Kita beri nama saja dia ‘si Brengsek’!”
“Si Brengsek? Iih, nama itu kan tidak bagus!” protes Yongqi.
“Taka pa-apa!” tukas Erkang. “Seperti peribahasa, ‘bagaimana pemiliknya, demikianlah burung peliharaannya…”
Xiao Yanzi mencerna perkataan Erkang lalu melotot, “Kau menyindirku, ya?!”
Semua orang kembali tertawa. Mereka memanggil-manggil nuri itu: “Brengsek! Brengsek!”
Mengira burung itu jinak, Xiao Yanzi melepas tutuo sangkar burung itu. tiba-tiba, burung itu melesat keluar.
“Brengsek! Kembali! Lekas tangkap dia kembali!” seru Xiao Yanzi.
Semua orang pun berlarian keluar mengejarnya. Nuri itu berputar-putar dan hinggap di sana-sini. Hingga akhirnya dia terbang ke istana Zhuning.
Keributan Xiao Yanzi menangkap nurinya ,emarik perhatian orang-orang sekitar. Para dayang, kasim dan pengawal menyaksikan dengan antusias.
Ibu Suri, Kaisar dan Qing’er pun sampai ikut keluar karena mendengar teriakan-teriakan Xiao Yanzi. Tangan Qianlong telah diperban. Tampak mencolok sekali. Dia baru saja diobati.
Permaisuri dan Bibi Rong juga hadir. Mereka menyaksikan dari kejauhan. Melihat tangan Qianlong dibebat, dalam hati Permaisuri cukup puas. Berarti benarlah informasi Bibi Rong padanya.
“Erkang! Yongqi! Ada apa ini? Kenapa kalian berlarian kesana-kemari dan berteriak-teriak?” bentak Qianlong.
“Lapor Yang Mulia! Kami sedang berusaha menangkap nuri Xiao Yanzi yang bernama si Brengsek!”
“Oh, menangkap nuri?” Qianlong langsung tertarik.
Nuri hijau itu berterbangan di atas atap. Para pengawal sudah dikerahkan untuk menangkapnya. Permaisuri dan Bibi Rong menyaksikan semua kehebohan itu dengan senang hati. Lao Foye pasti tidak suka lagi melihat tingkah Xiao Yanzi dan kawan-kawan ini!
Tiba-tiba, Permaisuri merasa sesuatu hinggap di topinya. Ia melirik ke atas dan terperanjat. Ternyata nuri itu! permaisuri mengangkat tangan mengusirnya, tapi Qianlong berseru keras, “Permaisuri! Jangan bergerak!”
Permaisuri terpaksa berdiri diam di tempat. Qianlong memerintahkan para pengawal menangkap nuri itu. karenanya jadi bertambah heboh.
Semua memandangi kepala Permaisuri seoerti hendak menangkap mangsa. Pemandangan yang sangat menarik karena – Permaisuri yang biasanya selalu angkuh, kini hanya bisa terpaku dengan seekor nuri di atas kepalanya!
Erkang akhirnya memberi aba-aba, “Ayo semuanya! Tangkap!”
Beberapa orang langsung menerjang sekaligus. Nuri itu lagi-lagi lolos. Permaisuri jadi terhuyung-huyung. Berputar-putar seperti gasing hingga Bibi Rong dan para dayang berusaha memeganginya dan mereka semua terjatuh. Benar-benar seru sekali!
Di tengah-tengah persitiwa seru itu, seorang kasim kecil berlari-lari. Dia bersiul panjang sekali dan nuri itu langsung hinggap di tangannya dengan patuh.
Xiao Cuozi berlari-lari membawa sangkar nuri tersebut. Kasim kecil itu memasukkannya ke dalam dengan sigap. Setelah itu dia menghampiri Xiao Yanzi.
“Salam sejahtera bagi Putri Huanzhu! Hamba Xiao Chizi, kasim di perpustakaan istana. kalau nuri ini lepas lagi, cari saja hamba!”
“Jadi nuri ini dulunya peliharaanmu, ya?”
“Ya! Dia memang nakal tapi sekaligus menggemaskan!”
Qianlong berdehem-dehem lalu membubarkan kerumunan. Pada saat itulah Ziwei dan Xiao Yanzi memandang Qianlong dengan kaget.
“Huang Ama! Tangannya kenapa?”
“Aku jatuh dan terluka sedikit. Lao Foye saja yang cemas bukan main hingga memanggil tabib segala.”
Ibu Suri melempar tatapan tidak suka pada Qianlong. kemudian dia berlalu dengan perasaan jengkel.
Di Paviliun Shuofang, nuri itu masih sempat berkicau, “Brengsek! Brengsek!” Mereka semua mengelilingi nuri itu sambil mengganggunya.
Ketika itulah, Hanxiang muncul dengan muka pucat pasi. Dia sama sekali tidak tertarik pada si Brengsek dan berkata cepat-cepat.
“Aku sudah memutuskan! Aku akan ikut dalam ‘rencana besar’ kalian! Meng Dan saja di sini benar! Aku tak bisa selamanya pasrah dan menunggu nasibku begitu saja! Kalau aku masih terus di sini, hanya ada dua kemungkinan: aku akan mati atau jadi gila! Aku harus bangkit dan memperjuangkan nasibku sendiri!”
Erkang segera menutup seluruh pintu Paviliun Shuofang rapatrapat. Para kasim dan dayang disururh berjaga di luar.
“Kenapa tiba-tiba memutuskan begitu?” tanya Yongqi.
“Karena… karena aku telah menimbulkan masalah besar! Aku telah melukai Kaisar!”
“APA?” semuanya terperanjat.
Hanxiang lalu menceritakan peristiwa Qianlong semula terluka. Kecurigaan Lao Foye dan kebohongan yang dikarang Qianlong demi melindunginya.
Dalam hati mereka semua panik. kini mengertilah mereka mengapa tangan Ayahanda Kaisar dibebat dan mimik Ibu Suri tampak sangat jengkel tadi.
Erkang menenangkan Hanxiang dan mulai berembuk soal pelarian. Masalah utama mereka adalah wangi tubuh Hanxiang yang belum teratasi.
Pada saat mereka tengah berembuk, tiba-tiba terdengar seruan, “Lao Foye tiba!”
Semua terkejut dan panik. erkang segera mengingatkan, “Tenangkan diri kalian! Aku akan membuka pintu!”
Mereka menahan napas. Erkang membuka pintu dan mereka semua langsung bersujud memberi salam, “Salam sejahtera bagi Lao Foye!”
Dari lluar, Xiao Dengzi dan Xiao Cuozi tergopoh-gopoh berlari masuk. “Mana Lao Foye? Mana?”
Mereka semua menengadahkan muka dan melihat, Lao Foyenya mana ya?
Tiba-tiba terdengar suara lagi, “Kaisar tiba!”
Lagi-lagi mereka terperanjat dan buru-buru bersujud menghaturkan salam. “Salam sejahtera bagi Kaisar!” – tapi setelah melihat-llihat, tak tampak bayangan Kaisar dimanapun!
Tiba-tiba Xiao Yanzi menyadari sesuatu. Dia melihat nurinya yang sedang mengepak-ngepakkan sayap sambil berseru, “Hamba patut mati! Hamba patut mati!”
“Sialan! Jadi kau yang cari gara-gara rupanya! Kau memang pantas mati!” maki Xiao Yanzi. “Dasar brengsek! Bikin kami semua ketakutan! Akan kuganti namamu jadi Penipu Kecil! Awas kalau kau berbohong lagi! Akan kucabut bulumu!”
Setelah mereka semua pulih dari rasa kaget, mereka akhirnya bisa tertawa lagi. Erkang menepuk bahu Yongqi seraya berkata, “Lain kali kalau beli nuri, jangan beli nuri yang dilatih oleh kasim!” :P
***
Tanpa menunda waktu untuk merencanakan pelarian Selir Xiang, Xiao Yanzi dan kawan-kawan tiga hari kemudian meluncur ke Graha Huipin.
Mereka berdiskusi di sebuah kamar soal strategi melarikan Hanxiang dan Meng Dan. Ziwei memberi Meng Dan beberapa kantong cendana terbaik dari istana untuk menyamarkan wangi tubuh Hanxiang dalam pelarian.
Ketika sibuk berdiskusi, tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling.
“Dari mana asalnya suara seruling itu?” tanya Erkang waspada.
Liu Hong terlonjak. “Aku lupa! Xiao Jian itu tinggal di kamar sebelah!”
“Xiao Jian tinggal di kamar sebelah? Apa dia mendengar pembicaraan kita?” tanya Yongqi.
“Kalau kita bisa mendengar suara serulingnya, artinya dia juga bisa mendengar percakapan kita!”
Mereka mulai tegang. Xiao Yanzi menggosok-gosok tangannya, melompat bangun dan menerobos keluar.
Xiao Yanzi menerobos ke dalam kamar Xiao Jian sambil berteriak, “Xiao Jian! Keluar kau!”
Bunyi seruling terhenti seketika. Xiao Jian memandangi Xiao Yanzi sambil tersenyum,
“Wah, si Nona Kecil! Syukurlah kau tampak sehat dan tak kekurangan apapun!”
Xiao Yanzi geram sekali. “Nona kecil apa? Aku ini jelas-jelas Nona Besar! Kalau kau punya dua macam: seruling dan pedang, aku hanya punya satu macam yakni kepalan tinju! Hiyaaaa!!!”
Xiao Jian terbelalak. Seumur hidup dia belum pernah mendengar perkataan aneh seperti itu. Tinju Xiao Yanzi tepat menghantam hidungnya. Xiao Jian meringis sambil mengelus hidungnya.
“Aduh Nona… kenapa setiap kali bertemu kau selalu mengajak berkelahi? Sebenarnya apa kesalahanku padamu? Orang bijak itu selalu mengandalkan lidah – bukan otot…”
“Aku bukan orang bijak! Sekarang jawab aku! Tadi waktu kami bicara di kamar sebelah, apakah kau mendengar pembicaraan kami?”
Xiao Jian menjawab terang-terangan, “Tentu saja! Aku mendengarnya dengan leluasa! Makanya aku sengaja meniup seruling untuk mengingatkan kalau aku ada di kamar seelah!”
“APA??? Kau telah mendengar rahasia kami! Akan kubunuh kau!”
Xiao Jian kelabakan. “Nona! Mana bisa begini? Aku tidak bisa berkelahi!”
Xiao Jian berlari pontang-panting dan tunggang-langgang. Sementara Xiao Yanzi mengejarnya dengan gusar.
Xiao Yanzi berhasil menerjang XiaoJian. Dipukulnya dan ditendangnya pemuda itu hingga tak berkutik.
Meng Dan berseru keras, “Xiao Yanzi! Sebagai gurumu kuperintahkan kau agar berhenti berkelahi! Sekarang juga!”
Dengan enggan Xiao Yanzi menurut. Xiao Jian bangkit berdiri sambil membenahi pakainannya dan menghormati mereka semua yang telah berkumpul di situ.
“Kita tak perlu berkelahi lagi. Bagaimana kalau berteman saja? Xiao Jian tidak sengaja menengar perkataan kalian. Tapi kalian tak perlu cemas. Aku bukan orang usil. Apalagi di Beijing aku tidka pnya kenalan atau teman. Bisa mengenal kalian yang baik hati begini sudah membuatku kagum. Kalau kalian bisa mempercayaiku maka bertemanlah denganku! Siapa tahu aku malah bisa membantu kalian! Tapi kalau kalian tak percaya, silakan bunuh aku – agar tidak membocorkan rahasia!”
Erkang lalu mengajak Xiao Jian masuk ke kamar mereka tadi. Di dalam sana dia lalu memperkenalkan mereka semua. Xiao Jian jadi termangu-mangu memandang mereka.
“Aku sudah menduga kalian bukan orang biasa. Tapi posisi kalian yang demikain tinggi tetap membuatku terkaget-kaget!” Ditatapnya Xiao Yanzi. “Jadi, kau yang suka marah-marah ini ternyata adalah Putri Huanzhu?”
“Ya! Aku Putri Huanzhu!”
Yongqi bertanya tanpa basa-basi, “Kami sudah memberitahumu identitas asli kami. Sekarang kau bisa memberitahu kami identitas aslimu, kan?”
Sorot mata Xiao Jian mendadak jadi kelam. “Aku sungguh tak ada apa-apanya disbanding kalian. Memang, nama Xiao Jian itu bukan nama asliku. Tapi siapa nama asliku, aku pun tak tahu pasti. Waktu kecil keluargaku tertimpa musibah. Semua keluargaku tewas oleh musuh keluarga. Aku dibesarkan oleh salah satu sahabat ayahku. Lima tahun lalu, dia memberitahu rahasia masa laluku. Dia juga mmeberi warisan ayahku berupa seruling dan pedang. Sejak itu kupakai nama Xiao Jian dan mengembara.”
“Dari sahabat ayahku, aku tahu kalau aku masih punya seorang adik laki-laki yang hilang dari peristiwa itu. Aku mengembara, selain mencari cara untuk balas dendam terhadap musuh keluarga kami, juga untuk mencari adikku yang hilang itu. begitulah kisahku. Aku bukan pengelana nyentrik. Aku hanya pengembara yang sebatang kara.”
Xiao Yanzi dan kawan-kawan mengerti dan mereka pun bersimpati pada Xiao Jian.
Erkang akhirnya berkata, “Setelah kita semua saling mengenal, kau tak lagi menjadi pengembara sebatang kara, kan?”
Mata Xiao Jian bersinar-sinar. Dia berkata bangga, “Sejak dulu aku menganggap baik-buruknya manusia sebagai bagian dari rangkaian jalan kehidupan. Tak peduli baik atau buruk, jalani saja dulu!” Xiao Jian tertawa. “Sekarang, giliran kalian yang harus menjelaskan padaku. Rencana melarikan diri itu… sebetulnya rencana apa?”
Ekspresi semuanya pun kembali mendadak serius.
***
Sementara itu tepat pada saat Xiao Yanzi dan kawan-kawan kelluar istana, Qianlong juga sedang mengunjungi Pejabat Quan.
Hari itu, Hanxiang tak dapat mengelak dari nasib buruknya. Pengawal mengiringnya ke Istana Zhuning, tempat dimana Ibu Suri dan Permaisuri telah menantinya.
“Katakan sejujurnya sekarang, apa penyebab tangan Kaisar bisa terluka? Jangan sebut tentang pecahan vas bunga! Kata tabib yang memeriksa Kaisar, itu diakibatkan oleh senjata tajam! Apa itu pisau atau pedang? Bagaimana bisa ada senjata di kamarmu?”
Jantung Hanxiang berdegup kencang. “Bukan karena senjata apapun… tapi seperti yang Kaisar bilang… karena pecahan vas bunga!”
“Pembohong! Bibi Rong! Bibi Gui! Siksa dia!”
Kedua dayang maju dan mengeluarkan pembungkus kain yang berisi jarum-jarum. Melihat jarum-jarum itu, Hanxiang langsung gentar.
Bibi Rong menyeringai sambil berkata licik. “Selir Xiang, Anda sebaiknya jujur saja! Apa tidak sayang kalau kulit Anda yang halus dan wangi itu jadi berlubang-lubang?”
“Tidak! Tidak!” pekik Hanxiang.
Bibi Rong dan Bibi Gui menekan tubuh Hanxiang dan langsung menusuk pinggangnya.
Hanxiang menjerit kesakitan. “Kau mau mengaku tidak?” geram Ibu Suri.
Tubuh Hanxiang menggigil. Dengan nekat dan berani dia mendongakkan kepala dan berkata lantang, “Lao Foye! Hamba akan berterus terang. Sejak masuk istana sampai hari ini, Kaisar sama sekali berlum menyentuh hamba! Jika kalian mengira hamba telah melakukan hal gila-gilaan bersama Yang Mulia, itu hanya khayalan kalian saja! Yang Mulia sudah pernah berjanji, tak akan memaksa hamba melakukan apapun! Tapi malam itu dia lupa diri sehingga hamba ketakutan dan melukainya dengan pisau!”
“APA? Jadi kau melukai Kaisar untuk mempertahankan kesucianmu?”
“Benar!”
“Kau bilang sampai hari ini Kaisar belum pernah menyentuhmu?”
“Benar!”
“Bibi Rong! Bibi Gui! Segera periksa dia dengan seksama!”
Kedua dayang itu menarik Hanxiang. Pada saat itulah Qing’er yang gemetar menyaksikan segala penyiksaan itu diam-diam menyelinap pergi ke Paviliun Shuofang.
Qing’er panik sewaktu mengetahui para penghuni Paviliun Shuofang sedang pergi. Begitu juga dengan Erkang dan Yongqi. Nyawa Hanxiang kini benar-benar di ujung tanduk. Qing’er harus segera bertindak.
“Xiao Dengzi! Kau lekas pergi menjemput majikan-majikanmu! Katakana kalau Lao Foye hendak membunuh Selir Xiang! Xiao Cuozi! Lekas kau pergi ke kediaman Pejabat Quan Liu! Lekas sampaikanpada Baginda untuk lekas pulang ke istana! cepat bergerak! Nasib Selir Xiang ada di tangan kalian!”
Xiao Dengzi dan Xiao Cuozi tergopoh-gopoh melaksanakan perintah Qing’er.
Qing’er bergegas kembali ke Istana Zhuning. Tampak olehnya Hanxiang telah selesai diperiksa dan Ibu Suri yang marah besar.
“Jadi dia masih perawan? Aku tak percaya! Sudah diangkat jadi Selir tapi masih bersikeras mempertahankan kesuciannya! Memangngya Kaisar itu dianggap apa?”
Permaisuri mengelluarkan hasutan mautnya, “Lao Foye, masalah ini cukup serius! Demi keselamatan Kaisar Anda harus segera bertindak!”
Semakin mendengar perkataan Permaisuri, Ibu Suri semakin yakin. Dipandangnya Hanxiang penh kebencian,
“Mencoba membunuh Kaisar hukumannya pasti mati! Aku tak akan membiarkan seorang calon pembunuh berada di sampaing Kaisar! Selir Xiang, kau punya pesan-pesan terakhir?”
Hanxiang menatap Ibu Suri dengan tegak. Dia sangat menyadari kematian tak bisa terhindari lagi. Hanxiang menyilangkan kedua tangannya dan berkata, “Mohon Lao Foye tetap mempertimbangkan maksud baik ayah hamba. Sekalipun hamba telah gagal memenuhi harapannya sebagai upeti bagi Kaisar Qing, tapi janganlah sekali-kali maksud baiknya disalah artikan! ‘Seorang martir boleh dibunuh. Tapi lebih baik mati daripada dihina!’ Hamba sangat berterima kasih pada Baginda Kaisar. Maaf sekali, hamba telah mengecewakan beliau!”
Ibu Suri mendengarnya lalu berkata tegas, “Bawa peralatannya kemari!”
Seorang kasim muncul membawa nampan berisi tiga benda. Sutra putih panjang, sebotol racun dan sebilah pisau.
“Selir Xiang, hari ini aku akan menganugerahkan kematian padamu! Sutra putih, racun dan pisau, lekas pilih salah satu!”
Hanxiang memandang ketiga benda itu. Dia berucap lirih, “Meng Dan, maafkan aku! Ayah, maafkan aku! Yang Mulia Kaisar…., Ziwei, Xiao Yanzi…. Maafkan aku!”
Melihat ini Qing’er tak tahan lagi. Dia lalu berlutut di hadapan Lao Foye dan berteriak, “Lao Foye! Mohon Anda jangan sembarang bertindak! Jika Selir Xiang mati pada saat Kaisar sedang tidak di tempat, akan ada keributan besar! Lao Foye jangan sampai gara-gara ini membuat Kaisar murka, hubungan antara ibu dan anak rusak!”
Hati Ibu Suri jadi ciut mendengar penuturan Qing’er. Tapi Permaisuri buru-buru menyela, “Qing’er, perkataanmu salah! Justru sebagai Ibu yang ikatan batinnya dengan Yang Mulia sangat kuat, Lao Foye hendak menghindarkan Yang Mulia dari petaka!”
Perkataan Permaisuri memantapkan pilihan Ibu Suri. Dia menegakkan muka. “Selir Xiang! Lekas jatuhkan pilihanmu!”
Hanxiang meraih botol racun. “Racun ini bekerja cepat?”
“Itu racun yang keras. Hanya butuh waktu kurang dari sejam untuk bereaksi!”
Qing’er cemas bukan main. “Lao Foye! Mohon batalkan perintah itu! menyelamatkan nyawa seseorang akan mengantar Anda kea lam Sukhawati para Buddha! Qing’er memohon demi kebaikan Lao Foye! Lekas batalkan perintah itu!”
Ibu Suri berteriak bengis, “Tahan Putri Qing!”
Beberapa dayang maju dan menahan Qing’er. Qing’er meronta sekuat tenaga dan berseru-seru, “Selir Xiang, jangan diminum! Jangan…”
Hanxiang menghormat Qing’er dengan cara menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Putri Qing, terima kasih banyak atas perhatianmu. Sampaikan salamku kepada Xiao Yanzi dan kawan-kawan. Maaf, Hanxiang harus pergi mendahului kalian semua!”
Selesai berkata demikian, Hanxiang membuka tutup botol dan menenggak isinya sekali minum.
Qing’er menjerit keras, “Selir Xiang!!! Tidak…..!!!”
Bersambung
0 comments:
Post a Comment